Minggu, 05 Oktober 2008

Seberapa Murni Suara Terbanyak?

Oleh:Sri Budi Eko Wardani
Pengajar Ilmu Politik FISIP UI

Harian ini pada Selasa (23/9) lalu memuat tulisan berjudul ''Masih Ada Waktu Menggusur Nomor Urut'' tentang penetapan calon terpilih. Tulisan tersebut tampaknya merespons upaya sebagian politisi di DPR untuk melakukan revisi terbatas UU No 10/2008.

Saat ini ada gerakan di kalangan fraksi-fraksi DPR untuk menisbikan kembali pencapaian yang mereka buat tatkala mengesahkan UU Pemilu pada 31 Maret 2008. Namun, upaya ini belum final karena masih ada pendapat yang menghendaki UU Pemilu dilaksanakan secara utuh menghadapi pemilu 2009 yang pelaksanaannya kurang dari 200 hari lagi. Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain sehingga pembaca memiliki pemahaman utuh atas hal yang tengah diperdebatkan di DPR.

Usulan revisi UU Pemilu muncul dari keputusan Golkar yang menerapkan suara terbanyak. Keputusan itu menjadi peniup peluit bagi PAN dan Demokrat yang sejak awal mengusung suara terbanyak. Persamaan kepentingan itulah membuat tiga partai ini berkoalisi mendorong mekanisme di DPR untuk revisi UU Pemilu. Bahkan, ada keinginan menempuh cara voting jika terjadi kebuntuan dalam sidang paripurna. Intinya, keputusan internal partai harus diperjuangkan walau harus menerabas keputusan UU yang telah melalui proses panjang.

Sejumlah persoalan
Gagasan memberlakukan suara terbanyak tentu ideal dan dianggap lebih demokratis. Mengapa lebih demokratis? Karena dianggap memenuhi unsur keadilan dan akuntabilitas.

Keadilan dilihat dari memberikan penghargaan kepada caleg yang meraih suara terbanyak karena kerja keras membangun dukungan di daerah pemilihannya secara kontinu. Unsur akuntabilitas dilihat dari pertanggungjawaban yang akan terbangun antara caleg terpilih dan konstituen di dapilnya. Minimal rakyat lebih kenal dengan wakil dari daerahnya.

Untuk mencapai kondisi ideal, suara terbanyak harus dipahami sebagai proses dari hulu ke hilir. Suara terbanyak bukan merujuk pada hasil akhir saja, tetapi proses yang dimulai sejak pencalonan di partai. Bahkan, proses dimulai ketika partai bekerja membangun dukungan rakyat secara simultan. Untuk itu ada sejumlah persoalan demokratis yang harus dicermati jika suara terbanyak dipaksakan berlaku pada pemilu 2009, sementara infrastruktur pendukungnya masih oligarkis dan tidak demokratis.

Tulisan harian ini menyebutkan pengalaman pemilu Indonesia dengan proporsional tertutup dan nomor urut menyuburkan oligarki partai dan tidak memberi ruang pada rakyat menentukan pilihannya. Pendapat tersebut tentu saja benar, tetapi tidak bisa dijadikan pembanding yang sama dengan kondisi saat ini.

Pemilu-pemilu Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen agar dapat dikendalikan dan menjamin kontinuitas kekuasaan. Sistem tertutup (nomor urut) memang menunjang strategi perekayasaan tersebut. Tidak ada persaingan karena semuanya telah ditentukan sebelum pemilu. Kondisi yang sangat berbeda dengan saat ini.

Transisi demokrasi yang ditempuh Indonesia adalah memberikan pembelajaran dan kesempatan politik kepada rakyat, elite, dan partai politik untuk merespons perubahan sistem dan tata cara agar suitable dengan demokrasi. Kita baru memulainya pada pemilu 2004 dengan mulai membiasakan pemilih memilih nama caleg, bukan hanya gambar partai.

Pemilu 2004 yang menerapkan BPP 100 persen dan nomor urut memang belum sempurna. Tetapi, telah memberikan kesempatan politik kepada para caleg untuk berkompetisi, situasi yang tidak terjadi pada Orde Baru. Hal ini menjadi pembelajaran pada para caleg baik laki-laki maupun perempuan.

Pembahasan di pansus RUU Pemilu melahirkan keputusan menggunakan 30 persen BPP dan nomor urut. Digunakannya 30 persen BPP merupakan kompromi antara memberi peluang bekerjanya proses internal partai, merespons kebutuhan mengakomodasi pasar, serta memberikan peluang keterpilihan pada caleg perempuan dalam rangka tindakan afirmatif.

Harapannya, dengan 30 persen BPP akan memenuhi unsur kompetisi antarcaleg di dapil, sekaligus memberi peluang keterpilihan pada kader partai yang selama ini bekerja untuk partai. Tentu saja, konteks 30 persen BPP ini harus dipahami sebagai proses transisi sebelum kita semua siap menerapkan sistem proporsional murni sebagaimana dikehendaki.

Persoalan lain, suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak serta-merta memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya, dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen. Mengapa demikian?

Pertama, suara terbanyak cenderung ditujukan mendongkrak keterpilihan partai politik yang bertumpu pada popularitas caleg di dapil. Itulah sebabnya muncul strategi partai merekrut orang yang sangat populer (seperti artis) yang karena popularitasnya dapat mendongkrak suara. Tetapi, keterpilihan artis, misalnya, lebih disebabkan kepopulerannya, bukan kerjanya membina konstituen di dapil. Maka, suara terbanyak menjadi manipulatif, dalam arti tidak bisa menguji keberhasilan caleg dalam membina konstituennya selama ini.

Kedua, belum terbangunnya mekanisme pencalonan yang transparan dan terukur, serta masih kuatnya peran pimpinan partai (ketua umum, ketua dewan pembina) dalam pencalonan membuat suara terbanyak bersifat prematur. Hal ini rentan terhadap kohesivitas internal partai dalam jangka panjang karena persaingan menjadi tidak sehat.

Bahkan ada gejala keputusan partai menggunakan suara terbanyak karena ketidakmampuan pimpinan partai menyusun kriteria pencalonan serta masih kentalnya nepotisme di dalam partai. Misalnya, ada caleg yang dilempar ke dapil bukan binaannya karena dikalahkan oleh orang yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Maka, suara terbanyak yang dipaksakan pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak memenuhi asas keadilan bagi semua caleg yang bersaing pada suatu dapil.

Ketiga, pencantuman suara terbanyak dalam UU No 10/2008 akan memunculkan masalah harmonisasi. Revisi pasal 214 tidak bisa dilakukan tanpa mengkaji pasal-pasal lain. Misalnya, pemberian suara dan sah tidaknya suara.

Pertanyaan kritis layak diajukan. Jika suara terbanyak yang digunakan, apakah relevan mencoblos gambar partai? Apakah suara sah hanya berlaku jika pemilih mencoblos nama caleg dan bukan gambar partai? Jika ini yang berlaku, berapa potensi suara tidak sah karena pemilih cenderung memilih gambar partai?

Intinya suara terbanyak tidak bisa diterapkan setengah-setengah, tetapi harus melalui kajian mendalam. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan ketika pencalonan sudah memasuki tahap akhir sementara kepastian hukum bagi caleg dan penyelenggara pemilu masih terpenjara oleh berbagai kepentingan di DPR. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan pada hasil akhir melainkan proses yang terbangun sejak awal.

Pelajaran lain dari apa yang ditunjukkan partai-partai tersebut adalah sikap inkonsistensi mereka atas kesepakatan yang dibuat di tengah proses pemilu yang sedang berlangsung. Inkonsistensi yang terjadi karena adanya kepentingan instan dan tidak didasarkan pada upaya membangun demokrasi secara terarah dan berkesinambungan.

Jika revisi terbatas ini diterima, ini preseden buruk bagi proses konsolidasi demokrasi di mana partai politik (semestinya) bisa memberikan pelajaran yang baik dalam proses tersebut. Demokrasi bukanlah hasil akhir. Demokrasi proses demi kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan sekelompok orang. Semoga anggota DPR dapat lebih arif melihat masalah ini.

Ikhtisar:
- Pemilu pada Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen.
- Suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak langsung memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen.

(republika.co.id)

Tidak ada komentar: