Jumat, 31 Oktober 2008

Bersumpah untuk Bahasa


Ignas Kleden

  • Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

    ADA dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Yang satu adalah Pancasila sebagai dasar filsafat negara RI dan yang kedua bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita tahu, Pancasila beberapa kali menghadapi cobaan, baik melalui jalan legal dalam perdebatan di Konstituante maupun melalui jalan ilegal dalam pemberontakan-pemberontakan daerah. Dalam Konstituante, muncul keinginan untuk memberi dasar negara yang lain berupa Islam dan sosial-ekonomi sebagai alternatif terhadap Pancasila. Dalam pemberontakan daerah, kekuatan Pancasila yang mempersatukan terancam oleh gerakan bersenjata yang bersifat separatis.

    Pemikiran tentang kebudayaan yang sesuai dengan Indonesia yang merdeka telah menimbulkan polemik yang keras antara Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya, berupa rangkaian perdebatan yang kemudian dihimpun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan. Sebaliknya, tidak ada polemik yang berlarut-larut tentang bahasa apa gerangan yang akan dipakai sebagai bahasa nasional. Semenjak para pemuda mengikrarkan sumpah mereka pada 28 Oktober 1928, masalah bahasa nasional dan bahasa persatuan dianggap selesai. Tidak terlihat usaha memaksakan bahasa-bahasa besar, seperti bahasa Jawa atau bahasa Sunda, untuk dipergunakan di seluruh negeri, meskipun, menurut sastrawan dan peneliti sastra Ajip Rosidi, bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa Indonesia ”bukanlah bahasa yang paling banyak pemakainya (kalah paling tidak oleh bahasa Jawa dan Sunda) dan bukan pula paling kaya kesusastraannya”.

    Sebelum diangkat menjadi bahasa persatuan, bahasa Melayu telah dipakai selama berabad-abad sebagai sarana komunikasi di antara penduduk kepulauan di Nusantara. Karena itulah, pada 1933 Sutan Takdir Alisjahbana menulis dalam Poedjangga Baroe bahwa bahasa Melayu bukan semata-mata kepunyaan orang Melayu. Dalam kenyataannya ”penduduk sekalian kepulauan ini menjalankan pengaruhnya masing-masing atasnya, membentuk dan memakainya menurut keperluan dan pekerti masing-masing”.

    Melalui proses itu, bahasa Melayu Riau kemudian berkembang menjadi sebuah lingua franca. Kita tahu kekhasan lingua franca ialah bahwa ia hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi tapi tidak berperan lagi sebagai representasi identitas. Orang-orang yang sekarang fasih berbahasa Inggris tidak harus datang dari London atau Bristol, San Francisco, atau Philadelphia. Bahasa Inggris di dunia sekarang, bahasa Latin di zaman dulu, bahasa Spanyol di Amerika Selatan, dan bahasa Melayu di Nusantara memungkinkan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya, tapi tidak lagi menjadi penunjuk atau ”tanda” bagi kelompok budaya yang memakainya.

    Rupa-rupanya inilah latar belakang penting mengapa tanpa banyak kesulitan, bahasa Melayu diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia, karena tidak ada klaim identitas dalam pemakaian bahasa itu, dan karena itu tidak ada juga konflik antaridentitas. Halnya mungkin akan sangat berlainan kalau bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis diterima sebagai bahasa persatuan. Dapat diperkirakan, akan muncul keberatan atau bahkan penolakan dari kelompok etnis lainnya, karena dianggap penerimaan salah satu bahasa besar tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik identitas yang dapat merugikan atau mengancam identitas lainnya.

    Mungkin tidak banyak contoh dalam sejarah dunia bahwa persoalan bahasa nasional yang biasanya pelik dan sensitif diselesaikan hanya oleh satu ikrar para pemuda. Sumpah Pemuda yang dikenang dengan penuh hormat pada hari-hari ini telah berperan sebagai remote preparation untuk Proklamasi 17 tahun kemudian. Sebab, sebelum diumumkannya Proklamasi sebagai deklarasi kemerdekaan, telah lahir Sumpah Pemuda sebagai deklarasi persatuan seluruh bangsa. Kemampuan-mempersatukan dari bahasa Melayu dimungkinkan karena berbagai kelompok budaya di seluruh kepulauan Nusantara relatif mengenal bahasa ini dan tidak perlu mempelajarinya sebagai bahasa yang sama sekali baru. Tiap kelompok budaya bahkan turut menciptakan bahasa ini sesuai dengan keperluan dan watak mereka. Kata ”pergi” dalam bahasa Melayu mendapat variasi dalam dialek masing-masing daerah menjadi ”pigi” atau ”pi”. Demikian pun kata ”kita” kemudian berubah dalam dialek-dialek daerah menjadi ”kite”, ”kitaorang”, ”ketorang”, ”ketong”, atau ”torang”. Meskipun demikian, orang dapat dengan cepat memahami berbagai bentuk variasi itu dibandingkan dengan mempelajari suatu bahasa yang sama sekali baru, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis.

    Mengherankan bahwa tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenal sebagai penganjur kebudayaan Barat, tidak mengusulkan bahasa Belanda atau bahasa Inggris sebagai bahasa persatuan Indonesia, tapi menjadi pendukung fanatik bahasa Indonesia dan mengabdikan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk membina dan mengembangkan bahasa ini. Dialah penentang tangguh strategi Dr G.J. Nieuwenhuis, yang sejak pertengahan 1920-an merencanakan perluasan penggunaan bahasa Belanda oleh sebanyak mungkin penduduk pribumi agar suatu saat bahasa itu menjadi cukup kuat untuk menjadi bahasa persatuan di Hindia Belanda. Bagaimana niat baik Politik Etis masih ditunggangi oleh akal-akalan kolonial dapat disimak dari kesimpulan pemikiran Nieuwenhuis. Katanya: ”Pekerjaan bahasa Belanda di Hindia ialah menolong membangun masa depan bagi bangsa Hindia dan menolong mempertahankan masa lampau bagi bangsa Belanda”. Impian itu hilang bagaikan diterbangkan angin setelah diumumkannya Sumpah Pemuda yang menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia.

    Menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan tentulah membawa akibat-akibat dan meminta persyaratan tersendiri, apalagi setelah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa persatuan, ia perlu mempunyai norma-norma yang dapat jadi pegangan setiap pengguna bahasa agar memenuhi persyaratan comprehensibility, yaitu dipahaminya bahasa tersebut karena digunakan menurut aturan-aturan kebahasaan yang dianut bersama. Sebagai bahasa negara, dibutuhkan adanya unsur keresmian dalam bahasa itu, yang membuatnya pantas diucapkan atau didengar dalam upacara atau pertemuan-pertemuan kenegaraan yang resmi. Maka pembakuan bahasa harus dilakukan untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.

    Dalam perkembangan kemudian terlihat bahwa bahasa persatuan menghendaki syarat-syarat yang mempersamakan kedudukan semua pemakai bahasa ini karena tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan kelas sosial, keturunan, umur atau status, dan jabatan. Sifatnya sebagai bahasa persatuan mengharuskannya menjadi egalitarian, sebagaimana yang digunakan dalam masa revolusi kemerdekaan atau pada tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka. Sebaliknya, sebagai bahasa negara, khususnya selama Orde Baru, bahasa Indonesia mengalami proses feodalisasi dan birokratisasi yang amat kencang, yang menonjolkan perbedaan status penutur dan status lawan bicara. Ada ketegangan antara bahasa persatuan yang egalitarian dan bahasa negara yang cenderung feodal.

    Mengelola ketegangan di antara dua kecenderungan ini seyogianya menjadi pekerjaan rumah untuk Pusat Bahasa sebagai lembaga yang, dengan biaya negara, menjalankan tugas membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Pada 1999 Ajip Rosidi pernah mengajukan kritik bahwa Pusat Bahasa tidak berbuat sesuatu pun selama masa Orde Baru untuk mengendalikan dan mengurangi tendensi feodalisasi bahasa Indonesia ini. Dengan lain perkataan, pemihakan kepada bahasa negara lebih kuat daripada pemihakan kepada bahasa persatuan.

    Perbedaan lainnya ialah bahwa dalam bahasa persatuan orang lebih cenderung menyatakan pikiran dan perasaannya karena kebutuhan berkomunikasi. Sebaliknya, dalam bahasa negara ada kecenderungan untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan karena takut kepada kekuasaan negara. Dalam buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana mendefinisikan bahasa sebagai ”ucapan pikiran dan perasaan manusia dengan teratur dengan memakai alat suara”. Jelas bahwa definisi tersebut telah disusun dalam semangat bahasa persatuan dan bukan dalam formalisme bahasa negara.

    Apakah pada saat ini Pusat Bahasa dan para ahli bahasa dapat melakukan pembakuan bahasa Indonesia dengan mengintegrasikan kembali semangat bahasa persatuan ke dalam pembakuan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan apakah kita masih ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” atau barangkali diam-diam telah melupakan sumpah yang bersejarah itu.

  • Terinspirasi Kartini


    Memperjuangkan hak-hak perempuan sejak belia, Sujatin Kartowijono tergerak oleh buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia dan tetap aktif hingga masa senja hidupnya.

    USIANYA 15 tahun ketika bergabung dengan Jong Java—organisasi kebangsaan pemuda Jawa—pada 1922. Saat itu Sujatin baru masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs alias MULO, sekolah menengah pertama di zaman Belanda. ”Lima belas tahun, aku mulai aktif di kegiatan luar sekolah, meniru Ayah yang gemar berorganisasi,” katanya. Petikan kisah itu ditulis kembali oleh Hanna Rambe dalam biografi Sujatin Kartowijono: Mencari Makna Hidup.

    Pilihan berorganisasi dia lakukan dengan sadar, dan praktis mewarnai seluruh kehidupannya. Dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dia aktif membela hak-hak perempuan sepanjang hidupnya. Ditunjuk memimpin majalah terbitan Jong Java, remaja putri itu, yang menggunakan nama pena Bunga Gerbera, menuliskan pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib bangsa yang dijajah.

    Pendidikan adalah dunia Sujatin selepas MULO dan Sekolah Guru. Ensiklopedia Indonesia menulis, wanita muda yang teguh hati itu memilih mengajar di sekolah swasta karena bertekad tidak mau bekerja pada Gubernemen (pemerintah Belanda). Ayahnya, Joyohadirono, adalah sosok yang berperan besar pada Sujatin.

    Hubungan keduanya terbilang istimewa, terutama bila menilik riwayat kelahiran Sujatin. Karena amat mengharapkan anak laki-laki, Pak Joyo hanya menatap si orok dengan dingin ketika bayi merah itu dilahirkan di Desa Kalimenur, Wates, Yogyakarta, pada 7 Mei 1907. Dari anak yang tak diharapkan, Sujatin tumbuh menjadi anak yang cekatan dan pandai serta menjadi putri kesayangan Joyo.

    Sujatin kecil satu-satunya dari belasan anak Joyo yang mendapat ranjang khusus di kamar ayahnya. Joyo adalah Kepala Stasiun Kereta Sumpiuh. Dia mempercayai putrinya untuk menuliskan sejumlah saran perbaikan kepada Pusat Jawatan Kereta Api.

    Berkat posisi ayahnya, Sujatin bisa menikmati pendidikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School (HIS). Setelah melek huruf, Tin—panggilannya—benar-benar ”gila” bacaan. Kerap kali dia memanjat pohon setinggi mungkin, lalu membaca, atau mendekam di kolong ranjang dengan lampu minyak.

    Buku kegemaran dia antara lain karya-karya dongeng Hans Christian Andersen. Juga kisah petualangan Karl May yang masyhur. Tapi bacaan yang betul-betul merenggut perhatian Sujatin adalah kumpulan surat Kartini, Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini memang mengubah hidup Sujatin. ”Aneh, aku seolah melihat potret diri sendiri,” katanya.

    Jalan pertama mengubah nasib perempuan menurut Sujatin adalah melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Lewat Jong Java, Sujatin menebar ”virus” persatuan. Ini bukan perkara mudah di masa itu. Umumnya orang masih buta huruf dan rendah diri terhadap penjajah. Mereka yang mengenyam pendidikan dan sedikit dihargai oleh penjajah khawatir terpental dari posisi nyaman.

    Di luar jam mengajar, Sujatin rajin mengunjungi sekolah-sekolah lain untuk menularkan keyakinannya. Dia mengajak para siswa bergabung ke dalam perhimpunan. Untuk itu, dia harus berhadapan dengan direktur sekolah, yang notabene orang Belanda. Sujatin berhasil menuai simpati dan anggota perhimpunan pun bertambah.

    Ketika Kongres Pemuda pertama berlangsung di Jakarta pada 1926, yang antara lain dihadiri perwakilan Jong Java, Sujatin baru lulus Sekolah Guru. Bersama sejumlah kolega, dia mendirikan Poeteri Indonesia, perhimpunan khusus guru wanita. Dua tahun kemudian, dia hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan Hari Ibu).

    Dalam kongres itu, Sujatin—yang mewakili Poeteri Indonesia—menjadi ketua pelaksana. Ada tiga poin penting yang dirumuskan, yakni membangkitkan rasa nasionalisme, menyatukan gerakan perkumpulan wanita, dan membentuk Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Dalam artikel singkat ”Apa Arti Sumpah Pemuda bagi Diriku” yang ditulisnya dalam buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Sujatin menuturkan, ide pertemuan telah mendapatkan persetujuan suami-istri Ki dan Nyi Hajar Dewantoro, Dr Soekiman, serta Nyonya Soekonto dari kelompok Wanito Tomo.

    Semangat penyatuan organisasi pemuda serta gagasan politik satu Indonesia begitu memikat hati Sujatin. Meski tak hadir dalam Kongres Pemuda II yang digelar di Jakarta dua tahun kemudian—pada 1928—ia bagai tersihir butir-butir sumpah para pemuda, yang ia ketahui lewat surat-menyurat. Sujatin pun menggagas pertemuan perempuan dengan agenda menyatukan seluruh gerakan perempuan dan menyulutkan nasionalisme.

    Untuk mengakali polisi yang gemar mengendus-endus pertemuan politik, Kongres Perempuan Indonesia mengedepankan isu nonpolitis, yaitu posisi perempuan dalam perkawinan, dan pendidikan. Sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, kongres itu menggunakan bahasa Indonesia. Setelah pembacaan keputusan, kongres ditutup dengan ”agenda utama” pengibaran Merah-Putih diiringi lagu Indonesia Raya.

    Setahun berselang, Kongres Perempuan kembali berlangsung di Gedung Thamrin, Jakarta. Masih mengutamakan isu perempuan, tak bisa tidak—itu masa berkabung akibat penangkapan Soekarno—semangat merdeka membakar emosi sebagian besar peserta. Setiap sambutan dibalas dengan teriakan ”merdeka sekarang!” Hampir saja polisi membubarkan acara, tapi Sujatin buru-buru mengambil alih pimpinan dan menutup sidang.

    Sujatin memang memilih berada di lini depan perjuangan hak-hak perempuan. Dalam bukunya, Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia (Yayasan Idayu, 1977), Sujatin menyatakan, sejak Kongres Perempuan Indonesia, organisasi-organisasi wanita banyak mencurahkan perhatian pada masalah perkawinan. Dia berperan dalam pembentukan P Vier A atau P4A, yaitu Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, pada 1930.

    Dalam perjalanannya, Kongres tak bisa selamanya terhindar dari isu politik. Pada perhelatan di Jakarta, 1935, salah satu rekomendasinya sebagai berikut: ”Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan.” Pada 1941, rekomendasi politiknya lebih tegas lagi: menyetujui aksi Gabungan Politik Indonesia yang mengajukan ”Indonesia Berparlemen” demi memperjuangkan Indonesia merdeka.

    Ketika Jepang berkuasa, Sujatin mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mengajar, di samping mengurus keluarga. Dari perkawinannya dengan Poediarso Kartowijono pada 1932, ia dianugerahi tiga anak lelaki dan tiga anak perempuan. Sesekali Sujatin—yang sempat belajar bahasa Jepang—diminta pemerintah menjadi penerjemah pejabat Jepang ketika mengunjungi berbagai daerah.

    Tentang Poediarso, Sujatin selalu menyebutnya orang yang memiliki pengertian mendalam. Sebelum mereka menikah, Sujatin dua kali gagal melanjutkan pertunangannya. Penyebabnya adalah kesibukan mempersiapkan kongres perempuan. Saat kongres akan digelar, kekasihnya datang dan berusaha mencegah kepergian Sujatin ke kongres itu. ”Aku tak ada pilihan lain, aku tak bisa mengecewakan peserta kongres,” tuturnya dalam biografi yang ditulis Hanna.

    Pilihan Sujatin meninggalkan tunangan—masing-masing calon sarjana hukum dari Jakarta dan calon sarjana teknik dari Bandung—membuat dia dijuluki sebagai tukang bikin patah hati lelaki. Lalu datang Poediarso. Ia bukan sarjana, juga tak punya pekerjaan pasti karena tak mau menerima gaji dari Belanda. Dia seorang murid kursus politik Soekarno di Bandung.

    Hingga akhir hayatnya, pasangan ini dikenal hidup rukun. ”Saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah kesibukan organisasi, maka rumah tangga saya kekal,” ujar Sujatin kepada Farida Sendjaja dari Tempo, yang mewawancarainya pada Desember 1982. Dalam perbincangan tersebut, dia juga menuturkan soal pesta kawin emasnya pada September tahun itu. Sang suami, yang sejak muda bergerak di bidang perdagangan, adalah penyokongnya yang setia.

    Setelah Indonesia merdeka, Sujatin terus aktif berorganisasi. Ia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan ditunjuk sebagai Ketua Badan Federasi Kongres Wanita Indonesia. Selain itu, ia menjabat Kepala Urusan Wanita pada Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

    Ketika menjabat, ia dikenal sebagai ”orang pusat” yang paling rajin berkunjung ke daerah, bahkan jauh hingga ke hulu Barito di Kalimantan Selatan. Ia juga kerap melakukan perjalanan ke luar negeri.

    Pada 1960, Sujatin melepaskan semua jabatannya. Tapi ia tetap menjadi penasihat Perwari dan tetap kritis. Ia pernah mengkritik Soekarno—yang pernah ia kagumi di masa muda karena pidatonya tentang persatuan—lantaran berpoligami. Ada desas-desus ia mundur dari jabatan di kementerian karena kritik-kritiknya. Tapi Sujatin membantah. Ia beralasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama suaminya.

    Ibu enam anak ini wafat pada 1 Desember 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah 41 tahun lebih menderita diabetes. Biografinya terbit beberapa bulan sebelum dia berpulang. Pembelaannya kepada hak-hak kaum wanita membuat dia banyak dikenang. Juga penampilannya yang ”amat perempuan”: hingga akhir hidupnya, dia selalu mengenakan kain dan kebaya.

    Sundari, Kacamata Merah Muda


    Putri bangsawan yang menjadi pusat perhatian di Kongres Perempuan. Orator ulung, tak banyak dikenal.

    AHAD, 22 Desember 1928. Hujan lebat digiring angin ribut mengguyur bumi sejak subuh. Tapi cuaca keruh itu tak mengganggu keriuhan pendapa Joyodipuran seharian.

    Seribu lebih perempuan berkumpul di rumah milik bangsawan Raden Tumenggung Joyodipuro itu—sekarang di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Ada hajatan besar di sana: Kongres Perempuan Indonesia, pertama kali digelar kota yang waktu itu masih bernama Mataram.

    Di antara yang hadir adalah Raden Ayu Siti Sundari , 23 tahun. Parasnya ayu. Pengajar di Kweek School, sekolah guru, di Surakarta itu tampil penuh semangat. Pidatonya berjudul ”Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”.

    Sundari adalah satu dari 15 pembicara di kongres itu. Para pembicara datang dari beragam organisasi, seperti Wanita Oetomo, Aisjiah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, dan Wanita Taman Siswa. Pidato Sundari, yang mewakili Poetri Indonesia dari Bandung, menjadi penanda penting bagi komitmen penggunaan bahasa Indonesia yang waktu itu masih bayi.

    Sundari mengawali pidato dengan anggun, bernada penjelasan dan permintaan maaf. ”Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak.” Hadirin terkesima.

    Sang putri melanjutkan. ”Akan tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota Djacarta beberapa boelan jang laloe, tentoe masih mengingat hasilnja, jaitoe hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjundjung bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami, sebagai poetri Indonesia jang lahir di Poelau Djawa jang indah ini, berani memakai bahasa Indonesia di moeka rakjat ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja?”

    Hadirin terpesona. Seperti Soekarno, Sundari dikenal sebagai orator ulung pada zaman pergerakan kemerdekaan. Namun ada pula yang melontarkan kritik. Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, misalnya, berkomentar: ”Bahasa yang digunakan terlalu muluk-muluk dan idealistis untuk kebanyakan hadirin.”

    Nyonya Toemenggoeng menyampaikan ini dalam ”Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”—laporan yang dibuat untuk pemerintah Belanda.

    Bahasa Indonesia saat itu belum dikenal luas. Kaum priayi lebih suka berbahasa daerah, misalnya Jawa dan Sunda, kelas tinggi. Kaum intelektual lebih memilih cas-cis-cus bahasa Walanda. Mungkin itu sebabnya Nyonya Toemenggung menyebut pilihan kata yang digunakan Sundari ”muluk-muluk”.

    Sundari tergolong pendatang baru untuk urusan bahasa Indonesia. Dalam Kongres Pemuda II, Oktober 1928, di Kramat Raya, Jakarta, ia masih berbahasa Belanda. Baru dalam Kongres Perempuan di Ndalem Joyodipuran itu ia tampil berbahasa Indonesia.

    ”Hanya dalam jangka dua bulan, sebuah perubahan dahsyat terjadi,” tulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, dalam jurnal Asian Studies Review, September 2000.

    Sundari dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 25 Agustus 1905. Tak hanya melepaskan bahasa tanah kelahirannya, ia juga melepaskan bahasa intelektualnya, bahasa Belanda.

    Demi persiapan pidato yang mengesankan tadi, Foulcher mencatat, Sundari dibantu seorang penerjemah. Tak jarang dia terbata-bata ketika mengucapkan kosakata bahasa Indonesia.

    Usaha keras Sundari layak dipuji, begitu tulis Foulcher, yang juga pengamat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Inilah simbol bangkitnya nasionalisme dan komitmen terhadap visi Negara Indonesia mandiri yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda.

    Kongres Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 itu membekas dalam ingatan Sundari. Bukan saja lantaran tunangannya, Muhammad Yamin—kelak menteri dalam pemerintahan Soekarno—motor penting dalam peristiwa itu. Tapi karena, ”Untuk pertama kalinya di situ dinyanyikan lagu Indonesia Raya,” katanya kepada Kompas, 21 Oktober 1967. Apalagi, menurut Sundari, W.R. Soepratman, pencipta lagu itu, memberikan sendiri catatan asli notasi lagu Indonesia Raya kepada Sundari.

    Sundari mengenal Yamin ketika bekerja sebagai guru Kweek School di Surakarta, Jawa Tengah. Pemuda Yamin waktu itu masih duduk di kelas I Algemeene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, di Yogyakarta. Tiga bulan setelah perkenalan, mereka bertunangan.

    Hubungan mereka awalnya ditentang keluarga Sundari, bangsawan asal Kadingalu, dekat Demak. jawa tengah. Mereka keberatan putrinya menikah dengan Yamin. Yamin berasal dari ”seberang”, dan masih duduk di sekolah menengah. Sundari yang sudah bergaji selayaknya kawin dengan dokter atau pegawai kantoran. Toh, sejoli ini tak ambil pusing.

    Setelah tamat AMS, Yamin hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum). Sundari memilih bermukim di Bandung, mengajar di sekolah Ardjuna, dan memberikan pelajaran mengetik di Lembang.

    Di sela kegiatannya itu dia aktif di organisasi Istri Pendidik, juga dalam Jong Java. Sang tunangan, Yamin, aktif di organisasi Jong Sumatra Bonds.

    Setelah Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi pemuda sektoral melebur menjadi Indonesia Muda. Sundari dan Yamin pun bergabung. Sundari menjadi anggota Keputrian Indonesia Muda. Di sini dia kerap berpidato tentang perlunya memberantas poligami.

    ”Poligami, perkawinan anak-anak, kawin paksa, talak dan pisah yang tiada berjangka, sulit untuk dipertahankan pada zaman sekarang kalau kita mau menggambarkan perkawinan sebagai sesuatu yang berharga,” kata Sundari ketika itu.

    Sikap keras Sundari atas poligami sering membuat berang organisasi Islam. ”Dia pernah dimaki-maki Sarekat Islam karena dianggap menentang ajaran agama Islam,” kata Anhar Gonggong, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

    Sundari pernah beradu mulut dengan Sitti Moendjijah dari organisasi Aisjiah, salah seorang pembicara dalam kongres perempuan pertama. Kata Moendijah, ”Bukan sama sekali hendak menyetujui poligami.… Kaum perempuan dengan sukarela menerima keadaan ini.”

    Adegan itu direkam oleh majalah Istri edisi perdana pada 1929, dan dikutip oleh Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama. Mendengar pernyataan Moendjijah, Sundari seketika bangkit dari tempat duduknya. Dengan berang dia menuduh Moendjijah pembela standar ganda.

    Moendjijah tak terima. Dia membela diri bahwa sebagai perempuan dia hanya memahami apa yang lazim diperbolehkan. Sundari, kata Moendjijah, ”Terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda.” Adu mulut berakhir setelah Nyonya Gunawan, utusan Roekoen Wanito dari Jakarta, menengahi.

    Pada 1934, Sundari hijrah ke Turen, Malang, Jawa Timur, dan menjadi guru di sana. Kepindahan ini tak lepas dari aksi Yamin. Setelah menamatkan sekolah hukum dan meraih gelar meester in rechtan, Yamin pergi ke Surabaya.

    Sialnya, di sana dia ditangkap pemerintah Belanda gara-gara pidato yang dianggap menghasut rakyat. Demi sang tunangan, Sundari mencari tahu lokasi penahanan Yamin. Beruntung, Yamin tak ditahan lama. Pada tahun itu juga keduanya memutuskan menikah.

    Kembali ke Jakarta, pengantin baru ini menyewa kamar di Orange Boelevard 56, sekarang Jalan Diponegoro. Ketika diwawancarai Kompas, tiga dasawarsa kemudian, Sundari mengaku bahagia mempunyai suami idealis. ”Tidak pernah korupsi, apalagi beristri lebih dari satu.”

    Dunia dengan ”kacamata merah muda” itu terwujud. Sundari mendampingi suami yang luar biasa ini. Sarapan dan kopi tak pernah absen disiapkannya, bahkan sebelum Yamin bangun pagi. ”Hubungan mereka indah sekali,” kata Kusumo, 72 tahun, anak angkat Sundari, kepada Tempo.

    Sebagai aktivis perempuan yang cemerlang, Sundari tak cuma bergelut dengan urusan rumah tangga. Dia pernah menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) bersama Emma Puradiredja, Sri Umiyati, dan Nyonya Soenarjo Mangunpuspito.

    Sayang, dibanding Yamin, yang perjalanan politiknya terekam lebih lengkap, nama Sundari kurang dikenal. Sedikit sekali artikel yang mengupas kiprahnya sampai ajal menjemputnya pada 12 April 1973.

    Gusti Raden Ayu Retno Satuti, 64 tahun, yang ditemui Tempo di rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, menyatakan dia pun tak begitu mengenal ibu mertuanya itu. ”Keluarga pun sekarang sudah meninggal semua,” kata Retno, putri keraton Mangkunegaran, Solo, yang tak lain adalah janda Rahadian Yamin. Pelopor dunia fashion Indonesia dan anak tunggal pasangan Yamin-Sundari ini tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 1979.

    Musim Gugur di Kubur ’Penemu’ Indonesia


    Adolf Bastian merawat dan mengenalkan nama Indonesia ke seluruh dunia. Dikubur di kompleks orang hebat di Jerman.

    HUJAN musim rontok turun di kompleks pekuburan Berlin, Jerman, awal Oktober lalu. Bau cendawan mengusap-usap hidung. Sepotong nisan dari batu berwarna kehitaman setinggi paha orang dewasa seperti tumbuh dari rumput yang tercukur rapi.

    Di sana dikubur Adolf Bastian—dokter, antropolog, dan guru besar etnologi Universitas Berlin. Ia telah memakai nama Indonesia pada 1884 ketika negeri ini lebih dikenal sebagai Nederlandsch-Indie, yang berarti Hindia kepunyaan Belanda.

    Kata Indonesia berasal dari bahasa Latin: Indo dan Nesioi. Indo berasal dari kata Indus, yang berarti Hindia. Nama ini diberikan oleh para penjelajah asal Eropa generasi awal untuk daerah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok. Nesioi bentuk jamak dari Nesos, yang berarti pulau-pulau. Jadi Indonesia berarti pulau-pulau Hindia.

    Di kuburan tersebut, Presiden Asosiasi Indonesia-Jerman Hans Berg siang itu juga berziarah bersama genealog Jurgen Bock Lachmes. Di depan makam Bastian, di tengah gerimis, ia melepas topinya dan menyingkirkan payungnya sejenak untuk menghormati Indonesianis ini. Ia membiarkan rambutnya masai dibasuh hujan. Matanya berkaca-kaca. ”Ia sangat mencintai Indonesia,” ujarnya.

    Setahun lalu, Berg merampungkan film dokumenter tentang Bastian. Ia mengabadikan lokus-lokus di Indonesia yang pernah dikunjungi pria kelahiran Bremen, 26 Juni 1826, itu. ”Ia orang hebat Jerman dan dunia,” ujarnya.

    Pada zamannya, nama Bastian sungguh harum. Dialah yang mengantarkan etnologi dan antropologi hingga diakui sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan. Atas jasa-jasanya, Kaisar Jerman, William, memindahkan makamnya dari Trinidad, Amerika, ke pemakaman di pusat Kota Berlin pada 1905.

    Bastian mangkat akibat kecelakaan mobil di Port of Spain, Trinidad—kini Trinidad-Tobago—pada 3 Februari 1905. Gara-garanya, konon sopirnya, seorang anak muda negeri itu, ugal-ugalan membejak pedal gas di tengah kota. Akibatnya, terjadi tabrakan dengan mobil lain.

    Ketika Adolf Hitler berkuasa, makam Bastian digusur bersama makam warga Berlin lainnya. Pemimpin Nazi ini ingin membangun jalan baru yang menghubungkan Berlin dengan beberapa daerah lain. Saat penggusuran baru dimulai, Hitler takluk kepada Sekutu. Jalan itu tak pernah jadi kenyataan, tapi makam Bastian sudah dipindahkan ke peristirahatannya yang sekarang.

    Makam itu ada di Sudwestkirchhofs Stahnsdorf, sekitar 30 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Berlin. Pemakaman umum seluas 156 hektare ini dikelola oleh pemerintah kota sekaligus negara bagian Berlin. Berada di dekat jalan raya Berlin-Potsdam, kompleks makam ini dipenuhi cemara, linden, dan mapel yang sedang meranggas.

    Di sini juga dimakamkan sejumlah orang terkenal Jerman. Sebagiannya akrab dengan Indonesia dan kawan dekat Bastian. Friedrich Murnau, misalnya, seniman yang merintis lahirnya desa seni di Ubud, Bali. Lainnya adalah etnolog Fedor Jagor, yang juga akrab dengan Indonesia, meskipun kemudian banyak melakukan riset etnologi dan antropologi di Filipina.

    Orang hebat lain yang beristirahat di pemakaman ini adalah Carl Friedrich von Siemens. Ia adalah pendiri Siemens, perusahaan elektronik, teknologi informasi, perangkat keras, dan real estate terkemuka di dunia.

    Pemerintah Berlin memberikan tanda istimewa berupa keramik merah bata pada makam Bastian, untuk membedakannya dari makam orang biasa. Asal tahu, sangat jarang makam yang memiliki tanda seperti itu di kompleks tersebut.

    Sepanjang hidupnya, Bastian menghabiskan banyak waktunya untuk melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Saking sibuknya bertualang, ujar Lachmes, ”Bastian tidak pernah menikah.”

    Bastian mengunjungi Indonesia empat atau lima kali antara tahun 1864 dan 1880. Sekali berangkat ia menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan hingga setahun. ”Untuk mengenal seluk-beluk tata cara hidup dan budaya Nusantara yang ia kaji,” ujar Berg, ”ia sering tidur di rumah penduduk.”

    Tapi ia juga punya hotel favorit di Indonesia. Salah satunya Hotel Salak di tepi Kebun Raya Bogor.

    Di Indonesia, ia pernah melakukan perjalanan menelusuri jalan darat dari Batavia (Jakarta) ke Banten, Teluk Betung, Bengkulu, Padang, Bukittinggi, Padang Sidempuan, hingga Samosir di Sumatera Utara. Ia juga meneliti Yogyakarta dan Solo dan sangat menikmati Bali. Selain itu, ia mempelajari adat-istiadat penduduk Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Flores, dan Timor.

    Hasil kunjungannya ke Indonesia adalah koleksi benda etnik dari seantero Nusantara miliknya. Ada wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan gamelan. Ada juga peranti memasak di dapur, peralatan bertani, serta senjata untuk berburu. Oleh-oleh itu ia angkut dengan kapal laut ke rumahnya di Berlin, tidak jauh dari kawasan elite Potsdamer Platz.

    Setelah ia meninggal, rumahnya dijadikan museum etnologi. Benda-benda koleksinya dipamerkan untuk umum, di bawah pengelolaan yayasan untuk pengembangan ilmu etnologi. Sayangnya, rumah ini hancur lebur akibat bom Sekutu pada Perang Dunia II. ”Perang membuat Berlin luluh-lantak, termasuk rumah Bastian, yang tak punya kepentingan dengan perang,” kata Lachmes.

    Kini di bekas rumah Bastian berdiri flat yang umumnya dihuni mahasiswa. Sejumlah mahasiswa asal Indonesia di Jerman tinggal di sini. Di bagian lain kawasan flat, berdiri restoran Indonesia milik Rudy Widjajono, 48 tahun. Rumah makan itu bernama Mabuhay, menyajikan makanan khas Indonesia dan Filipina. Inilah salah satu tempat nongkrong kesukaan orang Indonesia di Berlin. Di mana gerangan koleksi Bastian yang selamat dari perang?

    Benda-benda itu kini menjadi koleksi Museum Etnologi di Dahlem, Berlin. Ini museum etnologi terbesar di Eropa, dengan 50 ribu item benda asal Asia dan tiga perempatnya berasal dari Indonesia. Namun peninggalan terpenting Bastian sesungguhnya dua buku yang melejitkan nama Indonesia. Ia memakai kata Indonesia dalam karyanya Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels, yang terbit lima jilid.

    Di bukunya, ia memakai kata itu untuk menyebut pulau besar dan gugusan pulau yang mengitari pulau besar di kawasan ini—dari Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga Flores. ”Indonesia adalah satu kesatuan kepulauan Nusantara yang berumpun Melayu,” tulisnya. Ia kembali memakai kata Indonesia dalam bukunya yang lain, Die Volkev des Ostl Asien, pada bab ”Reiscn im Indischen Archipels”.

    Dua buku ini pula yang melambungkan nama Bastian sebagai etnolog kelas wahid. Saking terkenalnya, dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (1918), ia sempat disebut sebagai penemu nama Indonesia. Betulkah? Ternyata tidak. Bastian cuma merawat dan mempopulerkan nama Indonesia yang ditemukan duo James Richardson Logan-George Samuel Windsor Earl.

    Pada mulanya nama Indonesia adalah usulan Earl, etnolog Inggris, di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV, 1850. Ia merasa wilayah jajahan Belanda ini sudah perlu punya nama khas, karena nama Hindia sering tertukar dengan penyebutan wilayah yang lain. Earl punya dua calon nama, Indunesia atau Malayunesia. Ia memilih nama Malayunesia karena nama ini sangat tepat untuk ras Melayu, sementara cakupan nama Indunesia terlalu luas.

    Tapi Logan punya pendapat berbeda soal kedua nama itu. Ia lebih sreg dengan nama Indunesia yang dibuang Earl. Alasannya, seperti disebutkan di Wikipedia, kata Indunesia lebih seperti sinonim untuk Indian Islands atau Indian Archipelago. Namun ia mengganti huruf u dengan o, semata agar ucapannya lebih baik. Maka, jadilah: Indonesia.

    Musim Gugur di Kubur ’Penemu’ Indonesia


    Adolf Bastian merawat dan mengenalkan nama Indonesia ke seluruh dunia. Dikubur di kompleks orang hebat di Jerman.

    HUJAN musim rontok turun di kompleks pekuburan Berlin, Jerman, awal Oktober lalu. Bau cendawan mengusap-usap hidung. Sepotong nisan dari batu berwarna kehitaman setinggi paha orang dewasa seperti tumbuh dari rumput yang tercukur rapi.

    Di sana dikubur Adolf Bastian—dokter, antropolog, dan guru besar etnologi Universitas Berlin. Ia telah memakai nama Indonesia pada 1884 ketika negeri ini lebih dikenal sebagai Nederlandsch-Indie, yang berarti Hindia kepunyaan Belanda.

    Kata Indonesia berasal dari bahasa Latin: Indo dan Nesioi. Indo berasal dari kata Indus, yang berarti Hindia. Nama ini diberikan oleh para penjelajah asal Eropa generasi awal untuk daerah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok. Nesioi bentuk jamak dari Nesos, yang berarti pulau-pulau. Jadi Indonesia berarti pulau-pulau Hindia.

    Di kuburan tersebut, Presiden Asosiasi Indonesia-Jerman Hans Berg siang itu juga berziarah bersama genealog Jurgen Bock Lachmes. Di depan makam Bastian, di tengah gerimis, ia melepas topinya dan menyingkirkan payungnya sejenak untuk menghormati Indonesianis ini. Ia membiarkan rambutnya masai dibasuh hujan. Matanya berkaca-kaca. ”Ia sangat mencintai Indonesia,” ujarnya.

    Setahun lalu, Berg merampungkan film dokumenter tentang Bastian. Ia mengabadikan lokus-lokus di Indonesia yang pernah dikunjungi pria kelahiran Bremen, 26 Juni 1826, itu. ”Ia orang hebat Jerman dan dunia,” ujarnya.

    Pada zamannya, nama Bastian sungguh harum. Dialah yang mengantarkan etnologi dan antropologi hingga diakui sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan. Atas jasa-jasanya, Kaisar Jerman, William, memindahkan makamnya dari Trinidad, Amerika, ke pemakaman di pusat Kota Berlin pada 1905.

    Bastian mangkat akibat kecelakaan mobil di Port of Spain, Trinidad—kini Trinidad-Tobago—pada 3 Februari 1905. Gara-garanya, konon sopirnya, seorang anak muda negeri itu, ugal-ugalan membejak pedal gas di tengah kota. Akibatnya, terjadi tabrakan dengan mobil lain.

    Ketika Adolf Hitler berkuasa, makam Bastian digusur bersama makam warga Berlin lainnya. Pemimpin Nazi ini ingin membangun jalan baru yang menghubungkan Berlin dengan beberapa daerah lain. Saat penggusuran baru dimulai, Hitler takluk kepada Sekutu. Jalan itu tak pernah jadi kenyataan, tapi makam Bastian sudah dipindahkan ke peristirahatannya yang sekarang.

    Makam itu ada di Sudwestkirchhofs Stahnsdorf, sekitar 30 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Berlin. Pemakaman umum seluas 156 hektare ini dikelola oleh pemerintah kota sekaligus negara bagian Berlin. Berada di dekat jalan raya Berlin-Potsdam, kompleks makam ini dipenuhi cemara, linden, dan mapel yang sedang meranggas.

    Di sini juga dimakamkan sejumlah orang terkenal Jerman. Sebagiannya akrab dengan Indonesia dan kawan dekat Bastian. Friedrich Murnau, misalnya, seniman yang merintis lahirnya desa seni di Ubud, Bali. Lainnya adalah etnolog Fedor Jagor, yang juga akrab dengan Indonesia, meskipun kemudian banyak melakukan riset etnologi dan antropologi di Filipina.

    Orang hebat lain yang beristirahat di pemakaman ini adalah Carl Friedrich von Siemens. Ia adalah pendiri Siemens, perusahaan elektronik, teknologi informasi, perangkat keras, dan real estate terkemuka di dunia.

    Pemerintah Berlin memberikan tanda istimewa berupa keramik merah bata pada makam Bastian, untuk membedakannya dari makam orang biasa. Asal tahu, sangat jarang makam yang memiliki tanda seperti itu di kompleks tersebut.

    Sepanjang hidupnya, Bastian menghabiskan banyak waktunya untuk melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Saking sibuknya bertualang, ujar Lachmes, ”Bastian tidak pernah menikah.”

    Bastian mengunjungi Indonesia empat atau lima kali antara tahun 1864 dan 1880. Sekali berangkat ia menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan hingga setahun. ”Untuk mengenal seluk-beluk tata cara hidup dan budaya Nusantara yang ia kaji,” ujar Berg, ”ia sering tidur di rumah penduduk.”

    Tapi ia juga punya hotel favorit di Indonesia. Salah satunya Hotel Salak di tepi Kebun Raya Bogor.

    Di Indonesia, ia pernah melakukan perjalanan menelusuri jalan darat dari Batavia (Jakarta) ke Banten, Teluk Betung, Bengkulu, Padang, Bukittinggi, Padang Sidempuan, hingga Samosir di Sumatera Utara. Ia juga meneliti Yogyakarta dan Solo dan sangat menikmati Bali. Selain itu, ia mempelajari adat-istiadat penduduk Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Flores, dan Timor.

    Hasil kunjungannya ke Indonesia adalah koleksi benda etnik dari seantero Nusantara miliknya. Ada wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan gamelan. Ada juga peranti memasak di dapur, peralatan bertani, serta senjata untuk berburu. Oleh-oleh itu ia angkut dengan kapal laut ke rumahnya di Berlin, tidak jauh dari kawasan elite Potsdamer Platz.

    Setelah ia meninggal, rumahnya dijadikan museum etnologi. Benda-benda koleksinya dipamerkan untuk umum, di bawah pengelolaan yayasan untuk pengembangan ilmu etnologi. Sayangnya, rumah ini hancur lebur akibat bom Sekutu pada Perang Dunia II. ”Perang membuat Berlin luluh-lantak, termasuk rumah Bastian, yang tak punya kepentingan dengan perang,” kata Lachmes.

    Kini di bekas rumah Bastian berdiri flat yang umumnya dihuni mahasiswa. Sejumlah mahasiswa asal Indonesia di Jerman tinggal di sini. Di bagian lain kawasan flat, berdiri restoran Indonesia milik Rudy Widjajono, 48 tahun. Rumah makan itu bernama Mabuhay, menyajikan makanan khas Indonesia dan Filipina. Inilah salah satu tempat nongkrong kesukaan orang Indonesia di Berlin. Di mana gerangan koleksi Bastian yang selamat dari perang?

    Benda-benda itu kini menjadi koleksi Museum Etnologi di Dahlem, Berlin. Ini museum etnologi terbesar di Eropa, dengan 50 ribu item benda asal Asia dan tiga perempatnya berasal dari Indonesia. Namun peninggalan terpenting Bastian sesungguhnya dua buku yang melejitkan nama Indonesia. Ia memakai kata Indonesia dalam karyanya Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels, yang terbit lima jilid.

    Di bukunya, ia memakai kata itu untuk menyebut pulau besar dan gugusan pulau yang mengitari pulau besar di kawasan ini—dari Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga Flores. ”Indonesia adalah satu kesatuan kepulauan Nusantara yang berumpun Melayu,” tulisnya. Ia kembali memakai kata Indonesia dalam bukunya yang lain, Die Volkev des Ostl Asien, pada bab ”Reiscn im Indischen Archipels”.

    Dua buku ini pula yang melambungkan nama Bastian sebagai etnolog kelas wahid. Saking terkenalnya, dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (1918), ia sempat disebut sebagai penemu nama Indonesia. Betulkah? Ternyata tidak. Bastian cuma merawat dan mempopulerkan nama Indonesia yang ditemukan duo James Richardson Logan-George Samuel Windsor Earl.

    Pada mulanya nama Indonesia adalah usulan Earl, etnolog Inggris, di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV, 1850. Ia merasa wilayah jajahan Belanda ini sudah perlu punya nama khas, karena nama Hindia sering tertukar dengan penyebutan wilayah yang lain. Earl punya dua calon nama, Indunesia atau Malayunesia. Ia memilih nama Malayunesia karena nama ini sangat tepat untuk ras Melayu, sementara cakupan nama Indunesia terlalu luas.

    Tapi Logan punya pendapat berbeda soal kedua nama itu. Ia lebih sreg dengan nama Indunesia yang dibuang Earl. Alasannya, seperti disebutkan di Wikipedia, kata Indunesia lebih seperti sinonim untuk Indian Islands atau Indian Archipelago. Namun ia mengganti huruf u dengan o, semata agar ucapannya lebih baik. Maka, jadilah: Indonesia.

    Dokter Politik dari Timur


    Ketenangannya membuat Johannes Leimena menjadi politikus dan juru runding. Karib dengan Soekarno. Perannya di Sumpah Pemuda tak banyak diungkap.

    PUJA-PUJI itu dilontarkan Johannes Leimena kepada Mohammad Roem dalam salah satu sidang Kabinet Sjahrir III, 1946-1947. ”Roem is een ardige vent. Roem itu anak baik. Saya suka sama dia. Sebagai Menteri Dalam Negeri, pengetahuannya lengkap tentang keadaan dalam negeri. Kalau ia bicara mengenai hal itu, saya senantiasa tertarik, karena bidang saya, kesehatan rakyat, perlu juga pengetahuan soal keadaan dalam negeri.” Roem, yang disanjung Leimena—saat itu Menteri Muda Kesehatan—menyimak dengan takzim.

    Jo, begitu dia disapa, meneruskan bahwa Roem mampu menerangkan keadaan dalam negeri dengan cara yang tenang, disertai fakta. Bukan analisis saja. Hal itu memberikan keyakinan bahwa Roem orang yang obyektif. Pandangannya berdasarkan kenyataan, bukan khayalan.

    Roem mulai menduga-duga ke mana arah bicara Jo. Tapi Jo masih syur melanjutkan sanjungannya. ”Roem mempunyai common sense. Ini hal yang saat ini tidak banyak orang memilikinya. Dan biasanya, saya selalu setuju dengan Roem, tapi kali ini saya tidak dapat mengikutinya. Maaf ya, Roem,” Jo menutup puja-pujinya. Semua peserta sidang kabinet menyambutnya dengan tawa berderai.

    Dia lantas mengajukan keberatan-keberatannya terhadap usul Roem. Penuh semangat Roem menanggapinya. ”Tapi, setelah dipungut suara, lebih banyak yang menolak usulan saya,” ujar Roem, 32 tahun kemudian. Dia mengatakan, Jo selalu punya jalan untuk melunakkan hati kawan dan lawannya. Cara seperti itulah yang membuka jalan bagi karier politiknya sejak terlibat Kongres Pemuda II, 1928.

    lll

    Hidup Johannes Leimena mengalir sampai jauh. Dia lahir pada 6 Maret 1905 di Ambon, Maluku, dari pasangan Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulilatu. Ayahnya guru bantu di salah satu sekolah di Ambon. Dominggus meninggal sebelum Jo genap berumur 9 tahun. Dia kemudian ikut pamannya, Jesaya Jeremias Lawalata, berlayar ke Pulau Jawa. Ketika itu, Jesaya baru saja diangkat sebagai guru kepala di Cimahi, Jawa Barat. Hanya beberapa bulan di Cimahi, mereka boyongan lagi ke Batavia.

    Setelah tamat dari MULO (setingkat sekolah menengah pertama), Jo semula berniat kursus In en Uitvoerrechten (Bea-Cukai). Namun kursus ini hanya mau menerima keturunan Indo-Belanda. Jo ditolak. Beralih ke kursus Posterij, dinas pos, nasibnya sama saja. Kenalan pamannya menyarankan Jo mendaftar di sekolah hukum, Rechtschool. Dia sudah sempat mendatangi rumah direktur sekolah itu. Tapi, karena sang direktur sedang tak di rumah, Jo membelokkan niatnya dan malah memilih mendaftar ke sekolah kedokteran Stovia, yang jaraknya hanya satu kilometer dari Rechtschool.

    Di sekolah dokter, Jo mulai melek politik. Pergaulannya dengan mahasiswa-mahasiswa lain dari Sumatera, seperti Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin, membuka wawasan politiknya. Dari berbagai surat kabar yang waktu itu mulai beredar di kampus Stovia di Salemba, dia menyerap berbagai persoalan yang mendera Hindia Belanda.

    Ia juga bergabung dengan Jong Ambon, yang didirikan oleh seniornya di Stovia, J. Kayadu, pada 1917. Semula organisasi pemuda Ambon di Jakarta ini hanya melulu sibuk dengan urusan sepak bola. Masuknya Leimena, Toule Salehuwey—mahasiswa sekolah hukum—dan beberapa pemuda lain meniupkan angin baru. Bagi mereka, adu sepak hanya soal sekunder; yang utama adalah pendidikan.

    Lewat Jong Ambon, Jo terlibat Kongres Pemuda II pada 1928. Kendati dalam panitia kongres dia kejatuhan tugas sebagai pembantu IV, peran Jo dalam acara itu tak banyak diungkap. R.Z. Leirissa, penulis biografi Johannes Leimena, menduga Jo sengaja tidak menonjolkan diri karena pamannya tak setuju keterlibatannya dalam perhelatan itu. Menurut Jesaya, penjajahan di Indonesia merupakan takdir Tuhan.

    Setelah kongres itu hingga usai proklamasi kemerdekaan, aktivitas politik Jo malah menurun. Dia lebih banyak tenggelam dalam tugasnya sebagai dokter dan aktivis gereja Kristen. Dia kembali masuk pusaran politik di Jakarta ketika Sutan Sjahrir memintanya masuk kabinet sebagai Menteri Muda Kesehatan pada Maret 1946.

    Sebelum Sjahrir meneleponnya, Amir Sjarifuddin, teman lamanya yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan, sudah berulang kali memintanya bergabung dengan pemerintah yang masih belia. Awalnya Jo enggan karena berpendapat pekerjaannya sebagai dokter lebih penting. ”Ah, itu nanti saja. Sekarang kita sedang berjuang,” kata Amir setengah memaksa. Jo luluh.

    Dia pun menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan dan kemudian Menteri Kesehatan tanpa putus dari 1946 hingga 1956, bersambung Menteri Sosial, Menteri Distribusi, hingga Wakil Perdana Menteri II sampai Presiden Soekarno dicopot dari jabatan pada 1966. Dari Kabinet Sjahrir beralih ke Hatta, Natsir, Burhanuddin Harahap, Djuanda, hingga Kabinet Dwikora. Menjabat Ketua Umum Partai Kristen Indonesia, posisinya sebagai menteri tak tergoyahkan walaupun kabinet berulang kali bongkar-pasang dari partai Islam seperti Masyumi ke Partai Nasional Indonesia.

    ”Dia bisa bergaul dengan semua golongan,” ujar mantan wakil presiden Mohammad Hatta. Putri bungsu Jo, Lendra Kraton Melani Suharli Leimena, mengatakan ayahnya tak pernah membedakan agama dalam bergaul. ”Dulu rumah kami di Jalan Teuku Umar sudah seperti markas banyak partai. Bukan cuma Parkindo. Ada yang dari NU, Masyumi, atau dari Partai Katolik,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

    Boleh jadi kelenturan sikap dan ketenangan pribadinya membuat dia sering ditunjuk sebagai juru runding dan terkadang penghubung. Dalam hampir semua perundingan dengan Belanda—dari Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar—dia selalu terlibat sebagai Ketua Komisi Militer. Di antara pembantunya ada Kolonel T.B. Simatupang.

    Soal peran dia dalam perundingan Meja Bundar pada 1949 itu, Roem punya cerita. Saat itu yang mewakili pihak Belanda adalah Buurman van Vreeden. Begini Jo membuka perundingan. ”Saya memandang Tuan Buurman orang baik. Saya suka Anda.” Roem, yang pernah menghadapi taktik serupa, mulai mesem. Kata Jo lagi, ”Semakin lama saya kenal Tuan Buurman, saya semakin menghargai Anda. Tuan Buurman, tahukah Anda bahwa arti nama Tuan itu indah sekali? Tetangga perdamaian.”

    Seperti biasa, setelah segala banjir pujian itu selesai, Jo mulai menyerang. ”Tuan biasanya melihat persoalan dari semua sudut. Tapi kali ini saya cari-cari, tidak menemukan rangkaian pemikiran yang logis.” Dia kemudian menutupnya dengan sejumlah usul yang menekan Belanda. Taktik Jo berhasil.

    lll

    Jo Leimena punya hubungan dekat dengan Bung Karno. ”Saya tidak tahu pasti apa yang mulai membuat keduanya dekat,” kata Melani. Tidak hanya menjadi pembantu Bung Karno, dia juga karib, pendukung setia, dan terkadang menjadi penghubung. Setiap kali hubungan Soekarno-Hatta mulai renggang, Jo selalu disuruh Bung Karno berbicara dengan Hatta. Jo pula, bukan Wakil Perdana Menteri I Subandrio atau Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, yang ditunjuk Soekarno sebagai penjabat presiden apabila dia melawat ke luar negeri.

    Kendati posisinya di pemerintahan sedemikian penting, Jo tetap sederhana. ”Pakaiannya hampir selalu warna putih dan itu-itu saja. Padahal di lemari ada baju pemberian teman-temannya yang lebih bagus,” kata Remy Jesaja Leimena, 61 tahun, putra ketujuh Jo, kepada Tempo. Cara hidup itu dia terapkan pula bagi keluarganya.

    Pernah suatu ketika Remy minta uang untuk biaya kuliah kepada ayahnya. Tapi, karena Jo sedang bokek, Remy disuruh menjual salah satu lampu hias di rumah. ”Pernah ada anaknya yang minta dibelikan jas malah disuruh beli di loakan saja,” ujar Melani. Setiap kali pulang dari tugas di luar negeri, oleh-oleh bagi anak-anaknya hanya tumpukan buku.

    Begitu lurus cara Jo memandang hidupnya, saat anaknya menghadapi persoalan politik, dia tidak mau memanfaatkan posisinya untuk ”menolong”. Dalam kasus Malari 1974, misalnya, Remy, yang kala itu menjabat Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, ditangkap dan dipenjara. Jo, yang masih anggota Dewan Pertimbangan Agung, membiarkan Remy dipenjara. ”Menurut Ayah, itu konsekuensi yang harus dia tanggung,” kata Melani, 57 tahun. Sikapnya sama ketika anaknya yang lain dipecat dari TNI Angkatan Laut karena dipandang melawan atasan.


    Amir Sjarifuddin berperan di balik Kongres Pemuda II. Pernah menjabat perdana menteri dan Menteri Pertahanan. Dieksekusi tanpa pengadilan.

    TAK ada yang tahu gundukan tanah berumput itu makam. Tak ada nisan, katakanlah hanya sebatang kayu bertatahkan nama. Namun di situlah terkubur jasad Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia era 1945-1947.

    ”Pada 2002 kami hendak memberi nisan di kuburan Papi,” kata Helena Luis Syarifuddin Harahap, putri bungsu Amir, kepada Tempo. Sayang, sesepuh Desa Ngalihan, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, tempat makam itu ”bermukim”, tak memberi izin. Menurut sang sesepuh, yang berhak memberi izin hanyalah Departemen Pertahanan. ”Kami pun tak berani berbuat apa-apa.”

    l l l

    AMIR Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, pada 27 April 1907, sebagai putra sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripa-da, keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, bekerja sebagai jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar, berasal dari keluarga saudagar muslim kaya di Deli.

    Amir menikmati pendidikan di ELS, atau sekolah dasar Belanda, di Medan pada 1914 hingga 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Tuanku Sunan Gunung Mulia, ia berangkat ke Leiden, Belanda, untuk melanjutkan sekolah. Pada 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, Belanda.

    Selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen, seperti CSV, cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Meskipun teman-teman dekatnya meminta Amir menyelesaikan kuliah di Belanda, pada September 1927 ia pulang ke kampung halaman karena ayahnya sakit keras.

    Kemudian ia masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang pada Gunung Mulia yang telah menjabat direktur pendidikan sekolah guru di Jatinegara. Setelah itu, Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Muhammad Yamin. Rupanya mereka memiliki kesamaan minat, terutama pada musik, sastra, dan agama.

    Pada Kongres Pemuda II 1928, Amir mewakili Jong Bataks Bond dan menjabat bendahara panitia. Ia juga aktif memimpin sidang. Ketika Yamin menulis rumusan Sumpah Pemuda, persetujuan Soegono Djojopuspito dan Amir sangat dibutuhkan. ”Perannya cukup menentukan, meski hanya menyetujui rumusan tersebut,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan In-donesia, Asvi Warman Adam. Amir kemudian masih terlibat dalam Kongres Bahasa pada 1938.

    Pada sekitar 1931, Amir berpindah keyakinan, dari muslim menjadi Kristen. Empat tahun kemudian ia menikah dengan Djaenah Harahap, putri orang kaya di Batavia. ”Pernikahan mereka saat itu memang masih ditabukan, karena satu marga,” kata Damaris, putri keempat Amir.

    Pasangan ini dikaruniai enam anak: Andrea, Lidya Ida Lumongga, Kesas Taromar, Damaris, Tito Batari, dan Helena Luisa. Kini yang masih hidup hanya tiga: Andrea, 67 tahun; Damaris, 60 tahun; dan Helena, 59 tahun.

    Ketika Jepang datang, Amir memilih beroposisi. Karena memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der Plass, ia ditangkap Jepang pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati. Namun, berkat campur tangan Soekarno dan Hatta, hukuman itu tak pernah dilaksanakan.

    Setelah kemerdekaan, Amir diangkat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pertama dalam Kabinet Soekarno. Salah satu buah karyanya adalah Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin tentang kebebasan pers.

    Tugas Amir sesuai dengan minatnya pada dunia jurnalistik. Ia pernah aktif sebagai editor dalam buletin Indonesia Raja milik Perhimpunan Pelajar Indonesia di negeri Belanda. Ia juga pernah menjadi editor pada buletin Banteng milik Partai Indonesia cabang Batavia.

    Dalam Kabinet Sjahrir, Amir menjabat Menteri Pertahanan. Pada 3 Juli 1937, ia diangkat sebagai perdana menteri, menggantikan Sjahrir. Sebagai perdana menteri, Amir menandatangani Perjanjian Renville, 17 Januari 1948.

    Sayang, akibat perjanjian itu, Amir ditinggalkan oleh partai-partai pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia. ”Ayah pernah berkata kepada Ibu: saya ditinggalkan sendirian,” tutur Damaris. Ia pun mengembalikan mandat, dan kabinetnya bubar. Sejak itu Amir, melalui partainya, Partai Sosialis, menjadi oposan.

    Bersama beberapa partai garis kiri, mereka membentuk Front Demokrasi Rakyat. Pecahlah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Amir, yang dianggap ikut bertanggung jawab, ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 18 November 1948. Atas perintah Gubernur Militer Surakarta Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.

    Pada 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tawanan lain dibawa ke Desa Ngalihan. Rupanya, Gatot Subroto memerintahkan eksekusi mati terhadap mereka. Sebelas orang itu kemudian menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale. Ia yang pertama kali ditembak, dengan menggenggam sebuah Alkitab.

    l l l

    KETIKA Amir tewas, Djaenah sedang mengandung anak bungsunya. Saat melahirkan di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Djaenah hanya ditemani seorang tetangga Belanda. Djaenah dan keenam anaknya kemudian pindah ke Jakarta. Hidup sangat sulit baginya. Berkat bantuan (Perdana Menteri) Ir Djuanda, ia kemudian mendirikan usaha untuk menyambung hidup.

    ”Saya tak terlalu mengenal Ayah,” kata Andrea, yang ketika Amir wafat, baru berusia enam tahun. Trauma atas nasib Amir, Djaenah melarang anak-anaknya terlibat organisasi apa pun. Bahkan untuk mengakui saudara-saudara ayah dan ibunya di depan umum pun mereka tak berani. Padahal adik Amir, yakni Arifin Harahap, pernah menjabat Menteri Perdagangan pada 1959-1962.

    ”Kami hanya tak ingin kehidupan mereka terganjal karena menjadi saudara Papi,” kata Damaris. Sejak Orde Baru, kehidupan pun semakin sulit bagi anak-anak Amir. Helena sempat merasakan hanya makan satu bungkus nasi bertiga, dibagi dengan suami dan anak sulung-nya. ”Screening komunis menyebabkan kami sulit memperoleh pekerjaan,” kata guru kecantikan di Sekolah Johny Andrean itu.

    Begitu pula dengan Damaris. Setelah menikah dengan tentara, pada 1974, sang suami memutuskan mundur dari Angkatan Bersenjata. Orang mulai mencium siapa ayah mertuanya. Setelah menyelesaikan notariat, ia meminta pensiun dini. ”Banyak yang bilang, kenapa harus mundur,” kata Damaris. ”Bagaimana, ya, kan kami yang mengalami.”

    l l l

    PADA 1950, dua kali Djaenah bertemu dengan Bung Karno. Pertemuan pertama gagal. ”Menurut Ibu, Bung Karno tak kuasa menahan haru bertemu dengannya,” kata Damaris. Pada pertemuan kedua, Djaenah meminta jenazah suaminya dipindahkan ke Jakarta. Permintaan itu ditolak. Namun Bung Karno mengizinkan sebelas jenazah Peristiwa Madiun dimakamkan ulang.

    Sayang, setelah 1965, bangunan makam kesebelas kuburan itu raib tak berbekas. Anak-anak Amir pun tak berani sesering dulu berziarah. Barulah pada 2008, tepat 60 tahun kematian Amir, ”mukjizat” itu datang.

    Berkat bantuan lembaga swadaya masyarakat Ut Omnes Unum Sint Institut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membantu perizinan pembangunan makam Amir. Rencananya, pada 14 November makam Amir tak lagi hanya berhiaskan rumput. ”Bila Tuhan hendak mencabut nyawa saya setelah makam Papi selesai, saya rela,” kata Helena.

    Makam Tak Bertanda di Ngalihan


    Amir Sjarifuddin berperan di balik Kongres Pemuda II. Pernah menjabat perdana menteri dan Menteri Pertahanan. Dieksekusi tanpa pengadilan.

    TAK ada yang tahu gundukan tanah berumput itu makam. Tak ada nisan, katakanlah hanya sebatang kayu bertatahkan nama. Namun di situlah terkubur jasad Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia era 1945-1947.

    ”Pada 2002 kami hendak memberi nisan di kuburan Papi,” kata Helena Luis Syarifuddin Harahap, putri bungsu Amir, kepada Tempo. Sayang, sesepuh Desa Ngalihan, Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, tempat makam itu ”bermukim”, tak memberi izin. Menurut sang sesepuh, yang berhak memberi izin hanyalah Departemen Pertahanan. ”Kami pun tak berani berbuat apa-apa.”

    l l l

    AMIR Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, pada 27 April 1907, sebagai putra sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripa-da, keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, bekerja sebagai jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar, berasal dari keluarga saudagar muslim kaya di Deli.

    Amir menikmati pendidikan di ELS, atau sekolah dasar Belanda, di Medan pada 1914 hingga 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Tuanku Sunan Gunung Mulia, ia berangkat ke Leiden, Belanda, untuk melanjutkan sekolah. Pada 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, Belanda.

    Selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen, seperti CSV, cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Meskipun teman-teman dekatnya meminta Amir menyelesaikan kuliah di Belanda, pada September 1927 ia pulang ke kampung halaman karena ayahnya sakit keras.

    Kemudian ia masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang pada Gunung Mulia yang telah menjabat direktur pendidikan sekolah guru di Jatinegara. Setelah itu, Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Muhammad Yamin. Rupanya mereka memiliki kesamaan minat, terutama pada musik, sastra, dan agama.

    Pada Kongres Pemuda II 1928, Amir mewakili Jong Bataks Bond dan menjabat bendahara panitia. Ia juga aktif memimpin sidang. Ketika Yamin menulis rumusan Sumpah Pemuda, persetujuan Soegono Djojopuspito dan Amir sangat dibutuhkan. ”Perannya cukup menentukan, meski hanya menyetujui rumusan tersebut,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan In-donesia, Asvi Warman Adam. Amir kemudian masih terlibat dalam Kongres Bahasa pada 1938.

    Pada sekitar 1931, Amir berpindah keyakinan, dari muslim menjadi Kristen. Empat tahun kemudian ia menikah dengan Djaenah Harahap, putri orang kaya di Batavia. ”Pernikahan mereka saat itu memang masih ditabukan, karena satu marga,” kata Damaris, putri keempat Amir.

    Pasangan ini dikaruniai enam anak: Andrea, Lidya Ida Lumongga, Kesas Taromar, Damaris, Tito Batari, dan Helena Luisa. Kini yang masih hidup hanya tiga: Andrea, 67 tahun; Damaris, 60 tahun; dan Helena, 59 tahun.

    Ketika Jepang datang, Amir memilih beroposisi. Karena memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der Plass, ia ditangkap Jepang pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati. Namun, berkat campur tangan Soekarno dan Hatta, hukuman itu tak pernah dilaksanakan.

    Setelah kemerdekaan, Amir diangkat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pertama dalam Kabinet Soekarno. Salah satu buah karyanya adalah Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin tentang kebebasan pers.

    Tugas Amir sesuai dengan minatnya pada dunia jurnalistik. Ia pernah aktif sebagai editor dalam buletin Indonesia Raja milik Perhimpunan Pelajar Indonesia di negeri Belanda. Ia juga pernah menjadi editor pada buletin Banteng milik Partai Indonesia cabang Batavia.

    Dalam Kabinet Sjahrir, Amir menjabat Menteri Pertahanan. Pada 3 Juli 1937, ia diangkat sebagai perdana menteri, menggantikan Sjahrir. Sebagai perdana menteri, Amir menandatangani Perjanjian Renville, 17 Januari 1948.

    Sayang, akibat perjanjian itu, Amir ditinggalkan oleh partai-partai pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia. ”Ayah pernah berkata kepada Ibu: saya ditinggalkan sendirian,” tutur Damaris. Ia pun mengembalikan mandat, dan kabinetnya bubar. Sejak itu Amir, melalui partainya, Partai Sosialis, menjadi oposan.

    Bersama beberapa partai garis kiri, mereka membentuk Front Demokrasi Rakyat. Pecahlah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Amir, yang dianggap ikut bertanggung jawab, ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 18 November 1948. Atas perintah Gubernur Militer Surakarta Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.

    Pada 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tawanan lain dibawa ke Desa Ngalihan. Rupanya, Gatot Subroto memerintahkan eksekusi mati terhadap mereka. Sebelas orang itu kemudian menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale. Ia yang pertama kali ditembak, dengan menggenggam sebuah Alkitab.

    l l l

    KETIKA Amir tewas, Djaenah sedang mengandung anak bungsunya. Saat melahirkan di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Djaenah hanya ditemani seorang tetangga Belanda. Djaenah dan keenam anaknya kemudian pindah ke Jakarta. Hidup sangat sulit baginya. Berkat bantuan (Perdana Menteri) Ir Djuanda, ia kemudian mendirikan usaha untuk menyambung hidup.

    ”Saya tak terlalu mengenal Ayah,” kata Andrea, yang ketika Amir wafat, baru berusia enam tahun. Trauma atas nasib Amir, Djaenah melarang anak-anaknya terlibat organisasi apa pun. Bahkan untuk mengakui saudara-saudara ayah dan ibunya di depan umum pun mereka tak berani. Padahal adik Amir, yakni Arifin Harahap, pernah menjabat Menteri Perdagangan pada 1959-1962.

    ”Kami hanya tak ingin kehidupan mereka terganjal karena menjadi saudara Papi,” kata Damaris. Sejak Orde Baru, kehidupan pun semakin sulit bagi anak-anak Amir. Helena sempat merasakan hanya makan satu bungkus nasi bertiga, dibagi dengan suami dan anak sulung-nya. ”Screening komunis menyebabkan kami sulit memperoleh pekerjaan,” kata guru kecantikan di Sekolah Johny Andrean itu.

    Begitu pula dengan Damaris. Setelah menikah dengan tentara, pada 1974, sang suami memutuskan mundur dari Angkatan Bersenjata. Orang mulai mencium siapa ayah mertuanya. Setelah menyelesaikan notariat, ia meminta pensiun dini. ”Banyak yang bilang, kenapa harus mundur,” kata Damaris. ”Bagaimana, ya, kan kami yang mengalami.”

    l l l

    PADA 1950, dua kali Djaenah bertemu dengan Bung Karno. Pertemuan pertama gagal. ”Menurut Ibu, Bung Karno tak kuasa menahan haru bertemu dengannya,” kata Damaris. Pada pertemuan kedua, Djaenah meminta jenazah suaminya dipindahkan ke Jakarta. Permintaan itu ditolak. Namun Bung Karno mengizinkan sebelas jenazah Peristiwa Madiun dimakamkan ulang.

    Sayang, setelah 1965, bangunan makam kesebelas kuburan itu raib tak berbekas. Anak-anak Amir pun tak berani sesering dulu berziarah. Barulah pada 2008, tepat 60 tahun kematian Amir, ”mukjizat” itu datang.

    Berkat bantuan lembaga swadaya masyarakat Ut Omnes Unum Sint Institut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membantu perizinan pembangunan makam Amir. Rencananya, pada 14 November makam Amir tak lagi hanya berhiaskan rumput. ”Bila Tuhan hendak mencabut nyawa saya setelah makam Papi selesai, saya rela,” kata Helena.

    Pemuda di Dalam Buku


    Selama sedasawindu, ratusan buku dan artikel ditulis tentang Sumpah Pemuda. Kebanyakan mengulas sejarah dari bermacam sudut pandang. Berikut ini kami nukilkan sembilan buku dan artikel yang cukup penting tentang pemuda dan semangat persatuan nasional.
    D.N. AIDIT: SEMANGAT SUMPAH PEMUDA HARUSLAH SEMANGAT UNTUK MELAKSANAKAN DEMOKRASI TERPIMPIN DAN KONSEPSI PRESIDEN
    Penerbit: Harian Rakjat
    (28 Oktober 1958)

    DITULIS dalam konteks demokrasi terpimpin, Aidit menegaskan dukungan kepada Bung Karno dan semangat persatuan. Ketika itu ancaman perpecahan meruyak. Pemberontakan bersenjata meletus di Sumatera dan Sulawesi, dan membangkitkan kembali spirit Sumpah Pemuda.

    Ketua Partai Komunis Indonesia itu menyatakan, dengan Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi 1945, Indonesia sebetulnya sudah jadi bangsa modern, besar, dan duduk sejajar dengan bangsa merdeka lainnya. ”Dalam keadaan bagaimanapun, di atas segala-galanya kita satu bangsa, tidak peduli apa agama, keyakinan politik, dan golongannya. Bangsa kita adalah bangsa yang berjuang, anti-imperialisme, patriotik, dan demokratis,” tulis Aidit.

    Editor Komunitas Bambu, J.J. Rizal, menyatakan saat itu tak hanya PKI, partai dan tokoh lain juga mendengungkan semangat persatuan. Aidit sebagai pemimpin partai besar menyelipkan manifesto politik mendukung penuh Soekarno, sekaligus persatuan nasional.

    BUNGA RAMPAI SOEMPAH PEMOEDA
    Penerbit: Balai Pustaka (1978)

    DALAM tiga bagian, buku ini merangkum karya 65 penulis sekaligus pelaku sejarah. Salah satu penyuntingnya Sudiro, Ketua Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. Bagian pertama menceritakan pengalaman pribadi dalam pergerakan pemuda sejak sebelum Perang Dunia, pendudukan Jepang, persiapan kemerdekaan, hingga setelah Indonesia merdeka. Dua bagian berikutnya berisi harapan penulis dan kronologi peristiwa.

    S.K. Trimurti, salah satu penulis, menceritakan anekdot ketika menyiasati larangan rapat organisasi pemuda yang dianggap revolusioner menentang Belanda (vergarder verbod). Beberapa pemuda peserta rapat hampir tertangkap basah oleh polisi, tapi akhirnya lolos. Mereka mendadak berganti sikap dengan menari-nari dan menirukan musik gamelan dengan suara mulut.

    Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menyayangkan cara penulisan buku ini. ”Cukup layak sebagai dokumentasi, tapi harus diperbaiki kesalahan pengetikannya,” katanya.

    AKU PEMUDA KEMARIN DI HARI ESOK
    Penerbit: Jayasakti (1981)

    MERANGKUM karya tulis dan pidato para tokoh bangsa, 1919-1938. Penyusunnya Pitut Soeharto, yang dikenal sebagai perwira Operasi Khusus pimpinan Ali Moertopo di masa Orde Baru, dan Zainoel Ihsan. Memaparkan tumbuhnya pergerakan kebangsaan menjadi pergerakan politik menuju kemerdekaan.

    Reportase wartawan koran Darmokondo yang dikutip buku itu, misalnya, memperlihatkan bagaimana Kongres Pemuda 1928 berlangsung di bawah pengamanan ketat polisi kolonial. Mereka melarang keras penggunaan kata ”Indonesia” dan ”Merdeka”. Ketua sidang, Soegondo Djojopoespito, bereaksi terhadap larangan itu dengan melontarkan sindiran, ”Jangan menggunakan kata merdeka karena ini bukan rapat politik, dan harap tuan-tuan harus tahu sama tahu saja.” Ucapan ini disambut tepuk tangan riuh peserta sidang.

    Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Gusti Anan, menilai buku ini cukup lengkap menggambarkan proses perubahan ide regionalisme atau kedaerahan menjadi isu persatuan nasional.

    WARISILAH API SUMPAH PEMUDA
    Penerbit: CV Haji Masagung, Inti Idayu Press, dan Yayasan Masagung (1988)

    TIGA belas pidato Presiden Soekarno yang dirangkum dalam buku ini intinya menjunjung pemuda sebagai tulang punggung negara. Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antarbangsa yang abadi.

    ”Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28 Oktober 1963.

    SUMPAH PEMUDA: MAKNA & PROSES PENCIPTAAN SIMBOL KEBANGSAAN INDONESIA
    Penerbit: Komunitas Bambu (2008)

    KEITH Foulcher menilai Sumpah Pemuda sebagai hasil akumulasi nilai-nilai bangsa yang diletupkan dalam peristiwa 80 tahun silam. Buku ini memaparkan secara historis bagaimana Sumpah Pemuda menjadi salah satu simbol nasional. Ia juga menyadarkan kita untuk bersikap kritis atas diperalatnya sejarah Sumpah Pemuda untuk kepentingan penguasa dari zaman ke zaman.

    Salah satu contohnya adalah pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia di masa Orde Baru. Komite itu dibentuk untuk mewadahi pemuda agar bersatu, tapi dalam perkembangannya digunakan untuk menjinakkan para pemuda itu sendiri

    KONGRES PEREMPUAN PERTAMA (TINJAUAN ULANG)
    Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Jakarta (2000)

    PAKAR sejarah Indonesia dari Universitas Monash, Australia, Susan Blackburn, memuat 15 naskah pidato para tokoh perempuan Indonesia yang mengulas pergerakan perempuan, perkawinan anak-anak, respons kaum ningrat terhadap isu perempuan, dan lain-lain. Tulisan ini membuktikan bahwa masalah pendidikan bagi perempuan sudah dibahas sejak 1928, tapi hingga kini masih harus terus diperjuangkan.

    Pada 22 Desember 1928—dikenal sebagai Hari Ibu—30 serikat perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera berkumpul mengadakan kongres. Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Mariana Amirudin, memberikan penghargaan tinggi terhadap buku ini. ”Masalah perempuan makin kompleks, kadang kala kita harus memulai perjuangan dari nol lagi,” ujarnya.

    PENGHANCURAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA
    Penerbit: Garba Budaya dan Yayasan Kalyanamitra (1999)

    Judul asli buku ini The Politization of Gender Relations in Indonesia, Women’s Movement and Gerwani Until the New Order State, merupakan disertasi PhD Saskia Eleonora pada 1995 di Universitas Amsterdam, Belanda. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia, buku ini membahas serius masalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang malang-melintang di pentas politik sampai 1965.

    Gerwani, dengan massa yang begitu besar, mendukung Demokrasi Terpimpin yang diyakini bisa mempertahankan persatuan dan menghentikan perlawanan PRRI/Permesta 1958. Tesis ini dinilai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, sangat baik karena memupuk rasa nasionalisme dengan memperlihatkan perlawanan atas pemerintah Belanda, yang mendiskriminasi perempuan pribumi untuk menjadi anggota parlemen.

    Buku ini juga membuktikan adanya upaya sistematis menghancurkan gerakan perempuan Indonesia progresif. Orde Baru menggunakan momentum peristiwa 1965 sebagai propaganda hitam terhadap Gerwani, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

    45 TAHUN SUMPAH PEMUDA
    Penerbit: Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta (1974)

    PERJALANAN bangsa Indonesia selama penjajahan Belanda hingga merdeka dirangkai oleh Subagio Reksodipuro dan Soebagijo I.N. ke dalam 372 halaman. Dari kebangkitan persatuan kesukuan, perjuangan pemuda dan proses Sumpah Pemuda, pembentukan Badan Fusi Indonesia Muda dan fusi organisasi kepanduan, pendudukan Jepang, hingga 1973.

    Ada tulisan M. Tabrani, Roeslan Abdulgani, Mohammad Hatta, dan Sunario. Hatta menyatakan Sumpah Pemuda 1928 sebagai hasil perjuangan politik yang dirintis Indonesische Vereniging—belakangan dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia—yang bercita-cita mempersatukan Indonesia yang bebas dari Belanda.

    SEDJARAH PERGERAKAN RAKJAT INDONESIA
    Penerbit: Dian Rakyat (1949)

    PERUBAHAN bentuk pergerakan rakyat Indonesia dari masa ke masa tertuang dalam buku ini. Kronologi pergerakan—meliputi politik, serikat pekerja, keagamaan, wanita, dan pemuda—dibagi ke dalam empat tulisan, selama kurun waktu 1908-1920, 1920-1930, 1930-1942, dan 1942-1945. Namun, sejak awal A.K. Pringgodigdo merasa lingkup tulisannya bakal terlalu luas karena meliputi semua aksi oleh organisasi modern ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia.

    Sejarawan Universitas Indonesia, Hilmar Farid, menilai buku ini penting karena menggambarkan sejarah pergerakan dari kacamata orang Indonesia. ”Namun risetnya sekarang sudah dilampaui banyak sejarawan lain,” ujarnya. Buku yang banyak dipakai dalam pengajaran di sekolah dan universitas karena ringkas tapi komprehensif ini memuat banyak nama orang, organisasi, dan kejadian yang tidak pernah diungkap sebelumnya.

    Bung Karno dan Kongres Pemuda II

    Anhar Gonggong

  • Sejarawan

    MEMPERINGATI Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928, saya terkenang pada dua tokoh teman dekat Ir Soekarno, Prof Dr Abu Hanifah dan Maskoen. Abu Hanifah adalah pemimpin pemuda dalam periode Pergerakan Nasional. Dia pernah menjadi Sekretaris Umum Pusat Pemuda Sumatera (1927-1928), Pemimpin Redaksi Majalah PPPI, Indonesia Raya, dan Sekretaris Organisasi Kongres Pemuda II-1928. Adapun Maskoen salah seorang pemimpin PNI yang ikut ditangkap dan dipenjarakan bersama Bung Karno di Sukamiskin, Bandung. Setelah PNI pecah menjadi Partindo dan PNI-Pendidikan, Maskoen memilih bergabung ke dalam PNI-Pendidikan yang dipimpin Bung Hatta dan Sutan Sjahrir.

    Kedua tokoh itu memberikan keterangan yang berbeda tentang posisi Bung Karno dalam pelaksanaan kongres yang menjadi tonggak pergerakan Kebangkitan Nasional 80 tahun silam itu. Keterangan Abu Hanifah terdapat dalam tulisan ”Renungan tentang Sumpah Pemuda” dalam Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Balai Pustaka, 1978. Buku ini diterbitkan untuk memperingati 50 tahun Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda II itu. Sedangkan keterangan Maskoen disampaikan secara lisan kepada penulis dalam berbagai kesempatan pada akhir 1980-an sampai 1990-an, sebelum beliau wafat.

    Persatuan dan Bahasa: Pemuda dan Bung Karno

    Kegiatan-kegiatan pemuda dan Bung Karno pada periode 1926-1928 patut disimak karena ada sejumlah peristiwa menarik. Setelah lahirnya Jong Java pada 1918, yang diikuti Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain, maka salah satu hal penting yang dilakukan pemuda adalah dilaksanakannya Kongres Pemuda I pada 1926 yang diprakarsai dan dipimpin Tabrani.

    Kongres ini, Indonesisch Congres—bahasa yang digunakan masih bahasa Belanda—bertujuan ”mencapai jalan membina perkumpulan-perkumpulan yang tunggal, yaitu membentuk sebuah badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan”. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa di kalangan pemimpin pemuda yang mempunyai organisasi yang ”bersifat kedaerahan” itu, lahir ide untuk mempersatukan diri dalam satu organisasi tunggal yang merupakan perwujudan persatuan yang dicita-citakan. Dalam rangka itu, walaupun akhirnya tidak disepakati, Jong Java mengusulkan suatu jenis organisasi yang berbentuk federalis.

    Pada akhir 1926 dan awal 1927 itu, di wilayah Nederlandsch-Indie, terutama di sekitar Banten dan Batavia serta di Silungkang, Sumatera Barat, berkembang situasi tegang terutama di lingkungan pemerintah kolonial. Situasi kritis terjadi karena adanya rencana pemberontakan PKI di daerah-daerah tersebut. Pemberontakan itu akhirnya dapat ditumpas pemerintah kolonial. Dalam situasi seperti itu, tampillah Bung Karno ke gelanggang politik pergerakan dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan asas partai nonkooperasi dan tujuan utamanya adalah ”menciptakan persatuan menuju Indonesia merdeka”.

    Dalam mewujudkan persatuan menuju kemerdekaan itu, Bung Karno melontarkan ide agar kekuatan-kekuatan yang ada yang menentang kolonialis harus menyatukan diri untuk menghadapi kekuasaan kolonialistik itu. Ide ini dilontarkannya pada 1926, sebelum menjadi pemimpin partai, dalam artikel: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda, 1926. Sebagai pemimpin utama PNI, Soekarno menjadikan ide persatuan sebagai hal yang sangat penting dan harus direalisasikan. Sejalan dengan itu, Bung Karno melakukan pendekatan pada pemimpin partai dan organisasi lain. Usahanya itu membuahkan hasil. Salah satunya, kesediaan (Partai) Sarekat Islam (SI) yang diwakili Dr Soekiman Wiryosanjoyo untuk mempersiapkan pembentukan organisasi dimaksud.

    Organisasi yang bersifat ”federalis” itu diberi nama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dalam menyambut Kongres Pertama PPPKI, 30 Agustus—2 September 1928, Bung Karno menulis sebuah artikel ”Menyambut Kongres PPPKI” dalam Suluh Indonesia Muda, 1928. Ketika beliau menyebutkan rupa dan wujud PPPKI, beliau menyatakan PPPKI adalah suatu barisan kaum kulit berwarna. Ia berarti bruin front dan tidak hanya bermaksud ke luar menghadapi pemerintah kolonial, melainkan ke dalam, memperkukuh persatuan.

    Dalam rangka persatuan itu, ketika membicarakan persoalan bahasa, Bung Karno termasuk pemimpin yang tidak setuju dengan usul bahasa Jawa menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Tentang persoalan ini, menarik informasi yang diberikan Abu Hanifah dalam tulisannya: ”Soal Tanah Air Bersama, Berbangsa Satu, tidak terlalu banyak dalam pembahasan ..., yang agak menyukarkan waktu itu adalah tentang soal bahasa. Mula-mulanya keras suara supaya dipakai bahasa Jawa, karena telah tersusun dengan baik. Tetapi banyak, juga dari orang-orang Jawa sendiri tidak setuju, karena dianggap ’feodal’.

    Abu Hanifah menyebutkan, yang menentang bahasa Jawa itu antara lain Soekarno. Ia mengutip Bung Karno, yang berpendapat bahwa sukar kelak berbicara secara demokratis. Katanya, macam-macam bentuk bahasa Jawa itu menyusahkan buat bergaul secara bebas, lagi sukar dipahami oleh mereka yang tidak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apakah harus diatur lagi bahasa ngoko, kromo, atau kromo inggil, sehingga dapat dipakai oleh semua orang, rendah atau tinggi. Dalam situasi pelik penentuan bahasa persatuan itu, menurut Abu Hanifah, Prof Dr Poerbotjaroko memberikan nasihat supaya dipakai saja bahasa Melayu-Riau yang masih dapat berkembang seperti dulunya bahasa Inggris.

    Kontroversi ”Pengaruh” Ir Soekarno terhadap Kongres Pemuda II: Abu Hanifah vs Maskoen

    Dalam rangkaian pembentukan PPPKI yang ”dibidani” Bung Karno itu, Maskoen bercerita kepada penulis tentang kehendak Bung Karno untuk juga membangun kekuatan persatuan di kalangan pemimpin pemuda pergerakan. Menurut Maskoen, Bung Karno menganggap penting persatuan di kalangan pemuda untuk masa depan dan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam kaitan itulah, Maskoen menyatakan bahwa ”pengaruh” Bung Karno dalam pelaksanaan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 itu ”memang sangat kuat”.

    Keterangan lisan yang dikemukakan Maskoen di atas bertentangan dengan keterangan Abu Hanifah tentang adanya pengaruh kaum tua (dalam hal ini termasuk Bung Karno) terhadap aktivis pemuda Indonesia. ”Terang—demikian Abu Hanifah—kelompok kami dari PPPI tidak dipengaruhi oleh pemimpin seperti Soekarno atau Sartono. Betul ada tukar pikiran, tetapi waktu itu misalnya pimpinan PPPI telah senior-senior mahasiswa,... karena itu ide-ide kami sangat independen. Saya—demikian Abu Hanifah—sebagai salah satu kelompok IC (Indonesische Clubgebow) belum pernah terpengaruh oleh pemimpin-pemimpin partai ketika itu secara langsung.” Tetapi diakui Abu Hanifah bahwa ketika mendiskusikan soal-soal politik, kelompok IC sering disertai Bung Karno dan Bung Sartono, dan lain-lain.

    Dari keterangan dua sumber—tertulis dan lisan—tersebut, menarik untuk memahami situasi pergerakan nasional saat itu. Khususnya kegiatan yang dilakukan pemimpin pemuda yang menjadi bagian dari ide pergerakan nasional dan tampilnya Bung Karno sebagai pemimpin politik dengan partainya PNI yang bersifat nonkooperasi dan menjadikan persatuan sebagai bagian dari slogan perjuangan dengan partainya itu.

    Bung Karno—sebagaimana diakui Abu Hanifah—memang kerap datang ke asrama pemuda di IC (Kramat 106) dan terlibat dalam pelbagai topik diskusi yang sedang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak dengan sendirinya Bung Karno dapat mempengaruhi para pemimpin pemuda yang berasal dari pelbagai daerah itu. Bahkan ketika akan membentuk PNI, banyak dari mereka diminta Bung Karno untuk menjadi anggota dan pengurus, tetapi mereka tidak bersedia; artinya ajakan Bung Karno ditolak!

    Penutup

    Dua keterangan yang berbeda tentang pengaruh Bung Karno dalam Kongres Pemuda II itu jelas melahirkan kontroversi. Keterangan mana yang benar? Untuk menjawab pertanyaan historis itu diperlukan keterangan pembanding lain yang berdasar atas sumber yang dapat dipercaya kebenarannya. Di situlah ”seni” dan ”asyiknya” belajar dan meneliti sejarah.

    Kontroversi sejarah tidak perlu dianggap ”aneh” apalagi ”ditakuti”. Karena, di balik itu, ada nilai yang terkandung, yaitu mencari kebenaran sejarah untuk menjadi lebih dewasa, baik sebagai bangsa maupun sebagai manusia! Tentang Bung Karno: ”Beliau telah melakukan dan menyelesaikan tugas sejarah kebangsaan dan kemanusiaannya”. Bung Karno juga mendapat tempat yang amat terhormat dalam sejarah bangsanya. Dan tentang Sumpah Pemuda—terlepas dari ada-tidaknya pengaruh Bung Karno—Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 menunjukkan bahwa pemuda-pemudi memang telah memberi arti bagi kebangkitan dan persatuan bangsanya menuju kemerdekaan!

  • Jejak Samar Bapak Kos


    Riwayat Sie Kok Liong masih gelap. Pemilik rumah untuk ikrar Sumpah Pemuda ini berempati pada para pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan.

    SIAPA gerangan pemilik rumah di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat? Upaya pencariannya masih menemui jalan buntu. Padahal, ini bangunan bersejarah. Di sini pernah dikumandangkan ikrar 28 Oktober 1928, dan sebab itu kini disulap menjadi museum Sumpah Pemuda.

    Eddie Kusuma, Ketua Umum Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia, meski sudah melahap banyak buku tentang Sumpah Pemuda, toh gagal menggali profil pemilik rumah ”keramat” itu. Hanya ada sedikit informasi: pemiliknya seorang Tionghoa penganut Khonghucu bernama Sie Kok Liong. ”Foto atau sketsa wajahnya sekalipun tidak ada,” ujarnya.

    Enam tahun lalu, Eddie pernah mencoba menelusuri jejak Sie Kok Liong dengan mencari keturunannya. Waktu itu Eddie sedang menggali tokoh Tionghoa dalam Sumpah Pemuda. Dia menemui beberapa warga di seputaran Kramat Sentiong serta Kwitang, Jakarta Pusat. Sie Kok Liong diduga tinggal di Kramat Sentiong.

    Hanya ada kabar selentingan. Menurut Eddie, dari sejumlah warga berusia lanjut di Kramat Sentiong dan Kwitang, dia mendapat informasi bahwa kabarnya Sie Kok Liong memeluk agama Islam dan namanya berubah menjadi Muhammad Cia pada 1960-an. Nama Cia itu bisa merujuk pada nama marga Sie.

    Eddie juga mendapat cerita dari mulut ke mulut bahwa Kok Liong meninggal pada 1971. Di mana pemakaman dan keluarganya? Ia menggeleng. Eddie mengatakan akan meneruskan pencariannya. ”Rencananya, saya akan memasang iklan di koran untuk mencari ahli waris Sie Kok Liong,” katanya.

    Tempo pun mencoba menelusuri jejak samar Sie Kok Liong. Kelurahan, kepala RT/RW, atau warga di sekitar Kramat Sentiong dan Kwitang sudah dikonfirmasi. Hasilnya nihil. ”Mungkin saja dulu ia atau keluarganya tinggal di sini. Tapi saya tidak tahu dan tidak pernah dengar,” kata M. Murni, Ketua RW 7 Kelurahan Kramat, pensiunan Direktorat Sejarah.

    Penelusuran juga dilakukan melalui Internet. Tempo mencoba ”mengiklankan” pencarian Sie Kok Liong melalui mailing list seperti Tionghoa-Net, Budaya Tionghoa, serta komunitas lainnya. Peserta dalam mailing list memberikan tanggapan iklan itu. Tapi informasi mengenai Sie Kok Liong masih belum didapat.

    Tempo memperoleh petunjuk menghubungi Friends of the Kong Koan Archives, yang bermarkas di Belanda. Yayasan ini mengumpulkan literatur dan meneliti budaya Tionghoa di Jakarta pada abad ke-18, 19, dan 20. Namun lembaga arsip ini juga tidak memiliki informasi tentang Sie Kok Liong. ”Sayangnya, kami tidak memiliki data mengenai individu,” ujar H.S. Liem, sekretaris Friends of the Kong Koan Archives.

    l l l

    SIE Kok Liong. Nama yang sangat asing dalam buku yang berkaitan dengan Sumpah Pemuda atau sejarah pergerakan Indonesia lainnya. Dialah ”bapak kos” sejumlah pemuda yang mencatatkan sejarah dalam perjuangan Indonesia.

    Di gedung milik Sie Kok Liong itu pernah tinggal Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil, atau Assaat dt Moeda. ”Perlu keberanian luar biasa menyediakan tempat buat kelompok pergerakan pada masa itu,” kata Eddie.

    Rumah Kramat 106 adalah pemondokan buat pelajar dan mahasiswa di Jakarta. Waktu itu kos-kosan di wilayah Salemba dan sekitarnya bermunculan karena asrama tidak sanggup menampung mahasiswa dan pelajar dari luar kota. Pemilik kos biasa disebut kosthuis. Sedangkan anak kos laki-laki disebut kostjongen dan perempuannya kostmeisjes.

    Dalam Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java sejak 1925. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia.

    Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim. ”Tamu yang menginap tidak dikenai bayaran, tapi harus mengusahakan makanannya sendiri,” kata Dr Raden Soeharto, kostjongen dan peserta Sumpah Pemuda dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda.

    Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.

    Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga.

    Penghuni Kramat 106 juga sering mengadakan diskusi dengan konsep persatuan nasional. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi.

    Mereka berdiskusi di ruang utama gedung. Tema perbincangan lebih terarah kepada soal politik, misalnya mencari bentuk negara ideal bagi Indonesia. Mereka berdebat tentang revolusi Amerika, Prancis, Cina, atau Rusia. Para pelajar juga membahas pemikiran Sun Yixian, Gandhi, Garibaldi, Plato, Aristoteles, Nicolo Machiavelli, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rouseau, atau John Stuart Mill.

    Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.

    Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Mereka memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun mereka bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah.

    Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.

    Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober dalam tiga tahap rapat. Pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Lalu rapat kedua di Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Gedung Kramat 106 baru dipakai untuk rapat ketiga sekaligus penutupan rapat.

    Rapat ketiga yang berlangsung pada malam Senin, 28 Oktober 1928, hampir saja bubar. Petugas PID menyela rapat dan mengancam akan mengeluarkan peserta rapat di bawah usia 18 tahun karena mendengar perkataan ”kemerdekaan”. Padahal peserta rapat, dari total 750 orang, banyak yang berusia di bawah 18 tahun.

    Rapat tetap berjalan hingga ketua Soegondo Djojopoespito membacakan resolusi. Di rumah Jalan Kramat 106 ini tiga butir sumpah pemuda berkumandang. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku, bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

    Sie Kok Liong memang tidak memiliki peran langsung dalam perumusan Sumpah Pemuda. Tapi peristiwa itu tidak akan terjadi tanpa adanya pemilik gedung yang menyediakan bangunannya. ”Ia pantas dimasukkan sebagai orang yang berjasa dalam Sumpah Pemuda,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

    Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel.

    Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951-1970. Setelah itu pemerintah menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya, yang hingga kini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda.

    Pada 1973, Pemerintah DKI Jakarta memugar dan mengembalikan bentuk gedung itu seperti ketika Sumpah Pemuda berkumandang. Di sini ada replika berbagai barang yang digunakan para pemuda, misalnya meja, kursi, hingga replika tokoh kunci dalam Sumpah Pemuda. Tidak ada replika Sie Kok Liong. ”Ia memang bukan aktivis politik, tapi berempati pada perjuangan pemuda meraih kemerdekaan,” kata Eddie.

    Taman Asmara Sang Komponis


    W.R. Soepratman sukses memperdengarkan Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda II. Lagu Matahari Terbit mengantarkannya ke Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok. Hidupnya tanpa cinta.

    MINGGU, 28 Oktober 1928. Seorang pemuda langsing bergegas menghampiri ketua sidang Soegondo Djojopoespito. Menenteng sebuah biola, ia menyodorkan secarik kertas berisi syair lagu yang digubahnya.

    Menangkap judul Indonesia Raya, mata Soegondo cepat melirik komisaris polisi Belanda yang begitu serius mengamati jalannya kongres. Ya, hari itu hari kedua Kongres Pemuda II, di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Di saat jeda siang itu, Soegondo mengangguk: ia mengizinkan pemuda itu membawakan karyanya, tapi tanpa syair. Aktivis perhimpunan pelajar Indonesia itu khawatir banyaknya kata ”Indonesia” dan ”merdeka” di dalam syair lagu bakal menimbulkan masalah.

    Malam semakin larut, sidang segera ditutup. Pukul 22.00 lewat, pemuda bernama W.R. Soepratman maju ke depan. Ia membungkukkan badan, mulai memainkan biola layaknya. Musik itu berakhir dengan tepuk tangan panjang. ”Bis, bis, bis, lagi, lagi...,” teriak hadirin.

    W.R. Soepratman dikenal sebagai wartawan yang suka bermain musik dan ngobrol dengan para pemuda di markas Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kramat Raya 106 itu. Tentang tempat lahirnya, orang masih berbeda pendapat. Sebagian orang percaya, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini lahir di Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Sebagian yakin ia lahir di Mester, Jatinegara, Jakarta Timur, pada 1903.

    Ketika usianya 11 tahun, ia bersentuhan dengan dunia baru: musik Barat dan sekolah Belanda. Soepratman kecil yang ditinggal mati ibunya lantas diasuh oleh kakak sulungnya yang menikah dengan seorang sersan tentara Belanda di Jakarta. Pasangan Roekijem Soepratijah-Van Eldik menyaksikan bakat musik di dalam diri sang adik.

    Tuan dan Nyonya Van Eldik pemain biola yang baik. Dari kakak iparnya, Soepratman memperoleh sebuah biola dan pelajaran bermain musik. Soepratman cepat menguasai instrumen itu. Saking piawainya memainkan alat musik gesek ini, Van Eldik lalu membawanya bergabung dengan kelompok musik yang dipimpinnya sendiri, Black and White Jazz Band.

    Pada 1914, Van Eldik yang pindah tugas ke Makassar mendaftarkan Soepratman ke Europeesche Lagere School, sekolah khusus anak-anak Belanda dan pegawai tinggi pemerintah Hindia Belanda. Nama ”Rudolf” ditambahkan oleh sang kakak ipar agar ia diterima di sekolah itu. Namun kemudahan ini cepat berakhir. Soepratman yang ketahuan bukan anak Van Eldik itu pun dikeluarkan. Ia terpaksa pindah ke Sekolah Dasar Angka Dua (2 Inlandsche School) lalu mendaftar ke Normaal School (sekolah guru) setelah lulus. Tiga tahun ia menjalani profesi guru, sampai akhirnya sang kakak menyuruhnya mengundurkan diri. Kakaknya berkeberatan ia ditugaskan ke Sengkang, daerah terpencil.

    Entah mengapa, seolah ada tangan yang perlahan menggiring hidupnya ke satu titik: pergerakan nasional. Di Makassar ia bekerja di kantor seorang pengacara Indo-Belanda yang tertarik pada pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari beberapa surat kabar langganan kantor itu, ia misalnya menangkap apa yang diperjuangkan tiga serangkai Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Dr Cipto Mangunkusumo.

    Tahu bahwa pusat pergerakan ada di Jawa, ia pun memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1924. Dari rumah ayahnya di Cimahi, ia melamar menjadi wartawan surat kabar Kaum Muda di Bandung, pimpinan Abdul Muis. Gajinya minim. Tak ada lagi kemapanan seperti di Makassar.

    ”Dunia pergerakan memang bukan tempat mencari uang,” katanya dalam hati. Tapi ia tak berhenti di situ. Ia bergabung dengan Kantor Berita Alpena, kemudian dengan Kantor Berita Tionghoa-Melayu Sin Po, sebagai penulis berita pergerakan Indonesia. Inilah yang membuat pergaulannya di kalangan pemuda aktivis semakin luas.

    Di gedung Indonesische Clubgebouw, Kramat, ia kerap berbincang dengan Muhammad Yamin dan Soegondo Djojopoespito. Ia juga berdiskusi dengan Mohammad Tabrani yang memberi info penting: rencana Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Tabrani memintanya tidak memberitakan info ini di Sin Po. Kata-katanya memang revolusioner. Pada hari pertama ia mendengar Tabrani berseru, ”Rakyat Indonesia, bersatulah.”

    Hatinya semakin mantap untuk mewujudkan tekadnya dulu: menggubah lagu yang mewakili gelora itu. Sebelumnya, hatinya sudah terbakar oleh sebuah artikel di majalah Timboel, terbitan Solo, Jawa Tengah, yang menantang komponis pribumi menciptakan lagu kebangsaan. Maka terciptalah Indonesia Raya dengan birama 6/8 (waltz)—komposisi yang, atas permintaan Bung Karno, kemudian diubah menjadi 4/4. ”Seperti lagu Wilhelmus untuk bangsa Belanda,” tulisnya dalam surat kepada Van Eldik di Makassar.

    Soepratman juga menggubah lagu-lagu nasional, seperti Bendera Kita, Pandu Indonesia, dan Ibu Kita Kartini. Ada juga lagu Di Timur Matahari yang diilhami oleh berdirinya perkumpulan Indonesia Muda, peleburan dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lain. Gubahan terakhirnya, Matahari Terbit, menyimpan satu cerita. Pada 7 Agustus 1938, Soepratman siap berangkat memimpin anggota Kepanduan Bangsa Indonesia menyanyikan lagu tersebut, yang akan disiarkan oleh Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij atawa NIROM—sekarang RRI. Tiba-tiba polisi datang menangkap dan memenjarakannya di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok. Ia dituduh membantu Jepang yang akan berekspansi ke Indonesia, menggusur Belanda. Ia akhirnya dibebaskan, tapi sejak itu Soepratman sakit-sakitan.

    Dalam kondisi yang kian hari kian parah, ia ditemani Kasan Sengari, iparnya, dan Imam Supardi, Pemimpin Redaksi Panyebar Semangat. Kepada Imam, ia membuka hati bahwa ia tidak merasakan kebahagiaan hidup karena percintaan. Soepratman memang tidak menikah. Tapi Imam tak menanyakan atau membahas lebih lanjut, khawatir karibnya makin kecewa. Maka percintaan itu menjadi teka-teki hingga sekarang.

    Dalam catatan tangan Kusbini, karib sesama komponis, Soepratman kerap datang ke warung Asih di Kapasari atau warung Djurasim di Bubutan, Surabaya, untuk menghibur diri. Paling-paling, ia melamun ditemani kue dan secangkir kopi. ”W.R. Soepratman menutup rahasia hidupnya dalam Taman Asmara,” tulis Kusbini. ”Taman Asmara” adalah istilah Kusbini untuk patah hati sahabatnya.

    Tengah malam, 17 Agustus 1938, sang komponis tutup usia. Jenazahnya dikebumikan secara Islam di Surabaya dan pada 31 Maret 1956 dipindahkan ke makam khusus di Tambaksegaran Wetan, Surab