Jumat, 03 Oktober 2008

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.

Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.

Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo (2004) disebut sebagai pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Kepemimpinan Moral

Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.

Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan yang lebih baik.

Dilema Kekuasaan

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Banyak analis menyebutkan bahwa kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat luas disebabkan oleh parahnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Ini masih ditambah dengan tidak adanya keberanian moral dari pemimpin untuk melakukan terobosan. Monopoli kekuasaan yang nyaris terpusat di lembaga legislatif menjadi persoalan lain yang tak kalah krusialnya. Para politisi santri yang duduk di parlemen tidak jauh berbeda dengan politisi sekuler.

Mengapa politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen? Bukankah mereka adalah representasi dari religiusitas? Eberhard Puntush (1986) punya analisis menarik soal ini. Menurutnya, ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian politisi. Pertama, ia terlalu dibebani secara intelektual. Ia dituntut suatu tingkat kemampuan yang tidak dimilikinya karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam banyak bidang dan sekaligus harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Menurut Puntush, itulah awal dari merebaknya ketidakjujuran.

Tekanan kedua bagi seorang politisi, adalah adanya paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil dari partai tersebut, walaupun tingkah laku rekan-rekan satu partai itu melukai cara pandang etisnya sendiri. Menurut Puntush, politisi sering harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat rekan-rekannya meskipun pendapat itu salah. Membohongi masyarakat umum dianggap prestasi.

Tekanan ketiga, adalah paksaan untuk mampu menahan kritik umum yang tidak adil. Kritik umum biasanya membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang sebaiknya dapat dicapai; dan dengan cara itu di mana-mana terlihat adanya kekurangan. Dari lawan-lawan politiknya, politisi hanya bisa menerima lebih sedikit lagi keadilan. Karena partai-partai itu saling bersaing, maka upaya merendahkan lawan dengan sendirinya meningkatkan posisi mereka sendiri. Akibatnya, menurut Puntush, kemampuan politisi untuk menerima kritik semakin menurun.

Karakter yang digambarkan di atas hampir semuanya – kalau tidak seluruhnya – tergambar dalam tingkah laku politisi kita. Sebagai personifikasi dari religiusitas, kepemimpinan santri mestinya lebih bisa konsisten dalam memegang teguh moralitas, sehingga berbagai kebijakan dan perilaku politiknya betul-betul dituntun oleh etika. Namun, etika dan moralitas tidak cukup hanya diserahkan kepada individu yang bersangkutan sebagai komitmen pribadi, tetapi harus dilembagakan dalam aturan main. Jika tidak, moralitas akan berbenturan dengan tekan-tekanan yang, menurut Puntush, hanya akan merusak karakter orang yang bersangkutan.[]

Tidak ada komentar: