Selasa, 28 Oktober 2008

Mampukah Selebriti Menjadi Pengumpul Suara?


Selasa, 28 Oktober 2008 | 01:33 WIB

Oleh M Zaid Wahyudi

Upaya partai politik menjadikan para pelaku dunia hiburan, mulai dari pemain sinetron/film, penyanyi, pembawa acara, model, hingga pelawak, sebagai calon anggota legislatif adalah untuk mendulang perolehan suara. Namun, apakah para pesohor di dunia hiburan itu benar-benar mampu menjadi pengumpul suara yang efektif?

Pada era Orde Baru, artis hanya dimanfaatkan sebagai pengumpul massa yang diharapkan mampu ditransformasikan menjadi dukungan suara. Namun, mereka tidak disiapkan menjadi anggota lembaga perwakilan seperti saat ini.

Sejak era pemilihan langsung dimulai, baik pemilu legislatif yang mengarah ke sistem proporsional, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah, popularitas pelaku dunia hiburan dianggap mampu mendongkrak perolehan suara bagi partai atau calon pimpinan eksekutif dan legislatif. Anggapan itu ternyata tidak selamanya benar.

Pemilu 2004, dengan sistem proporsional terbuka terbatas, menempatkan sejumlah selebriti sebagai anggota DPR. Namun, dukungan perolehan suara mereka ternyata jauh dari harapan.

Partai Demokrat, yang saat itu pertama kali ikut pemilu, menempatkan pelawak Nurul Qomar (Komar), mantan Puteri Indonesia Angelina Sondakh, dan model Chandra Pratomo Samiadji Massaid (Adji Massaid) sebagai anggota DPR. Namun, mereka rata-rata hanya mampu mengumpulkan 31.000-44.000 suara atau 13-18 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) yang berkisar 230.000-250.000.

Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf) yang maju dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan kini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat mengumpulkan 28.000 suara atau 13 persen BPP. Marissa Haque yang maju melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan sempat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Banten memperoleh 65.000 suara atau 28,8 persen BPP.

Jika dikonversikan dengan ketentuan baru untuk pemilu mendatang, yaitu caleg terpilih minimal memperoleh 30 persen suara BPP atau ditentukan dengan nomor urut, selebriti yang terpilih sebagai anggota DPR periode 2004-2009 itu tidak akan terpilih. Hal yang menyelamatkan mereka hanyalah nomor urut mereka dalam daftar caleg yang berada di nomor urut jadi.

Meskipun demikian, ada pula artis yang memperoleh suara cukup signifikan, yaitu Nurul Arifin, yang maju melalui Partai Golongan Karya. Saat itu ia memperoleh 81.566 suara atau 34 persen dan menjadi yang terbanyak untuk partainya di daerah pemilihan Jabar VI. Namun, karena berada di urutan ketiga dan partainya hanya memperoleh dua kursi di daerah itu, Nurul gagal menjadi anggota DPR.

Dalam konteks pemilu kepala daerah, ternyata popularitas mereka sebagai selebriti tidak juga menjamin kesuksesan untuk memperoleh dukungan rakyat. Pemain film/sinetron Dede Yusuf yang menjadi Wagub Jabar dan Rano Karno yang terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang adalah contoh selebriti yang berhasil. Sedangkan pemandu kuis Helmy Yahya yang sempat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Sumatera Selatan dan penyanyi dangdut Saipul Jamil yang pernah maju sebagai Wakil Wali Kota Serang adalah contoh yang gagal.

Namun, keberhasilan Dede dan Rano tidak dapat dikatakan sepenuhnya karena popularitas mereka. Dede didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera yang dikenal memiliki basis massa kuat di wilayah perkotaan Jabar dan pendukung partai yang solid. Sedangkan Rano berpasangan dengan incumbent Bupati Tangerang yang cukup mengakar di masyarakat dan mesin politik PDI-P.

Panik

Pada Pemilu 2009, partai masih berlomba-lomba memanfaatkan artis sebagai pengumpul suara. Partai yang paling banyak mencalonkan artis adalah PAN.

Koordinator Divisi Advokasi dan Pelatihan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Tommi A Legowo menilai tindakan parpol mencalonkan artis ibarat berjudi. Tidak ada jaminan perekrutan artis sebagai caleg akan memenangkan partai, sama halnya jika partai merekrut caleg yang bukan artis.

Peluang terpilihnya artis sebagai caleg sama besarnya dengan peluang caleg dari latar belakang lain, baik politisi, pengusaha, maupun mantan pegawai negeri sipil dan mantan anggota TNI/Polri.

Dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, menambahkan, perekrutan artis oleh parpol menunjukkan kepanikan partai untuk meningkatkan perolehan suaranya di tengah ancaman parliamentary threshold sebesar 2,5 persen jumlah kursi DPR. Partai yang kurang melakukan kaderisasi tidak akan yakin kadernya mampu mendongkrak citra partai yang sudah sangat rendah di mata sebagian besar masyarakat.

Tidak ada komentar: