Selasa, 21 Oktober 2008

Pemimpin Sejati


Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:19 WIB

SUKARDI RINAKIT

Mencermati dinamika Rapimnas Partai Golkar beberapa hari lalu, ingatan saya diseret mundur ke beberapa tahun silam. Ketika itu, keponakan saya, Patih M Pratama (7), bertanya, ”Mengapa pemimpin disebut sebagai orang yang berselimut? Apakah karena takut?”

Penulis menjawab spontan ketika itu. Siapa pun takut ketika mendapat tugas besar dan tanggung jawab berat. Itu menjadi cermin kalau dalam hati selalu bersemayam rasa takut dan khawatir terbuka peluang bagi kita untuk menjadi pemimpin yang baik. Cita-citanya lebih besar daripada diri sendiri. Menjadi pemimpin sejati.

Keponakan saya hanya bengong mendengar ucapan tersebut. Ketika suatu hari ada kabar ia akan ditunjuk sebagai ketua kelas, ia pulang cepat-cepat dan meringkuk di bawah selimut. Menangis.

Pentingnya cawapres

Saya tak tahu apakah nama- nama yang muncul sebagai kandidat presiden, termasuk dalam Rapimnas Partai Golkar, termasuk orang-orang yang berselimut atau tidak. Selama ini kecenderungan umum yang terjadi adalah semua figur merasa yang paling bisa memimpin. Bukannya rasa takut dan khawatir yang muncul, tetapi malah kebanggaan. Akibatnya, simbol- simbol yang menonjol adalah kejemawaan daripada kearifan, kesombongan daripada rendah hati.

Kecenderungan seperti itu bisa kita lihat dalam iklan politik yang mulai membanjiri ranah publik beberapa bulan terakhir. Semua figur yang tampil seakan-akan menjadi sosok yang terpilih. Menjadi juru selamat.

Fenomena itu menegaskan bahwa karakter bangsa Indonesia sejatinya melodramatik. Salah satu indikatornya adalah mudah kasihan. Melihat orang dizalimi, kita mudah kasihan. Melihat orang hidup semakin susah seperti akhir-akhir ini, kita jatuh kasihan. Karena perasaan kasihan menggelembung berlebihan, ujung-ujungnya kita mengidentifikasi diri sebagai juru selamat.

Itulah analisis sederhana terkait dengan banyaknya figur yang muncul menjadi calon presiden pada 2009. Dari sekitar 16 nama tokoh yang beredar, sebenarnya hanya ada 4 nama yang mempunyai ”setrum” kuat di ranah publik. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wiranto. Dengan kata lain, penantang utama SBY adalah ketiga tokoh tersebut.

Adapun nama-nama lain tak lebih dari sekadar dinamika. Selain itu, sebagian besar dari mereka hanya cocok untuk posisi calon wakil presiden ataupun menteri.

Jika situasi itu ditanyakan kepada ibu saya di Madiun, ia pasti akan menjawab, ”Mulat sarira, tansah eling lan waspada (mawas diri, selalu ingat dan waspada)”. Maksudnya, jangan memaksakan diri jika kemampuan dan kualitas moral kita pas-pasan. Kalau bajunya hanya seukuran cawapres atau menteri, tak perlu merebut baju capres yang kedodoran.

Selain itu, bukan berarti peran sebagai cawapres tidak penting. Justru sebaliknya, nasib keempat tokoh yang mempunyai ”setrum” kuat tersebut sangat ditentukan oleh siapa cawapresnya. Ini disebabkan publik secara umum sudah mengetahui kualitas para capres unggulan itu. Jadi, pada Pemilu 2009, magnet ada di tangan cawapres.

Yogyakarta terbelah?

Di antara tokoh yang disebut sebagai capres pada Pemilu 2009, Sultan HB X boleh dianggap sebagai figur paling kontroversial. Ketika namanya menguat, dikabarkan rakyat Yogyakarta menjadi terbelah. Ada kelompok yang setuju Sultan berkiprah di pentas nasional, sebaliknya, ada yang tidak setuju. Kelompok terakhir ini tidak ikhlas jika rajanya menjadi presiden, misalnya, ia akan menjadi sasaran kritik seperti presiden lainnya.

Oleh karena dalam politik semua serba mungkin, tidak tertutup kemungkinan pembelahan seperti itu justru diembuskan oleh lawan-lawan politik Sultan. Padahal, warga Yogyakarta itu unik. Contohnya, saat diempas gempa bumi, dulu, dalam waktu singkat mereka bangkit mandiri.

Jika sikap seperti itu dihadapkan pada pilpres nanti, di mana banyak capres berkompetisi, tak tertutup kemungkinan ikatan halus dalam alam bawah sadar mereka justru akan menyatu. Maksudnya, daripada terbelah menjadi kepingan-kepingan kecil karena mendukung capres yang berbeda, lebih baik mereka bersatu mengusung ”orang” sendiri, yaitu Sultan. Dengan demikian, harmoni kehidupan dan napas Yogyakarta bisa terjaga.

Tapi siapa pun yang menjadi presiden, Indonesia butuh pemimpin sejati. Ia bukan penebar hegemoni, tetapi penyerap kearifan tiap suku bangsa yang menjadikan Indonesia tegak berdiri. Karakter simboliknya adalah Sumpah Pemuda (bottom up) dan bukan Sumpah Palapa (top-down). Kesadaran nuraninya adalah memimpin itu untuk mengabdi, bukan berkuasa. Setiap tarikan napasnya adalah kebhinnekaan kita.

Apakah ada pemimpin yang sempurna seperti itu? Tidak ada. Kita cukup mencari yang mendekati saja!

Tidak ada komentar: