Jumat, 31 Oktober 2008

Bersumpah untuk Bahasa


Ignas Kleden

  • Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

    ADA dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Yang satu adalah Pancasila sebagai dasar filsafat negara RI dan yang kedua bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita tahu, Pancasila beberapa kali menghadapi cobaan, baik melalui jalan legal dalam perdebatan di Konstituante maupun melalui jalan ilegal dalam pemberontakan-pemberontakan daerah. Dalam Konstituante, muncul keinginan untuk memberi dasar negara yang lain berupa Islam dan sosial-ekonomi sebagai alternatif terhadap Pancasila. Dalam pemberontakan daerah, kekuatan Pancasila yang mempersatukan terancam oleh gerakan bersenjata yang bersifat separatis.

    Pemikiran tentang kebudayaan yang sesuai dengan Indonesia yang merdeka telah menimbulkan polemik yang keras antara Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya, berupa rangkaian perdebatan yang kemudian dihimpun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan. Sebaliknya, tidak ada polemik yang berlarut-larut tentang bahasa apa gerangan yang akan dipakai sebagai bahasa nasional. Semenjak para pemuda mengikrarkan sumpah mereka pada 28 Oktober 1928, masalah bahasa nasional dan bahasa persatuan dianggap selesai. Tidak terlihat usaha memaksakan bahasa-bahasa besar, seperti bahasa Jawa atau bahasa Sunda, untuk dipergunakan di seluruh negeri, meskipun, menurut sastrawan dan peneliti sastra Ajip Rosidi, bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa Indonesia ”bukanlah bahasa yang paling banyak pemakainya (kalah paling tidak oleh bahasa Jawa dan Sunda) dan bukan pula paling kaya kesusastraannya”.

    Sebelum diangkat menjadi bahasa persatuan, bahasa Melayu telah dipakai selama berabad-abad sebagai sarana komunikasi di antara penduduk kepulauan di Nusantara. Karena itulah, pada 1933 Sutan Takdir Alisjahbana menulis dalam Poedjangga Baroe bahwa bahasa Melayu bukan semata-mata kepunyaan orang Melayu. Dalam kenyataannya ”penduduk sekalian kepulauan ini menjalankan pengaruhnya masing-masing atasnya, membentuk dan memakainya menurut keperluan dan pekerti masing-masing”.

    Melalui proses itu, bahasa Melayu Riau kemudian berkembang menjadi sebuah lingua franca. Kita tahu kekhasan lingua franca ialah bahwa ia hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi tapi tidak berperan lagi sebagai representasi identitas. Orang-orang yang sekarang fasih berbahasa Inggris tidak harus datang dari London atau Bristol, San Francisco, atau Philadelphia. Bahasa Inggris di dunia sekarang, bahasa Latin di zaman dulu, bahasa Spanyol di Amerika Selatan, dan bahasa Melayu di Nusantara memungkinkan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya, tapi tidak lagi menjadi penunjuk atau ”tanda” bagi kelompok budaya yang memakainya.

    Rupa-rupanya inilah latar belakang penting mengapa tanpa banyak kesulitan, bahasa Melayu diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia, karena tidak ada klaim identitas dalam pemakaian bahasa itu, dan karena itu tidak ada juga konflik antaridentitas. Halnya mungkin akan sangat berlainan kalau bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis diterima sebagai bahasa persatuan. Dapat diperkirakan, akan muncul keberatan atau bahkan penolakan dari kelompok etnis lainnya, karena dianggap penerimaan salah satu bahasa besar tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik identitas yang dapat merugikan atau mengancam identitas lainnya.

    Mungkin tidak banyak contoh dalam sejarah dunia bahwa persoalan bahasa nasional yang biasanya pelik dan sensitif diselesaikan hanya oleh satu ikrar para pemuda. Sumpah Pemuda yang dikenang dengan penuh hormat pada hari-hari ini telah berperan sebagai remote preparation untuk Proklamasi 17 tahun kemudian. Sebab, sebelum diumumkannya Proklamasi sebagai deklarasi kemerdekaan, telah lahir Sumpah Pemuda sebagai deklarasi persatuan seluruh bangsa. Kemampuan-mempersatukan dari bahasa Melayu dimungkinkan karena berbagai kelompok budaya di seluruh kepulauan Nusantara relatif mengenal bahasa ini dan tidak perlu mempelajarinya sebagai bahasa yang sama sekali baru. Tiap kelompok budaya bahkan turut menciptakan bahasa ini sesuai dengan keperluan dan watak mereka. Kata ”pergi” dalam bahasa Melayu mendapat variasi dalam dialek masing-masing daerah menjadi ”pigi” atau ”pi”. Demikian pun kata ”kita” kemudian berubah dalam dialek-dialek daerah menjadi ”kite”, ”kitaorang”, ”ketorang”, ”ketong”, atau ”torang”. Meskipun demikian, orang dapat dengan cepat memahami berbagai bentuk variasi itu dibandingkan dengan mempelajari suatu bahasa yang sama sekali baru, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis.

    Mengherankan bahwa tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenal sebagai penganjur kebudayaan Barat, tidak mengusulkan bahasa Belanda atau bahasa Inggris sebagai bahasa persatuan Indonesia, tapi menjadi pendukung fanatik bahasa Indonesia dan mengabdikan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk membina dan mengembangkan bahasa ini. Dialah penentang tangguh strategi Dr G.J. Nieuwenhuis, yang sejak pertengahan 1920-an merencanakan perluasan penggunaan bahasa Belanda oleh sebanyak mungkin penduduk pribumi agar suatu saat bahasa itu menjadi cukup kuat untuk menjadi bahasa persatuan di Hindia Belanda. Bagaimana niat baik Politik Etis masih ditunggangi oleh akal-akalan kolonial dapat disimak dari kesimpulan pemikiran Nieuwenhuis. Katanya: ”Pekerjaan bahasa Belanda di Hindia ialah menolong membangun masa depan bagi bangsa Hindia dan menolong mempertahankan masa lampau bagi bangsa Belanda”. Impian itu hilang bagaikan diterbangkan angin setelah diumumkannya Sumpah Pemuda yang menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia.

    Menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan tentulah membawa akibat-akibat dan meminta persyaratan tersendiri, apalagi setelah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa persatuan, ia perlu mempunyai norma-norma yang dapat jadi pegangan setiap pengguna bahasa agar memenuhi persyaratan comprehensibility, yaitu dipahaminya bahasa tersebut karena digunakan menurut aturan-aturan kebahasaan yang dianut bersama. Sebagai bahasa negara, dibutuhkan adanya unsur keresmian dalam bahasa itu, yang membuatnya pantas diucapkan atau didengar dalam upacara atau pertemuan-pertemuan kenegaraan yang resmi. Maka pembakuan bahasa harus dilakukan untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.

    Dalam perkembangan kemudian terlihat bahwa bahasa persatuan menghendaki syarat-syarat yang mempersamakan kedudukan semua pemakai bahasa ini karena tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan kelas sosial, keturunan, umur atau status, dan jabatan. Sifatnya sebagai bahasa persatuan mengharuskannya menjadi egalitarian, sebagaimana yang digunakan dalam masa revolusi kemerdekaan atau pada tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka. Sebaliknya, sebagai bahasa negara, khususnya selama Orde Baru, bahasa Indonesia mengalami proses feodalisasi dan birokratisasi yang amat kencang, yang menonjolkan perbedaan status penutur dan status lawan bicara. Ada ketegangan antara bahasa persatuan yang egalitarian dan bahasa negara yang cenderung feodal.

    Mengelola ketegangan di antara dua kecenderungan ini seyogianya menjadi pekerjaan rumah untuk Pusat Bahasa sebagai lembaga yang, dengan biaya negara, menjalankan tugas membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Pada 1999 Ajip Rosidi pernah mengajukan kritik bahwa Pusat Bahasa tidak berbuat sesuatu pun selama masa Orde Baru untuk mengendalikan dan mengurangi tendensi feodalisasi bahasa Indonesia ini. Dengan lain perkataan, pemihakan kepada bahasa negara lebih kuat daripada pemihakan kepada bahasa persatuan.

    Perbedaan lainnya ialah bahwa dalam bahasa persatuan orang lebih cenderung menyatakan pikiran dan perasaannya karena kebutuhan berkomunikasi. Sebaliknya, dalam bahasa negara ada kecenderungan untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan karena takut kepada kekuasaan negara. Dalam buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana mendefinisikan bahasa sebagai ”ucapan pikiran dan perasaan manusia dengan teratur dengan memakai alat suara”. Jelas bahwa definisi tersebut telah disusun dalam semangat bahasa persatuan dan bukan dalam formalisme bahasa negara.

    Apakah pada saat ini Pusat Bahasa dan para ahli bahasa dapat melakukan pembakuan bahasa Indonesia dengan mengintegrasikan kembali semangat bahasa persatuan ke dalam pembakuan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan apakah kita masih ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” atau barangkali diam-diam telah melupakan sumpah yang bersejarah itu.

  • Tidak ada komentar: