Selasa, 14 Oktober 2008

09/2008 07:45 WIB Kemal Syamsuddin

Bencana keuangan negeri Paman Sam

oleh : Kemal Syamsuddin
Direktur Eksekutif National Institute

Bencana keuangan tengah melanda negeri Paman Sam. Minggu lalu, beberapa bank investasi besar kelas dunia yang telah menggurita ke berbagai penjuru dunia rontok hanya dalam hitungan hari. Dimulai dari bangkrutnya Lehman Brothers Inc., beberapa bank investasi besar lainnya segera menyusul collaps. Runtuhnya berbagai bank investasi di Amerika Serikat itu segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.

Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bank-bank sentral di Amerika, Eropa dan Asia segera turun tangan menyuntikkan dana untuk mendorong likuiditas perekonomian, sehingga diharapkan dapat mencegah efek domino dari ambruknya bank-bank investasi kelas dunia tersebut.

Lantas, pertanyaannya, sejauh mana bencana keuangan tersebut dapat berakibat pada perekonomian Indonesia? Memang banyak pihak yang mengkhawatirkan imbas dari gelombang kepanikan yang melanda pusat-pusat keuangan dunia tersebut. Kekhawatiran bahwa resesi ekonomi dunia yang dipicu ambruknya lembaga-lembaga keuangan kelas dunia di Amerika Serikat akan berujung pada resesi global, serta bakal terulangnya krisis ekonomi pada akhir 1990-an lalu memang patut dicermati.

Kendati kekhawatiran itu dapat terjadi, namun agaknya kekhawatiran itu terlalu berlebihan, terutama untuk Indonesia. Ketika krisis ekonomi melanda Negara-negara kawasan Asia termasuk Indonesia, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan Filipina pada 1998 lalu, memang berawal dari larinya dana-dana jangka pendek dari negara-negara tersebut yang dipicu oleh hilangnya kepercayaan para pemilik modal pada negara-negara itu.

Hilangnya kepercayaan yang awalnya hanya terjadi di Thailand kemudian dengan cepat menyebar dan mewabah ke berbagai negara tetangga terdekat, termasuk Indonesia. Kondisi Indonesia sendiri ketika itu memang sedang disesaki oleh dana-dana jangka pendek yang bersifat sangat labil dan mudah lari. Selain itu exposure pinjaman luar negeri swasta maupun pemerintah yang tidak tercover oleh mekanisme lindung nilai juga bernilai sangat besar.

Kondisi ekonomi Indonesia ketika itu yang lebih mirip buble economic dengan mudah meletus ketika terjadi krisis kepercayaan pemilik dana-dana asing pada prospek perekonomian negeri ini. Itu sebabnya, dengan mudah dan cepat wabah krisis ekonomi yang melanda Thailand menular ke Indonesia.

Tetapi kondisi saat ini sudah jauh berbeda. Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, sebenarnya kepercayaan bank-bank investasi berkelas dunia-yang notabene minggu lalu baru saja bangkrut--hingga saat ini memang belum pulih. Masih sangat sedikit pinjaman luar negeri swasta yang berasal dari pundi-pundi lembaga keuangan internasional berhasil digaet oleh institusi bisnis nasional.

Dengan sendirinya aliran pinjaman komersial luar negeri yang masuk ke perbankan nasional dan kemudian tersalurkan kepada berbagai perusahaan nasional untuk membiayai proyek-proyek investasi juga masih sangat sedikit. Selain karena tingkat kepercayaan institusi keuangan internasional terhadap perusahaan-perusahaan swasta nasional masih belum pulih seluruhnya, kapasitas ekspansi dan investasi perusahaan nasional juga memang masih relative rendah.

Karena itu, kekhawatiran bahwa bencana keuangan di Amerika dan Eropa akan merembet ke Indonesia masih terlalu dini. Yang seharusnya lebih dikhawatirkan saat ini adalah, dampak dari kontraksi ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa pasca bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan berkelas dunia itu. Akibat dari bangkrutnya bank-bank investasi tersebut, maka kucuran kredit yang mengaliri urat nadi perekonomian Amerika Serikat dan Eropa akan semakin seret.

Likuiditas perekonomian di Amerika Serikat dan Eropa juga akan semakin ketat, kendati bank-bank sentral Amerika Serikat dan Eropa sudah menyuntikkan dana likuditas bernilai hamper US$ 100 miliar untuk merangsang perekonomian.

Keringnya aliran kredit serta likuiditas yang semakin minim akan mengakibatkan kontraksi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa. Sehingga daya beli atau permintaan Amerika Serikat dan Eropa akan menurun. Ini berarti peluang ekspor bagi Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia menjadi relatif berkurang.

Kondisi itulah yang seharusnya menimbulkan kekhawatiran sehingga harus diantisipasi dan dicarikan solusinya. Untuk itu, pemerintah perlu mencari peluang-peluang pasar baru atau menciptakan insentif-insentif fiskal mapun non-fiskal yang dapat mendorong daya saing bagi perusahaan-perusahaan nasional yang berorientasi ekspor.

Kebijakan di sektor perdagangan internasional serta sektor pendukungnya juga harus ditinjau ulang untuk mengikis habis ekonomi biaya tinggi yang hingga kini masih sering dikeluhkan dunia usaha. Masalah ekonomi biaya tinggi ini, memang menjadi isu yang semakin sering dilontarkan dunia usaha terutama sejak berlangsungnya otonomi daerah. Reformasi politik yang berlangsung selama ini, ternyata belum berhasil mengikis aktivitas-aktivitas bawah meja yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Tidak ada komentar: