Sabtu, 25 Oktober 2008

Golkar Jaga Keutuhan Pemerintah

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Muhammad Jusuf Kalla
Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:24 WIB

Suhartono

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merestui Wakil Presiden M Jusuf Kalla maju dan akhirnya menang dalam pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar di Bali, 2005, dalam bayangan Kalla, duet pemerintahannya di DPR akan ”aman” jika pemerintahnya ingin mengajukan sejumlah program.

Sebab, ia akan menguasai Fraksi Partai Golkar di DPR yang mayoritas mendukung semua programnya. Ia bahkan tidak khawatir jika harus berhadapan dengan oposisi, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), mengingat pemerintahannya juga menggandeng sejumlah fraksi.

Namun, tatkala sebagian kader partainya mendesak agar ia segera maju sebagai calon presiden untuk Pemilu 2009, Kalla menghadapi dilema.

Dalam pertemuan di ruang kerjanya di Istana Wapres, Jakarta, Kalla menyampaikan pandangannya kepada Kompas seputar peranan dan keberadaan partainya menjelang berakhirnya pemerintahannya, pencalonannya dan peluang partainya menghadapi Pemilu 2009.

Berikut petikan wawancara tersebut.

Hingga kini partai Anda belum mengajukan capres. Anda bilang berkali-kali, belum saatnya meskipun sebagian kader mendesak. Sikap Anda bisa dinilai seperti tidak percaya diri?

Pasti ada yang bicara seperti itu. Tetapi, saya dengan Presiden Yudhoyono tiga bulan persiapannya ketika maju. Deklarasi April, pemilu Juli. Karena itu, kalau sekarang (sudah deklarasi), saya tidak mau. Apalagi bisa menyebabkan bangsa ini tidak ada pemimpinnya yang jelas.

Kalau saya deklarasi hari ini sebagai capres, saya bisa saja. Apa susahnya karena saya ketua umum.

Opsi pilpres 2009, akan terus melanjutkan duet atau jalan sendiri?

Tergantung, tunggu hasil pemilu legislatif saja.

Kalau duet dipertahankan?

Lihat hasilnya saja. Jika negeri ini jadi baik, itu the winning team. Akan tetapi, itu nantilah, ini belum waktunya. Saya tidak penakut seperti yang dituduhkan di Golkar untuk mencalonkan (diri). Akan tetapi, jika saya umumkan sebagai calon presiden, bagaimana para menteri itu?

Saya selalu membaca apa tugas wakil itu. Tugas wakil itu harus satu langkah di belakang dan harus satu tone jika di depan. Harus begitu.

Tetapi, di ultah Partai Demokrat kemarin, nama Anda tidak disebut-sebut?

Tidak apa-apa.

Anda kan bisa berjalan sendiri, dengan asumsi sebagai partai besar itu?

Betul.

Dengan dukungan Partai Golkar, Anda ingin menjadi Presiden?

Saya tidak ada urusan jadi presiden selama saya bisa turut serta untuk mengatur negara dengan baik. Saya tahu, saya bukan orang Jawa. Tetapi, itu bukan berarti orang Jawa diskriminasi. Tidak. Di Amerika Serikat butuh waktu 200 tahun untuk orang Katolik menjadi Presiden AS. Kita baru 60 tahun. Belum tentu juga 60 tahun RI orang Bugis bisa menjadi presiden.

Sekali lagi, saya tidak akan mencalonkan dulu, supaya ada kekompakan di pemerintahan.

Bukankah sebagai ketua partai besar, peluang Anda juga besar?

Prinsip saya sebenarnya bagaimana negeri ini maju. Sepertinya ini utopis. Akan tetapi, saya tidak mengada-ada. Kalau saya dan Presiden berbeda pendapat, bagaimana negeri ini? Presiden sendiri tidak mengumumkan secara resmi jadi capres. Partai Demokrat juga. Jadi, kita sepakat untuk bicara itu nanti. Saya sudah bicara dengan Presiden dan kita bersalaman. Itu kesepakatan kita.

Saya juga tidak ingin terpecah. Kalau saya muncul (mencalonkan), saya akan seperti mengampanyekan saya atau partai. Bahkan, menteri-menteri juga meminta tolong supaya saya dan Presiden tidak terpecah dulu sampai selesainya pemerintahan.

Anda optimistis Partai Golkar mencapai target suara 30 persen?

Ya, optimistis bisa 30 persen.

Anda sudah tentukan koalisi parpol dan pendamping?

Belum, karena tergantung hasil pemilu legislatif. Jika yang menang dan terus digabung dengan Golkar bisa sampai 50 persen, kan bagus. Karena, kita jadi mayoritas di DPR. Tetapi, kita semua menunggu kondisinya seperti apa. Kalau saya tentukan sekarang, lalu suaranya hanya 2 persen atau 5 persen, habis kita di DPR.

Dalam pemerintahan, Anda terkesan banyak mengalah?

Iyalah, saya ini kan wakil.

Akan tetapi, apa orang Golkar bisa menerima?

Karena itu, saya jelaskan. You mau hasil atau penampilan? Tunjukkan kepada saya dulu, setelah reformasi apakah Golkar pernah menang sebagai capres? Negeri dulu.

Golkar tidak pernah mencalonkan. Presiden BJ Habibie dijegal. Jadi, tidak pernah ada calon Golkar sejak reformasi. PDI-P suara terbanyak, tetapi hanya jadi wapres. Posisi Golkar nomor dua, tetapi yang naik jadi Presiden Abdurrahman Wahid. Itulah kesempatan yang hilang di negeri ini. Megawati force majeur juga. Karena akibat impeach, naiklah jadi presiden. Pemilihan wapres, bersaing tiga orang. Pak Akbar ikut, meskipun pernah saya peringatkan. Tetapi, akhirnya kalah. Mengapa? Karena kita terlalu sombong dan tidak mengatur koalisi.

Tentang konvensi Partai Golkar yang disuarakan Akbar Tandjung?

Politik itu baik. Hanya yang saya tidak mau masuk adalah menjadi pedagang politik. Kalaupun saya tidak mundur dan terus dalam konvensi, saya posisi ketiga setelah Wiranto. Menang memang susah karena saya tidak punya uang. Lalu saya ke rumah Akbar dan minta berhenti ikut konvensi.

Itulah masa yang menurut saya paling memalukan Golkar. Capresnya bukan dari Golkar, wakilnya lebih hebat lagi, ketua partai lain.

Makanya, saya selalu bilang, apanya yang dibanggakan dari konvensi? Dalam konvensi pun yang ikut peramal, pelawak, artis. Jadi, kenapa konvensi dianggap sesuatu yang keramat dan hebat? Karena itu, sekarang, saya tidak ingin itu terjadi lagi.

Tentang peluang Pak Akbar?

Dalam sejarahnya, Pak Akbar belum pernah menang. Saat pencalonan wapres, dia kalah dengan Hamzah Haz. Di konvensi Partai Golkar, dia kalah dengan Wiranto. Di Munas Partai Golkar di Bali, dia kalah sama saya.

Akan tetapi, hubungan saya baik. Tak ada menteri yang datang dua kali di persidangannya, kecuali saya waktu dulu. Waktu menjadi ketua, saya sering datang. Ulang tahun juga saya datang. Akan tetapi, kalau dia datang ke saya sekarang, ya wajar karena saya lebih tua. Dan saya Wapres serta Ketua Umum DPP Partai Golkar. Sebelum ini, saya datang duluan menemuinya untuk menghilangkan perasaan itu.

Golkar sekarang ini terkesan pecah?

Tidak ada perpecahan. Perpecahannya itu hanya ada jika melihat pernyataan beberapa kader saja. Yang itu-itu saja.

Pernah ada yang bilang DPP Partai Golkar penakut. Saya bilang, beri peringatan pertama. Sekali lagi bicara saya beri pergantian antarwaktu. Sekarang dia tidak berani lagi.

Sebab, prinsip saya, kalau dia punya 10 nyali untuk mengganti saya, cukup setengah nyali saya hanya untuk memecat dia.

Saya marah betul waktu itu, karena dia pertanyakan militansi saya. Jangan coba-coba bilang saya penakut dalam keputusan Pilkada Maluku Utara.

Jadi, jangan pertanyakan keberanian saya. (Ketika) mayat bergelimpangan korban penembakan di Ambon dan Poso pun saya datang. Jangan coba bilang saya tidak punya keberanian.

Golkar dikesankan masih seperti Orde Baru dengan segala macam perilakunya. Bagaimana Anda bisa mengarahkan perubahan citra partai?

Pertama, lihat calon Golkar. Disebut saja di koran bahwa dia terlibat dana BI dan lainnya, saya coret. Menangis, menangislah dia. Saya memang berkawan, tetapi maaf kalau soal itu. Coba cari calon Golkar yang tersebut di koran. Karena saya mengontrol sendiri daftar nama itu.

Memang, kebiasaan uang dari atas ini yang masih terjadi. Karena zaman dulu Pak Harto punya yayasan yang kasih uang. Mulai dari menteri, gubernur, dan dirjen. Tetapi sekarang ini (sudah) hilang semuanya. (SUT/DIS/MYR)

Tidak ada komentar: