Sabtu, 18 Oktober 2008

Gonjang-ganjing Partai Golkar

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:26 WIB

Ikrar Nusa Bhakti

Partai Golkar tampaknya di ambang perpecahan internal. Setelah ribut soal daftar calon anggota legislatif yang sebagian berbau nepotisme dan ditentang sebagian generasi muda, kini partai beringin diembus isu baru soal nominasi capres dan cawapres.

Menjelang Lebaran, Ketua Umum Partai Golkar yang kebetulan menjabat Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), menyatakan akan maju kembali menjadi cawapres pada Pilpres 2009, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung Partai Demokrat. Sepuluh hari setelah pernyataan itu, tokoh pendiri Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi), Suhardiman, mencalonkan Sultan Hamengku Buwono X sebagai capres.

Soksi adalah satu dari tiga kelompok induk organisasi (kino) Partai Golkar yang memiliki pendukung kuat, selain Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR) dan Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro). Semasa Orde Baru, ketiga kino itu merupakan tulang punggung utama Golkar yang masuk kategori jalur G, selain jalur B (Birokrasi) dan jalur A (ABRI).

Ketiga jalur itu dulu dikenal sebagai ABG. Sejak berdirinya pada awal Orde Baru, Golkar merupakan kekuatan federatif yang cikal bakalnya bisa ditarik ke era Soekarno, khususnya masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin, 1957-1959.

Saat itu Bung Karno memperkenalkan golongan fungsional (Golongan Karya) sebagai kekuatan baru politik Indonesia selain partai-partai politik. Golkar juga wadah berbagai ideologi, dari sosialisme, liberalisme, nasionalisme, dan Islamisme. Tak mengherankan Golkar kadang disebut organisasi tanpa ideologi nyata, meski mendukung Pancasila.

Partai Golkar yang pada awal reformasi menjadi bulan-bulanan kritik berbagai kalangan, bahkan ada yang menginginkan agar dibubarkan, bisa survive karena kelihaian ketua umumnya saat itu, Akbar Tandjung. Partai yang hampir mati suri karena tak ada Ketua Dewan Pembina yang diduduki Jenderal Besar Soeharto dan memiliki posisi The First among equals berhasil menapaki posisi politik dari nomor dua dalam Pemilu 1999 menjadi nomor satu pada Pemilu 2004.

Namun, Partai Golkar gagal menjadi mesin politik pada Pilpres 2004, baik pada putaran pertama maupun kedua. Pada putaran pertama, Partai Golkar tak bisa mendongkrak perolehan suara capres Wiranto yang memenangi konferensi pemilihan calon presiden dari partai ini.

Pada putaran kedua, meski Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, menyatakan perkawinan politik Partai Golkar dan PDI-P untuk mendukung capres/cawapres Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, massa akar rumput memiliki pilihan sendiri. Akibatnya, pasangan SBY-JK terpilih menjadi presiden dan wakil presiden dalam pilpres langsung pertama di Indonesia pada tahun 2004. Akibatnya, dalam Munas Partai Golkar di Bali, 2005, Akbar Tandjung tumbang digantikan Jusuf Kalla yang kebetulan menjabat sebagai Wapres.

Kisruh organisasi

Meski Partai Golkar merupakan kekuatan federatif, bukan berarti partai ini tidak membutuhkan pemimpin yang dapat mengayomi dan menggerakkan partai di tingkat pusat. Kesibukan JK sebagai wapres tampaknya menjadikan Partai Golkar bergerak tanpa pemimpin. Konsolidasi partai menjadi amburadul karena JK, tidak seperti Akbar Tandjung, jarang mengunjungi DPD dan DPC di berbagai daerah. Akibatnya, partai ini tidak berhasil maksimal dalam pilkada gubernur di berbagai provinsi, meski dalam berbagai pilkada kabupaten/kota hasilnya lebih baik.

Konsolidasi partai menjelang Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pilpres, juga pincang, tampak dari gonjang- ganjing politik di tubuh partai, baik dalam penentuan bakal caleg Partai Golkar maupun silang pendapat tentang siapa yang akan diusung partai ini sebagai capres dan cawapres 2009. Baik JK maupun Suhardiman sama-sama melanggar kesepakatan atau keputusan DPP Partai Golkar, yakni menunda nominasi capres sampai ada hasil pemilu legislatif 9 April 2009.

JK menyatakan akan maju menjadi cawapres mendampingi SBY, capres dari Partai Demokrat, sedangkan Suhardiman sebagai sesepuh Soksi mendukung Sultan Hamengku Buwono X sebagai capres.

Politikus Partai Golkar, seperti Rully Chairul Azwar, bisa saja menolak bahwa Golkar mengalami perpecahan internal. Adapun Harry Azhar Azis bisa saja mengatakan, perbedaan pendapat antartokoh Golkar merupakan indikasi berfungsinya demokrasi di Partai Golkar (The Jakarta Post, 10/10/2008).

Namun, secara kasatmata kekisruhan tampak sedang melanda partai ini. Beda pendapat tentu boleh asal tidak bertentangan dengan kesepakatan partai. Selain itu, demokrasi internal partai juga ada aturan main, bukan kebebasan untuk bersuara atau bertindak semaunya.

Realis ”versus” ortodoksis

Silang pendapat antara JK dan Suhardiman merupakan pertarungan pandangan realis dan ortodoks. JK dapat dikatakan realistis dalam memandang dirinya yang tidak mungkin menjadi capres, karena dari faktor sosial budaya masyarakat Indonesia dan hasil survei, ia sulit terpilih menjadi presiden. Sebaliknya sebagai seorang ortodoks dalam partai, Suhardiman melihat, sebagai partai terbesar Golkar seharusnya mencalonkan capres dan bukan cawapres. Partai Demokrat juga dipandang sebagai mitra minoritas yang lebih berkuasa ketimbang Golkar. Terlebih lagi, sejarah politik 1999 dan 2004 bukan mustahil akan berulang, yakni orang yang ”dizalimi” akan muncul sebagai pemenang pemilu.

Pada 1999, meski Megawati tidak menang dalam pilpres pilihan MPR, PDI-P menjadi partai pemenang pemilu karena dizalimi Soeharto. Pada Pilpres 2004, kisah ”dizalimi” ini juga menjadi salah satu faktor kemenangan SBY sebagai presiden, meski kenyataannya ia tidak pernah dizalimi Presiden Megawati. Menjelang Pemilu 2009, Sultan Hamengku Buwono X kian berkibar karena dipersepsikan sebagai ”dizalimi” SBY terkait isu ”monarki absolut” versus ”keistimewaan Kesultanan Yogyakarta.”

Nasib JK juga di ujung tanduk, terlalu banyak tantangan dari dalam yang sulit diatasi. Kekuatan federatif Golkar akan kian terpencar jika konsolidasi internal tak cepat dilakukan para tokoh partai, termasuk pendiri yang masih hidup. Gonjang- ganjing politik dalam Partai Golkar menjadi penyumbang utama mengapa partai ini terseok-seok dalam berbagai pilkada dan bukan mustahil pada Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pilpres.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tidak ada komentar: