Senin, 28 Juli 2008

Ini Dia Wakil Rakyat Penerima Aliran Dana BI


Senin, 28 Juli 2008 | 17:30 WIB

JAKARTA, SENIN-Berikut ini adalah nama-nama anggota Komisi IX (Komisi Perbankan dan Keuangan) DPR periode 1999-2004 yang menerima aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) seperti diungkap tersangka Hamka Yamdhu (anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (28/7).

Uang diserahkan di ruangan anggota DPR masing-masing, saat sedang ada rapat, istirahat, dan lain-lain. Terkadang, para anggota itu yang menemui Hamka Yamdhu di ruangannya. Namun, Hamka tidak tahu apakah uang itu terkait masalah BLBI atau UU.

Fraksi Golkar:

1. TM Nurlif Rp 250 juta 
2. Baharudin Aritonang (sekarang anggota BPK) Rp250 juta,
3. Anthony Zeidra Abidin. Hamka tidak tahu besar uang yang diterima Anthony karena dia mengambil sendiri setelah uang diserahkan, 
4. Ahmad Hafiz Zawawi Rp250 juta, 
5. Asep Ruchimat Sudjana Rp250 juta, 
6. Boby Suhardirman Rp250 juta, |
7. Azhar Muchlis Rp250 juta, 
8. Abdulah Zaini (Sekarang wakil ketua BPK) Rp250 juta, 
9. Martin Serandesi Rp250 juta, 
10. Hamka Yamdhu Rp500 juta, 
11. Hengky Baramuli Rp250 juta, 
12. Reza Kamarulah Rp250 juta. 
13. Paskah Suzeta kurang lebih Rp1 miliar yang menyerahkansaya sendiri secara bertahap. Saya serahkan empat kali.

Fraksi PDIP:

untuk 13 anggota Fraksi uang diserahkan empat tahap dengan total Rp 3,55 miliar.

1. Dodhie Makmun Murod (Rp 300 juta)
2. Max Moein
3. Poltak Sitorus, 
4. Aberson Marle Sihaloho 
5. Tjiandra Widjaja 
6. Zulvan Lindan 
7. Wiiliam Tutuarima 
8. Sutanto Pranoto
9. Daniel Setiawan

Fraksi PPP:
1.Daniel Tandjung (Rp500 juta)
2.Sofyan Usman
3.Habil Marati.

 Fraksi PKB:
1. Amru Al Mustaqim
2. Ali As'ad, 
3. Aris Azhari Siagian
4. Am Muchtar Nurjaya 
5. Amru Almutaqin

(masing-masing mendapat Rp250 juta)

Fraksi Reformasi:
Rizal Djalil (penerima dana dan masih ada empat anggota FRaksi Reformasi lainnya)

TNI Polri:
1.Mayjen D Yusuf

Fraksi KKI
1.Hamid Mappa
2.FX Soemitra


Fraksi PBB
1.MS Kaban (diserahkan langsung Hamka Yamdhu Rp300 juta)

Fraksi PDU

1.Abdullah Alwahdi Rp250 juta

Sabtu, 26 Juli 2008

Parpol Tak Beri Harapan, Golput Naik


Jumat, 25 Juli 2008 | 00:30 WIB 

Jakarta, Kompas - Tingginya angka golongan putih atau golput, pemilih yang sengaja tak menggunakan hak pilihnya, di sejumlah pemilihan kepala daerah, kemungkinan terus berlanjut hingga Pemilu 2009. Hal ini bisa terjadi jika partai politik tak dapat memberikan harapan baru kepada masyarakat dan Komisi Pemilihan Umum tidak memperbaiki kinerjanya, terutama pada pendataan pemilih.

”Jika kondisinya tak berubah, golput pada Pemilu 2009 bisa naik hingga 20 persen dibandingkan Pemilu 2004,” ujar dosen Universitas Paramadina, Jakarta, Bima Arya Sugiarto, Kamis (24/7). Hal senada juga disampaikan Airlangga Pribadi Usman, pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya.

Jika golput dan jumlah suara yang rusak pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 putaran pertama sebesar 24,60 persen dan menjadi 26,31 persen pada putaran kedua, dengan asumsi itu, golput pada Pilpres 2009 dapat sekitar 40 persen. Naiknya golput juga akan terjadi pada pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. ”Angka partisipasi menjadi salah satu ukuran kualitas demokrasi," kata Bima.

Perkiraan meningkatnya golput itu muncul, menyusul tingginya golput di sejumlah pilkada di Indonesia. Prediksi Litbang Kompas, golput pada pilkada Jatim, Rabu lalu, mencapai 39,2 persen. Ini berarti dari 29.061.718 pemilih, sekitar 11,4 juta di antaranya diduga tak menggunakan haknya.

Catatan Kompas, golput di Pilkada Banten, 26 November 2006, mencapai 39,17 persen. Di Pilkada DKI Jakarta (8/8/2007) sebesar 34,59 persen, Pilkada Jawa Barat (13/4/2008) 32,7 persen, dan Pilkada Jawa Tengah (22/6/2008) mencapai 41,5 persen.

Menurut anggota KPU Jatim, Arief Budiman, salah satu cara meningkatkan partisipasi dalam pilkada adalah dengan memudahkan pemilih menggunakan haknya, misalnya cukup menunjukkan kartu tanda penduduk.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampouw di Surabaya, Kamis, mengakui, buruknya pendataan pemilih ini setidaknya ditemukan dalam Pilkada Sumatera Utara, Jabar, Jateng, dan Jatim. Rendahnya partisipasi pemilih dalam sejumlah pilkada umumnya disebabkan buruknya pendataan pemilih. Namun, KPU di daerah tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena data pemilih itu berasal dari data kependudukan milik pemerintah yang buruk.

Kejenuhan kepada calon

Menurut Bima, golput juga disebabkan jenuhnya masyarakat kepada parpol dan calon yang muncul, yang dinilai tidak dapat memberikan perubahan berarti. Parpol harus mengubah dirinya hingga dapat memberi harapan baru kepada masyarakat, baik dalam bentuk figur yang ditampilkan maupun model kampanyenya.

Bima meyakini golput akan jauh berkurang jika muncul tokoh baru yang dianggap dapat memberi warna baru di masyarakat. ”Kemunculan Barrack Obama dan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat merupakan contoh. Kedua orang itu mampu memberikan harapan baru sehingga kemunculannya berhasil meningkatkan antusiasme pemilih,” ujarnya.

Airlangga juga mengingatkan, ”Jika dalam Pilpres 2009 parpol masih memunculkan tokoh lama yang prestasi dan kinerjanya sudah diketahui masyarakat, golput akan semakin besar. Parpol harus berani membuat terobosan dengan memunculkan tokoh baru.”

Tokoh baru juga dibutuhkan, ujar Airlangga, untuk regenerasi kepemimpinan di Indonesia. (nwo/idr/dwa/mzw)

Calon Muda Memiliki Energi, Kapasitas, Agenda


Ketua Umum Golkar Belum Berani Calonkan Presiden 


Sabtu, 26 Juli 2008 | 03:00 WIB 

Jakarta, Kompas - Dengan kian dekatnya Pemilihan Presiden 2009, calon bermunculan, termasuk kalangan muda. Mereka dinilai mempunyai energi lebih, kapasitas, dan juga agenda progresif yang tidak kalah dari seniornya.

Hal itu mengemuka dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertemakan ”Tokoh-tokoh Alternatif Pemilu 2009”, Jumat (25/7) di Jakarta. Hadir tiga calon presiden (capres) muda, yaitu Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar DPR, , Ketua Umum Dewan Syura Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, Ketua Pedoman Indonesia M Fadjroel Rachman, serta pengamat politik Sukardi Rinakit.

Menurut Yuddy, Indonesia saat ini memiliki banyak persoalan, yaitu kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan pada asing, kebodohan, dan korupsi. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang memiliki energi ekstra, visi orisinal, kapasitas, serta keberanian.

Dicontohkan, Soekarno berani memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai kekuatan di Asia Tenggara karena muda dan punya kapasitas. Begitu pula dengan Soeharto dengan visi ekonomi pedesaan. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga berani melawan Amerika Serikat (AS). Atau calon Presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, yang punya visi besar atas perubahan.

Yuddy adalah calon presiden muda yang pertama kali mendeklarasikan diri pada 28 Oktober 2007.

”Saya orang satu-satunya di Partai Golkar yang berani mengatakan siap maju menjadi presiden. Bahkan, Ketua Umum juga belum berani,” katanya.

Agenda progresif

Fadjroel meminta capres muda jangan hanya dilihat dari sisi usia, tetapi yang terpenting juga memiliki agenda progresif. Tokoh reformasi itu memiliki agenda menasionalisasi aset strategis bangsa, mengadili dan menyita harta kekayaan Soeharto, serta mengusut tuntas kejahatan hak asasi manusia pada masa lalu.

”Kalau agenda ini dijalankan, kaum muda baru berbeda dengan mereka yang tua. Berani tidak?” ujarnya.

Menurut Fadjroel, kegagalan pemerintah selama ini pun karena masih dipegang oleh orang tua yang punya relasi politik dan ekonomi dengan Orde Baru. Dia juga tidak yakin, banyak capres muda berani punya agenda itu.

Sebaliknya, Yusril yang dalam Sidang MPR tahun 1999 sudah diusulkan menjadi calon presiden, tetapi mengalah pada generasi tua, kali ini menegaskan tidak akan mundur.

”Sudah cukup saya berikan kesempatan kepada orang lain. Kali ini saya akan maju,” katanya.

Indonesia juga tidak bisa dipimpin oleh orang yang menyandarkan pada kewibawaan tradisional.

”Yang terpenting itu mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan nyata,” kata Yusril, yang sudah beberapa kali menjabat menteri itu.

Sukardi Rinakit mengingatkan para capres muda bahwa 80 persen pemilih berpendidikan di bawah SLTP. Karena itu, faktor kewibawaan tradisional tetap berpengaruh. Figur muda juga harus memanfaatkan emosi pemilih tradisional di Jawa.

”Figur muda, kalau mempunyai karakter satria, bisa menerobos,” ujarnya. (sut)

Kenegarawanan Pemimpin Kita


Sabtu, 26 Juli 2008 | 01:25 WIB 

TJIPTA LESMANA

Menarik, menyimak ungkapan Wapres Jusuf Kalla, 15 Juli 2008. Dikatakan, ada enam pemimpin kita tidak saling bicara satu sama lain.

”Presiden Soekarno tidak bisa berbicara dengan Soeharto pada saat akhir pemerintahannya. Pak Harto tidak mau berbicara dengan presiden selanjutnya, BJ Habibie. Presiden Habibie tidak berbicara dengan KH Abdurrahman Wahid saat turun. Presiden Gus Dur tidak mau berbicara dengan Megawati Soekarnoputri. Megawati tidak saling omong dengan Presiden Yudhoyono setelah pemilu.”

Jusuf Kalla mengangkat isu politik sensitif tetapi krusial dalam konteks demokrasi. Seolah ia ingin mengingatkan, sikap ke-enam pemimpin yang saling berdiam diri itu tidak baik dan tidak mendidik dari segi demokrasi. Mengapa mereka tidak saling berbicara? Sebelum menjawab, pernyataan JK perlu dikoreksi.

”Penyakit” curiga

Kasus ”saling tidak mau berbicara” di antara ke-enam presiden tidaklah sama. Siapa yang tidak mau berbicara: apakah presiden yang digantikan (sebagai komunikator) atau presiden yang menggantikannya (komunikan)?

Dari enam presiden, hanya satu—Soeharto—yang tak mau berbicara saat dalam posisi sebagai komunikator. Sejak meninggalkan Istana, 21 Mei 1998, sampai meninggal, Soeharto tak mau menerima, apalagi bertemu Habibie. Lainnya, yang ngambek, adalah komunikan, presiden yang digantikan. Maka, benar kata JK, saat Habibie digantikan Gus Dur, ia emoh menyapa Gus Dur. Namun, dalam kasus Gus Dur-Megawati, keduanya tak mau saling sapa. Saat SBY menggantikan Megawati, 20 Oktober 2004, Megawati tak mau berkomunikasi dengan mantan menterinya itu meski SBY dengan berbagai cara berupaya menemui Megawati.

Jika ditanya, ”Apa sebab?” Jawabannya karena sebagian besar pemimpin kita bukan negarawan ”kelas tinggi”. Sifat dendam bertengger kuat dalam nurani. Kekurangan kenegarawanan juga tecermin dari susahnya pemimpin menerima kekalahan dalam pesta demokrasi. Faktor ketiga: ”penyakit” curiga yang tidak kunjung sembuh.

Dari lima kali transisi kekuasaan yang pernah kita alami, alih kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto paling ”bermasalah”. Sejumlah ahli sejarah bahkan menuding Soeharto melakukan kup melalui Surat Perintah 11 Maret (1966). Hingga hari ini, tudingan itu tetap kontroversial. Soeharto tidak pernah mau menemui pendahulunya karena sadar transisi kekuasaan itu ”bermasalah”. Anehnya, Soeharto tidak pernah eksplisit menuduh Soekarno bersalah dalam tragedi G30S.

Mengapa Soeharto tidak mau menerima kedatangan ”anak emasnya”, Habibie, setelah lengser 21 Mei 1998? Bukankah ia sendiri yang memilih Habibie sebagai Wakil Presiden pada Sidang Umum MPR Maret 1998? Dikabarkan, Cendana mencurigai Habibie berkonspirasi dengan pihak tertentu untuk menjatuhkan Soeharto, terutama pengunduran diri 14 menteri saat Soeharto sedang memeras otak membentuk ”Kabinet Reformasi”. Habibie menolak tudingan ini. Itu sebabnya Habibie mengaku batinnya menangis sebab hingga saat terakhir tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi antara keberangkatan Pak Harto ke Kairo hingga pengunduran Soeharto.

Dalam kampanye Pemilu 1999, Gus Dur dan kubunya banyak mengkritik kebijakan Presiden Habibie. Sebetulnya, Amien Rais dan Megawati berbuat sama, terkait lepasnya Timor Timur dan skandal Bank Bali. Namun, karena Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden, wajar jika Habibie tidak senang dan tidak mau menyapanya.

Saling curiga

Saling curiga rupanya sifat pemimpin kita. Gus Dur percaya Megawati ada di balik proses impeachment dirinya pada medio 2001. Namun, Megawati juga punya alasan kuat untuk tidak senang kepada Gus Dur. Keduanya membisu setelah Gus Dur digantikan Megawati. Dibutuhkan dua tahun lebih hanya untuk berjabat tangan, belum sampai tahap bercakap-cakap. Itu pun diramaikan isu suap yang dilemparkan Gus Dur. Namun, saat keduanya menghadapi ”musuh bersama” SBY, permusuhan itu mencair.

Ihwal relasi Megawati-SBY? Banyak pihak percaya dendam Mega kepada SBY lebih kuat daripada dendam Soeharto kepada Habibie. Di mata Mega, SBY tak lebih ”Brutus”. ”Kita harus rebut kursi presiden itu pada 2009!” teriak Mega di depan kader PDI-P beberapa jam setelah SBY diambil sumpahnya oleh MPR, 20 Oktober 2004.

Dendam, curiga, dan tak bisa menerima kekalahan, itulah tiga ”keburukan” pemimpin kita disusul tidak bercakap-cakap. Di AS, para mantan kepala negara tetap menjalin silaturahmi, juga dengan penguasa di Gedung Putih. Bukan hanya itu. George W Bush mengirim mantan Presiden Jimmy Carter ke Timur Tengah untuk mengupayakan perdamaian, mengirim Bill Clinton ke Aceh saat tsunami. Presiden Clinton pun pernah mengirim Presiden Bush (senior) ke China untuk berunding dengan Pemimpin RRC. Suatu saat empat mantan presiden dan Presiden Bush makan siang di Camp David sambil membahas masalah bangsa.

Rupanya, bagi Indonesia, gambaran keakraban presiden dengan para mantan presiden seperti di AS masih mimpi.

Tjipta Lesmana Pengarang Buku Komunikasi Politik 6 Presiden RI

Rabu, 23 Juli 2008

Reformasi Setelah 10 Tahun

Reformasi Setelah 10 Tahun 


Masa 10 tahun adalah masa yang paling baik untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi. Evaluasi bisa dilakukan dengan melihat adakah kemajuan setelah 10 tahun ini dengan melihat berbagai indikator pencapaian. Evaluasi juga bisa dilakukan dengan memnta pendapat publik atas pelaksanaan reformasi selama ini. Apakah publik sudah puas atau belum dengan pelaksanaan reformasi. Bahan untuk tulisan ini diambil dari Bahan-bahan diambil dari survei nasional yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada awal Mei 2008. Survei dilakukan dengan memasukkan semua populasi----termasuk provinsi Papua, Irian Jaya Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Total sampel survei adalah 1.200 orang dengan margin of error plus minus 3.5%.

Survei yang dilakukan oleh LSI menunjukan, mayoritas publik (53.3%) kurang puas dengan pelaksanaan reformasi. Publik bahkan menilai kondisi saat ini dimasa reformasi lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Sebanyak 58.3% publik menilai kondisi erbaik adalah kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Data ini menunjukkan reformasi belum banyak dirasakan manfaatnya oleh publik. Memang ada banyak kemajuan setelah 10 tahun reformasi ini. Di tengah berbagai kemajuan yang telah dicapai, mengapa publik justru lebih memilih kondisi terbaik adalah masa Orde Baru Soeharto? Kemungkinan karena reformasi tidak berdampak langsung kepada kehidupan langsung mereka.

Pandangan semacam ini harus ditafsirkan sebagai cerminan pandangan publik yang menilai reformasi selama ini tidak banyak menyentuh perbaikan kehidupan mereka. Kondisi ekonomi rumah tangga meraka tidak auh lebih baik setelah reformasi----seperti kenaikan harga barang kebutuhan pokok, pendidikan yang makin mahal dan laangan pekerjaan makin sulit dicari. Berbagai kemajuan yang telah dicapai selama 10 tahun reformasi ini ( mulai dari adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, kebebasan pers, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah, pemisahan polisi dari TNI dan sebaainya) tidak dirasakan secara langsung dampaknya bagi publik. Berbagai kemajuan reformasi itu, jika dilihat lebih banyak dinikmati oleh elit. Otonomi daerah misalnya, selama ini banyak dinikmati oleh elit lokal. Pemilhan kepala daerah juga lebih banyak dimanfaatkan oleh elit. Ada atau tidak ada otonomi daerah atau Pilkada, kehidupan ekonomi publik tidak kunjung membaik. Karena itu tidak mengherankan jikalau reformasi dinilai tidak memuaskan oleh publik



Tulisan ini akan menyoroti mengenai pandangan publik atas pelaksanaan reformasi saat ini. Apakah publik puas atau tidak paus dengan pelaksanaan reformasi. Apakah kondisi di masa reformasi ini dinilai oleh publik lebih baik atau tidak jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Bahan-bahan diambil dari survei nasional yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada awal Mei 2008. Survei dilakukan dengan memasukkan semua populasi----termasuk provinsi Papua, Irian Jaya Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Total sampel survei adalah 1.200 orang dengan margin of error plus minus 3.5%.

PENGETAHUAN ATAS REFORMASI
Pertanyaan menarik seputar reformasi ini adalah apakah wacana mengenai reformasi ini hanya milik elit ataukah juga dibicarakan oleh masyarakat umum. Salah satu aspek yang bisa dilihat adaah pengetahuan publik atas reformasi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) membuat survei dan menggali pengetahuan publik atas reformasi. Kepada responden ditanyakan sebuah pertanyaan (dengan pertanyaan terbuka / open qustion), sejak kapan masa reformasi di Indonesia (Lihat Grafik 1). Sebanyak 23% menjawab salah ( bukan tahun 1998). Hanya 28.5% saja dari responden yang bisa menjawab dengan benar ( tahun 1998). Separoh responden (48.5%) memilih tidak menjawab atau mengatakan tidak tahu. 

 
Grafik 1. Pengetahuan Atas Reformasi
Q: Sepengetahuan Ibu/Bapak, kapan (sejak tahun berapa) reformasi dimulai di Indonesia? (n=1200)
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). Survei dilakukan dengan menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling. Jumlah sampel 1.200 orang responden (dengan sampling error plus minus 3.5% pada tingkat kepercayaan 95%). Wawancara dilakukan secara langsung (face to face interview). Di luar kesalahan dalam penarikan sampel, dimungkinkan adanya kesalahan non sampling.  


Fakta ini menunjukkan masih banyak publik yang tidak tahu mengenai reformasi. Tabel 1 merinci lebih detil responden yang tahu dan tidak tahu menurut sejumlah kategori segmen masyarakat. Dari tabel ini terlihat, masyarakat yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi lebih tahu mengenai reformasi dibandingkan dengan masyarakat yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Tabel 2 merinci pengetahuan responden mengenai reformasi menurut akses pada media. Dari tabel ini terlihat, mereka yang terbiasa membaca suratkabar, mempunyai pengetahuan lebih baik dalam hal reformasi dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah atau jarang membaca suratkabar.




Tabel 1. Pengetahuan Atas Reformasi Menurut Sejumlah Kategori 

Kategori Tidak Tahu Mengenai Reformasi Tahu Mengenai Reformasi Tidak Tahu/ Tidak Jawab
Gender
Laki-laki 25.3% 33.5% 41.3%
Perempuan 20.7% 23.6% 55.7%
Desa/Kota
Desa 22.3% 23.5% 54.2%
Kota 23.9% 35.8% 40.3%
Pulau
Jawa 28.8% 26.2% 44.9%
Sumatera 14.7% 36.4% 48.8%
Kalimantan 30.0% 31.4% 38.6%
Sulawesi 11.3% 18.8% 70.0%
NT/Bali/Papua/Maluku 3.9% 29.9% 66.2%
Umur
19 Tahun atau Dibawahnya 23.1% 20.5% 56.4%
20-29 Tahun 25.7% 30.4% 43.9%
30-39 Tahun 21.6% 30.8% 47.7%
40-49 Tahun 23.6% 29.3% 47.1%
50 Tahun atau Diatasnya 22.0% 24.6% 53.4%
Pendidikan
Lulus SD atau Dibawahnya 21.5% 12.0% 66.5%
Tamat SLTP/sederajat 25.7% 27.4% 47.0%
Tamat SLTA/sederajat 24.4% 50.7% 24.8%
Pernah Kuliah atau Diatasnya 20.2% 73.0% 6.7%
Pendapatan
Di bawah 400 ribu 20.3% 16.0% 63.7%
400-999 ribu 24.8% 24.8% 50.5%
1 juta atau lebih 23.0% 47.3% 29.7%

Tabel 2. Penilaian Umum Atas Pengetahuan Atas Reformasi Menurut Akses Pada Media 

Kategori Tidak Tahu Mengenai Reformasi Tahu Mengenai Reformasi Tidak Tahu/ Tidak Jawab
Koran
Setiap hari atau hampir tiap hari 20.6% 69.8% 9.5%
3-4 hari dalam seminggu 10.0% 70.0% 20.0%
1-2 hari dalam seminggu 16.7% 57.4% 25.9%
Jarang (tidak setiap minggu) 28.5% 33.3% 38.3%
Tidak pernah 21.7% 15.3% 63.0%
Tidak jawab 12.5% 87.5%
TV
Setiap hari atau hampir tiap hari 24.6% 37.3% 38.1%
3-4 hari dalam seminggu 23.9% 26.1% 50.0%
1-2 hari dalam seminggu 27.7% 28.9% 43.4%
Jarang (tidak setiap minggu) 24.4% 17.6% 58.1%
Tidak pernah 4.4% 13.2% 82.4%
Tidak jawab 18.2% 81.8%
Radio
Setiap hari atau hampir tiap hari 22.7% 37.1% 40.2%
3-4 hari dalam seminggu 18.5% 38.9% 42.6%
1-2 hari dalam seminggu 29.1% 34.6% 36.4%
Jarang (tidak setiap minggu) 26.7% 31.1% 42.2%
Tidak pernah 20.4% 23.5% 56.1%
Tidak jawab 6.3% 12.5% 81.3%


KONDISI SEBELUM DAN SETELAH REFORMASI
Bagaimana publik menilai kondisi saat ini setelah reformasi? Grafik 2 menampilkan data mengenai penilaian publik atas kondisi saat ini dibandingkan dengan kondisi sebeum reformasi. Dari grafik ini terlihat, publik terbagi antara yang mengatakan kondisi saat ini lebih baik (29.7%) dan kondisi saat ini lebih buruk (36.7%) dibandingkan dengan 10 tahun lalu sebelum reformasi. Hal ini menunjukkan reformasi ditanggapi secara beragam oleh publik. 



 
Grafik 2. Perbandingan Kondisi Saat Ini Dibandingkan Sebelum Reformasi
Q: Masa Reformasi dimulai pada tahun 1998. Secara umum, bagaimana Ibu/Bapak menilai kondisi saat ini DIBANDINGKAN dengan kondisi sepuluh tahun lalu, di tahun 1998? Apakah kondisi saat ini jauh lebih baik, lebih baik, sama saja, lebih buruk atau jauh lebih buruk? (n=1199)
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 
 
Publik ditanya lebih lanjut dengan meminta mereka membandingkan kondisi saat ini di masa reformasi dengan kondisi di masa Orde Baru dan Orde Lama. Menurut publik, di antara masa-masa tersebut, mana yang dipandang lebih baik? Yang menarik, mayoritas publik (58.3%) menilai kondisi di masa Orde Baru Soeharto dinilai sebagai masa yang terbaik. Yang menilai kondisi terbaik adalah saat ini di msa reformasi hanya sebesar 15.5% ( Lihat dalam Grafik 3). 






 

Grafik 3. Perbandingan Kondisi Saat Ini Dibandingkan Orde Lama dan Orde Baru
Q: Indonesia pernah mengalami beberapa masa, diantaranya masa Orde Lama, Orde Baru dan saat ini masa Orde Reformasi. Secara umum, mana yang menurut Ibu/Bapak lebih baik: kondisi pada masa sekarang ini di masa REFORMASI, kondisi di masa Orde Lama ataukah kondisi pada saat ORDE BARU di bawah pemerintahan Soeharto? (n=1199)
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 


Tabel 3 merinci lebih detil penilaian publik atas perbandingan kondisi saat ini dengan Orde Baru dan Orde Lama. Dari tabel ini terlihat, mayoritas di semua segmen masyarakat, lebih banyak yang memilih lebih baik berada di masa Orde Baru Soeharto. Bahkan di kalangan masyarakat yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, sebagian besar justru menilai lebih baik di masa Orde Baru Soeharto. Meskipun proporsi yang memilih lebih baik di masa Orde Baru lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan dan berpendapatan rendah. Yang juga menarik adalah melihat distribusi jawaban responden berdasarkan usia. Mereka yang berusia muda ( di bawah 30 tahun) juga lebih memilih lebih baik berada di masa Orde Baru dibandingkan dengan di masa saat ini.
 
 Tabel 3. Penilaian Umum Atas Perbandingan Kondisi Saat Ini Dibandingkan Orde Lama dan Orde Baru Menurut Sejumlah Kategori

Kategori Kondisi saat ini di masa Reformasi Kondisi pada saat ORDE BARU di bawah pemerintahan Soeharto Kondisi pada saat ORDE LAMA Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama baik Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama buruk Tidak Jawab/ Tidak Tahu
Gender
Laki-laki 16.7% 56.7% 7.5% 6.8% 1.2% 11.2%
Perempuan 14.4% 59.9% 7.0% 2.7% 1.7% 14.4%
Desa/Kota
Desa 15.4% 55.8% 6.5% 5.6% 1.4% 15.4%
Kota 15.8% 62.0% 8.4% 3.5% 1.4% 9.0%
Jawa 10.6% 66.9% 8.4% 4.7% 0.9% 8.6%
Sumatera 23.4% 40.2% 8.2% 3.0% 3.0% 22.3%
Kalimantan 21.4% 55.7% 2.9% 4.3% 1.4% 14.3%
Sulawesi 21.3% 55.0% 3.8% 5.0% 1.3% 13.8%
NT/Bali/Papua/Maluku 21.3% 50.0% 1.3% 11.3% 1.3% 15.0%
Umur
19 Tahun atau Dibawahnya 18.0% 48.7% 7.7% 10.3% 2.6% 12.8%
20-29 Tahun 16.1% 58.7% 5.1% 2.8% 2.3% 15.1%
30-39 Tahun 18.7% 58.2% 7.2% 4.2% 0.8% 10.9%
40-49 Tahun 15.6% 59.1% 7.0% 3.0% 1.3% 14.0%
50 Tahun atau Diatasnya 10.6% 58.5% 9.2% 8.2% 1.4% 12.1%
Pendidikan
Lulus SD atau Dibawahnya 11.5% 59.9% 6.2% 4.2% 0.8% 17.5%
Tamat SLTP/sederajat 12.0% 60.7% 9.8% 5.1% 2.6% 9.8%
Tamat SLTA/sederajat 22.0% 56.0% 7.3% 5.1% 2.2% 7.3%
Pernah Kuliah atau Diatasnya 32.2% 48.9% 6.7% 6.7% 5.6%
Pendapatan
Di bawah 400 ribu 9.3% 60.9% 6.6% 5.7% 0.9% 16.7%
400-999 ribu 13.4% 60.5% 6.5% 4.3% 2.2% 13.0%
1 juta atau lebih 25.7% 52.7% 8.8% 4.7% 0.3% 7.8%
 
Grafik 4 merinci lebih detil penilaian atas mana yang lebih baik kondisi saat ini dengan kondisi di masa Orde Baru dan Orde Lama berdasarkan bidang. Dari grafik 4 ini terlihat, yang paling mencolok adalah penilaian di bidang ekonomi. Sebanyak 68.5% publik memilih lebih baik di masa Orde Baru Soeharto untuk perekonomian. Harga barang yang relatif stabil dan lapangan pekerjaan kemungkinan menjadi alasan responden lebih memilih kondisi perekonomian di masa Orde Baru Soeharto. Publik juga memilih lebih baik di masa Orde Baru untuk bidang sosial dan keamanan. Sementara untuk bidang hukum, publik terbagi antara yang memilih lebih baik di masa Orde Baru dan di masa reformasi sekarang ini. 











































Grafik 4. Perbandingan Kondisi Saat Ini Dibandingkan Kondisi Orde Lama dan Orde Baru
Q: Saya ingin Ibu/Bapak membandingkan kondisi saat ini di masa REFORMASI dengan kondisi pada saat ORDE LAMA dan ORDE BARU di bawah pemerintahan Soeharto. Menurut penilaian Ibu/Bapak, kondisi mana yang lebih baik dalam bidang berikut ini ...... ?
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 



Data ini menunjukkan reformasi belum banyak dirasakan manfaatnya oleh publik. Memang ada banyak kemajuan setelah 10 tahun reformasi ini. Pada masa reformasi, kebebasan berbicara dan keterbukaan pers jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumknya. Di masa reformasi saat ini, kehidupan politik juga jauh lebih baik. Pemilihan presiden dan kepala daerah saat ini lewat proses pemiihan langsung yang menjamin keinginan publik lebih bisa disuarakan. Pada masa reformasi ini, penuntasan kasus korupsi juga sudah mulai digalakkan. Di tengah berbagai kemajuan yang telah dicapai, mengapa publik justru lebih memilih kondisi terbaik adalah masa Orde Baru Soeharto? Kemungkinan karena reformasi tidak berdampak langsung kepada kehidupan langsung mereka. Setelah 10 tahun ini, publik menilai harga barang naik, pekerjaan sulit didapat dan sebagainya. Penilaian itulah yang menyebabkan mereka lebih memilih masa Soeharto daripada masa saat ini. 

 Tabel 4 merinci penilaian publik menurut sejumlah kategori atas kondisi politik mana yang leih baik, apakah kondisi saat ini ataukah kondisi pada masa Orde Baru dan Orde Lama. Dari tabel ini terlihat, terdapat perbedaan di sejumlah segmen masyarakat dalam menilai kondisi politik yang terbaik, apakah di masa saat ini ataukah di masa Orde Baru Soeharto. Misalnya perbedaan pendapat berdasar jenjang pendidikan dan penghasilan. Di kalangan berpenghasilan tinggi, mayoritas (40.9%) menilai kondisi politik saat ini lebih baik dibandingkan dengan masa Orde Baru dan Orde Lama. Sementara di kalangan masyarakat berpendidikan rendah, menilai sebaliknya. Demikian juga dengan di segmen masyarakat berpenghasilan tinggi. Di kelompok masyarakat ini, terbagi anatar ayang menilai kondisi politik terbaik adalah di masa Soeharto dan di masa sekarang. 
 
 
Tabel 4. Penilaian Umum Atas Perbandingan Kondisi POLITIK Saat Ini Dibandingkan Orde Lama dan Orde Baru di Bidang Politik Menurut Sejumlah Kategori ( n= 1197) 

Kategori Kondisi saat ini di masa Reformasi Kondisi pada saat ORDE BARU di bawah pemerintahan Soeharto Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama baik Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama buruk Kondisi pada saat ORDE LAMA Tidak Tahu/ Tidak Jawab
Gender
Laki-laki 32.5% 39.9% 4.5% 2.0% 3.5% 17.6%
Perempuan 27.3% 40.7% 4.0% 2.0% 3.0% 23.0%
Desa/Kota
Desa 28.9% 38.5% 4.8% 1.4% 3.1% 23.3%
Kota 31.4% 42.8% 3.5% 2.9% 3.5% 16.0%
Pulau
Jawa 28.3% 44.8% 4.6% 2.2% 3.4% 16.7%
Sumatera 34.9% 27.1% 3.0% 1.9% 5.2% 27.9%
Kalimantan 37.1% 41.4% 5.7% 1.4% 14.3%
Sulawesi 20.0% 55.0% 5.0% 3.8% 16.3%
NT/Bali/Papua/Maluku 30.4% 29.1% 3.8% 1.3% 35.4%
Umur
19 Tahun atau Dibawahnya 25.6% 38.5% 2.6% 7.7% 7.7% 18.0%
20-29 Tahun 33.9% 38.1% 2.3% 1.8% 3.2% 20.6%
30-39 Tahun 33.0% 40.8% 5.6% 1.1% 2.5% 17.0%
40-49 Tahun 29.0% 42.3% 2.0% 2.7% 2.7% 21.3%
50 Tahun atau Diatasnya 24.5% 39.4% 6.7% 1.8% 4.3% 23.4%
Pendidikan
Lulus SD atau Dibawahnya 21.8% 43.0% 3.8% 1.8% 2.2% 27.4%
Tamat SLTP/sederajat 30.9% 36.5% 4.3% 3.4% 5.6% 19.3%
Tamat SLTA/sederajat 43.6% 38.5% 4.0% 1.5% 2.9% 9.5%
Pernah Kuliah atau Diatasnya 40.9% 37.5% 6.8% 1.1% 5.7% 8.0%
Pendapatan
Di bawah 400 ribu 17.3% 48.7% 5.4% 1.5% 1.8% 25.4%
400-999 ribu 32.6% 34.8% 2.8% 2.6% 3.9% 23.3%
1 juta atau lebih 39.1% 40.7% 5.4% 1.3% 3.8% 9.8%




Bagaimana penilaian di bidang ekonomi? Berbeda dengan penilaian kondisi politik di mana terdapat perbedaan antara segmen masyarakat berpendidikan tinggi dan rendah, untuk penilaian atas kondisi ekonomi, semua segmen tampak punya pendapat yang sama. Di semua segmen masyarakat, memilih kondisi terbaik di bidag ekonomi adalah masa ekonomi Orde Baru Soeharto. Dari tabel 5 terlihat, di semua segmen kelompok masyarakat, mayoritas menilai kondisi ekonomi terbaik menurut mereka adalah kondisi ekonomi di masa Orde Baru Soeharto. 


Tabel 5. Penilaian Umum Atas Perbandingan Kondisi EKONOMI Saat Ini Dibandingkan Orde Lama dan Orde Baru di Bidang Ekonomi Menurut Sejumlah Kategori ( n= 1198) 

Kategori Kondisi saat ini di masa Reformasi Kondisi pada saat ORDE BARU di bawah pemerintahan Soeharto Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama baik Ketiganya (Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru) sama-sama buruk Kondisi pada saat ORDE LAMA Tidak Tahu/ Tidak Jawab
Gender
Laki-laki 10.7% 67.1% 5.9% 1.3% 5.4% 9.7%
Perempuan 7.5% 69.8% 2.3% 1.5% 5.2% 13.7%
Desa/Kota
Desa 10.0% 64.9% 4.7% 1.3% 5.2% 14.0%
Kota 7.8% 73.6% 3.3% 1.6% 5.3% 8.4%
Pulau
Jawa 5.6% 77.8% 3.7% 1.1% 5.2% 6.6%
Sumatera 13.0% 53.3% 4.1% 2.6% 8.2% 18.9%
Kalimantan 17.1% 60.0% 7.1% 1.4% 1.4% 12.9%
Sulawesi 11.3% 65.0% 5.0% 1.3% 1.3% 16.3%
NT/Bali/Papua/Maluku 17.7% 48.1% 3.8% 3.8% 26.6%
Umur
19 Tahun atau Dibawahnya 12.8% 53.9% 10.3% 2.6% 10.3% 10.3%
20-29 Tahun 6.9% 67.4% 3.2% 1.4% 6.9% 14.2%
30-39 Tahun 10.9% 67.9% 3.9% 1.7% 5.3% 10.3%
40-49 Tahun 10.3% 71.1% 2.7% 1.0% 4.3% 10.6%
50 Tahun atau Diatasnya 6.7% 69.2% 5.7% 1.4% 4.3% 12.8%
Pendidikan
Lulus SD atau Dibawahnya 8.5% 66.8% 3.3% 0.7% 4.3% 16.5%
Tamat SLTP/sederajat 6.9% 65.7% 6.9% 1.7% 7.3% 11.6%
Tamat SLTA/sederajat 11.4% 72.2% 3.7% 2.2% 6.2% 4.4%
Pernah Kuliah atau Diatasnya 12.4% 76.4% 3.4% 3.4% 2.3% 2.3%
Di bawah 400 ribu 5.4% 70.5% 3.0% 0.3% 3.3% 17.6%
Pendapatan
Di bawah 400 ribu 5.4% 70.5% 3.0% 0.3% 3.3% 17.6%
400-999 ribu 9.3% 65.2% 4.1% 1.9% 6.7% 12.9%
1 juta atau lebih 12.9% 72.6% 5.4% 1.6% 4.1% 3.5%


PELAKSANAAN REFORMASI
Saat ini, reformasi telah berjalan 10 tahun. Bagaimana publik menilai pelaksanaan reformasi selama ini? Grafik 5 menampilkan data mengenai penilaian atas kepuasan dalam pelaksanaan reformasi. Dari grafik ini terlihat, sebagian besar (53.3%) kurang puas dengan pelaksanaan reformasi selama ini. Sebanyak 29.6% menyatakan cukup puas, dan hanya 1.8% saja yang sangat puas. Tabel 6 merinci lebih detil kepuasan publik atas pelaksanaan reformasi menurut sejumlah kategori. Dari tabel ini terlihat, di semua segmen masyarakat tidak puas dengan pelakasanaan reformasi. Kalangan dengan proporsi ketidakpuasan lebih besar ada di segmen masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan tinggi.  



 
Grafik 5. Penilaian Atas Kepuasan dalam Pelaksanaan Reformasi 
Q: Masa Reformasi dimulai pada tahun 1998. Secara umum, seberapa Ibu/Bapak puas dengan pelaksanaan REFORMASI yang kini telah berjalan selama 10 tahun? Apakah sangat puas, cukup puas, kurang puas atau tidak puas sama sekali? (n=1200)
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 


Tabel 6. Penilaian Umum Atas Kepuasan dalam Pelaksanaan Reformasi Menurut Sejumlah Kategori 

Kategori Sangat puas/ Cukup puas Kurang puas / Tidak puas Tidak Jawab/ Tidak Tahu
Gender
Laki-laki 32.7% 60.2% 7.2%
Perempuan 30.0% 58.3% 11.7%
Desa/Kota
Desa 32.8% 55.5% 11.7%
Kota 29.2% 64.7% 6.1%
Pulau
Jawa 26.3% 65.7% 8.0%
Sumatera 36.3% 52.6% 11.1%
Kalimantan 41.4% 54.3% 4.3%
Sulawesi 47.5% 38.8% 13.8%
NT/Bali/Papua/Maluku 33.8% 50.0% 16.3%
Umur
19 Tahun atau Dibawahnya 35.9% 51.3% 12.8%
20-29 Tahun 29.4% 61.0% 9.6%
30-39 Tahun 37.9% 56.3% 5.9%
40-49 Tahun 26.3% 62.8% 11.0%
50 Tahun atau Diatasnya 29.3% 59.0% 11.7%
Pendidikan
Lulus SD atau Dibawahnya 32.1% 52.5% 15.5%
Tamat SLTP/sederajat 29.9% 66.2% 3.9%
Tamat SLTA/sederajat 33.0% 63.4% 3.7%
Pernah Kuliah atau Diatasnya 25.6% 73.3% 1.1%
Pendapatan
Di bawah 400 ribu 32.7% 53.0% 14.3%
400-999 ribu 30.7% 59.0% 10.2%
1 juta atau lebih 30.7% 66.1% 3.1%



Penilaian publik yang lebih banyak tidak puas dengan pelakasanaan reformasi kemungkinan diakibatkan oleh pandangan bahwa reformasi tidak banyak mengubah kehidupan mereka. Refrmasi tidak banyak membawa perubahan. Grafik 6 menampilkan data mengenai pandangan publik atas kemajuan reformasi setelah 10 tahun. Dari grafik ini terlihat, mayoritas (42.3%) menilai reformasi selama 10 tahun ini kurang banyak kemajuan. Sebanyak 36.1% menilai sudah cukup banyak kemajuan dan hanya 2.7% saja yang menilai saat ini sudah banyak kemajuan. 
 


Grafik 6. Penilaian atas Kemajuan Pelaksanaan Reformasi 
Q: Masa Reformasi dimulai pada tahun 1998. Secara umum, bagaimana Ibu/Bapak menilai kemajuan yang dicapai selama 10 tahun ini? Apakah banyak kemajuan, cukup banyak kemajuan, kurang banyak kemajuan atau tidak ada kemajuan sama sekali? (n=1197)
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 


Grafik 7 merinci pandangan publik atas kemajuan reformasi berdasarkan bidang. Untuk bidang keamanan, hukum dan sosial, mayoritas menilai sudah banyak kemajuan kondisi saat ini dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Sementara untuk bidang ekonomi, mayoritas menilai kurang banyak kemajuan yang telah dicapai dalam 10 tahun ini. 
 












































Grafik 7. Penilaian atas Kemajuan Pelaksanaan Reformasi di Sejumlah Bidang 
Q: Masa Reformasi dimulai pada tahun 1998. Secara umum, bagaimana Ibu/Bapak menilai kemajuan yang dicapai selama 10 tahun ini dalam bidang berikut ini ...... ? Apakah banyak kemajuan, cukup banyak kemajuan, kurang banyak kemajuan atau tidak ada kemajuan sama sekali?
Sumber: Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (Mei, 2008). 

KESIMPULAN 
Publik belum puas dengan perkembangan reformasi yang sudah berusia 10 tahun. Ketidakpuasan ini tampaknya lebih dipicu oleh kondisi saat ini yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan masa sebelum reformasi (masa Orde Baru Soeharto). Mayoritas publik justru menilai kondisi di bawah Soeharto lebih baik dibandingkan dengan masa saat ini. Pandangan semacam ini harus ditafsirkan sebagai cerminan pandagan publik yang menilai reformasi selama ini tidak banyak menyentuh perbaikan kehidupan mereka. Kondisi ekonomi rumah tangga meraka tidak auh lebih baik setelah reformasi----seperti kenaikan harga barang kebutuhan pokok, pendidikan yang makin mahal dan laangan pekerjaan makin sulit dicari.

Berbagai kemajuan yang telah dicapai selama 10 tahun reformasi ini ( mulai dari adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, kebebasan pers, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah, pemisahan polisi dari TNI dan sebaainya) tidak dirasakan secara langsung dampaknya bagi publik. Berbagai kemajuan reformasi itu, jika dilihat lebih banyak dinikmati oleh elit. Otonomi daerah misalnya, selama ini banyak dinikmati oleh elit lokal. Pemilhan kepala daerah juga lebih banyak dimanfaatkan oleh elit. Ada atau tidak ada otonomi daerah atau Pilkada, kehidupan ekonomi publik tidak kunjung membaik. Karena itu tidak mengherankan jikalau reformasi dinilai tidak memuaskan oleh publik. ( Eriyanto / Sukanta / Sopan Saphira)

Minggu, 20 Juli 2008

Politisi Parpol Berpotensi Munculkan Friksi di DPD

Sabtu, 19 Juli 2008 | 02:44 WIB

Jakarta, Kompas - Maraknya politisi dari partai politik masuk ke Dewan Perwakilan Daerah berpotensi memunculkan friksi di internal DPD hasil Pemilihan Umum 2009. Friksi antara anggota dari parpol dan nonparpol bisa muncul jika jumlah mantan anggota DPR di DPD cukup banyak.

Pendapat tersebut disampaikan pengajar Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, Jumat (18/7). Seperti dilaporkan dari berbagai daerah, di tengah sepinya peminat menjadi anggota DPD, ternyata pendaftar terbanyak justru berasal dari kalangan politisi.

Andrinof mengkhawatirkan jika friksi berkelanjutan itu akhirnya membuat DPD tidak optimal bekerja. Dia mengakui, sejauh ini tidak tampak agenda terencana dari DPR untuk menjadikan DPD sebagai tempat perluasan pengaruh DPR. Namun, mulai terbukti DPD akan dijadikan tempat penampungan mantan anggota DPR yang tetap ingin bermain politik.

Sebaliknya, bakal calon anggota DPD dari Sumatera Barat, Patrialis Akbar, menilai hanya politisi yang paham akan DPD yang bisa menguatkan DPD.

”Saya ingin buktikan DPD sebagai lembaga negara yang berdaya guna,” katanya.

Patrialis, yang kini anggota DPR dari Partai Amanat Nasional itu, mengakui masuk DPD untuk memberdayakan lembaga negara yang sebenarnya sangat strategis peranannya dalam memperjuangkan kepentingan daerah.

Langgengkan karier politik

Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit berpendapat, keikutsertaan sejumlah elite parpol di DPR dan DPD sebagai pendaftar calon anggota DPD 2009-2014 lebih didasari keinginan untuk melanggengkan karier politik semata.

”Alasan mereka pasti hanya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk membela kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah,” ujar Sukardi.

Jika terpilih sebagai anggota DPD, mereka dapat meneruskan karier politiknya di Senayan serta menjaga citra sebagai elite politik.

Sejumlah anggota DPR yang mendaftar sebagai calon anggota DPD, antara lain anggota Fraksi Partai Golkar Rambe Kamarulzaman mewakili Sumatera Utara, AM Fatwa (DKI Jakarta), dan Afni Ahmad (DKI Jakarta). Selain itu, ada anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Soetardjo Soerjogoeritno, mewakili DI Yogyakarta.

Selain itu, kata Sukardi, beberapa parpol memang membatasi anggotanya untuk dapat berkarier di DPR. Karena tidak dapat maju dari jalur parpol, mereka memilih maju sebagai peserta Pemilu 2009 melalui calon perseorangan dengan mendaftar sebagai anggota DPD.

Sementara itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Syamsul Bahri, mengatakan, hingga Jumat siang hanya KPU Sulawesi Barat yang belum melaporkan jumlah masyarakat yang mengembalikan berkas pendaftaran calon anggota DPD. Dari 32 provinsi itu, tercatat 1.185 orang yang mengembalikan berkas pendaftaran.

Calon terbanyak berasal dari Banten dengan 76 pelamar, sedangkan pendaftar paling sedikit berasal dari Maluku 12 orang.

KPU baru menerima laporan dari lima provinsi terkait latar belakang calon apakah berasal dari parpol atau nonparpol. Rinciannya, Sumatera Barat 11 parpol dan 35 nonparpol, Bangka Belitung (20 : 15), Bengkulu (18 : 7), Kalimantan Barat (4 : 25), dan Kalimantan Selatan (8 : 27).

Menurut Syamsul, KPU provinsi tidak berkewajiban menyampaikan laporan soal jumlah pendaftar calon anggota DPD. Data yang terkumpul pun diperoleh setelah KPU menghubungi masing-masing KPU provinsi. Laporan resmi baru dilakukan setelah ada hasil verifikasi faktual.

Dari berbagai daerah dilaporkan, politisi memang banyak mendaftar menjadi anggota DPD. Di antara 20 calon anggota DPD Sulawesi Utara, misalnya, yang mengembalikan formulir, sekitar 60 persennya adalah politisi anggota parpol, sedangkan 20 persen adalah aktivis serta sisanya mantan pejabat daerah Sulut.

”Dari 60 persen itu sebagian besar anggota DPRD Provinsi Sulut dan DPRD kabupaten/kota,” ujar Ketua KPU Sulut Livie Alow di Manado.

Menurut anggota KPU Provinsi Maluku, keinginan untuk menjadi anggota DPD didorong kebutuhan aktualisasi diri masyarakat Maluku di pentas nasional. Selama ini peluang itu sangat minim sehingga DPD dilirik sebagai jembatan menuju pentas nasional.

Di Bali, calon anggota DPD datang dari berbagai kalangan, seperti mantan pejabat, politisi, dan wakil rakyat. Lainnya sejumlah wajah lama, termasuk dua seniman tradisi, pelawak, dan seniman drama gong. Mereka siap bertarung menuju Senayan.

Menurut Fauzan Khalid, Ketua Kelompok Kerja Verifikasi Bakal Calon DPD Nusa Tenggara Barat, di Mataram, dari nama yang terdaftar, terlihat muka lama yang kini masih anggota DPD asal NTB, seperti Harun Al Rasyid (mantan Gubernur NTB), Lalu Yusuf, dan Muhyi Abidin.

Di Pontianak, minat warga Kalimantan Barat untuk memperebutkan kuota empat kursi DPD kali ini menurun dibandingkan periode sebelumnya.

”Tahun ini hanya 51 orang yang mengambil formulir dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 102 orang,” kata Ketua KPU Kalbar Muzamil.

Mereka yang kali ini mendaftar di KPU Kalbar berasal dari kalangan parpol, mantan anggota KPU, dan anggota DPD saat ini.

Di Jawa Barat, di antara ke-30 pendaftar DPD ini, masih terdapat muka-muka lama, seperti Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, HM Surya, Ginandjar Kartasasmita, Sofyan Yahya, dan Mayjen (TNI) Tayo Tarmadi. (ZAL/SEM/AYS/KOR/RUL/WHY/ dik/MZw/DEE/APO/ANG/REN/ WSI/INA/NAR/CAS/NAR/RWN/WKM/ITA/ONI/HLN

Mari, Kupoles Senyum Sinismu...Politisi

Minggu, 20 Juli 2008 | 01:07 WIB

Budi Suwarna

Apa yang ada dalam pemikiran para politikus kita sehari-sehari? Nasib bangsa dan cara mengatasi krisis? Kalau itu yang Anda bayangkan, Anda keliru besar. Mereka sibuk memikirkan cara tersenyum dan cara tampil elegan di depan rakyat. Dana triliunan rupiah dihabiskan untuk urusan citra diri. Inilah politik kontemporer Indonesia, yang barangkali tidak ada dalam silabus perkuliahan ilmu-ilmu politik.

Soal memoles senyum itu dilakukan seorang calon gubernur (cagub) yang kini sudah terpilih sebagai gubernur. Berdasarkan hasil penelaahan sebuah konsultan pencitraan, senyum sang cagub kelihatan sinis. Ini dianggap kelemahan besar. Konsultan pun menata senyum sinis sang cagub sedemikian rupa agar tampak manis dan bisa memikat hati calon pemilih.

Seorang calon wakil presiden tahun 2004 juga memanfaatkan jasa konsultan penampilan. Hasil kajian konsultan menemukan, sang politikus itu jika berbicara sering mengacungkan telunjuk setinggi dahi. Gerakan seperti itu terkesan menggurui. Karena itu, konsultan meminta dia menurunkan telunjuknya hingga sebatas dada saja ketika berbicara agar tampak bersahabat.

Kebetulan politikus itu bertubuh kecil sehingga jika dia duduk berdampingan dengan pasangannya yang bertubuh tinggi dan besar, dia tampak tenggelam dan kalah wibawa. Untuk mengatasi hal itu, konsultan mengganjal kursi sang politikus agar tubuhnya sejajar dengan pasangannya.

Begitulah. Dunia politik Indonesia kini telah memasuki era yang benar-benar baru di mana pencitraan menjadi begitu penting. Bagaimana itu terjadi?

Ini berkaitan dengan perubahan politik di Indonesia. Setelah sistem pemilu langsung dijalankan, rakyat memiliki otonomi untuk menentukan pilihannya. Karena itu, para politikus merasa harus populer di mata rakyat. Cara yang paling efektif untuk meraih popularitas adalah tampil di media massa.

Rizal Mallarangeng, pendiri perusahaan konsultan strategi dan politik Foxindonesia, mengatakan, biaya untuk menjangkau kesadaran publik melalui media massa berkisar Rp 1-Rp 5 per kapita. Jika menggunakan pawai dan sejenisnya, biayanya membengkak menjadi Rp 1.000 sampai tak terhingga per kapita.

Layanan penuh

Era politik kemasan ini menjadi ladang bisnis baru bagi sejumlah agen pencitraan. Hotline Advertising, misalnya, melayani proyek pencitraan dari hulu sampai hilir, mulai dari pemetaan kelemahan dan kekuatan klien, perumusan konsep iklan, pembuatan tag line (slogan), pembuatan materi iklan, penempatan iklan di media, manajemen isu, hingga pengaturan acara klien.

Chief Executive Officer (CEO) Hotline Advertising Subiakto Priosoedarsono mengatakan, pihaknya terjun ke bisnis ini setelah menangani pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla tahun 2004. Hotline membuatkan konsep iklan dan mengeksekusinya hingga mengatur kegiatan pasangan itu.

”Kami mengatur SBY-Kalla harus sarapan di mana dan dengan siapa. Kami juga mengatur kapan dia harus salaman, kapan bicara, kapan menjawab pertanyaan, kapan diam,” kata Subiakto.

Untuk memastikan strategi pencitraan itu jalan, Subiakto menempatkan orangnya di lingkaran dalam selama 24 jam penuh. ”Setiap hari kami mengevaluasi dan mengingatkan klien. Kami kadang tidak tidur,” kata Subiakto ketika ditemui di kantornya di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, Rabu (16/7).

Hal yang sama dilakukan Subiakto ketika menangani pencitraan dan strategi komunikasi Fauzi Bowo. Bahkan, Hotline ikut memutar otak ketika Fauzi akan mengikuti debat calon. ”Kami memanggil 20 ahli dari berbagai bidang untuk terlibat dalam simulasi debat. Mereka melatih Fauzi agar bisa menjawab berbagai pertanyaan. Kalau ditanya begini, jawabnya begini,” katanya.

Foxindonesia yang baru berdiri enam bulan juga memberikan layanan yang kurang lebih sama. Sejauh ini, perusahaan yang berkantor di Jalan Irian, Menteng, Jakarta, itu telah menangani pencitraan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Sutrisno Bachir, calon gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, pasangan cagub/cawagub Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf, dan iklan beberapa politikus lain.

Ada lagi pemain besar lain, yakni Lingkaran Survei Indonesia yang dipimpin Denny JA. Perusahaan ini memberikan layanan mulai dari survei opini publik, mobilisasi opini, pembentukan citra, hingga pembuatan konsep iklan. Sejumlah politikus yang pernah menggunakan jasa LSI untuk pencitraan antara lain Wiranto, Fauzi Bowo, dan I Made Mangku Pastika (baru terpilih sebagai Gubernur Bali).

Di luar pemain besar, ada pemain-pemain kecil yang beroperasi secara individu. Salah seorang di antaranya adalah Harry Tjahjono, penulis naskah sinetron laris Si Doel Anak Betawi. Dia pernah menggarap strategi pencitraan Rano Karno ketika akan mencalonkan diri sebagai wagub DKI Jakarta tahun 2007. Dia juga pernah membuatkan iklan cagub Jatim Achmady beberapa bulan lalu.

Bisnis seksi

Maklum jika banyak orang masuk ke bisnis ini. Pasalnya, duit yang berputar untuk proyek pencitraan politik jumlahnya besar sekali. Lebih seksi lagi karena semua pembayaran dilakukan secara tunai.

Subiakto menjelaskan, pada tahun 2007, dari Rp 40 triliun belanja iklan, Rp 10 triliun di antaranya diperoleh dari iklan politik. Dia yakin, nilai belanja iklan, termasuk iklan politik, akan melonjak 2-3 kali lipat tahun depan.

Dia mengaku telah merasakan gurihnya iklan politik. Nilai proyek pencitraan SBY-Kalla yang ditanganinya, kata Subiakto, mencapai Rp 30 miliar. Ketika menangani Fauzi Bowo dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta, nilai kontraknya sekitar Rp 20 miliar. Keuntungan dari bisnis ini berkisar 10-20 persen.

”Itu baru yang masuk ke Hotline, yang masuk ke media massa dan perusahaan lain belum dihitung,” katanya.

Irfan Wahid dari 25 Frames Production yang biasa menangani iklan politik mengatakan, seorang politikus biasanya menghabiskan dana antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar per bulan untuk membiayai pemasangan iklan di televisi dan media cetak. Untuk politikus daerah yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), dana yang mereka keluarkan untuk memasang iklan berkisar Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar per bulan.

”Itu di luar biaya pembuatan materi iklan,” kata Irfan Wahid yang menangani pembuatan iklan Sutrisno Bachir dan Dede Yusuf. Dia mengatakan, biaya pembuatan iklan Soetrisno yang ditanganinya semuanya sekitar Rp 2 miliar, sedangkan Dede Yusuf Rp 1 miliar.

Andi Zulkarnain Mallarangeng, CEO Foxindonesia, memperkirakan masa depan bisnis ini sangat cerah. Dia berhitung, di Indonesia ada 440 kabupaten dan kota dan 33 provinsi. Dengan demikian, dalam lima tahun ada sekitar 473 pemilihan kepala daerah. Belum lagi pemilihan anggota parlemen nasional dan lokal.

”Katakanlah rata-rata ada 100 pemilu dalam setahun. Jika setiap pilkada diikuti setidaknya tiga pasang calon, maka ada 300 pasang. Jika setiap pasang menghabiskan uang paling sedikit Rp 1 miliar untuk pencitraan, dalam setahun uang yang beredar sekitar Rp 300 miliar. Kenyataannya kan setiap pasangan bisa menghabiskan bermiliar-miliar rupiah,” katanya sambil senyum.

Pasar lain yang bisa digarap adalah partai yang jumlahnya puluhan. Mereka pasti membutuhkan pembentukan citra, penguatan citra, reposisi citra, dan sosialisasi partai. Andi memperkirakan setidaknya 15-20 partai mulai menyosialisasikan partainya mulai Agustus 2008.

Dari mana para politikus bisa mendapat uang dalam jumlah besar untuk pencitraan? Andi tersenyum dan menjawab, ”... kan ada pengusaha, Bos.” (SHA/IVV/IAM)

"Kecap" Politik di Sekitar Kita

Minggu, 20 Juli 2008 | 01:08 WIB

Mengapa iklan politik di televisi lebih banyak menggambarkan kehidupan orang desa dan masyarakat kelas bawah? Jangan-jangan ini menunjukkan bahwa politikus kita masih terkungkung pendekatan patron-klien yang bersifat vertikal.

Iklan politik Wiranto, misalnya, menyoroti kehidupan masyarakat desa yang miskin sampai-sampai harus makan nasi aking (nasi bekas yang dicuci dan dikeringkan).

Mungkin agar terkesan bahwa dia ikut merasakan penderitaan rakyat, Wiranto ikut mencicipi nasi aking.

Iklan politik Prabowo Subianto mengingatkan bahwa Indonesia dulu adalah Macan Asia. Sekarang, bangsa ini terpuruk, hutan gundul, dan rakyat terbelit kemiskinan.

Pengadeganan kedua iklan itu nyaris sama. Pertama-tama, muncul gambar-gambar yang memperlihatkan kehidupan rakyat kecil. Kemudian, politikus muncul menghampiri, menyalami, atau merangkul rakyat. Di penghujung iklan, mereka mengajak semua komponen bangsa untuk mengatasi masalah-masalah itu bersama-sama.

Dengan penggambaran seperti itu, kedua iklan tersebut terkesan menempatkan politikus sebagai bapak yang selalu mengayomi dan mencarikan jalan keluar bagi kesulitan anaknya (rakyat)—father knows best. Padahal, Tuan-tuan, kesulitan rakyat sebagian besar muncul akibat tindak-tanduk para politikus juga, kan....

Iklan-iklan politik lainnya lebih kurang menggunakan tema dan pendekatan yang sama. Hanya iklan Soetrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng yang temanya agak beda, yakni soal perlunya generasi muda tampil memimpin.

Kebanyakan politikus dalam iklan berusaha menonjolkan citra sebagai orang yang berintegritas baik secara moral, agama, pendidikan, maupun pengalaman. Untuk menunjukkan bahwa mereka taat beragama, sebagian politisi muncul dengan peci, baju koko, bahkan sorban.

Untuk menunjukkan bahwa mereka terdidik, ada beberapa politisi yang tidak segan-segan menyebut dirinya lulusan perguruan tinggi tertentu. Untuk menunjukkan bahwa mereka bisa memimpin, sebagian politisi menuturkan pengalaman kerja atau berorganisasi.

Politikus yang malu-malu biasanya menggunakan kesaksian orang untuk menjelaskan bahwa dia taat beragama, moralnya terjaga, pintar, dan memiliki kemampuan untuk memimpin. Iklan politik dengan gaya seperti itu mengingatkan kita pada iklan obat kuat.

Tidak terkesan

Apakah pesan-pesan iklan politik itu bisa membuat rakyat terkesan? Dosen Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, mengatakan, sebagian masyarakat kita sudah berubah. Sekarang sebagian besar orang tidak lagi terkesima pada citra konvensional-tradisional pemimpin informal. Sekarang, kata Bambang, orang cenderung berpikir pragmatis. Mereka memilih figur yang dianggap bisa bertindak konkret tidak peduli siapa dia.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujanimenambahkan, rakyat kita semakin otonom. Struktur hierakis-vertikal juga sudah kehilangan kepercayaan dan hubungan patron-klien sudah lewat.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengatakan, pesan-pesan iklan politik kebanyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik. Komunikasi politik yang dijalankan juga kosong dan tidak nyambung dengan kebatinan rakyat.

Bagaimana iklan semacam itu bisa menyentuh kelompok-kelompok masyarakat yang kritis, berpikir lebih merdeka, dan alergi dengan pendekatan vertikal, seperti komunitas underground, Slankers (komunitas penggemar Slank), dan Oi (komunitas penggemar Iwan Fals).

Wakil Ketua Slankers Indonesia Aldo Sianturi mengatakan, dia belum bisa menangkap konsep dan filosofi kepemimpinan yang ditawarkan para politikus melalui iklannya di televisi. Mereka juga tidak tahu bagaimana pemosisian para politikus itu dalam percaturan politik ke depan.

”Semua menimbulkan pertanyaan, seperti bagaimana kalau mereka kelak memimpin,” katanya.

Aldo mengatakan, meski Slankers dianggap sebagai sekumpulan orang slengekan, tetapi mereka bukan kelompok apolitis. Karena itu, mereka memiliki kriteria pemimpin tersendiri.

”Dia harus punya leadership, memiliki kekuatan pada nilai yang lebih standar, memiliki kelebihan dibanding pemimpin sebelumnya, peka menggali kekuatan-kekuatan industri, dan harus bisa mendorong masyarakat untuk berproduksi bukan mengonsumsi terus,” papar Aldo.

Ketua Badan Pengurus Pusat Oi Dudi Zulkifli ragu apakah dalam kehidupan sehari-hari para politikus itu seideal yang dicitrakan dalam iklan di media massa. ”Kalau tidak benar, ini bisa jadi bumerang bagi mereka sendiri,” katanya.

Karena itu, lanjut Dudi, Oi tidak mengidamkan sosok pemimpin yang muluk-muluk. ”Yang penting dia bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menghormati HAM, dan tidak suka bohong,” ujarnya.

Syarat tidak suka bohong? Wah ini yang berat. (bsw/IAM/DHF)

Apa Mau Mereka?

Apa Mau Mereka? Politisi
Minggu, 20 Juli 2008 | 01:09 WIB

ilham khoiri Soetrisno

Apa yang dimaui politisi ketika mengiklankan diri? Mari kita simak penuturan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng, dan aktivis prodemokrasi Fadjroel Rachman. Mereka bertiga adalah sebagian dari politisi Indonesia yang dengan cara masing-masing, berani tampil dalam iklan politik di media massa.

Soetrisno Bachir muncul dalam iklan Hidup adalah Perbuatan yang ditayangkan di stasiun televisi selama satu bulan, Juni lalu. Dalam tayangan itu, politisi dari kalangan pengusaha ini berusaha mendorong kebangkitan rakyat lewat momen peringatan Kebangkitan Nasional. Saat bersamaan, potret diri dan slogan serupa juga muncul dalam bentuk baliho, spanduk, atau iklan di media cetak.

Sebenarnya apa yang dia inginkan? ”Saya ingin memberi inspirasi. Saya ingin mengajak warga untuk optimistis menatap masa depan dengan kerja keras. Moto ’Hidup adalah Perbuatan’ itu universal, bagi siapa saja, untuk berbuat sesuatu agar hidup yang hanya sekali ini punya makna,” katanya.

Tidak ada niat untuk maju sebagai calon presiden tahun 2009? ”Tak ada kaitannya dengan itu. Masalah maju tidaknya itu tergantung dengan UU Pilpres, persetujuan keluarga, dan survei- survei yang mengarah ke situ. Tapi, kalau dicalonkan sebagai presiden, sebenarnya itu tidak aneh. Kan, ada sejarahnya Ketua Umum PAN dicalonkan jadi presiden,” katanya.

Dari mana dananya? ”Itu rizki saya dari usaha berbasis sumber daya alam. Ini hasil jerih payah sendiri, tak melanggar hukum dan agama,” katanya.

Rizal

Rizal Mallarangeng membuat iklan Dari Sabang Sampai Merauke yang ditayangkan di televisi sejak seminggu terakhir. Iklan berisi imbauan untuk menampilkan generasi baru dalam panggung politik. Di situ, dia digambarkan tengah merangkul anak kecil dan rakyat kecil. Ada juga gambar Merah-Putih yang berkibar-kibar.

Anda ingin dipersepsikan masyarakat seperti apa dengan iklan itu? ”Saya ingin dipersepsi sebagai bagian dari generasi muda yang mencoba menawarkan alternatif baru. Saya ingin muncul sebagai orang yang bersahabat, merangkul setiap orang. Kalau ada sambutan, saya akan lebih dalam lagi, dan begitu seterusnya,” katanya.

Alat ukurnya apa untuk melihat sambutan masyarakat? ”Kan, ada survei. Itu alatnya dalam kampanye modern. Seandainya masyarakat ingin saya maju, ya saya maju.”

Bagaimana menggaet kalangan muda? ”Kami manfaatkan teknologi komunikasi baru seperti YouTube dan Facebook. Barrack Obama di Amerika Serikat (AS) mulai kampanye pake YouTube. Facebook saya sudah diklik 758 klik dalam waktu lima hari—maksudnya hingga Kamis (17/7). Kampanye lewat internet juga bisa dijangkau dari seluruh dunia,” katanya.

Kok yang baik-baik saja yang muncul? ”Namanya juga iklan, ya jual kecap. Kita ini sedang membujuk. Setiap orang ada titik lemahnya, tapi masak saya tonjolkan kelemahan itu.”

Berapa dana iklan? ”Tidak besar. Ini, kan baru introduction.”

Fadjroel

Jika sejumlah tokoh jorjoran soal dana untuk mengampanyekan dirinya, aktivis demokrasi Fadjroel Rachman menyebut kampanye pencitraan dirinya sebagai kampanye murah. Ia dan timnya memasang iklan melalui blog pribadi Fadjroel di internet. Dalam blog yang berisi foto-foto dirinya itu, dia langsung menegaskan: Fadjroel for President 2009. Slogannya, ”Republik Kaum Muda, Republik Harapan.”

Apa makna slogan itu? ”Basis ideologi saya, demokrasi progresif. Saya akan membangun konsep negara kesejahteraan seperti di negara-negara Skandinavia,” ujarnya.

Apa yang ditargetkan dari iklan itu? ”Saya ingin Pemilu 2009 diisi anak-anak muda berusia 40-an tahun. Iklan itu untuk mendorong agar kandidat pemimpin dari generasi muda itu muncul sampai 10 atau 15 orang.”

Kini, tim Fadjroel juga sedang membuat website untuk penggalangan dana kampanye, seperti yang dilakukan Obama di AS. ”Kalau misalnya, satu orang menyumbang Rp 10.000 saja, lantas ada satu juta orang yang mau kasih dana kampanye, berarti sudah terkumpul Rp 10 miliar kan?”

Selain beriklan, Fadjroel juga berusaha melakukan judicial review untuk merevisi UU No 23 Tahun 2003 mengenai Pemilihan Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Targetnya, agar calon presiden dari calon independen bisa muncul pada pemilu tahun 2009. Jika gagal, barulah ia akan melamar ke partai politik agar dicalonkan menjadi presiden lewat partai menengah dan kecil yang belum mempunyai calon. (bsw/ivv)