Selasa, 21 Oktober 2008

Politik Keluarga Semakin Masif


Megawati dan Kalla Minta
Jangan Dilihat dari Sisi Negatif
Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:20 WIB

Jakarta, Kompas - Politik keluarga, yang mengarah pada dominasi keluarga dalam penentuan calon anggota legislatif dan jabatan politik lain di partai politik, saat ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan Pemilu 2004. Saat ini praktik itu lebih masif, baik di pusat maupun daerah.

Demikian penilaian Direktur Eksekutif Charta Politica Bima Arya Sugiaro di Jakarta, Senin (20/10). Hal ini terjadi karena, pertama, sejumlah politisi senior harus mundur. Mereka memilih keluarganya menjadi penerus karena sistem kaderisasi parpol masih lemah. Daripada menyerahkan kursi kepada kader yang tidak jelas ”loyalitas dan kapasitasnya”, lebih baik menyerahkan kepada keluarga.

Maraknya politik keluarga, bahkan mengarah pada dinasti (keluarga besar), lanjut Bima, juga disebabkan sistem pemilu dan persaingan yang kian ketat dan liberal. Akibatnya, nama besar dan ketokohan yang dimiliki sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini bisa menjadi modal meraup suara.

”Politik dinasti ini berbahaya karena bisa menimbulkan gejolak internal dari kader yang tak puas. Hanya perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal yang bisa menyelamatkan parpol dari bencana politik dinasti. Publikasi rekam jejak calon anggota legislatif (caleg) kroni bisa membantu,” papar Bima.

Sebaliknya, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ichlasul Amal berpendapat, banyaknya keluarga pemimpin partai atau mantan penguasa yang terjun ke dunia politik lebih didorong oleh faktor pragmatisme, bukan ideologi. Hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan partai dan pendidikan politik nasional.

”Proses kaderisasi dalam partai memang tidak jelas, apalagi sekarang tidak ada ideologi dalam partai. Kalau dulu yang jadi penyaring masuknya seseorang dalam partai itu, kan, ideologi sehingga tidak bisa seenaknya bawa anak atau istri,” ujarnya.

Amal mengakui, kemampuan dan kapasitas keluarga pemimpin politik sebagian besar belum teruji. Karena itu, layak menjadi pertanyaan jika mereka menduduki posisi penting dalam parpol atau menjadi caleg nomor jadi.

Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta, Andrinof Chaniago, Senin di Jakarta, menyesalkan nepotisme dalam pengajuan caleg yang melibatkan sejumlah tokoh reformasi. Sebab, gerakan reformasi ingin menghapus nepotisme yang dilakukan rezim Orde Baru yang menjerumuskan bangsa dalam kehancuran. Namun, tokoh itu justru mengulangi tindakan Orde Baru.

Lihat secara wajar

Di Subang, Jawa Barat, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri berharap majunya anak atau keluarga petinggi parpol pada Pemilu 2009 jangan selalu dilihat dari sisi negatif. Pandangan itu bisa mencegah pembentukan kader bangsa. Dinasti politik juga ada yang baik, seperti keluarga Kennedy di Amerika Serikat atau Nehru di India.

”Jika saya maju, masak anak saya tidak boleh karena dianggap nepotisme? Bagaimana pembentukan kader baru? Jika anaknya tidak pernah aktif, kerjanya foya- foya, bolehlah dikomplain,” ujar Megawati.

Ia menyebutkan, putrinya, Puan Maharani, seperti bersekolah di partai. ”Ia mengikuti saya dari peristiwa Kongres Luar Biasa PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 1993. Saat peristiwa 27 Juli 1996, ia juga ikut membantu dapur umum di Kebagusan,” papar Megawati.

Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla juga menegaskan, tak ada dinasti dalam kehidupan partai di Indonesia. Yang ada justru pengaruh keluarga kepada tokoh tertentu. ”Seperti pengusaha, anaknya juga cenderung menjadi pengusaha. Tentara juga demikian karena anaknya berada dalam lingkungan militer. Jadi, jika anak Agung Laksono (Ketua DPR), yakni Dave, jadi anggota DPR, itu karena lingkungannya setiap hari ia mendengar omongan politik. Semakin lama, ia tentu akan tertarik dengan politik,” ujarnya.

Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Jabar Ahmad Kurdi Moekri menyatakan, sejumlah caleg keluarga tokoh partainya adalah kader berkualitas. Mereka masuk dalam bursa caleg tidak berbekal nama besar orangtua atau kerabatnya, tetapi karena aktivitas mereka masing-masing. (MZW/NWO/RWN/DIK/HAR/REK/ CAS/WHY/HAN/INA/IKA/WHO)

Tidak ada komentar: