Selasa, 14 Oktober 2008

Pemilu 2009


Revisi UU No 10/2008, Merevisi Kepentingan
Selasa, 14 Oktober 2008 | 00:35 WIB

Perubahan undang-undang politik berlangsung lima tahun sekali. Jika UU yang belum lama disahkan dan belum sempat dilaksanakan sudah diusulkan untuk direvisi, tentu banyak pihak berpikir, pastilah ”ada apa-apa” di balik usul itu.

Seperti diberitakan, pada pertengahan Agustus lalu, sejumlah anggota DPR mengusulkan revisi terbatas atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu klausul soal penetapan calon terpilih. Substansi usul revisi terbatas atas UU yang baru diundangkan pada 31 Maret 2008 itu adalah agar dimungkinkan cara penetapan calon terpilih dengan menggunakan sistem suara terbanyak.

Surat pengusulan revisi terbatas diajukan 60 anggota DPR dari berbagai fraksi (Kompas, 26/8). Revisi terbatas ini terkait dengan Pasal 214 tentang penetapan calon anggota legislatif terpilih oleh parpol. UU diharapkan mengakomodasi sistem penetapan calon terpilih dengan menggunakan sistem suara terbanyak. Calon yang tak memenuhi 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan hanya berdasarkan nomor urut.

Hal itu tak jauh beda dengan pengalaman menjelang Pemilu 2004. Pada 9 Desember 2003, 27 anggota DPR mengusulkan perubahan UU Nomor 21 Tahun 2003 khusus mengenai alokasi kursi DPR. Pengusul amendemen berasal dari lima fraksi. Mereka mengusulkan mengubah klausul jumlah kursi DPR menjadi sebanyak-banyaknya 560. Saat itu alokasi kursi DPR per provinsi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbeda dengan yang disimulasikan DPR saat membahas RUU. Karena rumusan yang ”njlimet”, KPU berimprovisasi dengan menerjemahkan keharusan jumlah kursi DPR per provinsi tak berkurang dari pemilu sebelumnya dengan mengakumulasikan kursi provinsi induk dan provinsi hasil pemekaran. Pergolakan pun terjadi, terutama untuk provinsi induk yang merasa jatah kursinya terkurangi.

Argumentasi yang disampaikan pengusul, perubahan bisa dipercepat guna mengejar tenggat waktu yang dibutuhkan KPU agar tahapan Pemilu 2004 tak terganggu. Perubahan bisa dilakukan sepanjang ada komitmen bersama antara DPR, pemerintah, dan KPU. Namun, usul revisi itu menguap tanpa kejelasan sampai Pemilu 2004 digelar.

Kepentingan

Konteks dulu berbeda dengan sekarang. Nuansa ”kepentingan” sama-sama kental. Namun, usul perubahan yang terjadi sekarang patut disimak karena melibatkan parpol ”kelas kakap”. Tentu perhatian tertuju pada Partai Golkar yang secara resmi menyatakan mendukung usul perubahan itu. Langkah Partai Golkar bisa disebut ”pembalikan-luar-biasa”. Saat pembahasan RUU, Partai Golkar merupakan motor utama untuk mendorong penggunaan prinsip nomor urut dalam penentuan calon terpilih.

Simak kembali peta posisi fraksi di DPR menjelang lobi dengan wakil pemerintah pada Senin (25/2/2008) sampai pukul 21.00. Empat fraksi berpandangan, jika prinsip nomor urut diberlakukan, ketika terdapat calon anggota DPR/DPRD yang memperoleh minimal 30 persen BPP yang lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol. Keempat fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Demokrat (F-PD), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS)!

Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla mesti turun tangan menjelang voting saat akhir pembahasan RUU. Ketika titik temu dalam serangkaian lobi tak kunjung tercapai, pertemuan di kediaman Kalla pada Minggu (2/3/2008) malam memecahkan semua perdebatan panjang. Selepas pertemuan pimpinan fraksi DPR, disepakati hal terdapat calon anggota DPR/DPRD yang meraih suara 30 persen BPP, lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh partai, calon terpilih kembali didasarkan pada nomor urut pada daftar calon.

Ketua Pelaksana Harian Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Firman Soebagyo mengakui, pergulatan internal di partainya sangat intensif sampai akhirnya disepakati, penetapan calon terpilih didasarkan pada suara terbanyak. Keseriusan itu ditunjukkan dengan kader Partai Golkar di DPR yang memotori usul perubahan terbatas atas UU No 10/2008. Revisi itu untuk menciptakan ”rasa keadilan” dan sebagai jalan tengah atas ketidakpuasan yang muncul atas susunan daftar calon anggota yang disampaikan ke KPU.

Bisa jadi selama ini orang ”salah berhitung”. Sangat bisa jadi semua merasa percaya diri (atau setidaknya berharap) akan mendapat urutan atas, tetapi akhirnya justru terlempar ke urutan ”sepatu” karena beragam alasan. Jadilah, gerilya dilakukan untuk memaksa parpol menerapkan prinsip suara terbanyak. Jatah kursi yang diperoleh parpol mesti diberikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak.

Terbukalah kesempatan. Ada kesan parpol berlomba memikat calon pemilih dan caleg dengan tawaran prinsip suara terbanyak. Yang berada di urutan atas tidak akan ber-leha-leha, sedangkan yang di urutan bawah tidak akan putus harapan. Jelas, semakin giat calon bekerja mendulang suara, parpollah yang pertama diuntungkan karena harapan perolehan suaranya bakal baik.

Langkah sejumlah parpol yang menetapkan prinsip suara terbanyak memang akan menuai rentetan masalah jika revisi UU No 10/2008 tidak dilakukan. Memang ada peluang untuk ”mematikan” calon nomor urut atas yang perolehan suaranya kalah dibandingkan dengan calon di urutan bawahnya. Dasarnya adalah ketentuan Pasal 218 UU No 10/2008.

Calon urutan atas ”diminta” mundur untuk diganti calon lain sesuai dengan keputusan pimpinan parpol. Hanya langkah itu berisiko karena sekali calon mundur, selamanya hak calon hapus sampai pemilu berikutnya. Kalau calon pengganti yang perolehan suaranya terbanyak itu mesti diganti, apa jadinya kalau calon yang telanjur mundur sebenarnya memiliki perolehan suara di urutan berikutnya?

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti berpandangan, usul revisi tak perlu diteruskan. (dik)

009
Revisi UU No 10/2008, Merevisi Kepentingan
Selasa, 14 Oktober 2008 | 00:35 WIB

Perubahan undang-undang politik berlangsung lima tahun sekali. Jika UU yang belum lama disahkan dan belum sempat dilaksanakan sudah diusulkan untuk direvisi, tentu banyak pihak berpikir, pastilah ”ada apa-apa” di balik usul itu.

Seperti diberitakan, pada pertengahan Agustus lalu, sejumlah anggota DPR mengusulkan revisi terbatas atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu klausul soal penetapan calon terpilih. Substansi usul revisi terbatas atas UU yang baru diundangkan pada 31 Maret 2008 itu adalah agar dimungkinkan cara penetapan calon terpilih dengan menggunakan sistem suara terbanyak.

Surat pengusulan revisi terbatas diajukan 60 anggota DPR dari berbagai fraksi (Kompas, 26/8). Revisi terbatas ini terkait dengan Pasal 214 tentang penetapan calon anggota legislatif terpilih oleh parpol. UU diharapkan mengakomodasi sistem penetapan calon terpilih dengan menggunakan sistem suara terbanyak. Calon yang tak memenuhi 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan hanya berdasarkan nomor urut.

Hal itu tak jauh beda dengan pengalaman menjelang Pemilu 2004. Pada 9 Desember 2003, 27 anggota DPR mengusulkan perubahan UU Nomor 21 Tahun 2003 khusus mengenai alokasi kursi DPR. Pengusul amendemen berasal dari lima fraksi. Mereka mengusulkan mengubah klausul jumlah kursi DPR menjadi sebanyak-banyaknya 560. Saat itu alokasi kursi DPR per provinsi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbeda dengan yang disimulasikan DPR saat membahas RUU. Karena rumusan yang ”njlimet”, KPU berimprovisasi dengan menerjemahkan keharusan jumlah kursi DPR per provinsi tak berkurang dari pemilu sebelumnya dengan mengakumulasikan kursi provinsi induk dan provinsi hasil pemekaran. Pergolakan pun terjadi, terutama untuk provinsi induk yang merasa jatah kursinya terkurangi.

Argumentasi yang disampaikan pengusul, perubahan bisa dipercepat guna mengejar tenggat waktu yang dibutuhkan KPU agar tahapan Pemilu 2004 tak terganggu. Perubahan bisa dilakukan sepanjang ada komitmen bersama antara DPR, pemerintah, dan KPU. Namun, usul revisi itu menguap tanpa kejelasan sampai Pemilu 2004 digelar.

Kepentingan

Konteks dulu berbeda dengan sekarang. Nuansa ”kepentingan” sama-sama kental. Namun, usul perubahan yang terjadi sekarang patut disimak karena melibatkan parpol ”kelas kakap”. Tentu perhatian tertuju pada Partai Golkar yang secara resmi menyatakan mendukung usul perubahan itu. Langkah Partai Golkar bisa disebut ”pembalikan-luar-biasa”. Saat pembahasan RUU, Partai Golkar merupakan motor utama untuk mendorong penggunaan prinsip nomor urut dalam penentuan calon terpilih.

Simak kembali peta posisi fraksi di DPR menjelang lobi dengan wakil pemerintah pada Senin (25/2/2008) sampai pukul 21.00. Empat fraksi berpandangan, jika prinsip nomor urut diberlakukan, ketika terdapat calon anggota DPR/DPRD yang memperoleh minimal 30 persen BPP yang lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol. Keempat fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Demokrat (F-PD), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS)!

Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla mesti turun tangan menjelang voting saat akhir pembahasan RUU. Ketika titik temu dalam serangkaian lobi tak kunjung tercapai, pertemuan di kediaman Kalla pada Minggu (2/3/2008) malam memecahkan semua perdebatan panjang. Selepas pertemuan pimpinan fraksi DPR, disepakati hal terdapat calon anggota DPR/DPRD yang meraih suara 30 persen BPP, lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh partai, calon terpilih kembali didasarkan pada nomor urut pada daftar calon.

Ketua Pelaksana Harian Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Firman Soebagyo mengakui, pergulatan internal di partainya sangat intensif sampai akhirnya disepakati, penetapan calon terpilih didasarkan pada suara terbanyak. Keseriusan itu ditunjukkan dengan kader Partai Golkar di DPR yang memotori usul perubahan terbatas atas UU No 10/2008. Revisi itu untuk menciptakan ”rasa keadilan” dan sebagai jalan tengah atas ketidakpuasan yang muncul atas susunan daftar calon anggota yang disampaikan ke KPU.

Bisa jadi selama ini orang ”salah berhitung”. Sangat bisa jadi semua merasa percaya diri (atau setidaknya berharap) akan mendapat urutan atas, tetapi akhirnya justru terlempar ke urutan ”sepatu” karena beragam alasan. Jadilah, gerilya dilakukan untuk memaksa parpol menerapkan prinsip suara terbanyak. Jatah kursi yang diperoleh parpol mesti diberikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak.

Terbukalah kesempatan. Ada kesan parpol berlomba memikat calon pemilih dan caleg dengan tawaran prinsip suara terbanyak. Yang berada di urutan atas tidak akan ber-leha-leha, sedangkan yang di urutan bawah tidak akan putus harapan. Jelas, semakin giat calon bekerja mendulang suara, parpollah yang pertama diuntungkan karena harapan perolehan suaranya bakal baik.

Langkah sejumlah parpol yang menetapkan prinsip suara terbanyak memang akan menuai rentetan masalah jika revisi UU No 10/2008 tidak dilakukan. Memang ada peluang untuk ”mematikan” calon nomor urut atas yang perolehan suaranya kalah dibandingkan dengan calon di urutan bawahnya. Dasarnya adalah ketentuan Pasal 218 UU No 10/2008.

Calon urutan atas ”diminta” mundur untuk diganti calon lain sesuai dengan keputusan pimpinan parpol. Hanya langkah itu berisiko karena sekali calon mundur, selamanya hak calon hapus sampai pemilu berikutnya. Kalau calon pengganti yang perolehan suaranya terbanyak itu mesti diganti, apa jadinya kalau calon yang telanjur mundur sebenarnya memiliki perolehan suara di urutan berikutnya?

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti berpandangan, usul revisi tak perlu diteruskan. (dik)

Tidak ada komentar: