Senin, 20 Oktober 2008

Politik Keluarga Amat Berbahaya


Caleg Kerabat Juga Ada di Daerah
Senin, 20 Oktober 2008 | 00:19 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah partai politik masih menerapkan pola kekeluargaan dalam perekrutan tokohnya, baik dalam penentuan calon wakil rakyat maupun jabatan politik lainnya. Bahkan, politik kekeluargaan itu kini mengarah pada dinasti karena munculnya generasi ketiga atau cucu tokoh dalam penentuan jabatan politik, khususnya pencalonan anggota parlemen.

Seperti dicermati Kompas dari daftar calon sementara anggota DPR, Minggu (19/10), dua cucu mantan Presiden Soekarno, Puan Maharani dan Puti Guntur Soekarnoputri, menjadi calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). PDI-P juga menempatkan Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno dan ibu Puan, sebagai calon presiden untuk Pemilu 2009. Selain itu, sejumlah anggota keluarga Megawati juga menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari PDI-P.

Sukmawati Soekarno, adik kandung Megawati, yang memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme juga menjadi caleg untuk Daerah Pemilihan Bali. Sejumlah politisi lainnya juga menempatkan kerabatnya sebagai caleg.

Amat berbahaya

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Arbi Sanit, mengakui, adanya kecenderungan politik keluarga, bahkan dinasti, mewarnai perekrutan tokoh politik di negeri ini. Suami, istri, anak, keponakan, ipar, dan bagian keluarga lainnya banyak yang mencoba terjun ke politik secara berbarengan. Di tengah belum terbangunnya tradisi berdemokrasi yang baik, gejala ini amat berbahaya sehingga harus ditolak.

”Politik dinasti, politik klik, harus ditolak. Ketika perangkat demokrasi belum berfungsi akan terjebak pada konflik kepentingan atau penyalahgunaan kewenangan,” ucap Arbi, Sabtu.

Menurut dia, politik dinasti juga banyak terjadi di negara yang sudah lama menjalankan sistem demokrasi, seperti di Amerika Serikat atau India. Namun, yang menjadi persoalan adalah belum adanya kriteria dan standar prosedur seleksi pejabat negara yang benar- benar obyektif dan lemahnya kontrol di negeri ini. ”Kontrol anggaran tidak berjalan, etika politik tidak berjalan, oposisi juga tidak berjalan. Semua dapat diterobos oleh dinasti,” paparnya.

Sebaliknya, Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung berpendapat, politik dinasti tak perlu terlalu diperdebatkan.

Menurut Pramono, seorang anggota DPR tidak bisa bertindak atas nama pribadi karena fraksi adalah kepanjangan partai. Apabila ada seorang anggota Dewan yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan anggota lain atau pejabat lain, pengaruhnya tidak terlalu signifikan.

Hal ini juga harus dilihat dari rekam jejak politisi itu. Dia mencontohkan, Taufik Kiemas sebelum menikah dengan Megawati sudah menjadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Taufik juga sempat merasakan dipenjara berulang kali.

”Puan Maharani juga sejak kecil ikut sepak terjang bapak dan ibunya. Sebab itu, tak perlu diperdebatkan,” katanya. Aturan main di partai harus ditegakkan. Ini juga sudah dilakukan PDI-P.

Juga terjadi di daerah

Fenomena politik kekeluargaan, termasuk dalam penentuan caleg, juga terjadi di daerah. Kondisi itu terlihat dalam pencalonan anggota DPRD, baik di tingkat kabupaten/kota atau provinsi, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

”Kami tidak mendata jumlahnya secara pasti, tetapi perkiraan kasarnya mencapai 10 persen dari total 774 orang yang masuk DCS,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum Kalteng Awongganda W Linjar, terkait caleg yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh partai atau pejabat di daerah itu.

Awongganda menyatakan, pola hubungan kekerabatan itu bervariasi, antara lain ayah dan anak, seperti caleg dari PDI-P, R Atu Narang dan Aries M Narang. Ada pula hubungan mertua-menantu hingga paman-keponakan.

Hairansyah, anggota KPU Kalsel, mengungkapkan, caleg memiliki hubungan keluarga tidak dipermasalahkan KPU. Sebab, ketentuan yang dipakai adalah caleg itu bisa diterima karena resmi diusulkan partai dan memenuhi persyaratan.

Hairansyah mencontohkan, selain ada beberapa keluarga yang menjadi caleg, di Kalsel juga terdapat bentuk hubungan caleg karena ayahnya menjadi ketua partai. Contohnya, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kalsel dan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar Kalsel Sulaiman HB tidak maju sebagai caleg, tetapi anak mereka, Aditya Mukti Ariffin sebagai caleg PPP dan Hasnuriyadi sebagai caleg Golkar untuk DPR.

Dari Kaltim, Ketua KPU Kabupaten Nunukan Sumaring dan anggota KPU Kota Bontang Adief Mulyadi mengakui adanya caleg yang berhubungan darah dengan tokoh parpol atau pejabat di daerah itu.

Asalkan berjalan alamiah

Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, di Jakarta, Sabtu, menilai tumbuhnya dinasti atau keluarga politik di negeri ini wajar saja sepanjang prosesnya berjalan alamiah. Dinasti politik bukan khas Indonesia.

Namun, proses untuk bisa dicalonkan oleh parpol tidak boleh terjadi seketika. Politisi mestinya ”berkeringat” terlebih dulu untuk sampai ke suatu posisi. Jika proses tidak adil, wajar pula jika muncul ”pemberontakan kecil” di tubuh parpol. ”Jika prosesnya tidak alamiah, yang muncul politisi tiban,” sebut Ikrar.

Melihat fenomena ”pewarisan kekuasaan” itu, Ikrar mengingatkan, mau tak mau rakyatlah yang menjadi penentu. Calon mesti dilihat betul kemampuannya, jangan sekadar nama besar orang tua atau keluarganya.

Menurut Ikrar, siapa pun politisi yang hendak dicalonkan ke lembaga perwakilan mesti dilatih untuk menghadapi persoalan di lapangan. Mereka mesti punya ketahanan politik yang besar sehingga bisa menghadapi dan memecahkan persoalan politik. (SUT/DIK/BRO/CAS/FUL/RWN)

Tidak ada komentar: