Jumat, 31 Oktober 2008

Sundari, Kacamata Merah Muda


Putri bangsawan yang menjadi pusat perhatian di Kongres Perempuan. Orator ulung, tak banyak dikenal.

AHAD, 22 Desember 1928. Hujan lebat digiring angin ribut mengguyur bumi sejak subuh. Tapi cuaca keruh itu tak mengganggu keriuhan pendapa Joyodipuran seharian.

Seribu lebih perempuan berkumpul di rumah milik bangsawan Raden Tumenggung Joyodipuro itu—sekarang di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Ada hajatan besar di sana: Kongres Perempuan Indonesia, pertama kali digelar kota yang waktu itu masih bernama Mataram.

Di antara yang hadir adalah Raden Ayu Siti Sundari , 23 tahun. Parasnya ayu. Pengajar di Kweek School, sekolah guru, di Surakarta itu tampil penuh semangat. Pidatonya berjudul ”Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”.

Sundari adalah satu dari 15 pembicara di kongres itu. Para pembicara datang dari beragam organisasi, seperti Wanita Oetomo, Aisjiah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, dan Wanita Taman Siswa. Pidato Sundari, yang mewakili Poetri Indonesia dari Bandung, menjadi penanda penting bagi komitmen penggunaan bahasa Indonesia yang waktu itu masih bayi.

Sundari mengawali pidato dengan anggun, bernada penjelasan dan permintaan maaf. ”Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak.” Hadirin terkesima.

Sang putri melanjutkan. ”Akan tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota Djacarta beberapa boelan jang laloe, tentoe masih mengingat hasilnja, jaitoe hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjundjung bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami, sebagai poetri Indonesia jang lahir di Poelau Djawa jang indah ini, berani memakai bahasa Indonesia di moeka rakjat ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja?”

Hadirin terpesona. Seperti Soekarno, Sundari dikenal sebagai orator ulung pada zaman pergerakan kemerdekaan. Namun ada pula yang melontarkan kritik. Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, misalnya, berkomentar: ”Bahasa yang digunakan terlalu muluk-muluk dan idealistis untuk kebanyakan hadirin.”

Nyonya Toemenggoeng menyampaikan ini dalam ”Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”—laporan yang dibuat untuk pemerintah Belanda.

Bahasa Indonesia saat itu belum dikenal luas. Kaum priayi lebih suka berbahasa daerah, misalnya Jawa dan Sunda, kelas tinggi. Kaum intelektual lebih memilih cas-cis-cus bahasa Walanda. Mungkin itu sebabnya Nyonya Toemenggung menyebut pilihan kata yang digunakan Sundari ”muluk-muluk”.

Sundari tergolong pendatang baru untuk urusan bahasa Indonesia. Dalam Kongres Pemuda II, Oktober 1928, di Kramat Raya, Jakarta, ia masih berbahasa Belanda. Baru dalam Kongres Perempuan di Ndalem Joyodipuran itu ia tampil berbahasa Indonesia.

”Hanya dalam jangka dua bulan, sebuah perubahan dahsyat terjadi,” tulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, dalam jurnal Asian Studies Review, September 2000.

Sundari dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 25 Agustus 1905. Tak hanya melepaskan bahasa tanah kelahirannya, ia juga melepaskan bahasa intelektualnya, bahasa Belanda.

Demi persiapan pidato yang mengesankan tadi, Foulcher mencatat, Sundari dibantu seorang penerjemah. Tak jarang dia terbata-bata ketika mengucapkan kosakata bahasa Indonesia.

Usaha keras Sundari layak dipuji, begitu tulis Foulcher, yang juga pengamat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Inilah simbol bangkitnya nasionalisme dan komitmen terhadap visi Negara Indonesia mandiri yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda.

Kongres Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 itu membekas dalam ingatan Sundari. Bukan saja lantaran tunangannya, Muhammad Yamin—kelak menteri dalam pemerintahan Soekarno—motor penting dalam peristiwa itu. Tapi karena, ”Untuk pertama kalinya di situ dinyanyikan lagu Indonesia Raya,” katanya kepada Kompas, 21 Oktober 1967. Apalagi, menurut Sundari, W.R. Soepratman, pencipta lagu itu, memberikan sendiri catatan asli notasi lagu Indonesia Raya kepada Sundari.

Sundari mengenal Yamin ketika bekerja sebagai guru Kweek School di Surakarta, Jawa Tengah. Pemuda Yamin waktu itu masih duduk di kelas I Algemeene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, di Yogyakarta. Tiga bulan setelah perkenalan, mereka bertunangan.

Hubungan mereka awalnya ditentang keluarga Sundari, bangsawan asal Kadingalu, dekat Demak. jawa tengah. Mereka keberatan putrinya menikah dengan Yamin. Yamin berasal dari ”seberang”, dan masih duduk di sekolah menengah. Sundari yang sudah bergaji selayaknya kawin dengan dokter atau pegawai kantoran. Toh, sejoli ini tak ambil pusing.

Setelah tamat AMS, Yamin hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum). Sundari memilih bermukim di Bandung, mengajar di sekolah Ardjuna, dan memberikan pelajaran mengetik di Lembang.

Di sela kegiatannya itu dia aktif di organisasi Istri Pendidik, juga dalam Jong Java. Sang tunangan, Yamin, aktif di organisasi Jong Sumatra Bonds.

Setelah Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi pemuda sektoral melebur menjadi Indonesia Muda. Sundari dan Yamin pun bergabung. Sundari menjadi anggota Keputrian Indonesia Muda. Di sini dia kerap berpidato tentang perlunya memberantas poligami.

”Poligami, perkawinan anak-anak, kawin paksa, talak dan pisah yang tiada berjangka, sulit untuk dipertahankan pada zaman sekarang kalau kita mau menggambarkan perkawinan sebagai sesuatu yang berharga,” kata Sundari ketika itu.

Sikap keras Sundari atas poligami sering membuat berang organisasi Islam. ”Dia pernah dimaki-maki Sarekat Islam karena dianggap menentang ajaran agama Islam,” kata Anhar Gonggong, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sundari pernah beradu mulut dengan Sitti Moendjijah dari organisasi Aisjiah, salah seorang pembicara dalam kongres perempuan pertama. Kata Moendijah, ”Bukan sama sekali hendak menyetujui poligami.… Kaum perempuan dengan sukarela menerima keadaan ini.”

Adegan itu direkam oleh majalah Istri edisi perdana pada 1929, dan dikutip oleh Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama. Mendengar pernyataan Moendjijah, Sundari seketika bangkit dari tempat duduknya. Dengan berang dia menuduh Moendjijah pembela standar ganda.

Moendjijah tak terima. Dia membela diri bahwa sebagai perempuan dia hanya memahami apa yang lazim diperbolehkan. Sundari, kata Moendjijah, ”Terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda.” Adu mulut berakhir setelah Nyonya Gunawan, utusan Roekoen Wanito dari Jakarta, menengahi.

Pada 1934, Sundari hijrah ke Turen, Malang, Jawa Timur, dan menjadi guru di sana. Kepindahan ini tak lepas dari aksi Yamin. Setelah menamatkan sekolah hukum dan meraih gelar meester in rechtan, Yamin pergi ke Surabaya.

Sialnya, di sana dia ditangkap pemerintah Belanda gara-gara pidato yang dianggap menghasut rakyat. Demi sang tunangan, Sundari mencari tahu lokasi penahanan Yamin. Beruntung, Yamin tak ditahan lama. Pada tahun itu juga keduanya memutuskan menikah.

Kembali ke Jakarta, pengantin baru ini menyewa kamar di Orange Boelevard 56, sekarang Jalan Diponegoro. Ketika diwawancarai Kompas, tiga dasawarsa kemudian, Sundari mengaku bahagia mempunyai suami idealis. ”Tidak pernah korupsi, apalagi beristri lebih dari satu.”

Dunia dengan ”kacamata merah muda” itu terwujud. Sundari mendampingi suami yang luar biasa ini. Sarapan dan kopi tak pernah absen disiapkannya, bahkan sebelum Yamin bangun pagi. ”Hubungan mereka indah sekali,” kata Kusumo, 72 tahun, anak angkat Sundari, kepada Tempo.

Sebagai aktivis perempuan yang cemerlang, Sundari tak cuma bergelut dengan urusan rumah tangga. Dia pernah menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) bersama Emma Puradiredja, Sri Umiyati, dan Nyonya Soenarjo Mangunpuspito.

Sayang, dibanding Yamin, yang perjalanan politiknya terekam lebih lengkap, nama Sundari kurang dikenal. Sedikit sekali artikel yang mengupas kiprahnya sampai ajal menjemputnya pada 12 April 1973.

Gusti Raden Ayu Retno Satuti, 64 tahun, yang ditemui Tempo di rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, menyatakan dia pun tak begitu mengenal ibu mertuanya itu. ”Keluarga pun sekarang sudah meninggal semua,” kata Retno, putri keraton Mangkunegaran, Solo, yang tak lain adalah janda Rahadian Yamin. Pelopor dunia fashion Indonesia dan anak tunggal pasangan Yamin-Sundari ini tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 1979.

Tidak ada komentar: