Selasa, 28 Oktober 2008

Pilkada Cermin Pemilu Legislatif?

28 Oktober 2008
Oleh Ari Pradhanawati

SM/Maulana F
JAWA TENGAH telah menutup pelaksanaan pesta demokrasi dengan aman, lancar dan damai sejak Pemilu 2004, Pilgub 2008, dan Pilkada di 35 kabupaten/kota sejak 2005-2008 di tengah pasang surutnya perkembangan demokrasi di Indonesia yang kurang jelas arahnya.

Ketidakjelasan arah itu seperti munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berubah-ubah tentang incumbent dan calon perseorangan, terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, revisi UU No 32/2004 menjadi UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pilkada merupakan manifestasi dari demokrasi yang sesungguhnya karena kedaulatan sepenuhnya kembali ke tangan rakyat: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan akhirnya rakyat bebas untuk menjatuhkan pilihannya.

Keberhasilan Jawa Tengah menyelenggarakan pemilu/pilkada tidak semata-mata peran KPU Jawa Tengah, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, KPPS, pemerintah daerah dan DPRD, tetapi kerja seluruh rakyat sehingga layak menjadi contoh bagi provinsi-provinsi lain.

Berbicara mengenai keberhasilan pilkada di Jawa Tengah, banyak pihak berharap hasil perolehan suara dalam pilkada akan menjadi pijakan bagi Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, 9 April 2009. Tetapi kita lupa antara pilkada dan pemilu legislatif (pileg) berbeda.

Hal itu dapat dilihat dari fenomena politik, yaitu angka partisipasi masyarakat cenderung menurun. Pemilu 2004 untuk pileg sebesar 82,89%, pilpres I sebesar 80,01%, pilpres II sebesar 79,96%, sedangkan partisipasi Pilgub 2008 sebesar 58,46 %, dan partisipasi pilkada di kabupaten/kota sejak 2005-2008, paling rendah di Kabupaten Pati 51,78%.

Enggan Memilih

Menurunnya partisipasi masyarakat menurut Darmanto Yatman (Permana, 2007: 109) karena elite politik lebih memikirkan kekuasaannya dan saling silang wacana hanya untuk menunjukkan egoismenya, sehingga rakyat enggan lagi memilih. Apalagi kalau pilihannya masih relatif sama Rata Penuhdengan tahun-tahun sebelumnya, banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya ini akan merugikan perkembangan demokrasi di negeri ini.

Sikap apatis pemilih dapat disebabkan pula oleh alasan yang bakal menang adalah calon-calon yang sudah pernah memimpin dan sudah ketahuan kelemahan-kelemahannya (Pradhanawati, 2007: 67).

Dalam pilkada, peran parpol sangat besar terutama pada saat mengusung pasangan calon dan sangat dimungkinkan terjadi koalisi antarparol karena tergantung perolehan kursi di DPRD (15%). Kemudian parpol atau gabungan parpol berusaha menggerakkan mesin politiknya semaksimal mungkin bersama pasangan calon yang diusung. Maknanya, satu pasang calon dikampanyekan oleh banyak pihak, sehingga perolehan suara hanya terfokus pada kandidatnya saja.

Adapun dalam pileg, calon legislatif (caleg) yang diajukan sangat banyak, tergantung dari daerah pemilihan (dapil) dan kuota kursinya. Jawa Tengah terdapat 10 dapil untuk DPR dan DPRD, serta 181 dapil di seluruh kabupaten/kota. Jumlah maksimal caleg yang boleh diajukan setiap parpol di setiap dapil 12 orang dengan menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol nasional dan 8 parpol lokal (khusus NAD) dengan aliran-aliran politik yang berbeda-beda, dapat mengubah perilaku pemilih. Dapat dipastikan pemilih akan bersikap lebih rasional dalam menjatuhkan pilihannya, misalkan berdasarkan pertimbangan kesamaan agama, identifikasi kepartaian, kedekatan dengan caleg, kalkulasi untung-rugi ataupun pertimbangan lainnya.

Apabila perilaku pemilih di Jawa Tengah dalam pilkada masih konsisten, perolehan suara PDI-P di Pilgub Jawa Tengah 2008 dan di 25 Pilkada Kabupaten/Kota 2005-2008 dapat diandalkan. Namun substansi antara pilkada dan pileg tentu tidak sama, khususnya dalam memperoleh suara.

Penekanan pilkada lebih pada satu pasangan calon saja yang diusung parpol atau gabungan parpol tanpa melihat aliran politik. Misalnya, Pilkada di Kabupaten Magelang, PDI-P berkoalisi dengan Partai Demokrat, PAN dan PKB, sedangkan dalam pileg, penekanannya lebih ke parpol (ingat ada 38 parpol yang berkompetisi) dan calegnya (jumlahnya bervariasi).

Dengan demikian mesin partai dan caleg harus tetap bekerja maksimal, misalnya caleg harus mengkampanyekan dirinya dan parpolnya dan tidak bisa hanya mengandalkan perolehan suara pada pilkada saja apabila ingin memperoleh suara yang signifikan yaitu 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).

Persamaannya, perolehan suara/kursi di DPR nantinya akan menjadi salah satu syarat untuk mengajukan calon presiden (capres) dan perolehan suara/kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah.

Sekalipun hasil pilkada dengan pileg dapat dikatakan tidak signifikan karena penekanannya berbeda, bagaimana pun mesin parpol sudah bergerak, mau tidak mau, parpol sangat tergantung pada caleg yang sudah diajukan dan masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan diumumkan 31 Oktober 2008, apakah sudah sesuai dengan selera rakyat?(46)

— Penulis adalah Dosen FISIP Undip Semarang

Tidak ada komentar: