Jumat, 31 Oktober 2008

Manifesto 1925: Prolog dari Belanda


Tiga tahun sebelum 1928, para pelajar Indonesia di Belanda menerbitkan Manifesto 1925. Lebih penting dari Sumpah Pemuda.

ANAK-ANAK muda yang bergelora! Dalam setelan jas Barat, dagu mereka sedikit terangkat dengan pandangan mata tajam dan serius. Ini soal harga diri: kesadaran bahwa mereka bagian dari sebuah bangsa yang baru lahir. Selembar foto tua pertengahan 1920-an menggambarkan suasana itu. Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Achmad Soebarjo, Soekiman Wirjosandjojo adalah mereka yang memulai Indonesia di usia yang sangat muda.

Dua di antara anak-anak muda itu suatu hari bertemu. Yang satu, Mohammad Hatta, pada September 1921 baru tiba di Nederland. Yang lain, Nazir Pamuntjak, sudah lebih dulu tinggal di Leiden. Ketika itu Nazir tengah menengok Hatta yang menginap di Tehuis voor Indische Studenten, rumah untuk mahasiswa dari Hindia, di Den Haag.

Ketika itu Nazir baru lulus ujian negara untuk mata kuliah bahasa Yunani dan Latin. Sebentar lagi ia jadi mahasiswa fakultas hukum di Leiden. Ia mengajak Hatta bergabung dengan perkumpulan mahasiswa Hindia di Belanda bernama Indische Vereniging—dibangun bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.

”Di sini tak ada lagi inlander,” kata Nazir. ”Bekas ’inlander’ di Hindia Belanda menyebut dirinya dengan nama Indonesier”.

Hatta menyahut senang. ”Kita sekarang, mahasiswa di Nederland, akan mengemukakan Indonesia sebagai nama tanah air.”

l l l

Mohammad Hatta, pemuda Minang kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, saat itu sedang melek-meleknya politik. Sebelum ke Belanda, ia sudah menjadi bendahara di Jong Sumatranen Bonds di Padang dan Betawi—yang pendiriannya digagas Nazir. Setahun sebelumnya, saat masih sekolah di Prins Hendrik Handels School di Betawi, anak rantau ini sudah pernah menulis esai Namaku Hindania! Isinya tentang penyesalan Hindania, seorang janda kaya, yang menyesal kawin dengan Wollandia, suami baru yang mengeruk habis hartanya.

Semangat mudanya bertemu dengan spirit para senior di Belanda. ”Mereka semua tumbuh dan mulai membaca persis ketika sekolah-sekolah di Hindia Belanda begitu gencar dimasuki oleh pandangan kaum liberal yang sedang marak di Tanah Rendah (Netherlands),” kata peneliti Mochtar Pabottingi dalam sebuah artikelnya.

Hatta sendiri menuturkan pengalamannya tinggal di tengah-tengah orang kulit putih itu dengan segar: ”Seakan ada langit baru yang terbuka di atas kepala. Perasaan ’merdeka’ itu menyeruak; membebaskan dari atmosfer sempit dan menyesakkan dari kehidupan kolonial,” kata Hatta, seperti dikutip Mavis Rose dalam Indonesia Free, A Political Biography of Mohammad Hatta.

Mengikuti Nazir, Hatta langsung bergabung dengan Indische saat ia mampir ke Leiden pada September 1921. Enam bulan kemudian, ia menghadiri rapat pergantian ketua antara Dr Soetomo dan Hermen Kartawisastra. Lokasinya berada di lantai dua sebuah kafe. Berbeda dari kebanyakan yang bersekolah di Leiden, Hatta bersekolah di Sekolah Dagang Rotterdam, atau Rotterdamse Handelshogeschool.

Pada malam itulah nama organisasi mereka berubah menjadi Indonesische Vereniging. Saat itu istilah ”Indonesier” dan kata sifat ”Indonesich” sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis seperti Profesor Van Vollenhoven. ”Sehingga kata ’Indonesia’ menjadi tanah air adalah ciptaan Indonesische Vereniging,” kata Hatta, dalam Memoir yang ditulisnya pada 1979.

Menarik untuk diikuti bahwa saat pertemuan itu berlangsung, Darmawan Mangunkusumo demikian bersemangat dan berkata bahwa mulai saat itu mereka mesti membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederlands-Indie. Tapi Sastromoeljono menyindir dan mengatakan, ”Itu kan teori saja, prakteknya bagaimana?” kata dia, seperti dikutip Hatta.

Sindiran Sastromoeljono—kemudian menjadi hakim dan panitia persiapan kemerdekaan—terjawab. Dalam rapat diputuskan, mereka menerbitkan kembali majalah dwibulanan Hindia Poetra. Hatta pengasuhnya. Disepakati pula, setiap tulisan dalam majalah 16 halaman seharga 2,5 gulden setahun itu tak ada nama pengarang agar, ”isinya mencerminkan pendapat kolektif,” Hatta menulis.

Penerbitan Hindia Poetra itu kemudian menjadi ”praktek” manjur bagi para intelektual muda itu menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam dua edisi pertama, Hatta menyumbangkan kritiknya akan sewa tanah industri gula di Hindia Belanda yang merugikan kalangan tani.

Tapak mereka sungguh berani. Tatkala Iwa Kusumasumantri menjadi ketua (1923), Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi, artinya berjuang demi kemerdekaan tanpa butuh kerja sama Belanda. Setahun kemudian, ketika Nazir (1924) memimpin Indonesische, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Giliran Soekiman Wirjosandjojo yang memimpin (1925), nama Indonesische Vereniging resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.

Ketika Hatta memimpin, ia menjadi ketua empat tahun berturut-turut (1926-1930)—periode terlama karena sebelumnya setiap ketua hanya menjabat setahun sekali. Ada empat pokok perjuangan yang melandasi mereka: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan swadaya. ”Perhimpunan menggabungkan semua unsur itu sebagai satu kebulatan yang belum pernah dikembangkan oleh organisasi lain sebelumnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Selama dipimpin Hatta, sosiolog Ignas Kleden memuji tindakannya ”menggalakkan secara terencana” propaganda tentang Perhimpunan ke luar negeri Belanda. Arnold Mononutu dikirimnya ke Paris, Hatta sendiri berangkat ke Biervielle, Prancis, sebagai wakil Perhimpunan dalam Kongres Demokrasi Internasional. Di sini Hatta mendesak sidang menggunakan istilah ”Indonesia” sebagai ganti ”Hindia Belanda”. Ia pergi pula ke Kongres Internasional Menentang Kolonialisme di Brussel, Belgia, di mana Hatta dan Jawaharlal Nehru menjadi anggota badan eksekutif.

Sedang Hatta berada di Samaden, Swiss, dalam undangan Liga Wanita Internasional, ia membaca dari koran Jerman Vorwarts, polisi Belanda menggeledah rumah pengurus Perhimpunan. Dua bulan kemudian, September 1927, ia ditangkap di Den Haag dan dibawa ke penjara Casiusstraat, bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir Pamuntjak. Tuduhan kepada mereka, menjadi anggota perkumpulan terlarang, terlibat dalam pemberontakan dan menghasut untuk menentang kerajaan Belanda.

Salah satu yang dijadikan barang bukti: hubungannya dengan Semaun, tokoh yang dianggap bertanggung jawab terhadap pemberontakan komunis 1926 di Hindia Belanda, dan sejumlah edisi Indonesia Merdeka. Dengan bantuan tiga ahli hukum pro-republik, keempatnya bebas dari semua tuduhan, delapan bulan sebelum Sumpah Pemuda diproklamasikan di Jakarta.

l l l

Dalam salah satu edisi Indonesia Merdeka kala itulah kemudian muncul apa yang disebut sebagai Manifesto 1925. Isinya menyangkut ketegasan sikap: (1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun dan; (3) Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai. Seperti juga pleidoi Hatta, tulisan ini, dan semua karangan yang diterbitkan Indonesia Merdeka, kemudian sampai ke tanah air dan secara sembunyi-sembunyi dijadikan bahan bacaan populer.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengutip Sartono Kartodirdjo menyebut Manifesto 1925 itu lebih penting daripada Sumpah Pemuda. Ini karena di dalamnya terdapat tiga prinsip dasar unity (persatuan), fraternity (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan)—terilhami dari semangat revolusi Prancis liberte-egalite-fraternite yang meruah-ruah kala itu.

Tapi, siapa yang menulis manifesto itu? Tak diketahui karena seperti tadi diungkapkan, tak ada byline dalam majalah itu. Namun Indonesia Merdeka mengukuhkan kehendak sekumpulan intelektual muda yang dadanya buncah dengan semangat zaman.

Hatta pulang dari Belanda pada 1932. Ia konsekuen membantu melahirkan republik ini dengan jalan berliku, sebelum memproklamasikannya, dengan Soekarno, pada 1945. Keduanya kemudian ditahbiskan menjadi presiden dan wakil presiden pertama. Seperti diungkapkannya dalam pleidoi berjudul Indonesia Vrij di hadapan tuan-tuan hakim pengadilan Den Haag 1928, mengutip pujangga Belgia Rene de Clercq:

Er is maar een land,
dat mijn land kan zijn,
Het groeit met de daad,
En die daad is mijn.
Hanya ada satu negara,
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan,
dan perbuatan itu perbuatanku.

Tidak ada komentar: