Jumat, 31 Oktober 2008

Pemuda yang Mendambakan Indonesia


80 TAHUN SUMPAH PEMUDA

Mereka mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mewujudkan persatuan. Mengesampingkan perbedaan suku, warna kulit, dan agama, mereka menggelar pertemuan-pertemuan yang merisaukan penjajah Belanda. Kemerdekaan adalah dambaan mereka.

Anak-anak muda itu menuliskan bagiannya dalam sejarah negeri kita: sebagai pemimpin bangsa, penyair, musisi, atau orang biasa saja. Ada pula yang nasibnya berakhir tragis, tewas di ujung bedil tentara Indonesia, yang kemerdekaannya turut ia perjuangkan.

Nama mereka senantiasa disebut dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda—pada 28 Oktober ini genap 80 tahun. Persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa yang mereka retas menjadi fondasi Indonesia yang kukuh.

USIA mereka masih muda—rata-rata baru masuk 20-an—dan penuh semangat. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan memeluk agama yang berbeda-beda. Lantaran mengenyam pendidikan Belanda, mereka kebanyakan fasih berbahasa negeri penjajah itu, selain bahasa daerah masing-masing. Hanya segelintir yang lancar berbahasa Indonesia.

Pada 1920-an itu mereka menjadi anggota berbagai perkumpulan yang bersifat kedaerahan. Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Soenda, Jong Celebes, dan Jong Ambon bisa disebut sebagai contohnya. Anggota perkumpulan ini biasanya cuma puluhan orang. Kegiatannya? Urusan sosial dan pelestarian kebudayaan daerah, seperti musik dan tarian.

Dipengaruhi kesadaran yang sama tentang penderitaan dan aspirasi untuk keadilan di era penjajahan, mereka lambat-laun mulai berbicara tentang ”persatuan” dan ”kemerdekaan”. Kerinduan akan terwujudnya kemerdekaan, misalnya, terekam dalam salah satu bait puisi penyair Sanusi Pane—kelak menjadi salah satu peserta Kongres Pemuda I pada 1926.

O, balam tawanan, lihat burung di puncak kayu
Bunyinya riang, berlompat-lompat, bersuka diri
Kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita

Beberapa organisasi politik sebetulnya telah berdiri di Tanah Air pada awal 1920-an itu. Organisasi yang memiliki banyak pengikut adalah Sarekat Islam, Boedi Oetomo, dan Partai Komunis Indonesia. Berikutnya pada 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno.

Tonggak penting dalam pergerakan pemuda dimulai ketika Perhimpunan Indonesia—perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda—menerbitkan Manifesto Politik pada 1925. Ini pertama kalinya mereka dengan tegas berbicara tentang kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di antara sesama warga jajahan. Orientasi kedaerahan mulai ditinggalkan dalam manifesto yang kental dipengaruhi semangat revolusi Prancis itu.

Gaung manifesto dengan cepat menyeberangi benua dan sampai ke Tanah Air. Tahun berikutnya, para pemuda dari berbagai perkumpulan dengan tekad bulat menggelar Kongres Pemuda I di Jakarta. Kongres diadakan di Weltevreden (sekarang Gambir) dan dipimpin Mohammad Tabrani Soerjowitjitro dari Jong Java.

Kendati peserta kongres menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, di sini mulai dirintis penggunaan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Sayangnya, penetapan bahasa persatuan itu tertunda karena Muhammad Yamin sebagai penggagas berkukuh menamakan bahasa Melayu. Para peserta akhirnya sepakat menunda penetapan sampai kongres berikutnya.

Setelah Kongres Pemuda I, pemuda tak lagi sungkan melakukan kegiatan lintas perkumpulan. Sering kali mereka mengadakan rapat terbuka alias openbare vergadering yang juga dihadiri anggota organisasi politik, seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia.

Dalam Kongres Pemuda II, yang juga diadakan di Jakarta dua tahun kemudian, tampil pemuda Soegondo Djojopoespito dari Jong Java sebagai ketua panitia merangkap ketua sidang. Tabrani tak lagi hadir karena melanjutkan studi ke Jerman.

Sejumlah nama yang kelak menjadi tokoh nasional hadir dalam pertemuan ini. Ambil contoh Mr Sartono dari Partai Nasional Indonesia, Kartosoewirjo dari Sarekat Islam, dan A.I.Z. Mononutu, yang mewakili Persatuan Pemuda Minahasa. Datang pula pejabat Belanda yang mengawasi jalannya kongres.

Sebelum Soegondo membuka sidang, dibacakan dulu sambutan tertulis dari Ketua Partai Nasional Indonesia Soekarno, pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan Tan Malaka.

Soegondo dikenang sebagai pemimpin sidang yang tangkas. Ketika polisi Belanda memprotes kata ”merdeka” diucapkan seorang peserta kongres, dengan dingin ia berkata, ”Jangan gunakan kata ’kemerdekaan’, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama tahu saja.” Ucapan itu disambut tepuk tangan riuh peserta kongres.

Kongres yang berlangsung di tiga tempat di Jakarta ini ditutup di Gedung Kramat Raya 106. Hasil penting yang diperoleh kongres ini adalah Sumpah Pemuda. Diputuskan bahwa asas itu wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia.

Di arena itu pula untuk pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya. Namun, lantaran syair lagu itu banyak mengandung kata ”Indonesia” dan ”merdeka”, untuk mencegah keributan dengan polisi Belanda, Soegondo meminta W.R. Soepratman melantunkan lagu secara instrumental dengan biolanya.

Para peserta kongres begitu bersemangat untuk berbahasa Indonesia, padahal ketika itu sebagian besar belum lancar menggunakannya. Maka, konon, ketika wakil ketua sidang Amir Sjarifuddin menanyakan apakah mereka siap berbahasa Indonesia, hadirin menjawab keras, ”Sikkaap....”

Lewat Sumpah Pemuda, para pemuda telah sepakat melupakan asal yang beragam dan menjadikan diri mereka bagian dari komunitas imajiner Indonesia. Tak ada lagi sekat-sekat bernama suku, agama, atau warna kulit. Bersama-sama pula mereka kemudian mendirikan organisasi Indonesia Muda.

Setelah Kongres Pemuda II, peristiwa yang tak kalah penting untuk diingat adalah Kongres Perempuan yang diadakan 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Peristiwa ini sekarang diperingati sebagai Hari Ibu. Dalam kongres ini, tak kalah oleh mitra lelaki mereka, para perempuan menegaskan semangat persatuan dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, kongres ini menggunakan bahasa Indonesia. Sejumlah perkumpulan perempuan, seperti Wanita Oetomo, Aisjiah, dan Wanita Taman Siswa, menjadi peserta. Bintang kongres adalah Sujatin dan Siti Sundari, yang menggebu-gebu menentang poligami dan perkawinan di bawah umur—isu yang masih relevan sampai kini.

Rangkaian peristiwa bersejarah inilah yang disajikan dalam edisi khusus Sumpah Pemuda kali ini. Untuk menggali informasi lebih dalam, Tempo mengundang sejarawan Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam, serta aktivis perempuan Mariana Amirudin untuk berdiskusi pada Ramadan lalu. Diawali buka puasa bersama, pertemuan dilanjutkan dengan membahas gerakan pemuda pada 1920-an yang saling terkait. Dari Manifesto Politik 1925 sampai Kongres Perempuan 1928. Diskusi ini menjaring nama 10 tokoh yang dianggap paling berperan dalam rangkaian peristiwa itu. Perdebatan berlangsung tajam: apakah peran seseorang lebih penting daripada yang lain? Beruntung mufakat tetap bisa dicapai. Kami tak perlu melakukan pemungutan suara untuk menetapkan nama karena menyadari kebenaran sejarah bersifat relatif.

Sejumlah buku yang dibahas dalam diskusi juga ditampilkan dalam terbitan ini. Beberapa merupakan kumpulan tulisan para pelaku sejarah Sumpah Pemuda. Buku lain mengangkat peran para pemudi yang tak kalah penting dalam mendukung persatuan dan perjuangan mewujudkan kemerdekaan.

Tempo menggenapi laporan khusus ini dengan reportase ke makam Adolf Bastian di Sudwestkirchhofs Stahnsdorf, Berlin. Etnolog terkemuka Jerman ini dikenal sebagai orang yang tekun merawat penggunaan istilah ”Indonesia” untuk gugusan pulau jajahan Belanda yang semula dikenal sebagai Hindia Timur atau Hindia Belanda. Istilah inilah yang serta-merta dipergunakan para pemuda untuk menyebut negeri yang tercinta. l

Tidak ada komentar: