Selasa, 07 Oktober 2008

Jangan Rindukan Masa Lampau


Selasa, 7 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2008 menempatkan Oktober ini sebagai ”bulan calon anggota legislatif”. Berbagai aktivitas, mulai dari pengumuman daftar calon sementara, penyampaian tanggapan masyarakat atas daftar calon sementara, hingga pengumuman daftar calon tetap, berlangsung selama bulan ini.

Saat ini, ratusan ribu politisi— persisnya belum kita ketahui karena data belum bisa diakses publik—pun bersiap merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Puluhan ribu lainnya berusaha merebut 1.998 kursi DPRD provinsi. Ribuan lainnya bersaing merebut 560 kursi DPR.

Suasana kian hiruk-pikuk jika disertakan kontestasi untuk merebut 132 kursi DPD, kursi presiden/wakil presiden, serta kepala daerah (di 466 kabupaten dan kota serta 32 provinsi).

Jika dihitung secara statistik, Indonesia menyelenggarakan 504 pemilu setiap lima tahun. Artinya, 101 pemilu setiap tahun atau lebih dari delapan pemilu setiap bulan atau dua pemilu setiap minggu! Tak pelak lagi, setelah satu dasawarsa lebih menjalani demokratisasi, Indonesia menjadi negara demokrasi elektoral yang amat sibuk.

Pada titik itulah kabar baik dan buruk bertemu. Di satu sisi, kesibukan berpemilu mengindikasikan betapa demokrasi kita mengalami kemajuan luar biasa pada tataran prosedur atau tata cara. Pejabat publik tak lagi ditunjuk melalui prosedur birokratis. Mereka dipilih melalui mekanisme politik yang memosisikan publik sebagai penentu. Ini adalah salah satu kemajuan pokok hasil demokratisasi.

Namun, di sisi lain, hiruk-pikuk rangkaian pemilu yang seolah tak ada habisnya itu menandai membengkaknya skala biaya (finansial, sosial, politik) dan kerepotan berpolitik. Secara finansial, bisa dibayangkan biaya penyelenggaraan dan kontestasi yang mesti dikeluarkan untuk seluruh rangkaian pemilu. Jika biaya finansial, sosial, dan politik tak terkelola dengan layak, bukan tak mungkin publik akan merasakan demokrasi sebagai beban dan bukan kenikmatan.

Jika selepas pemilu tak lahir pejabat publik berkinerja baik dan tak ada perbaikan kesejahteraan publik, demokrasi bisa dipahami sebagai pohon yang buahnya pahit. Dukungan terhadap demokrasi bisa menyurut.

Setidaknya, begitulah sejarah demokratisasi mengajari kita. Gelombang pembalikan kedua, yakni gelombang pasang surut demokrasi dan pasang naik rezim nondemokratis, sepanjang 1958-1975, antara lain didorong oleh menurunnya legitimasi demokrasi karena dipandang tak mampu memecahkan persoalan pokok, sosial dan ekonomi.

Dari balik pandangan itulah, kerinduan akan masa lampau bisa menguat. Masa lampau yang sesungguhnya pahit bisa tiba-tiba terasa manis. Gejala inilah yang belakangan menguat di Indonesia. Sejumlah survei mengonfirmasikannya.

Tahun 2006, Lingkaran Survei Indonesia mengadakan survei yang antara lain menanyakan, ”Jika Bapak/Ibu bandingkan, mana yang lebih baik di antara kondisi perekonomian di bawah Presiden Soeharto atau di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini?” Hasilnya, 62 persen menilai kondisi perekonomian di bawah Soeharto lebih baik, dan hanya 10 persen yang menilai di bawah SBY lebih baik.

Survei yang sama menanyakan, ”Menurut Bapak/Ibu, kondisi ekonomi di masa manakah yang lebih baik, Orde Lama di bawah Soekarno, Orde Baru di bawah Soeharto, atau Era Reformasi sekarang ini?” Ternyata, mereka yang menilai Orde Baru lebih baik mencapai 69,6 persen, jauh di atas mereka yang memilih Era Reformasi (5 persen) dan Orde Lama (10,3 persen).

Survei lain, diadakan Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (Laksnu) tahun lalu, memperkuat data itu. Berdasarkan survei ini, lebih banyak responden yang menilai Soeharto sebagai presiden terbaik yang pernah dimiliki Indonesia (34,7 persen) dibandingkan dengan yang memilih Soekarno (28,6 persen) dan presiden di masa Reformasi.

Alih-alih menganggapnya tak ada, kita selayaknya menempatkan perindu masa lampau sebagai tantangan demokrasi. Demokrasi Indonesia mesti menjawab tantangan mereka.

Demokrasi harus meyakinkan betapa kembali ke masa lampau bukanlah pilihan. Setelah belajar berdemokrasi selama satu dekade, kita sekarang mampu mengembangkan kebebasan, partisipasi, dan kompetisi. Benar bahwa prinsip mandat, keterwakilan, dan akuntabilitas serta kesejahteraan memang belum bisa kita capai secara memuaskan. Namun, di masa lampau, yang kita tak miliki apa pun, kecuali capaian ekonomi semu.

Ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok, misalnya, memang seolah lebih baik di masa Orde Baru. Tetapi, ternyata capaian itu diraih melalui proses pemiskinan petani dan nelayan secara struktural dari waktu ke waktu. Di tengah capaian semu itu, kebebasan dan hak-hak dasar kemanusiaan dikorbankan sebagai ongkosnya.

Maka, jangan rindukan masa lampau. Jauh lebih baik menyadari betapa demokratisasi belum selesai dan butuh kerja keras untuk memperbaiki hasilnya.

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: