Jumat, 28 November 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”



Oleh Saidiman

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

Reportase Diskusi Bulanan JIL
“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”
Teater Utan Kayu, 30 Oktober 2008

Fenomena partai-partai Islam memicu perbincangan menarik belakangan ini menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan dominan pada pemilihan umum 2009. Seiring dengan beberapa kemenangan yang terekspose oleh media itu, beberapa lembaga survei merilis temuan terakhir yang menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terus mengalami peningkatan suara: dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 (masih bernama PK) menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 dan survei-survei itu menunjukkan bahwa PKS saat ini bisa mencapai 9-11 persen suara. DPP PKS bahkan menargetkan 20 persen suara pada Pemilu 2009.

Wacana yang berkembang dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), 30 Oktober 2008, tampak mengusung kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kebanyakan media mengenai bangkitnya kekuatan partai politik Islam. Dua narasumber, Dodi Ambardi (Lembaga Survei Indonesia) dan Burhanuddin Muhtadi (Charta Politika), sepakat untuk hati-hati melihat fenomena “kebangkitan” ini. Sementara Zulkiflimansyah (Partai Keadilan Sejahtera) lebih banyak berbicara dari sudut pandang politisi partai islamis.

Di pihak yang lain, ada sejumlah kalangan, terutama politisi, yang menilai bahwa dikotomi antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sudah kehilangan relevansi. Ini terkait dengan tidak jelasnya materi kampanye masing-masing partai. Partai yang dikenal nasionalis dengan mudah mengumbar jargon-jargon Islam, sementara partai yang dikenal berideologi islamis malah mengusung semangat nasionalisme. Dalam sebuah talkshow televisi yang diadakan oleh harian Republika, Yusuf Kalla menegaskan “Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis.” Taufik Kiemas, Muhaimin Iskandar, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, dan Republika sendiri mengeluarkan pendapat yang senada dengan Yusuf Kalla.

Politik Aliran

Kesimpulan para tokoh di atas dibantah oleh Dodi Ambardi dan Burhanuddin. Dodi mengemukakan beberapa fakta. Pada level perdebatan institusional di lembaga legislatif, beberapa kasus yang paling sensitif menunjukkan pembelahan ideologis itu masih relevan. Perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Sisdiknas, Pornografi, dan Piagam Jakarja menunjukkan pembelahan ini berjalan secara konsisten. Agenda-agenda Islam yang termuat dalam sejumlah Rancangan Undang-undang itu ditolak secara konsisten oleh partai-partai nasionalis (PDIP, PDS, Golkar, dan seterusnya). Sementara partai-partai islamis hampir selalu menjadi pendukung terdepan agenda-agenda ideologis tersebut.

Pada level pemilih, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa sebetulnya masyarakat bawah mampu membedakan garis batas ideologi dalam partai-partai politik. Survei LSI, 8-20 September 2008, menunjukkan kecenderungan pemilih mengidentifikasi PKS, PKB, PPP, PAN, PNUI dan PBB sebagai partai yang islamis. Sementara Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra adalah partai nasionalis atau pancasilais.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa para pemilih sesungguhnya menolak klaim para petinggi partainya sendiri. Ada kesenjangan antara opini publik yang berkembang di kalangan elit partai dan realitas politik yang ada.

Burhanuddin memberi data yang lebih spesifik mengenai realitas politik PKS. Belakangan ini PKS begitu sibuk membangun citra nasionalis bagi partainya. Pada sejumlah materi kampanye terlihat bahwa PKS mencoba meraih simpati pemilih nasionalis dengan mengusung ide-ide mengenai toleransi dan nasionalisme. Tokoh-tokoh nasionalis semacam Soekarno bahkan tampil dalam materi-materi kampanye tersebut. Para elit PKS juga sibuk melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah citra PKS yang Islamis menjadi nasionalis. Tetapi menurut data kuantitatif yang dikemukakan oleh Burhanuddin, mayoritas aksi kader-kader PKS dalam bentuk demonstrasi selalu berhubungan dengan agenda-agenda islamis. Pemilih PKS juga adalah pemilih yang paling kuat mendukung agenda-agenda islamis, seperti pemberlakuan hukum potong tangan, menolak presiden perempuan, dan seterusnya. Apa yang dikemukakan oleh para elit PKS ternyata tidak memiliki korelasi dengan aspirasi dasar pemilih PKS itu sendiri.

Menanggapi isu ini, Zulkiflimansyah memberi semacam klarifikasi. Dia berpendapat bahwa PKS adalah partai yang terbuka, menerima siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Yang paling penting dari kiprah PKS sekarang ini adalah sebagai wadah bagi ummat Islam untuk melakukan reformasi diri dalam hal penyaluran aspirasi politik. “Berikan waktu kepada ummat Islam untuk melakukan reformasi diri,” ungkap Zulkifli. Bagi dia, apa yang sekarang dijalani oleh PKS adalah semacam upaya untuk menjadikan Islam sebagai instrumen perubahan sosial. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) di Turki. Mereka adalah generasi Islam yang tercerahkan. Mereka akan membuat politik Islam menjadi lebih rasional dan terbuka.

Partai Politik Islam

Pada level elektabilitas, PKS memang menunjukkan tren menanjak. Tetapi, menurut Dodi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa partai politik Islam secara umum memang sedang mendapat momentum untuk terus menanjak. Realitas politik menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tetap pada pendirian untuk memilih partai-partai nasionalis. Survei nasional LSI, April 2008, menunjukan bahwa 60 persen pemilih tetap memilih partai non-Islam, sementara hanya 16,6 persen yang memilih partai Islam, 24,4 persen sisanya belum menentukan pilihan. Angka ini cukup stabil sejak 2005.

Jika kemudian PKS tampak mendulang suara semakin besar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari partai mana suara PKS itu datang. Dalam pelbagai survei ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya suara PKS saat itu pula suara partai-partai seideologi juga mengalami penurunan. Dua partai yang paling menderita atas peningkatan suara PKS ini adalah PAN dan PBB. Itu artinya, PKS telah masuk ke dalam praktik “ta’kula lahma akhihi” (memakan teman sendiri).

Pola ini disadari betul oleh para elit PKS. Itulah yang membuat mereka tampak bersiteguh untuk tampil lebih nasionalis. Menurut Dodi, kekuatan PKS yang islamis sesungguhnya tidak sebanyak yang dibayangkan. 7,3 persen pada Pemilu 2004 tidak bisa serta merta berisi pemilih-pemilih Islam. Materi kampanye yang diusung oleh PKS saat itu justru adalah tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sementara pada 1999, di mana PKS hanya memperoleh suara 1,4 persen suara, PK begitu kental dengan agenda-agenda politik Islam. Yang membuat PKS mendulang suara berkali lipat justru adalah kampanye di luar agenda islamis.

Tetapi, menurut Burhanuddin, PKS tetap harus berhati-hati mengambil isu-isu nasionalis dalam materi kampanyenya. Realitas pemilih PKS yang sangat kental dengan nuansa islamis akan membatasi ruang gerak PKS itu sendiri. Tantangan utama PKS dalam melebarkan sayap audiens politik kepada pemilih nasionalis akan mendapat tantangan dari kalangan internal sendiri. Sangat mungkin PKS akan ditinggalkan oleh pemilih ideologisnya jika ia terus bermain-main dengan isu-isu nasionalis, sesuatu yang tidak mendapat tempat di hati para pemilih PKS itu sendiri.

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

10/11/2008 | | #

Komentar

Komentar Masuk (16)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

politik termasuk ibadah karena islam itu kaffah keseluruhan, tapi bukan berarti boleh membawa ‘bendera ke tempat ibadah’, karena yang melakukan ibadah di tempat tersebut menganut macem-macem bendera....jadi jagalahhati ...jangan kau....

Posted by ifan on 11/26 at 01:58 PM

Untuk Ghulam hafiedz
“harapan itu masih ada”

Posted by kartika on 11/25 at 11:52 AM

Semua jangan sok Islami deech,pake terjun di politik dengan nama Islam lagi.MUNAFIK..!!!Kalo cari duit,cari duit aja ga usah pake kedok politik apalagi Agama.Masih mending anjing atau monyet,walau derajatnya dianggap rendah oleh manusia tapi mereka ga neko-neko.Mereka menjalani hidup sesuai dengan kodratNya,lain kayak elo-elo pada...disebut manusia,kelakuan melebihi monyet,..disebut moyet,..Serakahnya tujuh Fi’raun.

Posted by Syaepuddin on 11/20 at 06:23 PM

Assalammualaekum

mnurut Gw Mngkn partai nasionalis atau islamis smuanya deceitful appears falsely through escaping lies and falsities.! I find it is a highly logical and Thanking to My dear GOD.. kalo emang mau ngajak ke sorga ga perlu lewat partai., klo emang para petinggi ato simpatisan smua parpol mao ngaku2 sog nasionalis mendhing ga perlu lewat partai..! mendhing bikin debat ampek termehek2 mbahas kita udah merdeka spenuhnya apa ga.?.. apa perlu smua ini diakhiri dengan perang saudara.?

dasar smua generasi; biar yg udah tua ato yg muda smuanya pada geblek… Endonesia skrng ga perlu mikro politik ato tetkbengek laennya.. mendhing ngurusin mikro ekonomi dulu truz dibumbui makro politik.. basis - struktur - suprasrtuktur nya ditata dulu.. dari dulu udah jelas nasionalis ya makan ga makan asal kumpul.! dan islam ngajak orang mukmin ke surga.! skrang smuanya malah jadi munafiq termasuk diri gw jg, gara2 klamaan proses politik yg ga jelas ghene..!!

WALLAHU A’LAM

Simalakama Koalisi Presidensial


Saldi Isra

Sejak Pemilihan Umum 1999, Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan menjadi sistem kepartaian majemuk. Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial. Salah satu upaya purifikasi tersebut, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.

Gambaran praktik sistem presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilu 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama pascaperubahan UUD 1945 itu menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Sementara itu, pemilihan presiden langsung hanya menghasilkan minority president, yaitu presiden dengan dukungan relatif kecil di DPR. Dengan terbatasnya dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Meski berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan, dalam banyak kejadian partai politik pendukung koalisi sering ”mempersulit” agenda pemerintah. Secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi Yudhoyono.

Melihat desain UU Pemilihan Presiden yang baru dan kecenderungan sejumlah partai politik peserta pemilu, langkah apakah yang dapat dilakukan untuk membangun koalisi menghadapi pemilu presiden mendatang?

Koalisi presidensial

Sistem kepartaian majemuk dalam pemerintahan presidensial merupakan salah satu perdebatan klasik dalam kajian ilmu politik dan hukum tata negara. Perdebatan itu lebih banyak berkisar pada kesulitan dan masalah bangunan koalisi dengan sistem kepartaian majemuk. Seperti dikemukakan Scott Mainwaring (1993), pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif.

Untuk mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden. Membandingkannya dengan koalisi dalam sistem parlementer, Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi multipartai dalam sistem presidensial.

Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri dan perdana menteri. Karena itu, mereka bertanggung jawab mendukung pemerintah. Dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya dan partai politik punya komitmen yang rendah mendukung presiden.

Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tak sepenuh hati mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.

Meski demikian, upaya membangun koalisi tetap saja menjadi langkah darurat minority president. David Altman (2000) dalam The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, mengemukakan bahwa coalitions are not institutionally necessary dalam sistem presidensial. Argumentasi Altman, sistem presidensial not conducive to political cooperation.

Memperkuat presidensial

Meski koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan desain legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tak menjadi simalakama bagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Jika hanya dilandaskan pada perhitungan memenuhi target memenangi pemilu, koalisi akan pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan.

Demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon; diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan begitu, tanggung jawab partai politik pendukung koalisi lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.

Terkait dengan itu, tak salah mengambil pelajaran pengisian dan pergantian anggota kabinet masa pemerintahan Yudhoyono. Misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering ”mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meski kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.

Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, misalnya, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet.

Bagaimanapun, dengan desain yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan. Jika tidak, presiden akan tetap terpenjara oleh koalisi yang ia bangun sendiri.

Sekiranya itu yang terjadi, perlahan tetapi pasti, simalakama sistem presidensial akan melumpuhkan presiden dan pemerintahannya.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Presidensial Bukan Etika Politik!


Donny Gahral Adian

Pengokohan sistem presidensial memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Multipartai yang demikian kuat akan membawa kita pada musim semideadlock. Di sini artikel saya ”Kediktatoran Konstitusional” (17/11) dan artikel Denny Indrayana ”Mengokohkan Sistem Presidensial” (26/11) berbagi idealisme yang sama.

Namun, satu hal yang membedakan saya dari jalan pikiran Denny. Denny menghubungkan sistem presidensial dengan etika politik. Saya tidak melihat ada sangkut paut antara presidensial dan etika politik. Pendeknya, tidak ada muatan moral setinta pun dalam artikel saya terdahulu.

Kata kediktatoran dalam frase kediktatoran konstitusional bukan karakter kepemimpinan. Kediktatoran adalah karakter konstitusi yang meleluasakan keputusan eksekutif presiden. Singkat kata, kediktatoran konstitusional berbicara tentang karakter konstitusi, bukan pribadi.

Apabila etika dimengerti sebagai kewajaran, maka keputusan presiden dapat menerabas batas-batas kewajaran. Keputusan bukan sesuatu yang harus dikebawahkan pada dekrit-dekrit moral. Carl Schmitt menegaskan posisi itu. Demikian pula Nietszcshe. Keputusan disebut keputusan justru karena tak terpenjara dalam dekrit moral tertentu. Keputusan menciptakan, bukan melayani moral.

Denny mengidolakan sistem presidensial yang berlaku di Amerika. Berdasarkan argumen di atas, saya justru memandang tinggi sistem presidensial di Peru. Sistem presidensial Peru membawa napas kediktatoran konstitusional sampai ke tarikan terakhirnya. Dalam sistem itu, konstitusi meleluasakan presiden untuk membatalkan keputusan atau bahkan membubarkan kongres (Denny Indrayana).

Sistem presidensial Peru memberi ruang bagi ”yang tak wajar” dalam keputusan eksekutif. Apabila sistem Peru berlaku di Indonesia, seorang Gus Dur dapat dengan mudah mencabut Tap MPRS Nomor XXV. Seorang SBY dapat memeriksa UU yang anti-NKRI dan membatalkannya. Di republik ini kenegarawanan beradu dengan kepentingan. Konstitusi yang baik harus memungkinkan kemenangan kenegarawanan.

Politik anomali

Jadi, jelas kiranya desain konstitusi demi kokohnya presidensial tidak untuk menciptakan pemimpin bermoral. Desain konstitusi ditujukan untuk memungkinkan jatuhnya keputusan-keputusan ”tak wajar” yang bisa jadi bertentangan dengan opini umum tentang apa yang baik. Perilaku politik tidak dijaga oleh desain konstitusi. Konstitusi justru memberi ruang bagi keputusan politik anomali.

Tidak ada sangkut paut antara karakter kediktatoran konstitusi dan etika politik seorang presiden. Sungguh naif menyamakan kekokohan sistem presidensial dengan kebesaran hati seorang calon presiden yang kalah. Kekokohan sistem presidensial berhubungan dengan prasyarat dukungan politik terhadap calon presiden, penyederhanaan sistem multipartai, penambahan hak prerogatif presiden, sampai dengan penjaminan hak veto.

Karakter kediktatoran konstitusi pun tidak bersangkutan dengan tingkat pendidikan calon presiden. Seorang doktor yang menjadi presiden tidak dapat dipastikan lebih tegas dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan seorang lulusan SMU. Gus Dur bukan doktor. Namun, ketika republik ini di bawah komandonya, beliau banyak menjatuhkan keputusan tegas, tak wajar, dan tak populer.

Presiden ke depan diharapkan dapat mengambil keputusan-keputusan cepat, tegas, tak wajar, dan tak populer. Apalagi, kita sedang menghadapi krisis ekonomi yang sarat ketidakpastian. Kita tidak memerlukan sosok yang lama berdiskusi. Kita memerlukan sosok yang segera memutuskan dan menghitung cepat collateral damage dari keputusannya. Untuk itulah kediktatoran konstitusional diperlukan. Bukan untuk mencetak diktator, melainkan memungkinkan pengambilan keputusan yang tak terkendala konstitusi.

Kediktatoran konstitusional menuntut perbaikan karakter konstitusi. Tidak lebih. Moralitas politik adalah urusan individu, bukan konstitusi. Saya sepakat dengan Denny bahwa kita memerlukan legal engineering untuk mengokohkan sistem presidensial. Namun, kita tidak memerlukan moral engineering. Semoga tulisan ini dapat meluruskan apa yang lengkung sekaligus melengkungkan apa yang lurus (baca: wajar) dalam politik kita. Let free spirit flies alone!

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Masih Mungkinkah Kita Bangkit?


ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN

Tahun 2008 hampir berakhir, tetapi banyak masalah bangsa justru kian serius. Mungkinkah kita bangkit?

Pertanyaan ini amat penting karena dalam banyak hal kita mewujudkan berbagai tindakan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak berlandaskan pemahaman filosofis tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tingkat lokal nasional hingga global. Kita kurang peduli proses alami yang sedang bekerja. Masih mungkinkah negara-bangsa kita bangkit pada abad yang menuntut kecepatan dan berpostur ramping?

Bangsa ini masih terjerat kemiskinan, kesenjangan sosial- ekonomi, rentannya hubungan antaretnik dan agama, meningkatnya primordialisme kedaerahan, maraknya perbedaan berdasar partai politik, dan lainnya. Itu semua adalah cermin betapa bangsa kita masih terkotak-kotak dalam ruang-ruang sempit.

Efisiensi negara-bangsa

Kini semua negara di dunia dituntut untuk menyelaraskan diri dengan perubahan dunia yang kian cepat. Banyak teoretis menengarai merosotnya ideologi idealisme digantikan liberalisme, materialisme, dan pragmatisme, di mana tindakan lebih penting daripada ucapan dan interaksi lebih penting daripada pikiran.

Isu-isu dunia, seperti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, dan harkat kaum minoritas, ikut mendorong negara-bangsa ke dalam arus global yang baru. Eksistensi negara-bangsa bergantung pada kehendak global, bukan hanya kehendak bangsa sendiri. Tampaknya dunia lebih menyukai bangsa yang berpostur ramping tetapi demokratis daripada bangsa besar tetapi otoritarian. Logikanya, mengelola dan memakmurkan bangsa yang kecil lebih mungkin daripada negara besar yang sarat masalah internal. Bangsa yang ramping lebih gesit bergerak dalam perubahan yang kian cepat.

Peta politik-ekonomi dunia berubah. Sebagai penentu politik- ekonomi dunia, kedudukan negara bergeser ke tangan berbagai korporasi raksasa. Sedangkan negara hanya sebagai fasilitator, keadaan yang tidak terbayangkan pada abad lalu. Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtue and the Creation of Prosperity, 1996) menengarai, salah satu ciri ekonomi dunia pada abad ke-20 adalah beralihnya kekuasaan ekonomi ke tangan jaringan korporasi besar secara lintas bangsa, sedangkan negara hanya menjadi ”tukang stempel” atau pemadam kebakaran, suatu kondisi yang kini mulai nyata.

Agar survive, efisiensi negara- bangsa tampaknya menjadi kebutuhan abad ini. Negara-bangsa yang besar sering ambivalen karena di satu pihak harus memelihara kesatuan unsur-unsur yang beragam di wilayah amat luas, dan pada saat sama harus menghadapi tuntutan dunia agar bergerak cepat dan efisien. Artinya, negara-bangsa harus ramping agar gesit dalam percaturan global.

Pertaruhan pada masa depan

Secara historis, negara-bangsa, seperti Indonesia, diintegrasikan dua pengikat. Pertama, kekuasaan yang mengendalikan beragam unsur penyusun bangsa di wilayah yang sangat luas. Kedua, ideologi berintikan kesadaran, nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa.

Kekuasaan pemerintah kadang diterjemahkan menjadi penggunaan militer untuk menyelesaikan konflik internal. Namun, penggunaan militer untuk menjaga kesatuan bangsa kini kurang relevan karena berhadapan dengan isu-isu besar tuntutan global. Padahal, penggunaan kekuasaan otoriter tampaknya diperlukan guna memelihara integrasi bangsa. Kita perlu belajar dari teori evolusi masyarakat tentang keruntuhan negara. Robert Tainter (The Collapse of Complex Societies, 1991) mengemukakan, kekuasaan demokratis bekerja lebih efektif pada bangsa berskala kecil karena memerlukan komunikasi intensif dan paling dimungkinkan pada bangsa yang kecil populasinya. Memang ada contoh- contoh negara-bangsa demokratis, seperti AS, tetapi faktor-faktor, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan sulitnya komunikasi, bukan kendala dominan bangsa AS.

Masa depan keutuhan negara- bangsa kita amat bergantung pada kepedulian kita sendiri, yang kini justru melemah. Kita harus menjadikan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai—menghapus sekat, kotak sempit, dan menjadikannya interaktif dan dialog– agar negara-bangsa tetap terpelihara. The last but not least, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi-sosial tampaknya masih menjadi solusi utama dalam menghadapi perubahan dunia yang kian materialistis.

ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN Dosen Departemen Antropologi FISIP UI


Presidensial Cita Rasa Parlementer


Syamsuddin Haris

Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?

Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.

Perangkap konflik

Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.

Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan ”gangguan DPR” meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?

DPR ”heavy”

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.

Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).

Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partai-partai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu.

Ada beberapa solusi lain.

Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi.

Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR.

Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari.

Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.

Cita rasa parlementer

Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung ”sarat DPR”, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik?

Jika tidak, desain presidensial dengan ”cita rasa” parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabil—karena tersedia mekanisme konsultasi—tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif.

Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang.

Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Iklan Pemilu


Ikrar Nusa Bhakti

Saat menjadi narasumber Rapat Kerja Kontras di Cipanas, Jumat (21/11/2008), Robertus Robet—dosen UNJ dan Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi—mengatakan, ”Iklan politik di televisi lebih banyak bohong daripada melakukan pendidikan politik pada rakyat. Seperti iklan obat, mana mungkin orang sembuh sakitnya sepuluh menit setelah minum obat.”

Sehari kemudian (22/11/2008) saat mempertahankan disertasi doktor bidang filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, seorang penguji bertanya, ”Jika Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, datang ke Indonesia melihat praktik kapitalisme kontemporer di negeri ini, kira-kira apa komentarnya?” Robet menjawab, ”Dia akan heran melihat sinetron-sinetron Indonesia yang banyak bercerita soal surga dan neraka. Rupanya orang Indonesia lebih mudah melihat masa depan yang belum menentu—surga dan neraka—daripada menyelesaikan masalah di depan mata, misalnya kasus lumpur Lapindo.”

Zizek lahir dan besar di Yugoslavia, negara komunis yang demokratis di era Tito. Zizek suka film Hollywood, menganalisisnya dari filsafat antropologi. Atas jawaban yang tangkas, serius, tetapi santai itu, Robet—alumnus Sosiologi FISIP UI 1996 dan University of Birmingham 2002—lulus dengan predikat cum laude.

Iklan politik

Sayang, kepada Robert tidak ada yang menanyakan komentar Zizek jika melihat iklan kampanye pemilu di televisi atau di media cetak Indonesia. Kampanye pemilu selama sembilan bulan menarik dianalisis. Ada yang sudah start sebelum kampanye resmi diumumkan, tetapi tidak didiskualifikasi. Ada yang start langsung berlari sprint, lalu terengah-engah berhenti di tengah jalan karena kehabisan dana.

Ada pula yang berhenti total dan menarik diri dari ”lomba maraton” karena kekurangan suporter. Padahal, kalimat yang didengungkan amat bertuah, If there is a will, there is a way. Iklan ini terlalu elitis. Sang pembicara mungkin lupa, banyak orang Indonesia tak paham bahasa Inggris. Ada pula iklan Garuda perkasa yang terbang di angkasa, yang bicara soal petani atau pedagang kecil di pasar tradisional. Napas dan energinya begitu kuat.

Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono sering memakan setengah halaman depan Kompas dengan iklan ”keberhasilan” pemerintahannya. Mengingat posisinya di pemerintahan, ada pula iklan politik terselubung di televisi dan radio yang menggebu- gebu tentang ”PNPM Mandiri” dari nelayan, penganggur yang berhasil di Ambon, posyandu, tukang jahit, sampai taman kanak-kanak. Namun, tak ada yang mengkritisi berapa besar dana yang terserap dan dirasakan rakyat melalui program itu dibandingkan pengeluaran untuk iklan politiknya. Juga tak ada yang mengomentari, apakah acara kuliah subuh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga di TVRI sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Dalam dua pekan terakhir, ada empat iklan politik baru yang muncul, dari Amien Rais yang siap menjadi ”pemain cadangan”, dari PDI-P yang menonjolkan ”100 Hari Pertama” pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Iklan Partai Golkar dengan penonjolan Karya untuk bangsa, dan iklan PKS yang membangun optimisme dengan becermin pada karya pahlawan dan guru bangsa masa lalu, yang menuai kritik. Spanduk PKS juga berujar, ”Pahlawan adalah Buruh atau Pahlawan adalah Pemuda, yang Berjuang untuk Kemajuan dan Kemandirian Bangsa.” Iklan politik PKS brilian dan berani, termasuk political marketing gaya baru, meski dikritik banyak pihak.

Miskin visi masa depan

Berbagai iklan politik dan pemilu itu miskin visi masa depan. Iklan-iklan itu hanya menjual kemiskinan, mimpi, dan program jangka pendek, tanpa substansi isi keprihatinan bangsa dan bagaimana cara mencapai cita-cita masa depan bangsa. Ini berbeda, misalnya, kampanye Bill Clinton dengan kata bertuah, It’s Economic, Stupid yang membeberkan visi memperbaiki nasib anak AS 100 tahun ke depan atau kampanye Barack Obama dengan slogan Yes, We Can yang mewujudkan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Tak ada partai politik atau calon presiden yang berani mengatakan, kita akan menghadapi situasi sulit 3-5 tahun ke depan akibat krisis global. Ekonomi Indonesia belum pulih akibat krisis 10 tahun lalu dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan, dan kita sudah harus menghadapi krisis ekonomi lebih dahsyat.

Terpikirkah oleh elite politik bangsa, pendekatan ekonomi apa yang harus diambil Indonesia guna mengatasi krisis. Jika ia seorang neoliberal yang pro-pasar dan pro-kapitalisme, langkah apa yang akan diambil? Beranikah Megawati Soekarnoputri menelurkan gagasan nasionalistis bertumpu pada marhaenisme di tengah serbuan komprador kapitalis barat? Jika ia anti-IMF dan pro-kemandirian bangsa di tengah kapitalisme dan globalisasi, seperti Rizal Ramli, langkah apa yang akan diambil? Beranikah Rizal Ramli berkolaborasi dengan Revrisond Baswir dan Sri Edi Swasono mengambil langkah berbeda dengan arus kapitalisme global? Bagaimana mereka mengajak rakyat bahu-membahu memperbaiki nasib bangsa yang terus menjadi ”bangsa kuli”? Ideologi apa pun yang dianut, liberalisme, sosialisme, atau konservatisme (agama dan atau budaya) harus mampu menjawab tantangan bagaimana kita keluar dari krisis ini.

Para pemilih kian jeli dengan politik transaksional dalam arti positif, yaitu siapa yang memiliki visi dan program jangka panjang mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa, dia atau partainya yang dipilih. Kampanye politik bukan sekadar menebar mimpi untuk menuai kekecewaan, tetapi menebar program realistis yang dapat dilakukan lima tahun ke depan agar bangsa ini keluar dari krisis.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Pewakil


Ada lelucon basi masih lestari: wakil presiden kepingin jadi presiden, wakil direktur rindu jadi direktur, tapi wakil rakyat ogah jadi rakyat, jegal kanan kiri lobi depan belakang sembah atas tinju bawah demi wakil rakyat sampai kiamat.

Humor ini khas Nusantara, tak bisa pas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada permainan dua konsep di sini: wakil dalam arti vice atau deputy untuk presiden atau direktur yang menandakan posisi kelas dua, dan wakil dalam arti representative yang kedudukannya variatif terhadap yang diwakili.

Wakil direktur tak pernah lebih tinggi daripada direktur. Sedangkan posisi orang yang mewakili bisa macam-macam. Seorang penjaga keamanan mewakili sang direktur (posisi lebih rendah) menerima protes demonstran di pagar, atau sang direktur berpidato mewakili para direktur lain (sederajat) dalam pembukaan seminar, atau sang direktur mewakili semua staf dan buruhnya (lebih tinggi) mengucapkan Selamat Tahun Baru sambil mengingatkan bahwa pada masa prihatin ini bersyukurlah tidak dipecat, jadi jangan mengharapkan bonus.

Bisa runyam bila pemakaiannya berkaitan dengan organisasi besar seperti PBB. Ada jabatan United Nations Under-Secretary General yang pantas saja disebut Wakil Sekretaris Jenderal PBB. Namun, ada pula posisi resmi Representative of the UN Secretary General yang menangani urusan khusus. Nah, ini pun Wakil Sekjen PBB. Bagaimana membedakannya? Menggantikan yang terakhir ini dengan ”Orang yang Mewakili Sekjen PBB” pastilah terasa janggal. Lagi pula, si Representative ini pun bisa punya Deputy!

Pemecahannya mungkin bisa dicari dari suatu ciri yang sangat menarik dalam pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia. Wakil dalam arti deputy tak pernah dipakai sebagai kata kerja. Kata to deputize baik dalam arti ’bertindak sebagai deputy’ maupun ’mengangkat seorang deputy’ tak dikenal.

Mewakili selalu berarti to represent. Kemungkinan besar orang yang berkata ”Saya mewakili ibu direktur” bukanlah wakil direktur, yang bisa dibayangkan akan berkata tegas mantap ”Saya wakil direktur”, dengan penekanan pada direktur agar pendengarnya sadar si pembicara akan jadi apa tahun depan setelah pemegang saham memecat direktur sekarang yang gagal menaikkan grafik keuntungan di zaman bisnis lesu ini.

Ciri ini membuka peluang memperkenalkan bentukan baru: pewakil, dalam arti orang yang mewakili, representative. Ini sejalan dengan kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Ada kata mewakili, mewakilkan, dan perwakilan, dengan sendirinya patut ada pewakil.

Dengan demikian kerancuan akan berkurang. Wakil direktur dan wakil presiden akan tetap ada. Kalau ambisi wakil direktur sudah terasa panas membara, sang direktur pun bisa menunjuk pewakil-pewakil yang bertindak dengan wewenangnya untuk urusan-urusan penting.

Sebagai pewakil rakyat, semoga anggota DPR pun akan mengedepankan bukan ambisi posisi, melainkan sigap dan bertanggung jawab dengan wawasan kerakyatan. Maka, tak perlulah dicari pengganti lelucon basi yang sudah mati.

Samsudin Berlian Pemerhati Kata dan Maknanya

Pewakil
Jumat, 28 November 2008 | 01:18 WIB

Ada lelucon basi masih lestari: wakil presiden kepingin jadi presiden, wakil direktur rindu jadi direktur, tapi wakil rakyat ogah jadi rakyat, jegal kanan kiri lobi depan belakang sembah atas tinju bawah demi wakil rakyat sampai kiamat.

Humor ini khas Nusantara, tak bisa pas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada permainan dua konsep di sini: wakil dalam arti vice atau deputy untuk presiden atau direktur yang menandakan posisi kelas dua, dan wakil dalam arti representative yang kedudukannya variatif terhadap yang diwakili.

Wakil direktur tak pernah lebih tinggi daripada direktur. Sedangkan posisi orang yang mewakili bisa macam-macam. Seorang penjaga keamanan mewakili sang direktur (posisi lebih rendah) menerima protes demonstran di pagar, atau sang direktur berpidato mewakili para direktur lain (sederajat) dalam pembukaan seminar, atau sang direktur mewakili semua staf dan buruhnya (lebih tinggi) mengucapkan Selamat Tahun Baru sambil mengingatkan bahwa pada masa prihatin ini bersyukurlah tidak dipecat, jadi jangan mengharapkan bonus.

Bisa runyam bila pemakaiannya berkaitan dengan organisasi besar seperti PBB. Ada jabatan United Nations Under-Secretary General yang pantas saja disebut Wakil Sekretaris Jenderal PBB. Namun, ada pula posisi resmi Representative of the UN Secretary General yang menangani urusan khusus. Nah, ini pun Wakil Sekjen PBB. Bagaimana membedakannya? Menggantikan yang terakhir ini dengan ”Orang yang Mewakili Sekjen PBB” pastilah terasa janggal. Lagi pula, si Representative ini pun bisa punya Deputy!

Pemecahannya mungkin bisa dicari dari suatu ciri yang sangat menarik dalam pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia. Wakil dalam arti deputy tak pernah dipakai sebagai kata kerja. Kata to deputize baik dalam arti ’bertindak sebagai deputy’ maupun ’mengangkat seorang deputy’ tak dikenal.

Mewakili selalu berarti to represent. Kemungkinan besar orang yang berkata ”Saya mewakili ibu direktur” bukanlah wakil direktur, yang bisa dibayangkan akan berkata tegas mantap ”Saya wakil direktur”, dengan penekanan pada direktur agar pendengarnya sadar si pembicara akan jadi apa tahun depan setelah pemegang saham memecat direktur sekarang yang gagal menaikkan grafik keuntungan di zaman bisnis lesu ini.

Ciri ini membuka peluang memperkenalkan bentukan baru: pewakil, dalam arti orang yang mewakili, representative. Ini sejalan dengan kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Ada kata mewakili, mewakilkan, dan perwakilan, dengan sendirinya patut ada pewakil.

Dengan demikian kerancuan akan berkurang. Wakil direktur dan wakil presiden akan tetap ada. Kalau ambisi wakil direktur sudah terasa panas membara, sang direktur pun bisa menunjuk pewakil-pewakil yang bertindak dengan wewenangnya untuk urusan-urusan penting.

Sebagai pewakil rakyat, semoga anggota DPR pun akan mengedepankan bukan ambisi posisi, melainkan sigap dan bertanggung jawab dengan wawasan kerakyatan. Maka, tak perlulah dicari pengganti lelucon basi yang sudah mati.

Samsudin Berlian Pemerhati Kata dan Maknanya

Rabu, 26 November 2008

Adam Malik-CIA dalam Buku Tim Weiner

Oleh Endang Suryadinata *

Mendiang Adam Malik, sosok Batak bermarga Batubara, konon merupakan agen CIA (Central Intelligence Agency), sebagaimana diungkapkan Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes, the History of CIA (Membongkar Kegagalan CIA)?

Sebagaimana diketahui, Weiner yang juga wartawan koran The New York Times tersebut menulis tentang peran agen itu berdasar wawancaranya dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, pada 2005. Kepada Weiner, McAvoy mengklaim bertemu Adam Malik pada 1964 dan merekrutnya sebagai agen CIA. Bahkan, guna mendukung peran Adam Malik sebagai agen, CIA menyerahkan uang tunai 10.000 dolar AS untuk membiayai pembasmian Gestapu (hal 332 edisi Indonesia).

Sebagian besar publik kita langsung menolak tulisan Weiner. ''Saya tidak percaya Pak Adam Malik menjadi apa yang ditulis itu (agen CIA). Sebab, garis politik Pak Adam Malik tidak sesuai dengan pandangan politik Amerika,'' katanya. ''Beliau pendiri Partai Murba, lebih condong ke pemikiran sosialis. Mana mungkin orang Amerika percaya orang sosialis bisa jadi agennya? Selain itu, mana mungkin orang Murba jadi agen CIA,'' timpalnya.

Meski demikian, Wapres Jusuf Kalla mengakui ada kemungkinan Adam Malik tidak sadar telah direkrut sebagai kontak CIA (Jawa Pos, 25 November 2008).

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, atas terbitnya buku itu, keluarga Adam Malik dan pemerintah harus bersikap, antara lain, dengan mengeluarkan bantahan. Dia beralasan, Adam Malik adalah tokoh yang harus dijaga nama baiknya. Apalagi, saat ini akan dibangun bandar udara di Sumatera Utara bernama Adam Malik. Penarikan buku dari peredaran, kata Asvi, juga bisa menjadi alternatif untuk menghentikan tuduhan kepada Adam Malik.

Tak Perlu Ditarik

Toh, menurut saya, buku itu tidak perlu ditarik. Bukankah selama ini juga sudah beredar rumor dalam lingkup terbatas tentang Adam Malik sebagai agen CIA. Jadi, Weiner perlu diapresiasi karena mengkat rumor itu dalam sebuah buku berdasar laporan perwira CIA, Clyde McAvoy.

Lagi pula, apakah keterlibatan sebagai agen CIA harus selalu dimaknai secara negatif? Bergantung perspektif atau sudut pandang saja. Penulis jadi ingat rumor di Belanda pada awal 1990-an yang gencar menyebut mendiang Paus Yohannes Paulus II kabarnya juga menjalin kerja sama erat Vatikan-CIA sejak 1980-an untuk meruntuhkan komunisme di Eropa Timur. Tidak heran jika ada yang menyebut Paus pun direkrut jadi agen CIA.

Lalu, TV Nederland III dalam suatu programnya memaparkan tentang kerja sama erat CIA-Vatikan di bawah Paus Yohannes Paulus II. Program itu diperkuat berbagai dokumentasi guna menguak keterlibatan Vatikan-CIA-Lech Walensa yang memimpin gerakan buruh Solidaritas untuk menggulingkan pemerintahan sosialis Polandia di bawah Yaruzelsky.

Atas perannya tersebut, Paus Yohannes Paulus II hingga kini justru dianggap sebagai pahlawan penumbang komunisme di Eropa Timur. Adam Malik juga bisa dilihat sebagai salah seorang pahlawan penumbang PKI.

Karena itu, seandainya Adam Malik sungguh jadi agen CIA dalam konteks untuk membendung semakin kuatnya pengaruh PKI pada dasawarsa 1960-an, di mata penulis, citra dia tidak akan ternoda. Warga kita yang hidup pada era 1960-an bisa memberi kesaksian betapa kuatnya pengaruh komunis ketika itu seolah dominasi tersebut tidak bisa dipatahkan.

Sanggahan dan Klarifikasi

Tentu saja kita bisa menyangkal keterlibatan Adam Malik sebagai agen CIA. Tapi, jangan lupa, Tim Weiner selama 20 tahun telah bekerja secara profesional menelaah dunia intelijen, khususnya CIA.

Memang, keterlibatan CIA dalam kudeta terhadap Bung Karno dan PKI pada 1965 selalu disangkal beberapa kalangan. Namun, berbagai sumber asing, seperti Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson, menyebut CIA justru sebagai dalang utama peristiwa 1965. Untuk itu, CIA bekerja sama dengan sebuah klik di dalam AD untuk memprovokasi PKI.

Apalagi, George M.T. Kahin juga mengungkap keterlibatan CIA dalam berbagai pemberontakan di tanah air seperti kasus PRRI dan Permesta. Jadi, tidak mustahil CIA juga berperan dalam percobaan kudeta 1965.

Jangan lupa pula, sebagai negara adikuasa, AS lewat CIA-nya selalu ingin terlibat dan campur tangan dalam berbagai urusan negara lain. Uniknya, buku Weiner kali ini secara implisit justru seperti mengesankan bahwa CIA, dinas rahasia AS) dan pemerintah AS tidak terlibat secara langsung dalam perencanaan kudeta 1965 di Indonesia.

Jadi, ada ''contradictio in terminis''. Di satu sisi, Adam Malik dinyatakan sebagai agen CIA, di sisi lain CIA tidak terlibat langsung dalam Peristiwa 1965.

Karena itu, sanggahan atau klarifikasi secara ilmiah atas tulisan Weiner harus dibuat sesegera mungkin oleh para sejarawan kita. Kita boleh menolak temuan Weiner, tapi penolakannya tidak boleh sekadar emosional. Di sinilah ada tugas mulia sejarah.

Mendiang sejarawan Kuntowijoyo mengingatkan, tugas sejarah bukan seperti hakim yang menentukan hitam putihnya seorang tokoh sejarah. Kalau ada sebuah laporan sejarah yang salah, pelurusannya hanya bisa lewat penulisan dengan bukti-bukti terbaru. Bukan dengan menarik buku atau membakar buku itu.

Agaknya, kita harus mengakui, bangsa ini belum mampu menilai secara jujur peran sejarah, termasuk sejarah para tokohnya seperti Adam Malik secara holistik dan objektif. Orang masih lebih suka berada pada posisi memihak yang satu seraya menolak yang lain.

* Endang Suryadinata, peminat sejarah, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

Selasa, 25 November 2008

Politik Tanpa Moral Lahirkan "Serigala"


Syafii: Politik di Indonesia
Kekurangan Pelaku Berjiwa Besar
Minggu, 23 November 2008 | 08:37 WIB

Yogyakarta, Kompas - Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Ahmad Syafii Maarif mengemukakan, praktik politik tanpa dilandasi moral dan integritas pelakunya hanya akan melahirkan ”serigala-serigala” yang akan saling memakan. Tanpa moral dan integritas pelakunya, politik takkan menjadi sarana mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.

”Praktik politik pada kenyataannya adalah homo homini lupus. Kalau dilepas sama sekali tanpa moral sebagai inti ajaran setiap agama, dunia politik hanya akan dipenuhi ’serigala-serigala’,” ujar Syafii dalam seminar nasional ”Peranan Politik Katolik 1940-1980: Menjadi 100 Persen Indonesia dan 100 Persen Katolik” di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, Sabtu (22/11).

Lebih lanjut, Syafii mengemukakan, dengan adanya tuntutan moral dan pelaku politik, tidak berarti agama lantas mentah- mentah masuk dalam praktik politik. Penyalahgunaan agama dalam praktik politik sebagai ekstrem sebaliknya membawa akibat yang sama buruknya. Moral dalam politik ibarat rem dalam kendaraan.

Selain moralitas, Syafii melihat praktik politik di Indonesia dalam sejarah panjangnya selalu kekurangan pelaku-pelaku yang berjiwa besar dan berlapang dada. Karena ini, hubungan antarpemimpin selalu memburuk, seperti terlihat antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-Habibie, dan terakhir Yudhoyono-Megawati. ”Bayangkan, sampai kini mereka tidak saling berteguran,” ujarnya.

Pembicara lain pada seminar dalam rangka memperingati ulang tahun Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) itu adalah anggota Fraksi PDI-P di DPR Aria Bima, dosen pascasarjana USD Budi Subanar SJ, dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto.

Aria mengemukakan, dalam politik, selain moral, dibutuhkan juga integritas dari para pelakunya. Integritas itu akan membuat politisi mampu menghindari penyimpangan, seperti saling makan dalam kasus aliran dana Bank Indonesia yang melibatkan banyak anggota DPR.

Namun, tuntutan moral dan integritas yang tinggi itu, menurut Aria, tidak cukup dijawab oleh semua partai politik dan pelakunya. Aria melihat, persiapan atau prakondisi sekitar 21.000 orang yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif seluruh Indonesia tidak memadai.

”Minimnya intergitas ditambah belum berubahnya iklim Orde Baru dalam lembaga legislatif di tengah tuntutan transparansi membuat banyak politisi seperti terjebak. Kasus aliran dana BI dan Astro menunjukkan hal itu,” ujar Aria.

Untuk itu, selain mensyaratkan moralitas dan integritas politisi, Aria mensyaratkan perubahan mekanisme kerja di lembaga legislatif sesuai tuntutan reformasi yang mengharuskan transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, Aria mengharapkan publik bisa memantau secara luas proses politik dan penganggaran di DPR.

Sebagai peneliti, dosen, dan juga rohaniwan Katolik, Subanar menyoroti mundurnya sejumlah upaya Gereja Katolik dalam politik kebudayaan di zaman yang serba terbuka seperti saat ini. Kemunduran juga terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri. Upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia yang sudah maju melampaui sekadar upaya adaptasi dan penerjemahan ajaran terserat mundur. (INU)

Perlu Keteladanan Pemimpin Politik


Jakarta, Kompas - Para pelaku politik mesti mampu becermin dan mencerna kritik Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Ahmad Syafii Maarif tentang peran perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan.

”Dunia politik harus secara sadar dan sistematis diusahakan menjadi sarana perjuangan, bukan sekadar rebutan kekuasaan atau bahkan untuk saling memakan. Para tokoh politik harus bersedia menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku secara matang dan dewasa,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Minggu (23/11).

Menurut Anas, keteladanan para tokoh politik diperlukan terkait dengan kompetisi politik. Siap kalah dan siap menang bukan semata-mata menjadi slogan deklarasi, tetapi juga harus ditepati dengan setia. ”Kalau para tokoh politik mampu dewasa, proses pendidikan dan pendewasaan politik di tingkat massa akan berjalan baik. Namun, kalau kekanak-kanakan, jangan harap akan lahir pematangan budaya demokrasi,” ujarnya.

Soal keteladanan, tokoh dan elite politik memang tidak mudah. Perjalanan bangsa selama ini dan banyaknya kompetisi politik di Indonesia akhir-akhir ini dalam pemilihan umum menunjukkan ketidakmudahan itu. Syafii menyebut tidak saling bertegursapanya Soekarno-Soeharto, Soeharto-Habibie, dan Yudhoyono-Megawati sebagai contohnya. Jiwa besar dan sikap berlapang dada masih sangat jarang ditemui dalam perilaku politik para elite dan tokoh politik.

Tanggapan sedikit berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung. Menurut dia, komunikasi verbal dalam arti tegur-sapa seperti diharapkan Syafii mungkin tidak tampak di permukaan.

Namun, sejatinya, untuk hal-hal terkait dengan kepentingan bangsa, tanpa tegur-sapa atau komunikasi verbal, para pemimpin di Indonesia bisa satu pendapat dan suara. ”Itu terjadi juga antara Presiden Yudhoyono dan Ibu Megawati,” ujarnya.

Pramono mengakui, komunikasi verbal dalam bentuk saling tegur-sapa, seperti dikritikkan Syafii, memang masih menjadi persoalan di antara elite dan tokoh politik di Indonesia. Namun, lewat pengalamannya, Pramono sangat yakin dan percaya, ketika dihadapkan pada kepentingan bangsa yang sifatnya lebih besar, para elite dan tokoh politik bisa bersama-sama meski partai dan posisi politiknya berbeda. (INU)

Perjuangkan Moral, Jangan Jadi Kiai Politik




Kompas/Totok Wijayanto / Kompas Images
Seorang bocah terlelap saat mengikuti perayaan hari lahir ke-2 Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) di Lapangan Tenis Senayan, Jakarta, Minggu (23/11). Pada acara itu juga dilakukan pembaitan calon anggota legislatif dari PKNU oleh KH Mas Muhammad Subadar dan KH Ubaidillah Faqih.
Senin, 24 November 2008 | 03:00 WIB


Jakarta, Kompas - Para calon anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama diingatkan untuk mengikuti garis politik kiai, bukan menjadi kiai politik. Dengan cara ini, para caleg PKNU harus memperjuangkan moralitas yang diusung para kiai dalam menata bangsa, bukan larut dalam permainan kotor sebagian politisi.

Demikian diungkapkan Ketua Dewan Syura PKNU KH Abdurrohman Chudlori dalam acara Baiat Nasional Caleg dan Peringatan Hari Lahir II PKNU di Jakarta, Minggu (23/11). Sebagai representasi kiai, caleg PKNU tidak boleh hanya menjadi karyawan politik yang hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri.

Selain para pengurus PKNU, dalam acara tersebut juga hadir dua calon presiden, yaitu Akbar Tandjung dan Rizal Ramli, serta Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa.

Rais Dewan Mustasyar PKNU KH Maruf Amin menambahkan, PKNU harus menjadi gerakan politik kiai untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Upaya itu tidak cukup dilakukan hanya melalui pendidikan maupun dakwah karena hasilnya tidak akan optimal jika tanpa disertai gerakan politik.

Selama masa Orde Baru, peran ulama sangat dibatasi. Ulama terkungkung dalam pesantren tanpa mampu memperjuangkan aspirasi politiknya. Partai Islam lain yang juga beraliran ahlussunnah wal jamaah dinilai tak mampu memperjuangkan aspirasi ulama dengan baik karena justru melahirkan politik sekuler.

”PKNU ingin mendorong terbentuknya masyarakat agamis yang dinamis serta harmonis dengan umat agama lain,” katanya.

Ketua Umum PKNU Choirul Anam menegaskan, pembentukan PKNU bukan karena sakit hati terhadap Partai Kebangkitan Bangsa. Pembentukan partai yang sebagian pengurusnya merupakan mantan kader PKB itu didasari oleh besarnya peran partai di Indonesia. Hampir seluruh pimpinan lembaga negara diseleksi melalui partai di berbagai tingkatan. Untuk itu, diperlukan partai yang mampu mengawal seluruh proses berbangsa tersebut dengan nilai-nilai ulama.

Baiat nasional

Sekitar 4.200 caleg PKNU dari berbagai tingkatan juga disumpah (baiat) untuk sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan tidak melakukan korupsi serta melakukan tindak tercela lainnya.

Pengambilan sumpah dipimpin oleh Pimpinan Pesantren Raudlatul Ulum Pasuruan KH Mas Muhammad Subadar dan Pengasuh Pesantren Langitan Tuban KH Ubaidillah Faqih.

”Jika anggota legislatif dari PKNU terlibat korupsi, partai akan mengambil tindakan lebih cepat dari yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Anam. (MZW)

Reformasi


Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi
Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB

Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.

”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).

Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.

Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.

”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)

Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi
Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB

Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.

”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).

Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.

Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.

”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)

Minggu, 16 November 2008

Belajar Mengaku Kalah


Salahuddin Wahid

Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah dibandingkan pidato kemenangan Obama.

Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Al Gore ”versus” Bush

Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.

Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.

Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.

Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.

Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Jesse Owens dan Hitler

Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.

Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.

Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.

Kondisi Indonesia

Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.

Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.

Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.

Menanamkan kesadaran

Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.

Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.

Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Sabtu, 15 November 2008 | 00:30 WIB

Salahuddin Wahid

Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah dibandingkan pidato kemenangan Obama.

Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Al Gore ”versus” Bush

Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.

Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.

Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.

Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.

Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Jesse Owens dan Hitler

Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.

Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.

Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.

Kondisi Indonesia

Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.

Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.

Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.

Menanamkan kesadaran

Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.

Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.

Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Sabtu, 15 November 2008

Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri

Oleh Saidiman

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

Reportase Diskusi Bulanan JIL
“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”
Teater Utan Kayu, 30 Oktober 2008

Fenomena partai-partai Islam memicu perbincangan menarik belakangan ini menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan dominan pada pemilihan umum 2009. Seiring dengan beberapa kemenangan yang terekspose oleh media itu, beberapa lembaga survei merilis temuan terakhir yang menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terus mengalami peningkatan suara: dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 (masih bernama PK) menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 dan survei-survei itu menunjukkan bahwa PKS saat ini bisa mencapai 9-11 persen suara. DPP PKS bahkan menargetkan 20 persen suara pada Pemilu 2009.

Wacana yang berkembang dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), 30 Oktober 2008, tampak mengusung kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kebanyakan media mengenai bangkitnya kekuatan partai politik Islam. Dua narasumber, Dodi Ambardi (Lembaga Survei Indonesia) dan Burhanuddin Muhtadi (Charta Politika), sepakat untuk hati-hati melihat fenomena “kebangkitan” ini. Sementara Zulkiflimansyah (Partai Keadilan Sejahtera) lebih banyak berbicara dari sudut pandang politisi partai islamis.

Di pihak yang lain, ada sejumlah kalangan, terutama politisi, yang menilai bahwa dikotomi antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sudah kehilangan relevansi. Ini terkait dengan tidak jelasnya materi kampanye masing-masing partai. Partai yang dikenal nasionalis dengan mudah mengumbar jargon-jargon Islam, sementara partai yang dikenal berideologi islamis malah mengusung semangat nasionalisme. Dalam sebuah talkshow televisi yang diadakan oleh harian Republika, Yusuf Kalla menegaskan “Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis.” Taufik Kiemas, Muhaimin Iskandar, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, dan Republika sendiri mengeluarkan pendapat yang senada dengan Yusuf Kalla.

Politik Aliran

Kesimpulan para tokoh di atas dibantah oleh Dodi Ambardi dan Burhanuddin. Dodi mengemukakan beberapa fakta. Pada level perdebatan institusional di lembaga legislatif, beberapa kasus yang paling sensitif menunjukkan pembelahan ideologis itu masih relevan. Perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Sisdiknas, Pornografi, dan Piagam Jakarja menunjukkan pembelahan ini berjalan secara konsisten. Agenda-agenda Islam yang termuat dalam sejumlah Rancangan Undang-undang itu ditolak secara konsisten oleh partai-partai nasionalis (PDIP, PDS, Golkar, dan seterusnya). Sementara partai-partai islamis hampir selalu menjadi pendukung terdepan agenda-agenda ideologis tersebut.

Pada level pemilih, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa sebetulnya masyarakat bawah mampu membedakan garis batas ideologi dalam partai-partai politik. Survei LSI, 8-20 September 2008, menunjukkan kecenderungan pemilih mengidentifikasi PKS, PKB, PPP, PAN, PNUI dan PBB sebagai partai yang islamis. Sementara Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra adalah partai nasionalis atau pancasilais.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa para pemilih sesungguhnya menolak klaim para petinggi partainya sendiri. Ada kesenjangan antara opini publik yang berkembang di kalangan elit partai dan realitas politik yang ada.

Burhanuddin memberi data yang lebih spesifik mengenai realitas politik PKS. Belakangan ini PKS begitu sibuk membangun citra nasionalis bagi partainya. Pada sejumlah materi kampanye terlihat bahwa PKS mencoba meraih simpati pemilih nasionalis dengan mengusung ide-ide mengenai toleransi dan nasionalisme. Tokoh-tokoh nasionalis semacam Soekarno bahkan tampil dalam materi-materi kampanye tersebut. Para elit PKS juga sibuk melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah citra PKS yang Islamis menjadi nasionalis. Tetapi menurut data kuantitatif yang dikemukakan oleh Burhanuddin, mayoritas aksi kader-kader PKS dalam bentuk demonstrasi selalu berhubungan dengan agenda-agenda islamis. Pemilih PKS juga adalah pemilih yang paling kuat mendukung agenda-agenda islamis, seperti pemberlakuan hukum potong tangan, menolak presiden perempuan, dan seterusnya. Apa yang dikemukakan oleh para elit PKS ternyata tidak memiliki korelasi dengan aspirasi dasar pemilih PKS itu sendiri.

Menanggapi isu ini, Zulkiflimansyah memberi semacam klarifikasi. Dia berpendapat bahwa PKS adalah partai yang terbuka, menerima siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Yang paling penting dari kiprah PKS sekarang ini adalah sebagai wadah bagi ummat Islam untuk melakukan reformasi diri dalam hal penyaluran aspirasi politik. “Berikan waktu kepada ummat Islam untuk melakukan reformasi diri,” ungkap Zulkifli. Bagi dia, apa yang sekarang dijalani oleh PKS adalah semacam upaya untuk menjadikan Islam sebagai instrumen perubahan sosial. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) di Turki. Mereka adalah generasi Islam yang tercerahkan. Mereka akan membuat politik Islam menjadi lebih rasional dan terbuka.

Partai Politik Islam

Pada level elektabilitas, PKS memang menunjukkan tren menanjak. Tetapi, menurut Dodi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa partai politik Islam secara umum memang sedang mendapat momentum untuk terus menanjak. Realitas politik menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tetap pada pendirian untuk memilih partai-partai nasionalis. Survei nasional LSI, April 2008, menunjukan bahwa 60 persen pemilih tetap memilih partai non-Islam, sementara hanya 16,6 persen yang memilih partai Islam, 24,4 persen sisanya belum menentukan pilihan. Angka ini cukup stabil sejak 2005.

Jika kemudian PKS tampak mendulang suara semakin besar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari partai mana suara PKS itu datang. Dalam pelbagai survei ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya suara PKS saat itu pula suara partai-partai seideologi juga mengalami penurunan. Dua partai yang paling menderita atas peningkatan suara PKS ini adalah PAN dan PBB. Itu artinya, PKS telah masuk ke dalam praktik “ta’kula lahma akhihi” (memakan teman sendiri).

Pola ini disadari betul oleh para elit PKS. Itulah yang membuat mereka tampak bersiteguh untuk tampil lebih nasionalis. Menurut Dodi, kekuatan PKS yang islamis sesungguhnya tidak sebanyak yang dibayangkan. 7,3 persen pada Pemilu 2004 tidak bisa serta merta berisi pemilih-pemilih Islam. Materi kampanye yang diusung oleh PKS saat itu justru adalah tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sementara pada 1999, di mana PKS hanya memperoleh suara 1,4 persen suara, PK begitu kental dengan agenda-agenda politik Islam. Yang membuat PKS mendulang suara berkali lipat justru adalah kampanye di luar agenda islamis.

Tetapi, menurut Burhanuddin, PKS tetap harus berhati-hati mengambil isu-isu nasionalis dalam materi kampanyenya. Realitas pemilih PKS yang sangat kental dengan nuansa islamis akan membatasi ruang gerak PKS itu sendiri. Tantangan utama PKS dalam melebarkan sayap audiens politik kepada pemilih nasionalis akan mendapat tantangan dari kalangan internal sendiri. Sangat mungkin PKS akan ditinggalkan oleh pemilih ideologisnya jika ia terus bermain-main dengan isu-isu nasionalis, sesuatu yang tidak mendapat tempat di hati para pemilih PKS itu sendiri.

Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.”

Rabu, 12 November 2008

REFORMASI BIROKRASI


Terganjal Metodologi yang Tak Jelas
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Amien Sunaryadi, yang juga penerima Bung Hatta Anticorruption Award, menyatakan, reformasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintah sejak tahun 1993 hingga sekarang tidak jelas metodologinya. Ia meminta pemerintah memahami dan belajar dari sejarah pemberdayaan aparatur negara yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an.

Hal tersebut dikemukakan Amien dalam seminar ”Mewujudkan Birokrasi Antikorupsi” di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (11/11). Hadir dalam acara tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.

Busyro Muqoddas menambahkan, korupsi birokrasi sangat dipengaruhi oleh kultur profesi. Ia banyak mengemukakan tentang reformasi peradilan yang, menurut dia, perlu dipikirkan kembali. Pasalnya, peradilan di Indonesia masih menempati posisi sebagai peradilan terkorup di Asia. Survei dilakukan di 12 negara

Menurut Amien, Indonesia sudah melaksanakan reformasi birokrasi sejak lama. Berbagai metode dilakukan, seperti pembuatan undang-undang dan penggantian pejabat.

”Saya ingin pemerintah mempelajari sejarah. Kita sudah punya Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa pegawai negeri harus digaji layak. Namun, itu tidak pernah terpenuhi. Kalau salah satu poin dalam undang-undang tidak terpenuhi hingga kini, mengapa harus mengubah undang-undang? Kalau tidak memahami sejarah dan metodologi, reformasi birokrasi bisa keliru,” ujarnya.

Ia menambahkan, reformasi birokrasi bukanlah sekadar pemberian tambahan penghasilan. Reformasi harus diartikan sebagai peningkatan nilai tambah atau added value sehingga performa kerja pegawai meningkat.

Tergantung pimpinan

Mahfud MD berpendapat, pelaksanaan reformasi birokrasi sangat bergantung pada pimpinan lembaga. Menurut dia, birokrasi terkadang dapat dibeli melalui pimpinan.

Mahfud menceritakan pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Baru dua bulan menjabat, ia pernah didatangi seseorang yang meminta proyek kepadanya. Orang tersebut menjanjikan fee 2 persen untuk partainya.

Menjawab tawaran orang itu, Mahfud mengatakan, ia saat ini tidak mengurus parpol. (ana)