Jumat, 03 Oktober 2008

Mencontreng ataukah Mencoblos?


Jumat, 3 Oktober 2008 | 02:04 WIB

Komisi Pemilihan Umum belum juga menentukan tanda apa yang akan digunakan dalam Pemilihan Umum 2009. Meski sudah yakin dengan tanda centang atau contreng (V), KPU masih saja tak kunjung membuat aturannya. Perdebatan masih berkutat di seputar apakah tanda selain tanda contreng, seperti mencoblos, bisa dikatakan sebagai suara sah.

Sejak awal, pada Mei lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sangat yakin dengan tanda contreng. Itu terlihat pada Pencanangan Sosialisasi Pemilu 2009 yang dilaksanakan di Istana Presiden. Bahkan, di situ sudah dikenalkan logo Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, Si Pena, boneka dengan bentuk pena yang besar dan berwarna oranye. Selain itu, juga ada poster yang bergambar tanda contreng. Dengan demikian, KPU mau tidak mau harus mengesahkan tanda contreng itu.

Tanda contreng itu merupakan terjemahan KPU terhadap bunyi Pasal 153 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan pemberian suara untuk pemilu dilakukan dengan memberi tanda satu kali pada surat suara. Kemudian, ayat berikutnya, memberikan tanda satu kali dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu.

Perdebatan muncul ketika KPU memaparkan desain surat suara di depan anggota Komisi II DPR. Tentu saja tanda contreng tidak terlepas dari bagaimana desain surat suara Pemilu 2009. Sebagian anggota DPR meragukan tanda contreng bisa dimengerti oleh ratusan juta pemilih Pemilu 2009. Alasannya, sudah bertahun-tahun masyarakat Indonesia terbiasa dengan mencoblos.

Anggota Komisi II, Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II), mengatakan, KPU perlu memikirkan nama yang cocok untuk tanda contreng karena tidak semua orang di dalam masyarakat mengetahui arti tanda contreng. ”Bagaimana kalau masyarakat mengilustrasikan tanda contreng itu seperti tanda silang atau titik? Apakah suaranya sah? Kata ’contreng’ tidak dikenal seluruh masyarakat, termasuk konstituen kami di Sulsel,” kata Andi.

Bila KPU memutuskan menggunakan tanda contreng dalam surat suara, lanjutnya, sebaiknya dicari cara yang tepat bagaimana mengubah kebiasaan pemilih dari mencoblos menjadi memberi tanda contreng. ”Banyak yang bertanya kepada kami, termasuk dari kaum tunanetra. Bagaimana memastikan kaum tunanetra memilih pada tempat yang tepat? Ini penting supaya mereka juga bisa berpartisipasi dalam pemilu,” ujarnya.

Anggota Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, juga mengungkapkan hal senada. Ia mendorong agar cara mencoblos tetap digunakan pada Pemilu 2009. ”Tanda mencoblos atau mencontreng sudah melalui perdebatan yang panjang. Pada prinsipnya, bagaimana tanda itu mudah dan efisien. Jangan dipukul rata semuanya, harus mencontreng. Saya kira tanda titik pun bisa lebih mudah dan efisien,” kata Jazuli.

Ia juga mengatakan, bila KPU sudah memutuskan tanda contreng, sosialisasi harus gencar dilakukan KPU. Salah satu cara efektif yang bisa dipakai, menurut dia, KPU menyerahkan sosialisasi tanda kepada KPU daerah agar bisa menggunakan bahasa daerah, yang tentu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat.

Sejak UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dibahas oleh pemerintah dan DPR, perdebatan soal tanda mencontreng atau mencoblos sudah muncul. Saat itu ada dua pilihan yang mengerucut, yaitu memberi tanda (contreng) atau mencoblos. Dengan adanya dua pilihan itu, DPR menganggap mencoblos bukanlah termasuk memberi tanda.

Saat pembahasan RUU Pemilu, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar mengusulkan agar pemberian suara dalam Pemilu 2009 tidak dengan cara mencoblos kertas suara, tetapi dengan menulis nama partai dan nama calon. Usulan ini pun memunculkan pro dan kontra.

Di sisi lain, perdebatan di antara lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membidangi pemilu tak kalah seru. Centre for Electoral Reform (Cetro) mendukung tanda contreng pada surat suara. Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengungkapkan, tanda contreng sudah banyak digunakan di negara lain, hanya Indonesia dan Kamerun yang masih menggunakan tanda mencoblos. Selain itu, tanda contreng diharapkan bisa menghilangkan kemungkinan kecurangan yang bisa dilakukan dengan metode mencoblos.

Sementara itu, Kelompok Kerja (Pokja) Pemantau Penyelenggara Pemilu yang merupakan gabungan dari beberapa LSM, seperti Formappi, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, KRHN, Yappika, LBH Jakarta, serta Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, beranggapan tanda contreng akan menyebabkan suara tidak sah meningkat. Sekjen Formappi Sebastian Salang mengatakan, tanda yang dipilih harus memberikan kemudahan kepada pemilih dan menjamin akurasi penghitungan suara. ”Dengan alasan-alasan itu, kami merekomendasikan kepada KPU untuk memilih tanda mencoblos. Apalagi sebagian besar masyarakat belum terbiasa dengan tanda contreng. KPU harus tegas,” ujarnya.

Meski perdebatan di luar KPU sudah sangat seru, hampir setiap hari ada pro dan kontra tanda contreng, KPU masih saja bersantai-santai. Keputusan tanda contreng akan diambil bersamaan dengan penentuan desain surat suara. Simulasi pemungutan suara dilakukan untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Dua pekan lalu KPU melakukan simulasi pemungutan suara di dua tempat, yaitu Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dan Kabupaten Keerom, Papua. Dalam dua simulasi itu ada dua pengesahan tanda memberi suara yang sah. Di Sidoarjo, KPU mengesahkan tanda selain tanda contreng, yaitu tanda coblos, tanda garis, dan tanda silang.

Di Keerom, KPU hanya mengesahkan tanda contreng. Hasilnya, KPU menjadi semakin mantap dengan pilihannya, Alasannya, sebagian besar masyarakat yang datang untuk simulasi tidak mengalami kesulitan dalam mencontreng. Permasalahan yang muncul hanya mengenai desain surat suara yang terlalu besar. Simulasi juga mengungkapkan, 10 orang mencoblos surat suara.

Untuk kedua simulasi itu, KPU sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR, tetapi keputusan belum bisa diambil KPU. Saat ini, KPU masih menunggu satu simulasi lagi, di Aceh. Setelah itu, mudah-mudahan saja KPU semakin tegas melangkah mengambil keputusan tanda apa yang sah. Hanya saja, jangan sampai KPU kemudian mengesahkan banyak tanda pemberian suara yang tentu akan membingungkan masyarakat.

Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan, apabila tanda diberikan dalam kolom nama calon anggota legislatif atau gambar partai politik, maka menjadi suara yang sah. Namun, KPU tetap akan memakai tanda contreng dalam sosialisasi pemilu.

”Kalau tandanya masih di dalam kolom, itu tetap sah. Ini nanti akan diatur dalam peraturan KPU tentang pemungutan suara,” kata Andi yang juga Ketua Pokja Pemungutan Suara KPU.

Lalu, kapankah KPU akan menentukan tanda suara yang sah? KPU harus segera memutuskannya! Semua keputusan ada di tangan KPU. Apa pun yang dipilih KPU tentu ada risikonya, tetapi yang penting dari itu semua adalah sosialisasi. (MARIA SUSIE BERINDRA)

Tidak ada komentar: