Senin, 06 Oktober 2008

Berpacu Dalam Pemilu

KONSTELASI KEKUATAN PARTAI POLITIK DAN SKENARIO PEMERINTAHAN 2009

PENGANTAR

Pada tanggal 7 Juli 2008 malam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan 34 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh yang berhak menjadi peserta pemilu legislatif 9 April 2009. Sesuai UU No.10/2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, begitu ditetapkan, parpol peserta pemilu 2009 dapat langsung mulai kampanye. Menurut KPU, kampanye itu akan dimulai 12 Juli 2009.


Aturan dalam UU No.10/2008 merupakan perubahan yang cukup radikal dibanding UU Pemilu lama yang hanya menyediakan masa kampanye selama 3 minggu. Dengan UU No.10/2008, ada waktu sekitar 8 bulan bagi setiap parpol untuk menyosialisasikan diri dan mempengaruhi pemilih. Dengan waktu yang demikian panjang, kampanye pemilu 2009 layak disebut ”kampanye marathon”. Dalam marathon, hanya peserta yang berstamina tinggi dan pandai mengatur nafas yang mampu menjadi juara.

Artikel ini dilengkapi dengan data PDF. klik di sini untuk download

Meskipun jarak tempuh mirip marathon, dari urutan start, kampanye pemilu mirip dengan balapan mobil Formula Satu (F-1). Dalam F-1, peserta tidak berangkat dari garis start yang sejajar. Ada mobil yang start di depan (pole position). Ada yang di urutan 2, 3, 4 dan seterusnya. Ada pula yang start dari urutan paling belakang. Balapan F-1 menjadi lebih menarik tiap musimnya karena adanya ”pendatang baru terbaik” (rookie of the year).

Bagaimanakah konstelasi dukungan terhadap parpol Indonesia pada saat start kampanye pemilu legislatif 2009 dimulai? Partai manakah yang start paling depan (pole position)? Adakah potensi kejutan berupa ”rookie of the year”? Bagaimana komposisi pertarungan antara kubu partai nasionalis dan partai Islam? Bagaimana kompetisi partai lama dan partai baru yang ikut pemilu 2009? Seperti apa skenario hasil pemilu dan pemerintahan 2009-2014?

Hal-hal tersebut di atas akan dijawab oleh survei nasional Indo Barometer dengan harapan: Pertama, setiap parpol mengetahui posisi start masing-masing. Kedua, bahwa masa kampanye pemilu yang panjang dapat diisi secara maksimal oleh parpol-parpol peserta pemilu dengan kampanye yang paling menjawab kepentingan masyarakat Indonesia.

KESENJANGAN JUMLAH PARPOL PESERTA PEMILU DAN HARAPAN MASYARAKAT

BANYAK PARTAI BANYAK GOLPUT?

Pada tanggal 7 Juli 2008 malam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan 34 partai politik nasional (dan 6 partai lokal di Aceh) yang berhak menjadi peserta pemilu legislatif 9 April 2009.

Jumlah ini lebih banyak daripada peserta pemilu 2004 yang hanya 24 parpol. Banyaknya jumlah partai ini berpotensi menjadi masalah karena: (1) Sistem presidensialisme kurang cocok dengan multi partai ekstrim. Banyaknya partai dengan kekuatan politik terpecah menyulitkan konsolidasi politik dan eksekusi kebijakan; (2) Banyaknya partai tidak dibarengi dengan tawaran pemikiran dan program kerja yang bervariasi. Kalau begini, banyaknya partai tidak bisa memberi nilai tambah. Malah akan membingungkan masyarakat saja. Kalau sudah bingung kualitas pilihan masyarakat akan turun, atau malah golput!

Dalam konteks ini menjadi revelan untuk menampilkan kembali data survei nasional Indo Barometer, Desember 2007 yang menunjukkan banyak partai tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas publik Indonesia dan berpotensi melemahkan kualitas pilihan masyarakat karena masyarakat bingung membedakan satu partai dengan partai lainnya dalam berbagai aspek.

DUKUNGAN TERHADAP PARTAI POLITIK LAMA DAN PARTAI POLITIK BARU

Jika pemilu 2009 dilaksanakan pada hari ini, maka pemenang pemilu adalah PDIP (23,8%). Disusul Golkar (12,0%), Demokrat (9,6%), PKB (7,4%) bersama PKS (7,4%), PAN (3,5%), Hanura (2,3%), dan PPP (1,6%).

Dibanding data 2007, PDIP sedikit menurun. Golkar dan PD mengalami penurunan. Juga PPP. Partai yang naik PKS. Partai baru yang potensial menyodok, sementara baru Hanura. Partai yang sudah memenuhi syarat parliamentary threshold 2,5% (untuk mendapat kursi di DPR pusat) baru 6: PDIP, Golkar, Demokrat, PKB, PKS, dan PAN.

Peluang bagi partai baru untuk mendulang suara masih terbuka karena dua alasan: (1) Masih ada 29,4% pemilih yang masih mengambang; (2) Hanya sekitar 24 persen pemilih saat ini merupakan pemilih loyal (merasa dekat dengan partai tertentu). Sisanya (76%) bisa lari ke mana saja karena tidak memiliki ikatan emosional yang kuat pada partai tertentu yang nota bene adalah partai-partai lama.

Apa saja alasan orang Indonesia memilih partai? Ternyata alasan tertinggi adalah peduli/dekat dengan rakyat (34,2%). Disusul jujur dan tidak KKN (10,8%) dan dekat dengan pengurusnya (7,2%). Hal ini penting diketahui parpol agar dalam berkampanye dapat menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat.

Dukungan bagi beberapa partai masih terkait kepuasan terhadap pemerintahan SBY. Yang puas cenderung ke Demokrat dan Golkar. Yang tidak puas ke PDIP dan beberapa parpol lain. Pesannya adalah jika PD dan Golkar ingin suaranya membaik maka kinerja pemerintahan SBY-JK harus dianggap memuaskan oleh mayoritas publik.

Dukungan partai juga tampaknya terkait dengan pilihan capres. Mayoritas pemilih Megawati, memilih PDIP. Mayoritas pemilih SBY memilih PD, dst. Tampaknya variabel figur tokoh nasional masih merupakan faktor penting dalam menarik dukungan pada partai. Lihat data pilihan partai (8 besar) untuk 10 capres dan data pilihan capres (10 nama) untuk pemilih 8 partai besar berdasar hasil survei ini.

DUKUNGAN TERHADAP PARTAI ISLAM VERSUS PARTAI NASIONALIS SEKULER

Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai nasionalis. Ada macam-macam definisi tentang partai Islam. Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR. Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN.

Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam. Lantas, bagaimana publik Indonesia memaknai partai Islam? Apa definisi partai Islam menurut publik Indonesia?

Survei Indo Barometer mengajukan pertanyaan terbuka kepada publik Indonesia tentang pengertian dari partai Islam. Ternyata jawaban tertinggi adalah partai yang berasaskan Islam (28,3%); partai yang mayoritas pemilihnya Islam (24,2%), partai yang didirikan ormas Islam (15,8%), dan partai yang pengurusnya seluruhnya orang Islam (5,8%)

Di Indonesia sekarang ini ada banyak partai Islam . Partai mana yang dipersepsi publik umum sebagai partai Islam? Ternyata partai yang paling tepat disebut sebagai partai Islam adalah PPP (40,8%), disusul oleh PKB (35,9%), PKS (34,1%), PAN (23,6%), dan PBB (8,2%)

Meskipun PPP merupakan partai dengan citra parpol Islam terkuat, ternyata PPP bukan partai Islam dengan dukungan terbesar, baik di antara semua parpol (termasuk yang nasionalis), maupun di antara parpol Islam itu sendiri (baik parpol yang berasaskan Islam atau pun berbasis massa Islam). Seperti dipaparkan di depan, posisi PPP di antara semua partai kini no.8 dan di antara sesama partai Islam hanya no. 4 (setelah PKB, PKS, dan PAN).

Menuju pemilu 2009, tantangan partai-partai Islam ada dua. Tantangan pertama adalah seberapa jauh partai Islam mampu bersaing dengan partai nasionalis. Tantangan kedua, sejauh mana partai Islam bisa mengejar mitos Masyumi sebagai eks partai Islam dengan pencapaian suara tertinggi.

Untuk tantangan pertama, untuk sementara situasi belum berubah banyak dari pemilu demokratis sebelumnya (1955, 1999 dan 2004). Gabungan perolehan suara partai Islam masih kalah dengan perolehan partai nasionalis. Apalagi kalau dibandingkan antara perolehan suara partai yang khusus berasas Islam dengan partai nasionalis.

Untuk tantangan kedua, prestasi Masyumi tahun 1955 belum tersaingi oleh parpol Islam dalam semua pemilu demokratis, baik dari segi persentase suara maupun dari segi ranking. Perolehan Masyumi tahun 1955 adalah 20,59%. Perolehan suara partai Islam tertinggi tahun 1999 adalah PKB dengan 12%. Tahun 2004, kembali PKB dengan 10% dan Juni 2008 PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4%. Akan menjadi menarik untuk melihat apakah ada partai Islam yang akan mampu meruntuhkan ”mitos” Masyumi? Partai manakah itu?

Dari segi ranking, posisi Masyumi tahun 1955 adalan nomor 2. PKB tahun 1999 dan 2004 nomor 3 (dibawah PDIP dan Golkar tahun 1999. Di bawah Golkar dan PDIP di tahun 2004). Juni 2008, partai Islam justru melorot ke posisi 4 (diduduki bersama PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4% suara). Meski demikian, bila suara Golkar dan PD terus melorot, serta konflik PKB tak kunjung selesai dan kenaikan suara PKS berlanjut, ada peluang bagi PKS untuk meloncat ke posisi 3 atau 2 besar.

Salah satu cara agar partai Islam bisa langsung meloncat ke no. 1 atau no.2 adalah dengan bergabung menjadi partai Islam tunggal. Ini mungkin karena gabungan suara partai Islam (Juni 2008) adalah 21,1% atau lebih besar dari pada suara Golkar yang sementara 12% dan hanya berselisih tipis dengan PDIP yang 23,8%. Masalahnya elit politik partai Islam sulit bersatu seperti dinyatakan sendiri berbagai tokoh partai Islam yang berkumpul dalam sebuah seminar tentang partai Islam baru-baru ini (3 Juli 2008). Padahal publik setuju partai Islam bergabung meski mereka tidak yakin ini bisa dilakukan
Pendirian partai Islam, selain didasarkan pada ideologi politik tertentu, juga didasari asumsi bahwa ada segmen masyarakat yang melihat partai Islam sebagai entitas yang berbeda dibandingkan partai nasionalis. Makin berbeda dan lebih baik dibanding partai nasionalis, semakin besar peluang partai Islam untuk dipilih. Masalahnya ternyata partai Islam dipersepsi tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis baik dalam hal partai maupun perilaku elit/pengurusnya.

Tidak kalah menarik adalah tingkat penerimaan publik umum Indonesia yang hampir sama terhadap partai manapun yang menang pemilu lepas dari latar belakang atau labelnya, baik partai Islam maupun nasionalis.

SKENARIO PEMERINTAHAN INDONESIA 2009 - 2014

PENGANTAR SKENARIO

Sistem pemerintahan Indonesia saat ini adalah presidensialisme dengan multi partai ekstrim. Rakyat memilih partai dan anggota parlemen dalam pemilu legislatif dan memilih pasangan presiden-wakil presiden secara langsung. Pemilu itu diselenggarakan dengan harapan dapat menghasilkan pemerintah yang legitimate dan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Hasil pemilu yang berbeda, akan menghasilkan kelebihan dan kekurangan yang inheren pada diri masing-masing.

Karena pemilu 2009 masih cukup lama, masih banyak sekali skenario politik yang bisa terjadi ke depan. Namun berdasarkan hasil survei terbaru Indo Barometer Juni 2008, maupun pola dari hasil-hasil survei sebelumnya selama 4 tahun terakhir ini, berikut 4 skenario yang untuk sementara paling mungkin terjadi.

SKENARIO 1
Pemenang Pemilu Legislatif: PDIP
Pemenang Pilpres: Megawati

  • Berdasar data survei Indo Barometer Juni 2008, inilah skenario yang sekarang terjadi. Dalam survei IB, PDIP menduduki peringkat pertama dengan 23,8% dan Megawati juga nomor satu dengan dukungan 30,9% (10 nama calon). Sebagai catatan, semenjak 2007 PDIP telah bertahan sebagai parpol terkuat. Sementara Megawati baru kali ini menjadi nomor satu, sebelumnya selalu diduduki SBY.
  • Kekuatan: Kemenangan PDIP dan Megawati akan menghasilkan ”unified government” (pemerintahan yang satu) karena pemenang pemilu legislatif dan presiden datang dari partai yang sama. Hal ini berpotensi membuat pemerintahan yang lebih stabil meski tergantung persentase kekuatan PDIP di parlemen dan pola kepemimpinan Megawati.
  • Kelemahan: Karena DPR dan Istana dikuasai oleh partai yang sama, mekanisme ”checks and balances” menjadi lebih lemah. Namun ini bisa diatasi apabila ada sejumlah partai yang bersedia tidak masuk kabinet dan membentuk ”blok oposisi” yang cukup besar sehingga mampu memberikan kontrol politik yang cukup kuat.


SKENARIO 2
Pemenang Pemilu Legislatif: PDIP
Pemenang Pilpres: SBY

  • Skenario ini terjadi bila PDIP ”survive” sebagai parpol pemenang pemilu 2009 dan SBY berhasil memulihkan popularitas dirinya yang sekarang anjlok. Meskipun sekarang mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun namun naik kembali pada tahun 2006.
  • Kekuatan: Kemenangan PDIP dan SBY akan menghasilkan kontrol politik yang lebih kuat oleh parlemen terhadap pemerintahan dibanding periode 2004-2009 karena kali ini PDIP menjadi fraksi terbesar dan mungkin menjadi pucuk pimpinan di DPR.
  • Kelemahan: Karena DPR dan Istana dikuasai oleh partai yang berbeda, akan tercipta ”divided government” (pemerintahan terbelah) dengan oposisi politik yang lebih keras dibanding periode 2004-2009 karena kini PDIP nomor 1 di DPR. Di satu sisi ini baik karena bisa memperkuat kontrol, di sisi lain bisa melahirkan pemerintahan yang lemah karena tidak mampu eksekusi. Ini dengan catatan wewenang DPR masih besar dan PDIP berhasil membangun blok oposisi yang cukup besar.


SKENARIO 3
Pemenang Pemilu Legislatif: Golkar
Pemenang Pilpres: Megawati

  • Skenario ini terjadi bila Golkar melakukan aneka terobosan politik yang membuat mereka kembali menjadi partai terkuat seperti pemilu 2004. Namun capres terkuat tetap Megawati dan bukan SBY atau Jusuf Kalla. Ada dua sub-skenario untuk skenario 3 ini: (A) Megawati berpasangan dengan calon wapres dari Golkar; (B) Megawati berpasangan dengan calon wapres non-Golkar.
  • Kekuatan sub skenario A: Kombinasi ini melahirkan ”semi-divided government” namun karena wapres dari Golkar maka stabilitas pemerintahan akan sangat terjaga karena partai presiden dan wapres menguasai kursi terbesar nomor 1 dan nomor 2 di parlemen. Tapi ini dengan syarat presiden dan wapres kompak dan wapres memegang kendali partai di parlemen.
  • Kelemahan sub skenario A: Mekanisme ”checks and balances” menjadi sangat lemah karena istana dan parlemen dikuasai oleh blok politik yang sama. Apalagi jika PDIP dan Golkar mengajak beberapa partai lain sehingga menjadi sangat dominan di Senayan.
  • Kekuatan sub skenario B: Kombinasi ini melahirkan juga melahirkan ”divided government” namun cukup berimbang karena Golkar menguasai Senayan dan PDIP menguasai Istana. Politik akan cukup dinamis namun pemerintah tetap bisa eksekusi sejauh mampu membangun koalisi yang cukup besar di parlemen dan di kabinet.
  • Kelemahan sub skenario B: Jika Golkar ikut ditarik dalam kabinet (plus semua parpol lain) maka DPR akan sangat melempem karena semua partai menjadi bagian dari pemerintah.


SKENARIO 4
Pemenang Pemilu Legislatif: Golkar
Pemenang Pilpres: SBY

  • Ini terjadi apabila Golkar dan SBY sama-sama dapat memulihkan kekuatannya sementara PDIP dan Megawati anjok di tengah jalan. Jika ini yang terjadi maka potret politik Indonesia 2009-2014 kemungkinan mirip seperti periode 2004-2009.
  • Kekuatan: Terjadi ”semi divided government” di mana partai pemenang pemilu legislatif dan pilpres berbeda namun ketua partai pemenang pemilu legislatif menjadi bagian dari pemerintahan (misalnya sebagai wapres). Secara teoritis pemerintahan cukup kuat karena partai pemenang pemilu menjadi bagian dari pemerintahan.
  • Kelemahan: Posisi wapres yang partainya lebih besar daripada partai presiden di parlemen akan membuat wapres memiliki ”bargaining position” yang kuat terhadap presiden dan jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa menimbulkan tarik menarik dan masalah koordinasi serta pembagian tugas dengan presiden.

Tidak ada komentar: