Jumat, 14 Agustus 2009

Delapan Windu Merdeka


Rabu, 12 Agustus 2009 | 05:05 WIB

Sjamsoe’oed Sadjad

Delapan windu artinya delapan kali delapan tahun atau enam puluh empat tahun. Jika seorang pejabat PNS golongan empat berusia sebanyak itu, memang sudah masuk lanjut usia, saatnya menyiapkan pensiun.

Namun, bagi umur suatu bangsa merdeka, bermartabat, delapan windu mungkin ibarat orang yang baru seumur anak SMP akan masuk SMA. Bagi kehidupan pribadi seseorang, delapan windu merdeka sejak tahun 1945 rasanya sudah cukup lama. Katakan dari umur-umur siswa SMP sampai cucunya sudah sarjana.

Dari hidup menyanyikan ”Wilhelmus”, kemudian sebentar ”Kimigayo”, lalu ”Indonesia Raya” selama delapan windu, rasanya hidup selamat seseorang sebagai anak suatu bangsa merdeka memang patut harus disyukuri. Demikian kalau kehidupannya bisa diisi dengan amal perbuatan dan perilaku yang baik dan benar.

Pertanyaannya kini, puaskah hidup dalam kemerdekaan selama delapan windu itu?

Kacamata desa

Andaikan kita bisa memilih berbagai kacamata untuk melihat beragam keadaan, mungkin kesan dan jawabnya pun bisa beragam. Kita pilih saja kacamata yang bisa memperlihatkan pedesaan bagi mata pemakainya.

Merdeka delapan windu ternyata belum apa-apa. Kerja keras petani dan seluruh keluarganya bermusim-musim, stigmanya masih tetap sebagai gurem, miskin, atau buruh tani yang tidak memiliki lahan dan melarat.

Pertanian pun hanya sebatas kerja fisik di lahan, atau di tengah laut, yang menghasilkan produk mentahan gabah, sayuran, atau ikan yang dijual ke pasar. Lebih jelek lagi jika hasilnya sudah menjadi milik orang kaya karena harus membayar utangnya.

Dalam delapan windu merdeka, masih belum bisa leluasa menyekolahkan anaknya berkelanjutan, belum bisa terpuaskan mendapatkan pelayanan pengobatan, dan sandang serta papan pun hanya sekadar mencukupi kebutuhan dasar hidup.

Kondisi fisik desa juga tidak memadai, entah itu berupa infrastruktur maupun bangunan fasilitas publik. Katakanlah ini gambaran desa dan pertaniannya delapan windu pertama. Bagaimana keadaan delapan windu kedua kelak? Kita coba melihat dengan kacamata baru yang melegakan.

Industri unit desa

Tidak dijumpai lagi keadaan yang berbeda antara desa dan kota. Artinya, kebutuhan kehidupan dasar manusia desa dan kota terpenuhi sama-sama memuaskan. Pendidikan kepada masyarakat desa telah membawakan perubahan mental dan pandangan yang berbeda sama sekali dari delapan windu sebelumnya.

Mental industrial mereka bisa mewujudkan usaha taninya menjadi bermartabat yang tidak lagi diukur dari berapa lahan pertanian yang dimiliki. Usaha tani industrial menjadikan seluruh warga bisa bekerja maksimal dan menghasilkan nilai tambah yang mumpuni dalam kehidupannya.

Daya beli mereka menjadi sangat tinggi dan mereka bisa menabung serta memiliki saham dalam usaha tani industrial atau dalam industri unit desanya. Pendek kata mereka menjadi makmur, sejahtera, adil dan merata. Jika mereka menengok sejarah delapan windu ke belakang, bagaimana mereka mulai dengan berbagai perubahan.

Pertama, menyadari pertanian adalah berproses industrial. Hasil mereka baru dihubungkan dengan pasar sesudah menjadi produk industrial sehingga bisa meraih nilai tambah. Mereka bekerja di industri unit desa dalam desa industri yang merupakan satu sistem sebagai pelaksana operasional dalam masing-masing subsistem dari yang primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Semua bergerak maksimal pada tiap subsistem dan meraih nilai tambah dari seluruh sistem secara proporsional dan adil.

Kedua, mereka dididik bagaimana membangun modal untuk usaha taninya yang membesar dan bermartabat. Mereka bisa menjadi besar karena modal usahanya juga bisa bertambah besar. Semua itu terjadi karena memiliki Bank Pertanian yang mendorong mereka bisa menabung dan menjadi nasabah serta bisa mendapat pinjaman modal sesuai rencana usahanya. Mereka mempunyai saham dalam bank itu sehingga bisa dikatakan mereka memiliki banknya sendiri.

Ketiga, mereka memang dididik oleh ahli-ahli pendamping yang bisa menjadikan warga desa mampu berkreasi dalam bentuk-bentuk industri kreatif. Bahkan, akhirnya mereka bisa mengekspor produk kulinernya, produk kerajinan tangannya, produk bahan baku pangan dengan gizi seimbang, serta produk ternak dan ikannya. Semua dari usaha tani berupa industri unit desa. Tenaga ahli pendamping itu bukan seorang PNS, tetapi yang dipersiapkan oleh perguruan tinggi menjadi wirausaha di desa, berintegrasi dengan warga desa dan kelompok tani menjadi businessman di industri unit desa.

Begitu indahnya kondisi delapan windu mendatang kita merdeka. Mari kita bangun dengan etos kerja luar biasa agar modal kita delapan windu merdeka bisa membawa kemajuan dan benar-benar terwujud agropolitan yang ideal.

Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus IPB