Rabu, 29 Oktober 2008

RUU Pemilu Presiden


Menikmati "Kebaruan" dalam Pemilu 2009
Rabu, 29 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Setelah perdebatan hampir lima jam, pada akhir pekan lalu, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akhirnya disepakati untuk diteruskan ke Rapat Paripurna DPR.

Dalam rapat pleno Panitia Khusus RUU yang ”ditinggalkan” sebagian besar anggotanya itu, hanya materi soal syarat pencalonan dan kewajiban calon terpilih mundur sebagai pimpinan partai politik yang belum disepakati secara bulat sehingga mesti dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Rabu (29/10) ini.

Terdapat sejumlah hal ”baru” dalam RUU tersebut yang bakal kita nikmati pada Pemilu 2009.

Ketentuan kampanye dibuat lebih ketat. Kampanye bentuk rapat umum dihapuskan. Kegiatan yang menghadirkan massa dalam jumlah besar masih diakomodasi, dalam bentuk kegiatan deklarasi atau konvensi pasangan calon oleh parpol atau gabungan parpol.

Yang baru, rakyat bakal mendapatkan ”tontonan” (jika ”pendidikan politik” dirasa terlalu mewah), yaitu debat antarpasangan calon. Yang disepakati, debat bakal dilaksanakan lima kali, yaitu tiga kali antarcalon presiden dan dua kali antarcalon wakil presiden.

Debat diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Materi debat adalah visi nasional: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Mengutip Agus Purnomo dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, debat akan menjadi sarana yang lebih baik bagi rakyat untuk memilah calon pemimpinnya. Dengan debat antarcalon, antusiasme rakyat untuk memilih calon presidennya akan meningkat.

Dalam undang-undang juga tercantum ketentuan bahwa moderator debat dipilih KPU dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Selama dan sesudah debat, moderator tidak diperkenankan memberikan komentar, penilaian, dan simpulan apa pun.

”Peringatan” awal sudah disampaikan Pataniari Siahaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang awalnya mengusulkan debat cukup tiga kali saja. Secara teknis, waktu kampanye pemilu presiden-wakil presiden hanya sekitar sebulan sehingga pengaturan waktunya tak ideal jika debat lebih dari tiga kali. Pengaturan untuk tercapainya kualitas lebih penting ketimbang sekadar kuantitas debat.

Penyatuan pemilu

Pansus RUU akhirnya ”gagal” menyatukan penyelenggaraan pemilu presiden dengan pemilu legislatif. Pada awal pembahasan muncul ide untuk efisiensi penyelenggaraan pemilu. Namun, akhirnya ide itu mentah karena RUU sejak awal telanjur dikonstruksikan bahwa pemilu presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif.

Untuk kebutuhan ”koalisi” yang lebih kuat, undang-undang juga mensyaratkan adanya kesepakatan antarpartai politik dan kesepakatan antara parpol atau gabungan parpol dan pasangan calon. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dengan bermeterai cukup. Kesepakatan terbatas pada kesediaan untuk mengusulkan dan diusulkan menjadi pasangan calon.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2004, pansus juga menyepakati ketentuan bahwa pejabat negara mesti mengundurkan diri dari jabatannya selambat-lambatnya sejak didaftarkan sebagai calon presiden-wakil presiden. Pejabat negara yang dimaksud adalah menteri, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI, dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bahkan, juga disepakati bahwa kepala daerah yang akan dicalonkan sebagai calon presiden atau wakil presiden harus meminta izin kepada presiden.

Soal partisipasi masyarakat, Pansus RUU tak lagi terfokus pada soal survei dan hitung-cepat (quick count). Partisipasi masyarakat diperluas ke soal sosialisasi kepada pemilih lewat seminar, pelatihan, dan simulasi.

Untuk survei atau hitung-cepat, lembaga pelaksana mesti melaporkan ke KPU mengenai status badan hukum atau surat keterangan terdaftarnya, susunan kepengurusan, sumber dana, alat, dan metodologi. Status badan hukum yang dimaksud bisa berupa perseroan terbatas, yayasan, atau perkumpulan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Surat keterangan terdaftar adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri atau instansi lainnya berdasarkan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Ketentuan mengenai publikasi hasil survei, jajak pendapat, atau hitung cepat tidak berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang. Sementara hasil hitung-cepat dapat dipublikasikan paling cepat pada hari berikutnya dari hari atau tanggal pemungutan suara. Dalam publikasi juga wajib dicantumkan klausul bahwa hasil hitung-cepat itu bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilu.

Pembahasan ketentuan soal hitung-cepat memang sempat menyita waktu, salah satu penyebabnya adalah pengalaman pada sejumlah pilkada. Mencuat pertanyaan: bagaimana pertanggungjawaban jika hasil hitung-cepat ternyata berbeda dengan hasil resmi KPU dan itu ternyata memancing kerusuhan di masyarakat?

Kebaruan sudah dibuat. Tinggal kita menunggu, akankah Pemilu 2009 lebih bermutu? (Sidik Pramono)

Tidak ada komentar: