Selasa, 30 September 2008

Kampanye Pemilu


Iklan Politik, KPK, dan DPR yang Lebih Baik
Selasa, 30 September 2008 | 00:43 WIB

M Hernowo

Punya anak berusia 17 tahun yang hamil tetapi belum menikah, keras terhadap korupsi, dan menentang pandangan beruang kutub sebagai spesies yang terancam. Itulah sebagian dari rekam jejak Sarah Palin, Gubernur Alaska yang akan mendampingi John McCain, calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, dalam pemilihan kepala negara itu, November mendatang.

Pemahaman dunia, khususnya rakyat Amerika Serikat (AS), atas rekam jejak Palin ini sama mendetailnya dengan pemahaman mereka atas sejarah hidup veteran perang Vietnam, McCain, berikut lawannya dari Partai Demokrat, pasangan Senator Illinois Barack Obama dan Joe Biden.

Tersebarnya latar belakang dua pasang calon pemimpin AS ini terjadi karena rakyat negara itu menyadari, rekam jejak merupakan instrumen penting untuk melihat seseorang. Dengan melihat masa lalunya, berikut ideologi partai yang membawanya, diyakini akan diperoleh gambaran jelas seorang calon pemimpin.

Hal ini karena dalam diri seseorang, antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, bukanlah garis waktu yang terputus. Ketiganya selalu membentuk sejarah yang saling berkaitan.

Dengan melihat latar belakang Obama yang lahir dari ibu berkulit putih dan ayah berkulit hitam, pernah hidup di berbagai negara, termasuk Indonesia, serta pernah merasakan hidup sebagai warga kelas menengah di AS, tidak sulit memahami maksud dari ”perubahan” yang menjadi tema kampanyenya.

Akibat selanjutnya, tema yang diusung Obama, juga pasangan McCain-Palin, menjadi sangat hidup, membumi, dan memberi pilihan yang jelas bagi rakyat AS. Iklannya pun dihargai karena mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari kualitas mereka.

Ironisnya, hal itu nyaris tidak terlihat dalam iklan sejumlah tokoh politik Indonesia yang sekarang sedang bersiap menghadapi Pemilu 2009. Iklan mereka bukan hanya cenderung tidak jelas karena tidak diisi dengan program nyata atau gambaran kualitas pribadi si pengiklan. Iklan itu bahkan cenderung dipakai untuk menutup masa lalu mereka yang kurang beres atau ”tidak berisi apa-apa”.

Gejala ini dapat dilihat, misalnya, seorang yang diduga punya masalah dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bidang sipil dan politik, dalam iklannya yang tiba-tiba sangat peduli pada pemenuhan HAM bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Seorang yang selama ini dikenal berpikiran neoliberal tiba-tiba diiklankan sangat mengagumi tokoh pendiri bangsa ini yang cenderung punya pemikiran sebaliknya. Atau, orang yang kiprahnya selama ini lebih banyak dikenal di dunia selebriti digambarkan sangat peduli pada nasib orang kecil.

Secara hukum, tidak ada pelanggaran yang dilakukan tokoh itu saat mereka mengiklankan diri meski gambaran mereka bangun di iklan dapat menyesatkan masyarakat. Bahkan, langkah ini terbukti efektif untuk membangun citra, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam era politik pemilihan langsung seperti sekarang.

Efektivitas iklan politik ini sudah terbukti di Pemilu 2004. Kekuatan citra, yang antara lain dibangun pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla di berbagai media massa, ternyata dapat mengalahkan kekuatan jaringan partai politik yang diandalkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.

Danarka Sasangka, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya (UAJ) Yogyakarta, menuturkan, efektivitas pembentukan citra melalui iklan, antara lain, disebabkan oleh sifat masyarakat kita yang cenderung pelupa dan tidak punya genggaman kuat. Masa transisi dari otoriter ke demokrasi atau tradisional ke modern membuat banyak perubahan di masyarakat. Nilai lama sudah dianggap ketinggalan zaman, sedangkan nilai baru belum dipahami sepenuhnya.

Kemiskinan yang masih membelenggu sebagian rakyat dan tingkat kecerdasan yang belum merata juga makin membuat mereka mudah dininabobokan dengan janji politik yang tidak jelas asal-usulnya dan politik uang.

Namun, sejarah membuktikan, masalah bangsa tidak dapat diselesaikan dengan iklan politik. Politisi yang dibangun dari citra kosong seperti itu yang justru akan makin menyulitkan Indonesia bangkit dari keterpurukan. Indonesia butuh pemimpin yang telah teruji kemampuan, keberanian, dan kredibilitasnya.

Gerakan tandingan

Dalam kondisi ini, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan memproses hukum kasus di DPR tidak hanya dapat dilihat sebagai upaya membersihkan lembaga yang, menurut survei Transparansi Internasional Indonesia (TII), sejak tahun 2005 dipersepsikan sebagai salah satu lembaga terkorup.

Upaya KPK ini juga dapat dilihat sebagai langkah untuk memberikan gambaran yang sebenarnya atas wajah para politisi di Indonesia, yang selama ini coba ditutup dengan iklan-iklan yang mereka pasang.

Seperti disampaikan Sekretaris Jenderal TII Rizal Malik, upaya KPK itu akan membantu masyarakat untuk menilai, politisi serta partai politik mana yang sebenarnya pantas dipilih di Pemilu 2009. Bagi partai politik, langkah KPK ini juga dapat dijadikan petunjuk untuk membersihkan diri dari para anggotanya yang bermasalah.

Langkah KPK itu juga dapat mendorong pemilu yang lebih bersih. Sebab, mereka yang akan bertarung, secara tidak langsung, akan diingatkan agar tidak menggunakan cara tercela, seperti korupsi, jika tidak ingin direpotkan di kemudian hari.

Penegakan hukum KPK terhadap sejumlah anggota DPR ini bukannya tanpa risiko. Upaya itu dapat menimbulkan arus balik, seperti pelemahan KPK, karena kewenangan yang dimiliki komisi itu sedikit banyak tergantung dari keputusan DPR.

Arus balik ini sekarang mulai terlihat seperti dengan munculnya gagasan untuk mengatur kembali tata cara penyadapan yang selama ini terbukti amat membantu KPK atau lewat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Pertanyaan sejumlah anggota DPR tentang langkah KPK mengumumkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara sehingga akses masyarakat terhadap data itu sekarang tak lagi semudah dahulu, juga bisa dilihat sebagai gejala dari arus balik itu. Namun, KPK (semoga) tidak perlu gentar dengan berbagai ancaman arus balik ini karena masyarakat ada di belakang mereka. Akhirnya, jika arus balik ini benar terjadi, misalnya dengan memandulkan KPK, akan kian jelas terlihat siapa yang sesungguhnya bermasalah di negara ini....

ANALISIS POLITIK


Memberi, Bukan Menerima


Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB

SUKARDI RINAKIT

Hormat saya pada Mira Lesmana, Riri Riza, Andrea Hirata, dan siapa pun yang terlibat dalam film Laskar Pelangi. Secara gamblang mereka menorehkan realitas keseharian kita. Terbelah dalam kelas sosial, terbelenggu oleh peraturan formal, terpinggirkan dan terasing. Kondisi patologis itu terpantul bening dalam ranah pendidikan.

Tapi Tuhan memang tidak tidur (Gusti ora sare). Di tengah tekanan hidup yang kadang tidak kenal kompromi tersebut, lahir ketulusan, semangat, dan mimpi. Pendeknya, lahir sifat kenabian dari individu-individu otonom yang dalam bahasa Kahlil Gibran disebut sebagai kaum pemberi, bukan penerima. Mereka ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi.

Seperti itulah sejatinya politik harus dijalankan. Tapi, acap kali ia direduksi menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Akibatnya, bukan kesejahteraan rakyat yang dipanggul, tetapi ambisi pribadi untuk menguasai dan menikmati kebun mawar kekuasaan.

Yogyakarta kelabu

Kalau ketiga Bung Besar (Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir) masih hidup, saya yakin mereka akan marah dengan sebagian generasi sekarang yang dalam mengambil keputusan cenderung mengabaikan sejarah. Bung Karno pasti akan berteriak, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah)!”

Demikian juga dengan kasus keistimewaan Yogyakarta. Jika kita hanya bertumpu pada UUD 1945 hasil amandemen (apalagi sampai saat ini masih ada kekuatan yang tak mengakui hasil amandemen itu), sulit untuk tidak mengatakan, kita mengabaikan fakta sejarah. Sikap ini bisa menambah kekisruhan di bumi Mataram.

Beberapa tokoh senior, termasuk Jusuf Ronodipuro (alm), berkali-kali bercerita kepada penulis bahwa Yogyakarta waktu itu sejatinya adalah wilayah berdaulat penuh. Ia sejajar dengan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan Soekarno-Hatta.

Tapi, karena Sultan Hamengku Buwono IX begitu asketis, darah hidupnya adalah memberi dan bukan menerima, ia memutuskan untuk ”menikah” dengan Republik Indonesia.

Ijab kabul terjadi antara Keraton Yogyakarta dan Republik Indonesia. Maklumat 5 September 1945 mengikat keduanya.

Ketika suatu siang kami bertemu di LP3S, di halaman lembaga penelitian itu, Jusuf Ronodipuro kembali bertutur. Pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), Jakarta masuk ke dalam wilayah Pasundan. Pasukan Siliwangi yang sangat nasionalis geram dengan fakta itu. Mereka akhirnya memutuskan hijrah ke Yogya (sebagai ibu kota Republik Indonesia).

Pendeknya, kata Ronodipuro, Yogya selalu memberi, bukan menerima. Ia adalah utusan yang ditugaskan mengambil kekayaan keraton demi membiayai Republik.

Pusat keliru

Dalam konstruksi seperti itu, penanganan pemerintah pusat terhadap Yogyakarta adalah keliru. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekan Yogyakarta dengan cara mengkritik Sultan. Dikatakan, jika Sultan juga gubernur, lalu nanti maju capres atau cawapres, itu hanya ada dalam ketoprak. Pernyataan seperti ini menyakiti rakyat Yogya.

Situasi diperburuk oleh komentar Bung Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa praktik monarki absolut di Yogyakarta harus diakhiri dan diganti dengan monarki konstitusional. Ini problematik.

Siapa pun yang belajar ilmu politik pasti tahu bahwa tidak ada model kekuasaan seperti itu di Yogya. Ketika menikahkan anaknya saja, kadonya diperiksa oleh KPK, bagaimana bisa dikatakan monarki absolut. Ini belum lagi kalau eksistensi DPRD dan bekerjanya sistem pemerintahan ikut diperhitungkan.

Cara penanganan yang demikian, termasuk menggantung RUUK DIY selama ini, kontras dengan cara penanganan daerah konflik lain, utamanya Papua dan Aceh. Yang memberontak diperlakukan sangat lembut, sebaliknya, yang berperilaku baik diperlakukan kasar.

Oleh sebab itu, bisa dipahami jika rakyat Yogya akhirnya merasa dizalimi pemerintah pusat. Ini bisa diidentifikasi dari semakin naiknya eskalasi kelompok-kelompok masyarakat yang meminta Pisowanan Ageng (rakyat menghadap Sultan) segera mungkin. Mereka ingin menyatukan hati, menentukan sikap.

Karena semangat untuk menerima (bukan memberi) menyempitkan sudut pandang, kecenderungan kita untuk melupakan sejarah menjadi sangat dominan. Jika pemerintah pusat tak hati-hati menangani Yogyakarta, keputusan politik yang diambil bisa-bisa merupakan ajakan cerai (talak).

Kalau itu yang terjadi, Maklumat 5 September 1945 tak berlaku lagi. Artinya, dalam bahasa pokrol bambu, Yogya menjadi janda atau duda. Bebas.

Jika itu terjadi, saya hanya bisa menangis kepada Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Jika ada Sultan Hamengku Buwono IX di situ, mungkin beliau akan berkata, ”Sabarlah, Gusti ora sare.”

RUU Pilpres Tak Bisa "Dagang Sapi"


Alot, Syarat Pengajuan Capres

Senin, 29 September 2008 | 00:30 WIB

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa didasari ”dagang sapi”. Jika itu yang terjadi, rumusan ketentuan dalam undang-undang pun akan terlihat mengada-ada sehingga hanya punya dimensi kepentingan jangka pendek.

Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mohammad Fajrul Falaakh, di Jakarta, Sabtu (27/9), menyebutkan, pembahasan RUU Pemilu senantiasa lekat dengan nuansa ”dagang sapi”. Ketentuan dirumuskan oleh partai politik dengan hanya berpijak pada kepentingan masing-masing pihak dengan klausul yang bisa saling ”dipertukarkan”.

Akibatnya, muncullah ketentuan-ketentuan yang ”lucu”, yang jika tidak dimuat dalam undang-undang pun sebetulnya tidak masalah. ”Seperti soal sanksi pidana jika calon mundur itulah,” ucap Fajrul.

Fajrul menunjuk pada ketentuan pidana RUU Pemilu Presiden yang telah diselesaikan Tim Perumus pekan lalu. Setiap calon presiden atau wakil presiden dan juga pimpinan parpol atau gabungan parpol yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah tahap penetapan calon sampai dengan pemungutan suara putaran pertama diancam pidana 24-60 bulan dan denda Rp 25 miliar-Rp 50 miliar.

Sementara calon yang dengan sengaja mundur setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan putaran kedua diancam pidana penjara 36-72 bulan dan denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman serupa juga diberlakukan kepada pimpinan parpol atau gabungan partai politik.

Menurut Fajrul, ketentuan itu tidak ada artinya. Sangat kecil kemungkinan ada parpol atau calon yang sengaja menarik diri dari pencalonan pada pemilu presiden. ”Daya tarik di pemilu presiden terlalu besar, beda dengan pilkada,” kata Fajrul.

”Siasat” parpol

Pembahasan RUU Pemilu Presiden untuk sementara berhenti seiring dengan liburan Idul Fitri. Masih terdapat dua materi yang mesti diselesaikan dalam forum lobi antara pimpinan parpol dengan pemerintah, yaitu soal syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan pasangan calon; dan ketentuan mengenai jabatan di parpol bagi calon presiden dan wakil presiden terpilih.

”Siasat” lain yang layak ditunggu dalam pembahasan nanti adalah cara pengambilan keputusan atas dua materi tersisa itu.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Sjarif Hasan, misalnya, mengusulkan agar keduanya diputuskan dalam satu paket pilihan.

Sebaliknya, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin menolak sistem paket karena kedua materi tersebut merupakan hal terpisah. Taktik pembahasan tersebut tak bisa dipisahkan dari upaya mengegolkan rumusan masing-masing.

Jika merujuk pada lobi pekan lalu, praktis hanya Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memiliki pandangan yang senada, yaitu syarat pencalonan yang ”berat” dan calon presiden-wakil presiden terpilih tidak harus mundur dari jabatan sebagai pimpinan parpol.

Jika dua materi krusial dipaketkan, terkesan ada upaya untuk ”mengeroyok” kedua fraksi tersebut.

Sebanyak delapan dari 10 fraksi DPR sebenarnya telah sepakat bahwa calon terpilih mesti mundur dari jabatan di parpol.

Sebagian dari delapan fraksi tersebut, seperti Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional, mengusulkan agar pasangan calon presiden atau wakil presiden dapat dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang punya 15 persen kursi atau 20 persen suara hasil pemilu anggota DPR, sebagaimana klausul dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 mengenai Pemilu Presiden yang sebenarnya belum pernah diterapkan. (dik)

Minggu, 28 September 2008

“Negara Lemah” versus “Preman”

Oleh Iqrak Sulhin*


Ada buku menarik dari Josepth Stiglitz* berjudul State Building (versi Indonesianya berjudul Memperkuat Negara) yang terbit tahun 2006. Di dalam buku ini, Stiglitz menjelaskan bagaimana positifnya korelasi antara negara yang lemah dan munculnya sejumlah masalah sosial.

Indikasi kuat atau lemahnya negara dilihat dari apa yang disebutnya sebagai state function (fungsi negara) dengan state capacity (kapasitas negara). Relasi antara keduanya akan menempatkan suatu negara dalam salah satu dari empat kuadran. Ringkasnya, negara yang kuat atau bisa dikatakan sukses adalah negara yang memiliki kapasitas yang kuat, baik dengan fungsi yang banyak maupun sedikit.

Kapasitas negara adalah sejauh mana negara mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam konteks pembangunan sosial, kapasitas negara diperlihatkan oleh kemampuan negara memenuhi hak-hak dasar secara proporsional dengan anggaran belanja negara. Dalam konteks penegakan hukum diindikasikan dengan konsistensi negara umumnya dan aparatur penegak hukum khususnya dalam menegakkan hukum dan menciptakan kepastiannya. Untuk yang terakhir ini, Stiglitz melihat munculnya terorisme sebagai indikasi lemahnya kapasitas negara dalam pencegahan kejahatan dan penegakan hukum.

Secara mengejutkan, upaya mempertahankan demokratisasi dan good governance process di Indonesia dicederai oleh tindakan "preman", sekaligus mengindikasikan masih rendahnya kapasitas negara dalam penegakan hukum.

Momen kelahiran Pancasila 1 Juni yang digunakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) untuk internalisasi nilai toleransi beragama dan kepercayaan justru diakhiri oleh kekerasan "preman" beratribut Front Pembela Islam (FPI). Seakan tidak menerima dengan aktivitas dari aliansi yang di dalamnya juga tergabung organisasi ke-Islam-an, kelompok "preman" tersebut justru melakukan pembubaran paksa dengan kekerasan dan makian.

Banyak Alternatif
Dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan negara bila tindakan premanisme ini terjadi saat Orde Baru masih berkuasa. Alih-alih sampai melakukan kekerasan, keberadaan kelompok "preman" itu sendiri mungkin sudah diberangus sebelumnya. Tentu saja cara-cara yang dilakukan oleh negara versi Orde Baru tidak diharapkan lagi. Selain jauh dari cita-cita demokrasi, tindakan keras negara justru potensial menciptakan kejahatan yang lain dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Banyak alternatif lain dalam menciptakan order (ketertiban). Salah satu yang utama adalah kepastian dalam penegakan hukum. Dalam hal ini diperlihatkan oleh konsistensi penindakan aparatur penegak hukum terhadap segala macam tindakan melawan hukum, serta kepastian akan penjatuhan hukuman meskipun kadar dari hukuman itu tidak berat.

Dalam perkembangan filosofi penghukuman, ada anggapan bahwa hukuman yang berat akan menciptakan jera (deterrence). Seperti penjatuhan hukuman mati. Namun, penelitian justru memperlihatkan bahwa kepastian penindakan dan penjatuhan hukuman-lah yang lebih potensial menciptakan jera, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak berat. Seperti yang dipraktikkan di sejumlah negara maju bagaimana jelas dan pastinya konsekuensi hukum hanya atas perilaku membuang sampah sembarangan.

Terkait dengan apa yang telah dilakukan oleh kelompok dengan atribut FPI terhadap AKKBB, negara (dalam hal ini diwakili oleh aparatur penegak hukum) seharusnya menyadari bahwa tindakan yang dilakukan tersebut bukanlah yang pertama kali. Hingga kini publik mungkin tidak pernah mendengar adanya upaya evaluasi terhadap keberadaan organisasi masyarakat yang justru kontraproduktif terhadap ketertiban bersama.

Di alam demokrasi, keberadaan organisasi masyarakat justru diperlukan. Namun, ketidakkonsistenan negara dalam penegakan hukum justru membuat organisasi-organisasi tersebut menaikkan statusnya sebagai pengganti negara, dan merasa legitimate untuk melakukan kekerasan atas nama klaim kebenaran. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ketegasan dan kepastian penegakan hukum, sangat mungkin tindakan serupa kembali terjadi di masa datang.

Oleh karena itu, beberapa hal perlu segera dilakukan untuk memperbaiki kapasitas negara dalam penegakan hukum. Pertama, untuk jangka pendek terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok beratribut FPI tanggal 1 Juni tersebut, Kepolisian harus bertindak tegas dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengembalikan kewibawaan hukum yang sangat jelas dilecehkan melalui tindakan premanisme. Kepolisian harus berani menindak secara tegas serta menyeret pelaku ke pengadilan. Hal ini juga didukung oleh Presiden dalam konferensi persnya pasca-kejadian.

Kedua, Kepolisian juga harus mengusut hingga pada indikasi keterkaitan kelompok tersebut dengan FPI karena jelas atribut organisasi ini digunakan dalam tindakan kekerasan tersebut. Dalam hal ini, sebagai sebuah organisasi dengan menurut pendirinya ditujukan untuk amar ma'ruf, FPI harus berani mempertanggungjawabkan adanya anggota FPI yang terlibat dalam kekerasan tersebut. Jikapun berkilah bahwa mereka yang terlibat bukan anggota FPI, organisasi ini tetap harus menjelaskan tentang keberadaan begitu banyak atributnya saat kejadian. Negara juga perlu melakukan evaluasi terhadap keberadaan organisasi kemasyarakatan yang cenderung bertindak dengan kekerasan.

Ketiga, analisis terhadap gejala premanisme semacam ini tidak terlepas dari konteks yang lebih makro. Khususnya terkait dengan kebijakan kriminal oleh negara. Secara teoritis, di tengah ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan permasalahan sosial akan selalu muncul "kekuatan alternatif". Di satu sisi, dapat berdampak positif, namun di sisi lain ada yang berpotensi negatif. Terkait dengan hal ini, secara mendasar yang perlu diperhatikan adalah konsistensi dan kepastian kebijakan dari negara. Bukan dalam bentuk pemberian hukuman sangat berat di atas kertas yang minim realisasi. Melalui konsistensi dan kepastian ini negara akan kembali meningkatkan kapasitasnya sekaligus menjadi negara yang kuat. Masih terkait dengan hal yang ketiga, negara harus mulai mempersempit ruang gerak "kekuatan alternatif" ini dengan responsif terhadap tuntutan masyarakat.

Keempat, mendorong negara untuk memediasi perbedaan-perbedaan di masyarakat. Dalam hal masalah Jemaah Ahmadiyah, misalnya, negara harus mampu memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa terlepas dari klaim sesat, setiap kepercayaan atau spiritualitas harus dilindungi eksistensinya.

Terakhir, elite atau tokoh yang berpengaruh dalam kelompok-kelompok yang sangat mungkin bersinggungan pascaperistiwa tersebut agar dapat menahan diri serta para anggota kelompoknya untuk kepentingan bersama.

*Penulis adalah Kriminolog UI

(Suara Pembaruan, Selasa 3 Juni 2008)

*Ralat dari Iqrak Sulhin.

Admin www.wahidinstitute.org yang saya hormati.Saya ingin menyampaikan materi ralat atas tulisan saya berjudul "Negara Lemah" versus "Preman" yang dimuat dalam website ini. Ada kekeliruan dalam pengutipan, seharusnya penulis buku State Building tersebut bukan Josepth Stiglitz, namun Francis Fukuyama.

Mohon dapat diralat. Atas kekeliruan ini, SP sudah memuat materi ralat satu hari setelah artikel ini dimuat. Namun demikian, secara substansi tidak ada masalah.

Mungkinkah Jarum Jam Otoriter Kembali?


Selasa, 23 September 2008 - 19:38 wib

Endang Purwanti - Okezone


Masih segar dalam ingatan kita, ketika gemuruh suara aktivis mahasiswa mengepung DPR/MPR pada 1998 lalu. Lengkingan teriakan mundur untuk Soeharto, sang presiden 'abadi' di republik ini berhasil membuat tirani orde baru rubuh.

Aksi mahasiswa ini mengulang sejarah bangsa pada 1966 lalu. Ketika republik yang dikuasai pemimpin diktator, Soekarno bersama para pembantu setianya membuat tembok gading sehingga kekuasaan tak bisa disentuh rakyat. Padahal, rakyatlah yang memberi mandat kepada pemimpin.

Tak heran jika mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat bangkit marah, tak percaya lagi dengan lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya menjadi wakil mereka dalam menjalani roda pemerintahan. Sebab bukan tak berdasar, saat tiran berkuasa, sudah menjadi rahasia umum bila institusi yang disebut wakil rakyat ini kerjanya hanya "tidur" karena bekerja untuk sang presiden dengan dalih asal bapak senang, tanpa memperhatikan nasib wakil mereka.

Akhirnya, mau tak mau, aktivis mahasiswa pun menyingsikan tangan berdiri melawan menegakan hak-hak rakyat yang telah terlupakan oleh eksekutif dan legislatif. Dan rezim Soekarno pun runtuh berganti rezim Soeharto.

Kisah ini kemudian berulang dan berulang. Rezim Abdurahman Wahid pun turut mencicipi 'ulah' aktivis mahasiswa ini, sehingga ia lengser dari Istana Negara.

Dan saat roda waktu berputar untuk semua moment yang menimpa rakyat, pada akhirnya aktivis mahasiswa selalu terdepan menyuarakan rakyat. Sebab terbukti, wakil rakyat mereka di legislatif bak macan ompong.

Namun, hari-hari kemesraan antara mahasiswa dan aktivis dengan pemerintah sebagai pihak terkritik ternyata tidak abadi. Sejak 2007 lalu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla mulai memperlihatkan taringnya.

Para mahasiswa dan aktivis yang melakukan aksi demo, kemudian diciduk polisi. Kasus yang paling mencolok adalah ketika mahasiswa dan aktivis berdemo untuk memprotes naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) pada Mei lalu kepada pemerintah.

Polisi menangkap beberapa aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Temu Alumni Lintas Generasi (tali Geni) saat melakukan aksi menolak BBM. Beberapa diantaranya hingga kini masih ditahan di Polda Metro Jaya.

Penahanan selanjutnya dilakukan polisi terhadap Sekjen Komite Bangkit Indonesia (KBI) Ferry Juliantono (FY). FY kemudian menjadi tersangka sebagai otak aksi demo penolakan kenaikan BBM berakhir rusuh di depan DPR, 24 Juni lalu.

Ketua Umum KBI Rizal Ramli juga menjadi sasaran polisi selanjutnya. Bahkan, Rizal yang semula hanya menjadi saksi pada kasus FY, oleh Bareskrim Mabes Polri kini sudah diarahkan sebagai tersangka.

Bahkan, Rieke 'Oneng' Dyah Pitaloka, aktivis yang juga bersuara keras, sejak Senin 22 September dan pada 25 September mendatang akan diperiksa Bareskrim sebagai saksi pada kasus kenaikan BBM.

Hal tersebut tentu membuat para aktivis gerah. Juru bicara Tali Geni sebelumnya mengatakan, kondisi yang diciptakan SBY-Jk mulai mengarah pada otoriter. Artinya, reformasi yang telah berjalan sejak 10 tahun lalu, mulai akan dibungkam kembali.

Rizal Ramli dalam pertemuannya dengan tokoh reformasi Amien Rais berceloteh bahwa embrio pemerintahan otoriter kembali lagi.

"Istilah kami 'baby orba'," kata Rizal di kediaman Amien Rais, Komplek Taman Gandaria Blok C Nomor 1, Jakarta Selatan, Selasa (23/9/2008).

Tetapi, memang cukup dimaklumi ketakutan yang dihadapi para aktivis ini. Sebab, dalam rumusan yang terukir pada buku sejarah negara-negara, arah putaran jarum sejarah dimungkinkan akan kembali setelah beberapa dekade pemerintahan yang berlangsung. Termasuk setelah mencicip sistem liberalisme.
(enp)

Sabtu, 27 September 2008

Demokrasi Bengkok


Sabtu, 27 September 2008 | 00:46 WIB

Sekadar menyegarkan ingatan, edisi terakhir rubrik ini menyarankan parpol—terutama Golkar dan PDI-P—menetapkan capres-cawapres internal. Capres Jusuf Kalla berduet dengan cawapres Agung Laksono dan Megawati Soekarnoputri dengan Pramono Anung.

Sistem ini meniru yang dilakukan Golkar yang mencalonkan wapres internal mendampingi Pak Harto. Semua wapres orang Golkar: Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan BJ Habibie.

Kabinet-kabinet Pembangunan didominasi politisi, teknokrat, dan pati aktif/purnawirawan yang terafiliasi dengan Golkar. Satu-dua tokoh non-Golkar dari PDI dan PPP kadang dijatahi pos kabinet yang kurang strategis.

Cara ini biasa dipraktikkan dalam sistem presidensial. Salah satu pertimbangan Pak Harto adalah membentuk pemerintahan yang kuat sekaligus mengoreksi kelemahan kabinet-kabinet Bung Karno.

Bung Karno menampung tiap aspirasi, politik aliran, golongan, maupun parpol. Ia adalah penemu koalisi ala Nasakom yang semu dan menginstitusionalkan lembaga utusan golongan di DPR—tradisi yang dilanjutkan Pak Harto.

Itu sebabnya kabinet parlementer/presidensial Bung Karno mudah jatuh-bangun. Koreksi Pak Harto mengenai sasaran karena hegemoni Kabinet Pembangunan melancarkan mesin pemerintah dalam pelaksanaan Repelita.

Para pemimpin di negeri ini, sekali lagi, perlu mempertimbangkan asas the winner takes all itu pasca-Pemilu/Pilpres 2009. Kadang kala ”cara berpikir di luar kotak” dibutuhkan untuk mengakhiri lingkaran setan politik.

Alangkah idealnya andai kemenangan Golkar di Pemilu 2009 disusul sukses duet Jusuf Kalla-Agung Laksono di Pilpres 2009. Kabinet yang didominasi Golkar akan bekerja tanpa gangguan.

Idem ditto dengan kemenangan PDI-P di Pemilu 2009 yang idealnya diikuti sukses Megawati-Pramono di Pilpres 2009. Toh kader-kader dua parpol besar itu siap menjalankan fungsi menteri yang notabene hanya jabatan politik.

Nah, entah apa ada hubungannya atau tidak dengan asas the winner takes all, muncul pernyataan berbagai tokoh—termasuk Jusuf Kalla dan Wiranto—tentang pentingnya koalisi. Maaf, rakyat bosan dan traumatis mendengar kata ”koalisi”.

Pertama, citra koalisi tercemar dan tujuan pembentukannya yang sesungguhnya mulia ternyata meleset. Lihat prestasi Kabinet Pelangi atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang pas-pasan.

Ambil sebuah contoh: dibutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk menggantikan tiga menteri KIB. Selain rugi waktu, biaya, dan tenaga, terjadi juga stagnasi yang menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Masih segar dalam ingatan ingar-bingar koalisi ala Poros Tengah. Tujuannya tak lebih dari upaya jegal-menjegal saja.

Koalisi gaya Orde Reformasi tak relevan lagi karena masalah ideologi sudah selesai. Keberagaman parpol telah disederhanakan dan telanjur membentuk politik aliran ”nasionalis-religius” (atau ”religius-nasionalistis”), titik!

Tak ada parpol yang berhak lagi menyebut diri mewakili satu politik aliran tertentu. Pada praktiknya, semua parpol bersifat inklusif bagi tiap warga tanpa memandang suku, agama, dan ras.

Gagasan koalisi, apakah pernikahan PDI-P dengan PKS atau ”hijau dengan merah” hanya upaya transaksional demi meningkatkan posisi tawar. Begitu koalisi terbentuk dan kekuasaan direbut, mereka lupa kepentingan rakyat.

Apalagi jika gagasan pembentukan koalisi datang dari, maaf, parpol ”nol koma”. Mereka cuma free riders yang ingin menikmati posisi eksekutif/legislatif yang berlimpah fasilitas.

Tak mengherankan jika ada saja politisi yang hobi gonta-ganti parpol menjelang penyelenggaraan pemilu/ pilpres. Tak sedikit yang berspekulasi membentuk parpol ”baru tapi lama” atau, sebaliknya, mendirikan parpol ”lama tapi baru”.

Koalisi yang ideal KK (Koalisi Kebangsaan) yang dua kali dimaklumatkan Golkar dan PDI-P. Gagasan pertama pembentukan KK muncul setelah SBY-JK memenangi Pilpres 2004, yang kedua di Medan tahun lalu.

Mengapa ideal? Sebab, kedua parpol yang menduduki peringkat pertama dan kedua Pemilu 2004 itu menguasai mayoritas DPR.

Jika mereka mempraktikkan asas posisi loyal di DPR, checks and balances terhadap pemerintahan SBY-JK berjalan efektif. Efektivitas ini menjamin terselenggaranya demokrasi yang sehat dan bermanfaat bagi bangsa.

Itu yang dipraktikkan negara demokratis, seperti AS (Amerika Serikat) dan Inggris. Di sini yang lebih sering terjadi justru upaya pembengkokan demokrasi.

Kabinetnya ”berkelamin ketiga” karena mencampuradukkan sistem presidensial dengan parlementer. DPD-nya bergaya federalistis, padahal bentuk negaranya yang mendewakan persatuan malah anti terhadap konsep federalisme.

Andai saja demokrasi makhluk yang bisa berbicara, ia akan bertanya, ”Kalian itu maunya apa?” Itu sebabnya sering muncul pertanyaan apakah bangsa ini sudah benar-benar siap berdemokrasi?

Sebab, praktik demokrasi di negeri ini sekadar menjadi jalan pintas. Kita mau cepat-cepat sampai di tujuan, nyatanya malah kesasar saat masuk jalan pintas yang bersemak belukar.

Sebuah prinsip hidup yang penting mengatakan ”kembalilah ke jalan yang benar”. Untuk itu, berhentilah bicara berbusa-busa soal koalisi karena ia sudah jadi barang basi.

Hari Demokrasi Internasional

Oleh: Azyumardi Azra

Tak ragu lagi, salah satu tendensi dinamika politik pada masa pascaperang dingin adalah meningkatnya pertumbuhan demokrasi. Beberapa gelombang demokrasi sejak saat itu sambung-menyambung; menimbulkan perubahan politik dramatis dari otoritarianisme menjadi demokrasi di banyak negara. Dan, ini tidak terkecuali Indonesia, yang dengan berakhirnya kekuasaan presiden Soeharto pada Mei 1998 memunculkan reformasi politik berupa demokrasi.

Mengingat pertumbuhan demokrasi yang cepat dan fenomenal itu, tidak mengherankan jika PBB dalam Sidang Umum ke-62, 15 September 2008, menetapkan 15 September itu sebagai Hari Demokrasi Internasional pertama, yang selanjutnya dirayakan setiap tahunnya. Penetapan Hari Demokrasi Internasional ini berkaitan pula dengan peringatan 20 tahun Konferensi Internasional Pertama tentang New or Restored Democracies yang diselenggarakan di Manila, Filipina, pada 3-6 Juni 1988, yang memainkan peran penting dalam mendorong penguatan dan pertumbuhan demokrasi di berbagai negara.

Meski demokrasi tumbuh dengan sangat cepat, PBB menyadari bahwa demokrasi masih perlu dipromosikan dan dikonsolidasikan. Apalagi, masih ada kalangan masyarakat dunia yang mempersoalkan demokrasi, misalnya dengan menganggap demokrasi tidak relevan dengan kehidupan mereka atau demokrasi merupakan sistem politik asing yang berasal dari Barat yang tidak cocok dengan kehidupan mereka.

Merespons persepsi semacam itu, Resolusi Majelis Umum PBB No 62/7 yang menetapkan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional menyatakan, ''Demokrasi adalah sebuah nilai universal berdasarkan keinginan rakyat yang diekspresikan secara bebas untuk menentukan sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, dan kultural mereka sendiri serta partisipasi penuh dalam seluruh aspek kehidupan mereka.'' Lebih jauh, demokrasi-demokrasi memiliki ciri-ciri umum yang dimiliki bersama, tetapi pada saat yang sama juga tidak ada satu model demokrasi tertentu. Demokrasi juga tidak terkait dengan negara atau kawasan tertentu.

Dalam kaitan itu, Resolusi PBB itu menegaskan kembali UN Charter yang meletakkan berbagai prinsip dan tujuan yang relevan, yang mengakui bahwa HAM, ketentuan hukum, dan demokrasi saling berkaitan dan sama-sama memperkuat satu sama lain. Dan, tak kurang pentingnya adalah demokrasi, pembangunan, dan respek terhadap HAM dan kebebasan fundamental juga saling terkait dan memperkuat satu sama lain.

Saya beruntung ikut terlibat dalam sebuah 'percakapan meja bundar' menyambut Hari Demokrasi Internasional itu di New York pada 12 September 2008. Percakapan ini diselenggarakan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), UNDP, dan UN DPA dengan menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pemikir dan aktivis demokrasi terkemuka di berbagai penjuru dunia.

'Percakapan meja bundar' ini bertitik tolak dari kepedulian tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan, sebaliknya antara pembangunan dan demokrasi. Memang, dalam beberapa kasus, pertumbuhan demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Bahkan, terlihat demokrasi yang memunculkan berbagai konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences) dan ekses-ekses telah menghambat pembangunan. Kasus ini terlihat jelas, misalnya, dalam pengalaman Indonesia di masa sepuluh tahun penerapan demokrasi multipartai yang mengakibatkan terjadinya 'pelambatan'' dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Sebaliknya, pembangunan ekonomi dan sosial yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak selalu seiring dengan peningkatan demokrasi. Bahkan, terdapat gejala, pembangunan ekonomi dan sosial yang sukses ternyata diselenggarakan pemerintahan-pemerintahan yang tidak demokratis atau otoriter, yang tidak selalu memberikan ruang memadai bagi demokrasi dan kebebasan. Lagi-lagi, Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soeharto menjadi contoh kasus yang baik di mana pembangunan ekonomi dan sosial yang pesat tidak disertai pertumbuhan demokrasi memadai.

Karena itu, idealnya pertumbuhan demokrasi haruslah simultan dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Para pembicara dalam 'percakapan meja bundar' sepakat bahwa demokrasi haruslah tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri; demokrasi hanyalah alat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin, dan menganggur membuat demokrasi tidak bisa tumbuh dan bekerja dengan baik.

Karena itu, berbagai cara haruslah dilakukan untuk menyempurnakan demokrasi sehingga tidak kontraproduktif bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Penyempurnaan demokrasi itu bisa dalam bentuk penataan kembali kelembagaan demokrasi sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan efektif yang dapat menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan sosial secara baik dan berkesinambungan demi kesejahteraan rakyat. Sekali lagi, dengan rakyat yang sejahtera, demokrasi bisa kuat dan efektif.

Politik Jenang dan Jeneng

Surwandono
Dosen Fisipol UMY, Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM

Adalah seorang Mbah Maridjan yang memperkenalkan istilah unik jenang dan jeneng ketika menanggapi hasrat Sri Sultan HB X untuk menjadi salah seorang kandidat dalam pilpres 2009. Tampaknya nalar Mbah Maridjan ini menarik untuk didesiminasikan kepada calon-calon elite yang sekarang sedang mengalami halusinasi dan berimajinasi untuk menjadi elite.

Banyak bakal calon elite sepertinya tidak memiliki sense yang tepat tentang konsep jenang dan jeneng secara baik sehingga lahirlah beragam tradisi anarkisme politik dan kebuntuan kesejahteraan. Memang unik, kata jenang dan jeneng yang membedakan hanya satu vokal, yakni pengubahan vokal a menjadi e. Namun, jika dikaji dengan sangat mendalam terdapat perbedaan makna yang signifikan.

Dalam pandangan Mbah Maridjan, konsep politik jenang dan jeneng sulit dikompromikan satu sama lain. Penentuan pilihan terhadap salah satunya akan
berimplikasi negatif pada konsep lainnya. Misalkan, seseorang jika memilih politik jenang, orang tersebut harus merelakan dirinya untuk dikritik sedemikian rupa, alias politik jenengnya akan mengalami kemerosotan dari level yang paling kecil sampai paling akut.

Sebagai kompensasinya, seseorang yang memilih politik jenang akan mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Misalnya dalam ungkapan Jawa, dapat takhta, wanita, turangga, dan raja koyo lainnya (kekuasaan, wanita, kuda (tunggangan), ataupun harta kekayaan lainnya.

Jika seseorang memilih politik jenang, keniscayaan untuk jauh dari pola kehidupan kekuasaan duniawi yang menyenangkan, tetapi mampu mereguk kenikmatan kemanusiaan dengan harumnya nama diri, dihormati, dicintai oleh masyarakat. Semisal dalam ungkapan lakon wayang tecermin dalam karakter Semar, orang tua dari para punokawan Pandawa.

Sebenarnya Semar merupakan seorang elite politik Kahyangan, tetapi dia lebih memilih politik jeneng sebagai punokawan (abdi) bagi tumbuh dan berkembangnya generasi terbaik bangsa, Pandawa. Dalam pandangan Semar, Pandawa harus dirawat dan dibekali dengan nilai-nilai adiluhung agar tatkala Pandawa mendapatkan kekuasaan bisa menjalankan amanah kekuasaan dengan baik.

Pandawa adalah antitesis kekuasaan dari Kurawa yang sering kali mempertunjukkan kekuasaan sebagai fenomena adigang, adigung, adiguna (kekuasan yang dipenuhi dengan nafsu kesombongan dan keserakahan) yang penuh dengan tradisi jenang. Dalam kurun waktu sebulan terakhir, telah digelar pilkada di seantero negeri, dari Jawa Barat, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Jika merunut dari pola pikir Mbah Maridjan, politik demokrasi melalui pilkada, pemilu, dan pilpres adalah cerminan politik jenang ataupun kekuasaan.

Debat jenang dan jeneng
Debat klasik antara jenang dan jeneng sebenarnya sudah terjadi sangat masif dalam dua kitab klasik, Machiavelli dengan Sang Pangeran (I'll Prince) dan Al-Mawardi dengan Hukum-Hukum Pemerintahan (al-Ahkam al Sultaniyyah). Kedua buku ini lahir sebagai respons terhadap pertanyaan penguasa tentang bagaimana mengelola kekuasaan yang paling baik.

Dalam pandangan Machiavelli, penguasa yang baik yang ditakuti oleh rakyatnya. Jika negara lebih kuat terhadap rakyat maka tertib sosial-politik akan tercipta sehingga dengan jalan inilah akselerasi kekuasaan bisa digulirkan dengan baik. Maka dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa harus mencitrakan diri sebagai srigala bagi penduduknya.

Jelas dengan logika Machiavelli bahwa jeneng atau citra diri bukanlah sesuatu yang harus dijaga. Kekuasaan memang untuk kekuasaan, kekuasaan bukan untuk citra diri.

Sangatlah berbeda dengan pandangan al-Mawardi bahwa sebaik-baik penguasa adalah pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, pemimpin yang hangat dan artikulatif terhadap kebutuhan publik. Untuk mengendalikan perilaku rakyat, penguasa tidaklah harus lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat, kekuatan citra diri atau jeneng lebih substantif dibandingkan jenang.

Penguasa harus mampu menundukkan kekuatan rakyat dengan kekuatan persuasif dibandingkan dengan kekuatan represif. Rakyat diatur dengan penciptaan kelembagaan yang akuntabel dibandingkan dengan pendekatan tiranik.

Kompromi
Dalam pandangan penulis, politik jenang dan jeneng tidaklah harus didikotomikan sebagai sesuatu yang sifatnya hitam putih, bahwa politik jenang pasti berkait dengan keburukan dan politik jeneng pasti berkonotasi terhadap kebaikan. Ada sebuah sinyal yang menarik dalam hadis Rasulullah: ''Ada seseorang yang kelihatannya ahli surga sesungguhnya ia adalah ahli neraka, tetapi ada seseorang yang kelihatannya ahli neraka, tetapi sesungguhnya adalah ahli surga.''

Yang paling penting dilakukan adalah istiqamah dan konsistensi dalam menjalankan amanah kekuasaan. Kalau seorang pemimpin terlampau berhati-hati mengambil kebijakan demi mempertahankan citra diri, yang berakibat kepada lumpuhnya sistem masyarakat, pilihan mendahulukan politik jeneng adalah pilihan yang salah.

Tidak menutup kemungkinan pilihan politik jenang yang terkadang tidak populis, terkesan diri sendiri dan merugikan masyarakat sebenarnya obat mujarab bagi sehatnya sistem masyarakat. Menumpahkan darah dalam hukum Islam adalah salah dan haram, tetapi dalam kondisi tertentu menumpahkan darah adalah sesuatu yang niscaya bagi masa depan kehidupan seseorang.

Seorang pemimpin harus mengenal gon papan, menempatkan sesuatu sesuai dengan situasi dan kondisi yang memungkinkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang membuat sejahtera orang yang dipimpin dan juga menyejahterakan dirinya. Pemimpin yang buruk yang hanya mampu menyejahterakan dirinya dan tidak mampu menyejahterakan yang dipimpin.

Pembelahan Koalisi: Islam dan Nasionalis

Dr Ali Masykur Musa
Anggota DPR RI dari PKB dan Ketua Umum PP Keluarga Alumni Universitas Jember


Ibarat permainan puzzle. Percaturan politik nasional kini diramaikan oleh bongkar pasang upaya koalisi. Ia dilakukan demi menyongsong hadirnya momen peralihan kepemimpinan nasional (pilpres).

Seiring dengan regulasi pilpres yang masih dalam tahap pembahasan (RUU), komposisi pasangan capres pun telah berkali-kali diujicobakan. Parpol-parpol saling menjajaki satu sama lain. Pelbagai lembaga survei kian mewarnai prediksi popularitas pasangan capres-cawapres.

Di tengah semangat berkoalisi, berkembang wacana tentang idealitas pasangan calon. Ada yang mengemukakan kombinasi tua-muda, Islam-nasionalis, menyatukan poros nasionalis dan membangun poros Islam. Apa yang dapat diamati dari wacana ini? Yang pasti, suara masyarakat berharap adanya capres-cawapres yang dapat membawa angin pembaruan.

Varian koalisi<
Koalisi dalam bentuk apa pun dapat dilakukan sepanjang terjadi titik temu, baik karena ideologi maupun kepentingan. Fakta politik mutakhir kita menyebutkan kecenderungan koalisi hanya sebatas titik temu kepentingan untuk berbagi kekuasaan. Tetapi, apa pun motifnya, sepanjang ia melalui prosedur demokrasi, tak satu pun pihak yang berhak menghalangi.

Dr Rainer Adam dalam The Future Lies In The Middle: The Coalition Management Toolbox menyebut beberapa alternatif koalisi yang dapat dijadikan permisalan untuk konteks Indonesia. Pertama, koalisi kemenangan minimal, yaitu koalisi yang secara matematis memiliki peluang lebih kecil untuk menguasai parlemen. Koalisi ini dilakukan oleh parpol-parpol kecil yang bila berjalan sendiri hanya bagian kecil dari parlemen. Tetapi jika bersatu, ia akan dapat memperoleh suara mayoritas.

Kedua, koalisi besar yang dilakukan oleh parpol terbesar dan paling berpengaruh di parlemen. Parpol-parpol ini memiliki mayoritas besar dan hanya menghadapi sedikit oposisi di parlemen.

Ketiga, koalisi semua partai. Ini koalisi dari semua parpol yang memiliki wakil di parlemen. Koalisi yang unik ini umumnya muncul pada saat terjadi perang atau situasi darurat nasional. Pemerintahan Inggris Raya tahun 1915 adalah contohnya.

Keempat, koalisi multipartai yang terdiri dari dua atau tiga mitra koalisi. Biasanya terjadi di negara yang memiliki keragaman etnis, sosial, bahasa, atau budaya yang luas. Koalisi semacam ini lebih sering terlihat dalam sistem perwakilan proporsional ketimbang dalam sistem berdasarkan distrik.

Koalisi Islam
Selain varian koalisi berdasarkan dukungan, juga perlu dipikirkan adanya koalisi atas atas dasar ideologi. Misalnya, pembelahan koalisi agama dan koalisi nasionalis. Wacana mutakhir bersatunya poros Islam, poros nasionalis, atau perpaduan antara Islam-nasionalis mulai mengemuka. Penjajakan antara PDIP dan PKS contohnya.

Beberapa survei menunjukkan kecenderungan perilaku pemilih menjatuhkan pilihan pada parpol atas dasar agama semakin meningkat. Ini tentu mempunyai arti penting bagi parpol yang berbasis agama, misalnya Islam. Selama ini panggung kepemimpinan nasional masih memosisikan tokoh parpol Islam hanya sebagai variabel kedua. Belum muncul tokoh Islam populis yang menjadi alternatif utama pilihan rakyat.

Dengan peningkatan sense pemilih kepada parpol islam dibutuhkan pergeseran agenda dan paradigma agar semakin menarik perhatian. Mereka yang masih getol berkampanye tentang formalisasi syariah meski mungkin sebatas retorika politik harus digeser lebih ke tengah sejalan dengan pluralisme Indonesia. Setidaknya tiga argumentasi dapat dikemukakan.

Pertama, adanya kesamaan platform dan ideologi. Pakar koalisi mana pun tak akan menyangkal faktor utama efektivitas koalisi adalah kesamaan ideologi. Perbedaan pilihan gerakan justru masing-masing akan melahirkan kekayaan variasi strategi politik. Ideologi dan misi Islam dapat menjadi pemersatu perbedaan fatsun politik.

Kedua, titik temu misi dan kepentingan. Perbedaan gerakan hanyalah variabel sekunder dari orientasi utama berpolitik parpol Islam. Masing-masing harus diingatkan pada visi-misi yang lebih bersifat substansial mengikat emosionalitas Muslim. Di sini diharapkan tumbuh tanggung jawab politik untuk tidak sekadar meraih kekuasaan, melainkan bersama membenahi kondisi keterpurukan mayoritas umat Muslim.

Ketiga, keeratan kultural. Rata-rata parpol Islam secara kultural mempunyai cara kerja dan metode kampanye yang mirip dengan ormas Islam, apakah NU atau Muhammadiyah. Ini menjadi modal kultural yang sangat berharga demi lahirnya koalisi. Hanya saja dibutuhkan sebuah kreativitas baru dengan kombinasi marketing politik lebih modern, baik dalam konteks pemilu maupun kepemimpinan nasional.

Koalisi nasionalis
Kajian Geertz dan Anderson dapat dijadikan prototype pemilih di Indonesia. Karenanya selain adanya poros Islam, juga perlu dibangun poros nasionalis. Setidaknya ini didasarkan pada beberapa pertimbangan.

Pertama, pluralisme Indonesia. Fakta kebinekaan masyarakat niscaya dipelihara dan diberi ruang aspirasi secara politik. Saluran politik ini dilakukan untuk menjembatani keanekaragaman kelompok di atas fondasi nasionalisme. Namun, saluran politik di bawah platform nasionalis yang masih variatif dan tersekat oleh kepentingan kelompok mengakibatkan kran aspirasi akan terhambat.

Untuk itu, parpol-parpol nasionalis dapat berkoalisi atas dasar semangat dan orientasi gerakan yang sama. Pada titik ini terbuka peluang terjadinya koalisi besar dengan adanya dua parpol nasionalis yang kini mendominasi parlemen.

Kedua, ikatan sejarah. Dalam pelbagai babakan sejarah kebangsaan Indonesia selalu terjadi gerbong politik antara kelompok nasionalis dan agamis. Bagi kelompok nasionalis sudah saatnya mencoba menyatukan kembali serpihan historis yang pernah ada. Dengan menyentuh sentimen historis dalam konteks lebih holistik akan terjadi kesepahaman dan pemahaman bersama tentang cita-cita politik nasionalis.

Ketiga, keharmonisan sosial. Munculnya koalisi besar parpol-parpol nasionalis melahirkan harapan baru terjadinya keharmonisan sosial. Mengacu pada aspek visi dan kepentingan nasional, potensi mengislahkan pelbagai kontradiksi sosial terletak pada koalisi nasionalis. Selain minimnya sentimen agama juga lebih fleksibel memasuki pasar pemilih yang sedemikian plural.

Pada akhirnya pembelahan koalisi poros Islam versus poros nasionalis bukan berarti pembelahan bangsa. Hal ini semata-mata untuk menyajikan fakta perpolitikan nasional. Semua terpulang kepada rakyat apakah ikut kepada salah satu poros. Atau, jangan-jangan sesungguhnya masyarakat ingin memadukan keduanya.
Ikhtisar:
- Ada beberapa alternatif koalisi untuk perspektif Indonesia.
- Poros Islam dan Poros Nasionalis sangat mungkin kembali terjadi.

Jumat, 26 September 2008

Ketika Musim Senyum Tiba

Seperti buah rambutan yang mulai memasuki musimnya untuk berbuah, senyum pun memiliki musim tersendiri. Untuk para politisi, saat ini adalah musim ditebarnya senyum-senyum itu.

Tidak usah jauh-jauh mencari di mana musim senyum itu terjadi. Keluar rumah saja sebentar. Perhatikan tiang listrik dan pohon-pohon di sepanjang jalan yang habis sudah batangnya dipaku berkali-kali.

Baliho, poster, spanduk, banner, dan stiker berisi foto dengan pesan sama dari orang berbeda memenuhi ruang publik kita. Meskipun orang yang ditampilkan berbeda, senyum dan pesan yang disampaikan sama.

Pesan yang disampaikan pun hampir sama tergantung musimnya. Menjelang bulan Ramadhan berakhir, kini pesan dengan senyum yang sama adalah terkait Idul Fitri dan kegiatan ikutannya, mulai dari mudik sampai silaturahmi mengirim rantang.

Setelah Idul Fitri nanti berakhir, Natal, tahun baru, dan hari-hari besar yang menjadi perhatian rakyat kebanyakan akan dijadikan ajang menebar senyum yang sama. Musim senyum yang telah tiba ini akan berlangsung terus sampai akhir 2009.

Untuk urusan senyum itu, banyak politisi memperbaiki penampilan fisik mereka. Wajah menjadi agenda utama perbaikan karena akan menjadi tempat senyum itu berada. Beberapa politisi memberi anggaran khusus untuk perawatan wajah, mulai dari pijat muka sampai menghapus identitas yang sempat melekat cukup lama.

Jika gagal memperbaiki penampilan fisik, perbaikan itu tetap diharapkan bisa terjadi. Kecanggihan teknologi telah mempermudah semuanya. Kerut di dahi, bintik hitam di pipi, hingga senyum sinis bisa dimanipulasi.

Dengan rekayasa ini, semua politisi dapat tampil memikat meskipun pada akhirnya terlihat seragam. Apalagi jika kepala para politisi ini telah diberi peci.

Terkait masalah senyum itu, terjadi sejumlah perubahan di Istana Kepresidenan, Jakarta. Di koridor yang mengelilingi taman tengah antara Istana Merdeka dan Istana Negara tidak lagi bisa dijumpai tangis duka atau ratapan nestapa anak-anak korban bencana dari Aceh hingga Papua. Foto penuh cerita itu kini telah diganti semuanya. Wajah-wajah penuh senyum dan terlihat gembira telah menggantikannya.

Sama seperti foto-foto sebelumnya yang telah hilang itu, foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kegiatan menjadi foto utama. Wajah Presiden yang ditampilkan dalam foto-foto itu pun sudah banyak berubah. Ciri khas tahi lalat di dahi kanannya sudah tidak lagi ada. Semua ditampilkan serba sempurna.

Perubahan memang menjadi jualan utama Yudhoyono ketika berkampanye bersama Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004. Tidak adanya duka dan nestapa seperti tergantung di koridor Istana tampaknya akan jadi jualan utama jika pertanggungjawaban lima tahunan diminta. Realitas yang bisa sangat berbeda bisa dijelaskan nanti jika diminta.

Di luar sesuai realitas atau tidaknya baliho, poster, spanduk, banner, dan stiker itu, kita patut gembira melihat senyum dan wajah gembira para politisi kita. Selama ini bukankah mereka lebih ngetop karena sejumlah kasus korupsi atau skandal yang beraneka?

Kita berharap, senyum-senyum sempurna itu merupakan ajakan kepada seluruh rakyat untuk tetap bisa tersenyum menghadapi realitas hidupnya. Diakui atau tidak, telah terjadi banyak perubahan dalam empat tahun terakhir ini.

Perubahan yang dirasakan rakyat bersama-sama adalah naiknya harga bahan bakar minyak sampai tiga kali. Perubahan lain adalah semakin susahnya mencari minyak tanah yang menjadi andalan ibu-ibu di dapur puluhan tahun lamanya.

Perubahan ini membuat rakyat semakin sulit tersenyum. Hadirnya senyum para politisi moga-moga disambut senyum serupa oleh rakyat pemilik suara. (WISNU NUGROHO)

Pamor Partai Islam Anjlok

Jumat, 26 September 2008, 09:24:50 WIB

Laporan: M. Istijar Nusantara

Jakarta, myRMnews. Ini sebuah warning untuk pengurus partai berbasis Islam.

Soalnya, popularitas partai politik (parpol) berbasis Islam diprediksi sulit bersaing dengan parpol berbasis Pancasilais pada Pemilu 2009.

Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, publik cenderung memilih parpol Pancasilais karena dinilai memiliki program yang rasional dibandingkan parpol Islam.

Survei LSI terhadap 1.239 warga muslim di 33 provinsi itu menyebutkan, konteks keislaman partai ternyata tidak berpengaruh pada pilihan publik.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar yang konteks keislamannya hanya 2 dan 3 persen ternyata dipilih masing-masing 19 persen dan 18 persen oleh pemilih yang beragama Islam tersebut.

Hal itu berbanding terbalik dengan raihan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang notabene berbasis Islam. PKS yang dinilai memiliki konteks keislaman sebesar 20 persen hanya mendapat 7 persen suara dari pemilih. Sementara itu, PKB yang mendapat angka 18 persen sebagai parpol terbesar kedua berbasis Islam hanya memperoleh lima persen suara.

Direktur LSI Dodi Ambardi menyatakan, kecenderungan tersebut disebabkan publik semakin rasional dan cerdas dalam memilih parpol.

Menurut Dia, secara electoral dan partisan, publik menilai tidak ada kaitan yang cukup antara konteks keislaman dan kompetensi partai.

''Ini disebabkan persepsi keislaman dan kompetensi partai berbeda dan terpisah, tidak ada hubungan,'' kata Dodi saat memaparkan hasil survei di sekretariat LSI, Menteng, Jakarta.

Buktinya, ketika ditanya kaitan antara parpol Islam dan program mereka untuk kesejahteraan rakyat, 20 persen publik lagi-lagi memilih PKS sebagai parpol paling Islam.

Namun, kepercayaan publik bahwa PKS mampu memberikan program yang menyejahterakan masyarakat hanya mendapat enam persen. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada Golkar dan PDIP yang bersaing ketat dengan raihan kepercayaan dari publik masing-masing 15 dan 14 persen.

Dalam hal ini, hasil survei tersebut menjadi penegasan bahwa sejak 1955, kepercayaan publik terhadap parpol Islam tidak mengalami perubahan signifikan.

Pada pemilu I tersebut, partai-partai Islam (Masyumi, NU, Perti, PSII) hanya meraih suara sekitar 43 persen. Dalam Pemilu 2004, kekuatan seluruh partai-partai Islam malah menurun dengan raihan nasional 38 persen.

”Jumlah pemilih yang menjadikan masalah agama dan moral sebagai prioritas pemilih muslim saat ini semakin terbatas,” ujar Dodi.

Untuk mengatasinya, parpol berbasis Islam harus memiliki kemauan untuk sedikit menggeser ideologinya ke tengah, yang lebih nasionalis. [min]

3,1 Trilyun Untuk Parpol

Jakarta, myRMnews. Partai politik telah menelan anggaran cukup besar dari APBN dan APBD selama lima tahun terakhir.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan, bantuan untuk parpol telah menguras anggaran negara itu hampir Rp 3,1 triliun. Rinciannya, Rp 1,59 triliun dari APBN dan Rp 1,5 triliun dari APBD.

"Ironisnya, anggaran yang sangat besar itu tak sebanding dengan peran parpol di masyarakat," ujar Koordinator Divisi Politik Fitra Arif Nur Alam dalam diskusi politik di Hotel Millenium, Jakarta, kemarin (18/9), seperti ditulis JPNN.

Menurut dia, anggaran tersebut tidak membuat parpol lebih dekat kepada rakyat.

Parpol, kata Arif, justru terkesan lebih dekat dengan departemen, menteri, ataupun kelompok kepentingan.

"Itu terbukti dari maraknya kasus korupsi di parlemen," tambahnya.

Data yang dilansir Fitra tersebut merupakan hasil penelitian selama Mei-Juni 2008. Didasarkan pada perolehan kursi di DPR, setiap tahun APBN harus mengeluarkan anggaran total sekitar Rp 57 miliar untuk semua parpol. Dengan demikian, keseluruhan anggaran selama lima tahun mencapai sekitar Rp 1,59 triliun.

"Jumlah itu belum termasuk yang juga harus dikeluarkan pemerintah daerah," lanjut Arif.

Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 33 provinsi dan 434 kabupaten/kota setiap tahun harus dikeluarkan Rp 306 miliar. Dengan demikian, dalam lima tahun, APBD telah tersedot Rp 1,5 triliun.

Sama dengan APBN, anggaran bantuan untuk parpol yang dikeluarkan dari APBD itu juga didasarkan pada jumlah kursi mereka di DPRD.

Ke depan, Arif memperkirakan, anggaran untuk parpol tersebut akan semakin besar. Itu berkaitan dengan banyaknya pemekaran daerah yang dilakukan selama lima tahun terakhir. Sebab, dari daerah baru itu akan muncul daerah pemilihan baru.

"Imbasnya, anggaran bagi parpol pasti akan membengkak seiring dengan bertambahnya kursi legislatif," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masuki menambahkan, besarnya anggaran untuk parpol itu harus dibarengi dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

"Ironisnya, hal itu belum tampak menjadi komitmen satu pun parpol di Indonesia," tegasnya.

Indikasinya, kata Teten, belum ada laporan yang baik dari parpol selama ini kepada negara atas penggunaan anggaran yang telah mereka peroleh.

"Kalaupun ada, laporannya asal-asalan saja," ujarnya. [min]

Kamis, 25 September 2008

Iklan Politik, Apa Salahnya?

Sabtu, 20 September 2008 - 15:13 wib

Sejak beberapa bulan terakhir kita banyak disuguhi iklan politik, terutama iklan bakal calon presiden Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Ada kesamaan pendekatan (appeal) di antara ketiganya. Mereka memilih "isu nasionalisme" sebagai strategi pesan iklannya.

Penampilan ketiganya yang boleh dikatakan teramat sering, terutama di televisi, mau tak mau membangkitkan pertanyaan. Di antaranya ada yang mengkritik dari faktor isi iklan: benarkah ketiganya begitu peduli pada nasib bangsa Indonesia?
Benarkah isi iklan itu mencerminkan jati diri mereka yang sebenarnya sebagai figur yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat? Kita menyaksikan ketiga calon itu menunjukkan kepedulian yang luar biasa pada kondisi sosial ekonomi masyarakat kita.
Ada pula yang mengkritiknya dari aspek pendanaan. Berapa besar uang yang mereka miliki mengingat iklan itu barang mewah, mulai dari pembuatannya sampai pemuatannya di media? Ambillah harga termurah, misalnya rata-rata satu juta rupiah untuk sekali tayang 30 detik di waktu non-prime time.
Berapa uang mesti dikeluarkan jika sebuah iklan tayang 2 x 24 jam x 30 hari x 6 stasiun TV? Berapa besar jika ditayangkan dalam waktu satu tahun? Dari mana uang sebanyak itu?

Belum lagi untuk perancangan dan pemasangan iklan di billboard, yang harganya bisa mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah sesuai lokasi. Tentu saja kita juga tak bisa memasang iklan secara gratis di koran, majalah, radio, media on-line, bahkan di blog milik seseorang.
Memang harus diakui bahwa iklan yang mereka sampaikan sudah berhasil. Salah satu indikator iklan yang berhasil adalah iklan yang menjadi buah bibir masyarakat. Semakin banyak yang membicarakan, semakin berhasil iklan tersebut. Faktanya iklan mereka banyak diperbincangkan tak kurang oleh para profesor dan para politisi, karuan pula praktisi media dan pemerhati komunikasi politik.
Etika Dasar Iklan
Kehadiran iklan-iklan itu seakan mengganggu kehidupan sosial kita ketimbang memberikan jalan keluar. Ini dikarenakan ada unsur manipulatif di dalamnya. Tidak semua fakta tentang diri sang calon ditampilkan.
Bahkan ada beberapa bagian yang terkesan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Tapi apalah daya, itulah iklan. Prinsip dasarnya adalah menciptakan kebutuhan.

Pengiklan bermaksud mempersuasi khalayak agar mau membeli produk yang diiklankan. Untuk ini pendekatan pesan dan strategi media dilakukan. Hanya kata dan gambar serta unsur-unsur iklan lainnya yang memiliki stopping power yang digunakan dalam iklan. Iklan adalah kehendak pengiklan.

Artinya, seperti apa dia beriklan tergantung pada keinginan dalam menampilkan produknya di mata publik. Kita tak boleh lupa bahwa iklan ialah produk komunikasi yang dibayar oleh pengiklan. Tak ada yang gratis dalam iklan. Kalau harus membayar, mengapa tidak digunakan untuk kepentingan pribadi? Begitu kira-kira alasan sederhana setiap pengiklan.

Karena itu tak mengherankan jika para politikus kita yang beriklan menyatakan diri sebagai tokoh heroik bagi bangsanya, tak peduli latar belakang masa lalu dan masa kininya. Mereka membayangkan, sebagai calon presiden seharusnya tampil dengan sosok yang committed terhadap kebangsaan, kerakyatan, dan kenegaraan.

Apakah hal itu melanggar etika umum? Sejauh isi iklannya tidak merusak kesehatan moral masyarakat, tidak mengapa. Bagaimana hal dengan adanya unsur manipulasi karena bakal calon presiden itu tidak menampilkan diri secara utuh? Sebagai bagian dari promosi, iklan berpihak pada kepentingan penjualan, bukan pada pengungkapan fakta.

Sebaliknya dengan pemberitaan. Etika dasar pemberitaan adalah pengungkapan fakta apa adanya. Jika ada berita dibingkai untuk mengunggulkan calon presiden tertentu itu namanya telah melanggar etika pemberitaan. Menurut etika pemberitaan, tak boleh berita dijadikan iklan! Ini juga artinya jika ingin mengetahui rekam jejak dari para calon, carilah dalam pemberitaan, bukan dalam periklanan mereka.
Leader as Communicator
Kalaupun ada yang bisa disalahkan dari iklan-iklan para bakal calon presiden tersebut adalah berkenaan dengan mereka sebagai (calon) pemimpin yang berkomunikasi dengan (calon) yang dipimpinnya. Sebaiknya diketahui ada tiga hal mendasar berkaitan dengan pemimpin sebagai komunikator (Mai and Akerson, 2003).
Pertama, komitmen terhadap organisasi dan tujuannya. Seorang pemimpin harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasinya (negaranya). Dari aspek ini iklan-iklan politik yang ada belum sepenuhnya mengarah pada upaya pencapaian empat tujuan kita berorganisasi dalam bentuk negara seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

Kedua, paham dan sadar atas prioritas tujuan organisasi. Tampak dari iklan-iklan yang ada mereka belum sepenuhnya menunjukkan prioritas apa yang hendak dicapai kelak jika menjadi pemimpin negara ini. Kita semua tahu bahwa negara dalam bahaya ancaman korupsi, angka kemiskinan yang masih tinggi, dan ketergantungan pada asing yang mendekati absolut. Kita merindukan pemimpin yang mampu menuntaskan ketiga penyakit yang telah lama menggerogoti negara kita itu.

Ketiga, bertekad dan mampu untuk menolong organisasi menjadi lebih baik. Hampir semua warga merasakan bahwa negara kita berada dalam keterpurukan multidemensional yang berkepanjangan. Banyaknya perilaku asosial baik yang dilakukan oleh aparat terutama korupsi maupun oleh masyarakat terutama ketidakpatuhan sosial, menyebabkan negara bak kendaraan yang kelebihan beban. Membuat negara kita bergerak amat lamban mengejar berbagai ketertinggalan.

Kita membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan keterpurukan itu. Sayangnya calon-calon pemimpin yang beriklan itu belum sepenuhnya menunjukkan kesiapannya melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosek Ilmu KOmunikasi FISIP UI
(//jri)

Rabu, 24 September 2008

Masih Ada Waktu Menggusur Nomor Urut (1)


Menimbang Pemilu 2009
(Bagian Pertama dari 10 Tulisan)


Hari pencoblosan, pencontrengan, pencentangan, atau apa pun namanya kelak, tinggal 198 hari lagi. Tapi, sistem pemilu yang merupakan software utama Pemilu 2009 belum juga tuntas. Sampai saat ini, nomor urut dan suara terbanyak belum berhenti bertarung. Revisi UU Pemilu akan menjadi salah satu arena besarnya.

UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang disahkan 31 Maret lalu telah menamai sistem pemilu yang akan diterapkan pada Pemilu 2009 sebagai sistem proporsional terbuka. Tapi, revisi masih bisa membuatnya menjadi proporsional terbuka dengan kata sifat 'murni', bukan 'terbatas'.

Saat ini, ada tiga sistem pemilu utama yang dikenal, yaitu sistem proporsional, sistem distrik, dan sistem campuran. Tapi, yang dipraktikkan saat ini, mencapai 300 sistem pemilu. Ke-300 sistem yang lazim diterapkan di berbagai negara demokrasi itu merupakan varian dari ketiga sistem utama tersebut.

''Sistem pemilu adalah cara suara diterjemahkan atau dikonversikan menjadi perolehan kursi parpol peserta pemilu dan/atau menjadi pemenang/calon terpilih,'' kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, dalam diskusi internal Republika, pertengahan September.

Indonesia delapan kali menerapkan sistem proporsional tertutup, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Selama itu, ruang kompetisi ditutup. Rakyat hanya memilih tanda gambar partai, adapun suaranya disalurkan berdasarkan nomor urut, secara urut kacang. Oligarki partai merupakan salah satu ongkos sistem ini.

Pada Pemilu 2004, sistem proporsional tertutup diganti dengan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem baru ini, pemilih bukan hanya mencoblos tanda gambar, tapi juga nama calon anggota legislatif. Sistem itu berlanjut hingga Pemilu 2009, dengan sedikit kemajuan pada angka bilangan pembagi pemilih (BPP).

Pada Pemilu 2004, caleg di nomor urut berapa pun bisa masuk lembaga legislatif bila meraih suara 100 persen BPP. Bila tidak, penentuannya kembali dengan nomor urut. Pada Pemilu 2009, BPP-nya diturunkan menjadi 30 persen, sehingga akan cukup banyak calon peraih suara terbanyak yang bisa masuk ke lambaga perwakilan rakyat.

Pada Pemilu 2004 hanya dua orang yang bisa meraih BPP 100 persen yaitu Saleh Djasit dan Hidayat Nur Wahid. Alhasil, hanya 0,36 persen dari 550 anggota DPR yang masuk Senayan dengan suara terbanyak. Sebanyak 99,64 persen masuk Senayan dengan fasilitas nomor urut.

Tapi, setelah BPP menjadi 30 persen, peluang suara terbanyak terdongkrak cukup drastis. Cetro --yang melakukan simulasi menggunakan data hasil Pemilu 2004 mendapati-- jika BPP 30 persen diterapkan pada Pemilu 2004 lalu, akan ada 116 orang atau 21,1 persen wakil rakyat yang masuk Senayan dengan suara terbanyak.

Kompetisi yang lebih fair mulai dibuka. Sistem ini akan membuat calon di nomor urut satu belum tentu aman dan calon di nomor urut sepatu juga tidak hopeless. Sebab, yang menanamlah yang akan menuai. Jumlah rakyat yang kecewa --karena suaranya dialihkan kepada calon lain atas nama nomor urut-- pun bisa berkurang.

Soal angka 30 persen ini, mantan ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan itu merupakan kompromi maksimal. ''Semula ada yang menghendaki BPP tetap 100 persen, ada juga yang BPP 10 persen, ada yang full ditentukan dengan suara terbanyak,'' katanya.

Tapi, benarkah DPR hasil Pemilu 2009 benar-benar akan diisi legislator-legislator yang meraih suara terbanyak, minimal seperlimanya seperti hasil simulasi Cetro? Bisa jadi tak seindah itu. Pasalnya, ketentuan-ketentuan berikutnya di Pasal 214 UU Pemilu merelatifkannya dengan ketentuan serba nomor urut (serut).

Paling tidak ada empat ketentuan serut di Pasal 214 itu. Pertama, jika calon yang meraih BPP 30 persen lebih banyak dari jumlah kursi yang diraih partai, kursi jatuh ke nomor urut kecil.

Bila harga satu kursi atau BPP 100 persen di suatu daerah pemilihan 100 ribu suara, BPP 30 persen adalah 30 ribu suara. Katakanlah calon di nomor urut dua meraih 30 ribu suara, dan calon di nomor urut tiga 90 ribu suara. Meski suara calon nomor tiga mencapai tiga kali lipat suara calon nomor dua, yang menjadi calon terpilih adalah calon nomor dua.

Kedua, jika ada dua calon yang meraih suara di atas BPP 30 persen, dan jumlahnya persis sama, misalnya, sama-sama 31.222, maka penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.

Ketiga, jika jumlah calon yang meraih BPP 30 persen lebih sedikit dibanding jumlah kursi yang diraih partai itu, penentuan kursi yang belum terbagi kembali dilakukan dengan nomor urut.
Keempat, jika tidak ada yang mencapai 30 persen BPP, pemenangnya ditentukan dengan nomor urut.

Soal ketentuan serut ini, apalagi belum ada jaminan penuh bahwa peraih 100 persen BPP menjadi calon terpilih, Hadar mengomentari Pasal 214 itu dengan ungkapan, ''Drafting yang aneh.''

Masih tidak puas dengan adanya galah BPP 30 persen, apalagi norma dasar 'calon terpilih ditentukan berdasarkan 30 persen BPP' masih bisa diutak-atik, sejumlah partai tetap berniat menentukan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Yang paling ngotot adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD). Mereka mengakalinya dengan ketentuan internal.

Belakangan, Golkar ikut-ikutan menyatakan bahwa mereka akan menentukan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Perubahan itu langsung mengundang komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, sejak awal PD dan pemerintah ingin sistem proporsional terbuka murni, di mana peraih suara terbesarlah yang dimenangkan sebagai calon terpilih.

Meski telah berubah, Golkar belum seberani PAN yang mengatur mekanisme internal itu di AD/ART. Alhasil, bila sang calon yang tidak meraih suara terbanyak menolak mundur, partai masih punya gigi dengan me-recall-nya. Pasal 16 huruf d UU No 2/2008 tentang Partai Politik menyatakan pelanggaran AD/ART merupakan salah satu syarat recall.

Ferry Mursyidan mengatakan mekanisme internal itu sah-sah saja. Sebab, Pasal 218 UU Pemilu menyatakan penggantian calon terpilih dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri. Soal siapa penggantinya, kelak ditentukan oleh pimpinan partai.

Tapi, menyikapi rencana partai-partai menerapkan ketentuan internal, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshari, bereaksi dengan menyatakan KPU hanya akan menerapkan calon terpilih berdasarkan ketentuan UU. Pernyataan KPU itu sebenarnya normatif belaka, tapi ditangkap sebagai sinyal kurang menguntungkan. Apalagi, jika calon yang tak meraih suara terbanyak dan berada di nomor urut atas tak mau mundur, maka partai --kecuali PAN-- tak bisa berbuat apa-apa.

Bergulirlah kemudian usulan revisi Pasal 214 UU Pemilu yang diajukan oleh 60 anggota DPR dari lima fraksi (PDIP, PG, PD, PAN, dan PBR) kepada pimpinan DPR. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ganjar Pranowo, mengatakan Baleg sudah menerima surat dari pimpinan DPR untuk melakukan 'harmonisasi' usul revisi UU Pemilu.

Pemerintah pun sudah mengambil ancang-ancang. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, akan mengajukan memorandum kepada Presiden agar mendorong revisi terbatas UU Pemilu. Dalam memorandum tercantum klausul 'Penetapan caleg ditentukan berdasarkan suara terbanyak sesuai aspirasi baru yang muncul dari sebagian partai.'

''Jika calon terpilih tetap ditentukan berdasarkan nomor urut, bisa muncul konflik internal partai. Caleg bisa saling gugat,'' kata Denny.
Akankah penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak --yang sesuai dengan akal sehat-- lolos? Atau, usul revisi terbatas ini akan dikandaskan oleh mepetnya waktu pelaksanaan pemilu? Kita tunggu saja. run

Selasa, 23 September 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

Konformisme Sosial
Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

William Chang

Perbaikan negara tidak semudah membalik telapak tangan. AS, RRT, dan Jepang pun membutuhkan waktu lama untuk membangun negaranya (Kompas, 8/9/2008).

Akankah RI lebih adil, sejahtera, teratur, dan maju setelah berusia dua abad? Benarkah dimensi waktu menjadi faktor penentu perbaikan sosial sebuah bangsa atau manusialah yang menentukan kemajuan sebuah bangsa? Mengapa ketiga negara adidaya disitir Presiden SBY saat berbuka puasa dan tausyiah di Jalan Widya Chandra, Jakarta?

AS, sebuah melting pot, mewarisi jiwa nasionalisme yang tinggi sebagai ”polisi” dunia dan menghidupi etos kerja keras. Rupanya keuletan, ketekunan, dan mentalitas baja ala Konfusian orang Tiongkok telah menyejajarkan mereka dengan negara adidaya lain. Sementara itu, Jepang dengan semangat samurai berjuang melakukan yang terbaik untuk bangsa dan mengalahkan dunia. Kunci keberhasilan AS, RRT, dan Jepang ada pada kekuatan kemanusiaan dan kesatuan visi-misi sebuah bangsa.

Ketiga negara intens memerangi habitus destruktif yang melemahkan saraf reformasi bangsa (malas, santai, cepat puas diri, konsumtif, premanis, dan anarki). Hingga kini habitus buruk ini masih hidup di kalangan masyarakat. Ide klasik dari Tiongkok kuno tentang konformisme sosial-politik penting dipertimbangkan dalam merestorasi dan membangun bangsa kita.

Konformisme perilaku

Konformisme sosial versi Zhong Yong (Kitab Tengah Sempurna), misalnya, tampak dalam sikap perbaikan diri, semangat kasih, hormat, mencintai rakyat seperti anak-anak sendiri, dan menggunakan jasa para pakar (Zhong Yong XIX: 12). Sikap itu akan terwujud jika pemerintah dipimpin negarawan perkasa yang memiliki keteladanan sejati, kebajikan, kedudukan, dan waktu (Zhong Yong XXVIII).

Perwujudan keteraturan masyarakat umumnya mengacu moralitas, perilaku baik, dan keadilan hukum yang ikut menempa watak tiap warga masyarakat. Dalam keadaan sosial ini, anggota masyarakat mengadaptasi diri dengan perangkat norma umum yang telah membudaya. Konformisme ini setidaknya mengandung dua unsur penting, informasi dan norma yang akan ikut menuntun hidup serta perilaku manusia, sebab di dalam norma terkandung seperangkat nilai perenial humaniora (Matilde Callari Galli, Conformism, Universitas Bologna, 2003).

Hidup dan sepak terjang seorang pemimpin negara merupakan teladan bagi rakyat jelata. Justru itu, Zong Hong mengingatkan agar ”si lurus” ditempatkan di atas mereka yang hidup ”bengkok” agar bisa diluruskan (Lun Yi XII: 22:3). Penugasan orang disesuaikan kemampuannya (The right man in the right place) dan angkatlah orang-orang bijaksana (Lun Yi XIII: 2). Yang menjadi penyangga utama dunia adalah negara; dan penyangga utama negara adalah keluarga, sedangkan penyangga utama keluarga adalah diri sendiri.

Perlu konformisme figur etis

Di tengah kemelut multidimensi dan proses restorasi sosial-politik, konformisme figur etis yang committed berperan penting. Kehadiran figur ini akan mendukung perwujudan good governance yang bersih, transparan, dan profesional dalam penanganan kasus-kasus. Tanpa figur tepercaya (trustable), proses perbaikan sosial cenderung kehilangan arah. Kini rakyat mengharapkan figur tepercaya dalam kata, janji, dan perbuatan.

Kekuatan konformisme figur ini perlu menggandeng sinergi hukum, antara lain mencakup kebudayaan sadar hukum, substansi hukum dan penegak hukum. Kemitraan antara figur ini dan penegak keadilan akan turut menentukan perbaikan sosial (bdk. L Frietzman). De facto, segala bentuk kepentingan terselubung dan penegak hukum yang koruptif menghancurkan sistem keadilan dalam negara kita.

Bagaimanakah konformisme meluruskan si ”bengkok” di negara kita? Keberanian pemerintah SBY memerangi korupsi dan menggulung koruptor akan menjadi kampanye efektif. Aneka terobosan antikorupsi harus berani membersihkan rahim-rahim yang melahirkan para koruptor modern. Keberanian KPK membongkar dan mengusut jejaring koruptif seputar BLBI pantas diteladani KPK daerah.

Terlepas dari kritik dunia Barat atas prinsip konformisme yang dianggap memandulkan kreativitas dan pilihan bebas seseorang, dalam konteks kini rakyat masih membutuhkan kehadiran dan peran figur bersih, profesional, berani, dan dedikatif dalam membangun bangsa.

Beranikah SBY menanggalkan birokrasi koruptif (intransparansi publik) dan segera menjaring figur-figur konformis yang tulus memperbaiki negara dan sistem pemerintahan? Mungkin, adagium klasik Ubi ius, ibi remidium (Di mana ada hukum, di situ ada perbaikan) dapat menjadi langkah awal untuk bangkit dari keterpurukan nasional.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

ANALISIS POLITIK


Paradoks Demokrasi Popularitas
Selasa, 23 September 2008 | 03:00 WIB

J KRISTIADI

The country has all the ingredients for success:

a stable democracy, a wealth of natural resources

and a large consumer market.

But Indonesia is not keeping pace with Asia's booming economies.

Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008)

Kutipan dari artikel Michael Schuman di majalah Time di atas mewakili kegetiran rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia tidak melesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia.

Justru sebaliknya, rakyat merasakan impitan kemiskinan yang kian menindih. Ada anggota masyarakat yang bertahun-tahun mengonsumsi daging sisa-sisa makanan hotel dan restoran yang dimasak bercampur zat pewarna tekstil. Bahkan, ada anggota masyarakat yang benar-benar secara harfiah mengonsumsi sampah buah dan sayuran di tempat pembuangan kotoran.

Sementara di Senayan, terbetik berita para wakil rakyat selain mengantre disuap, berkubang di tengah hujan duit (cek) bernilai ratusan juta, bahkan mungkin miliaran rupiah.

Tragedi yang sangat menyayat hati ini seharusnya membuka mata hati dan nurani para elite politik agar segera bertobat dan berhenti memburu kenikmatan di atas penderitaan rakyat.

Ungkapan yang menyatakan tidak ada asap tanpa api menjadi semakin valid dengan terbongkarnya skandal dan aib yang selama ini dicoba disembunyikan rapat-rapat. Aroma busuk transaksi politik di Senayan, baik itu dalam bentuk uji kepatutan dan kelayakan, dengar pendapat dengan departemen terkait, maupun proses membuat undang-undang, semakin menyengat baunya.

Harapan untuk meningkatkan kualitas para wakil rakyat pada Pemilu 2009 tampaknya tidak besar. Proses perekrutan politik untuk menentukan kandidat anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai daerah hanya memperkuat bangunan oligarki dan dinasti politik.

Nilai-nilai luhur yang melekat dalam tatanan demokrasi, terutama asas persamaan warga negara, menjadi porak poranda karena amukan badai nafsu untuk mewujudkan ambisi kekuasaan. Mereka yang mempunyai ”darah biru” baik secara biologis-geneologis maupun hubungan patron-klien, memiliki privilese dan derajat lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya.

Perekrutan politik dilakukan tanpa prinsip meritokrasi dan sangat kental dengan pertimbangan mediokriti (mediocre). Kursi wakil rakyat akan diisi oleh anak, adik, keponakan, dan kerabat para petinggi parpol, pejabat pemerintah, mulai dari presiden, mantan presiden, menteri, hingga pemimpin lembaga tinggi negara. Mereka akan menentukan nasib negara dan bangsa.

Para petinggi partai juga tidak segan-segan memanfaatkan atau menyalahgunakan kepopuleran seseorang meskipun sangat miskin pengalaman. Upaya lain adalah membuat program pencitraan seseorang agar seakan-akan menjadi humanis, peka terhadap penderitaan rakyat, dan berperilaku manis agar dikenal masyarakat.

Hampir dapat dipastikan proyek pencitraan itu tidak dapat menghasilkan kandidat yang mempunyai komitmen terhadap penderitaan rakyat. Popularitas hanya dijadikan daya tarik palsu untuk mencari simpati rakyat.

Namun, sejalan dengan tingkat perkembangan kesadaran politik masyarakat, sebagian publik tidak mudah lagi terkecoh dengan segala hal yang populer.

Kekalahan beberapa kandidat kepala daerah yang dianggap cukup populer, seperti Helmy Yahya, Qomar, Dicky Chandra, dan Syaiful Djamil, merupakan petunjuk bahwa eforia politik pencitraan yang melekat pada demokrasi prosedural sudah sampai ke titik jenuh.

Gejala tersebut juga mulai menegaskan bahwa sekadar populer tidak selalu berkorelasi dengan elektabilitas. Masyarakat semakin matang. Masyarakat juga tidak mudah lagi takluk dengan intimidasi dan tergiur oleh operasi serangan fajar dengan amunisi sembako atau sejenisnya.

Pengalaman tersebut mudah-mudahan semakin menyadarkan pemimpin partai politik kalaupun mencalonkan seseorang yang populer harus disertai dengan persyaratan lainnya. Misalnya, rekam jejak prestasi dan kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, gigih memperjuangkan nasib kaum yang termarjinalkan, hak-hak perempuan, buruh, dan budaya multikultural.

Oleh sebab itu, partai-partai politik harus melanjutkan kaderisasi yang memihak pada kepentingan rakyat serta pemerintahan yang bersih. Parpol tak bisa lagi sekadar memoles orang tanpa bekal yang memadai.

Ranah politik adalah medan perjuangan yang memerlukan investasi jangka panjang untuk menghasilkan kader-kader yang andal. Ibaratnya seperti menanam pohon jati yang kokoh dan kuat, bukan menanam pohon jagung atau pohon pisang yang hanya beberapa bulan berbuah, tetapi kemudian terus mati.

Senin, 22 September 2008

Calon anggota legislatif


Suara Terbanyak untuk Hargai Kerja Caleg
Senin, 22 September 2008 | 00:35 WIB

Jakarta, Kompas - Penentuan calon anggota legislatif atau caleg terpilih dari Partai Bintang Reformasi atau PBR ditentukan dengan suara terbanyak. Ketentuan ini diatur dalam peraturan partai untuk memberi kekuatan hukum dan kepastian bagai semua caleg PBR.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat PBR Yusuf Lakaseng di Jakarta, Sabtu (20/9), mengemukakan, sejak penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, PBR adalah salah satu partai yang berkeinginan penentuan caleg terpilih dilakukan dengan suara terbanyak. Namun, cara ini kurang mendapat dukungan dari mayoritas anggota DPR.

Penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak dipilih PBR sebagai upaya untuk lebih menghargai usaha caleg yang benar-benar bekerja keras, memberi keadilan untuk semua caleg, dan menciptakan kompetisi sehat dalam partai. Cara itu juga dinilai lebih menghargai suara rakyat.

”Penyusunan nomor urut caleg di PBR hanya formalitas dan tak memengaruhi keterpilihan caleg,” katanya. Karena itu, penyusunan nomor urut caleg tak terlalu menyulitkan bagi PBR.

Muka lama

Dari Bandung, Jawa Barat, dilaporkan, hampir 70 persen muka lama masih menempati daftar caleg tingkat provinsi yang diajukan tiga partai peraih kursi terbanyak di Jabar, yakni Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Partai Golkar, yang pada Pemilu 2004 meraih 28 kursi di Jabar, pada Pemilu 2009 mengajukan 116 caleg. Sebanyak 23 orang di antaranya adalah muka lama yang menempati kursi DPRD Jabar.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jabar Uu Rukmana menuturkan tidak ada batasan bagi caleg untuk mencalonkan diri. Namun, partai mengimbau caleg yang tiga kali berturut-turut menduduki kursi legislatif agar memberikan kesempatan kepada calon lain. (mzw/rek/mhf/who)