Selasa, 21 Oktober 2008

TAJUK RENCANA

Mewariskan Kekuasaan

Fenomena nepotisme politik dalam pencalonan anggota legislatif dipersoalkan. Ada kekhawatiran, praktik itu bertabrakan dengan prinsip demokrasi.

Kecenderungan menempatkan suami, istri, anak, ipar, atau keponakan merupakan gejala politik yang akrab terjadi pada era Orde Baru dan mungkin masa sebelumnya. Di era kekuasaan Soeharto, mantan presiden itu mengangkat putrinya sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan ditunjuk sebagai menteri. Seorang pengusaha dekatnya ditunjuk sebagai anggota kabinet. Di era yang sama, beberapa sanak keluarga pejabat atau tokoh ditunjuk menjadi anggota MPR utusan golongan. Sistem politik Orde Baru membuka kemungkinan untuk itu.

Era Orde Baru akhirnya berakhir. Perilaku politik Orde Baru lalu meninggalkan isu kroniisme dan nepotisme sebagai isu politik sentral dalam panggung politik era reformasi. Dalam konteks pemberantasan korupsi, lahir Ketetapan MPR tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Gejala dinasti politik juga terjadi di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat yang sering disebut klan Kennedy, atau dinasti Bhutto di Pakistan atau dinasti Nehru di India. Yang membedakan mereka, menurut Syamsuddin Haris dalam artikelnya di Kompas, 20 Oktober 2008, mereka berkiprah di bidang politik tidak semata-mata karena nepotisme, tetapi justru karena rekam jejak, kapabilitas, dan latar belakang pendidikan ilmu politik dan hukum mereka.

Dalam sistem politik demokrasi sekarang ini, kita tidak ingin menutup hak politik para kerabat tokoh politik yang berkuasa untuk muncul dalam panggung politik. Karena apa pun, dalam sistem demokrasi, hak untuk berpolitik dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia. Hal itu juga tercantum dalam International Covenant Civil and Political Right yang telah diratifikasi pemerintah.

Penunjukan atau penempatan kerabat, sanak keluarga, atau tokoh hendaknya tetap mengedepankan semangat kompetisi dan kompetensi yang juga merupakan prinsip dari demokrasi itu sendiri. Kita tidak ingin Indonesia menjadi ”negara teater” seperti dikatakan Clifford Geertz, yang lebih mengedepankan kekerabatan dan kekeluargaan. Elite partai adalah pemilik, sedangkan para pemilih hanyalah penonton belaka!

Dalam latar demokrasi itulah, kita mempertanyakan apakah politik mewariskan kekuasaan—di legislatif atau eksekutif—dengan menempatkan kerabat tokoh partai pada nomor jadi benar-benar didasarkan pada penilaian kompetensi dari yang bersangkutan dan adanya dukungan riil dari bawah atau semata-mata karena hak prerogatif dari pemimpin partai yang berkuasa.

Tanpa adanya rasionalitas politik demokrasi yang mendasari penunjukan itu, sebenarnya kita hanya mempertahankan perilaku politik lama dan bingkai politik yang baru! Dan, itu bisa membangkitkan apatisme politik!

Tidak ada komentar: