Jumat, 31 Oktober 2008

Terinspirasi Kartini


Memperjuangkan hak-hak perempuan sejak belia, Sujatin Kartowijono tergerak oleh buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia dan tetap aktif hingga masa senja hidupnya.

USIANYA 15 tahun ketika bergabung dengan Jong Java—organisasi kebangsaan pemuda Jawa—pada 1922. Saat itu Sujatin baru masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs alias MULO, sekolah menengah pertama di zaman Belanda. ”Lima belas tahun, aku mulai aktif di kegiatan luar sekolah, meniru Ayah yang gemar berorganisasi,” katanya. Petikan kisah itu ditulis kembali oleh Hanna Rambe dalam biografi Sujatin Kartowijono: Mencari Makna Hidup.

Pilihan berorganisasi dia lakukan dengan sadar, dan praktis mewarnai seluruh kehidupannya. Dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dia aktif membela hak-hak perempuan sepanjang hidupnya. Ditunjuk memimpin majalah terbitan Jong Java, remaja putri itu, yang menggunakan nama pena Bunga Gerbera, menuliskan pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib bangsa yang dijajah.

Pendidikan adalah dunia Sujatin selepas MULO dan Sekolah Guru. Ensiklopedia Indonesia menulis, wanita muda yang teguh hati itu memilih mengajar di sekolah swasta karena bertekad tidak mau bekerja pada Gubernemen (pemerintah Belanda). Ayahnya, Joyohadirono, adalah sosok yang berperan besar pada Sujatin.

Hubungan keduanya terbilang istimewa, terutama bila menilik riwayat kelahiran Sujatin. Karena amat mengharapkan anak laki-laki, Pak Joyo hanya menatap si orok dengan dingin ketika bayi merah itu dilahirkan di Desa Kalimenur, Wates, Yogyakarta, pada 7 Mei 1907. Dari anak yang tak diharapkan, Sujatin tumbuh menjadi anak yang cekatan dan pandai serta menjadi putri kesayangan Joyo.

Sujatin kecil satu-satunya dari belasan anak Joyo yang mendapat ranjang khusus di kamar ayahnya. Joyo adalah Kepala Stasiun Kereta Sumpiuh. Dia mempercayai putrinya untuk menuliskan sejumlah saran perbaikan kepada Pusat Jawatan Kereta Api.

Berkat posisi ayahnya, Sujatin bisa menikmati pendidikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School (HIS). Setelah melek huruf, Tin—panggilannya—benar-benar ”gila” bacaan. Kerap kali dia memanjat pohon setinggi mungkin, lalu membaca, atau mendekam di kolong ranjang dengan lampu minyak.

Buku kegemaran dia antara lain karya-karya dongeng Hans Christian Andersen. Juga kisah petualangan Karl May yang masyhur. Tapi bacaan yang betul-betul merenggut perhatian Sujatin adalah kumpulan surat Kartini, Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini memang mengubah hidup Sujatin. ”Aneh, aku seolah melihat potret diri sendiri,” katanya.

Jalan pertama mengubah nasib perempuan menurut Sujatin adalah melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Lewat Jong Java, Sujatin menebar ”virus” persatuan. Ini bukan perkara mudah di masa itu. Umumnya orang masih buta huruf dan rendah diri terhadap penjajah. Mereka yang mengenyam pendidikan dan sedikit dihargai oleh penjajah khawatir terpental dari posisi nyaman.

Di luar jam mengajar, Sujatin rajin mengunjungi sekolah-sekolah lain untuk menularkan keyakinannya. Dia mengajak para siswa bergabung ke dalam perhimpunan. Untuk itu, dia harus berhadapan dengan direktur sekolah, yang notabene orang Belanda. Sujatin berhasil menuai simpati dan anggota perhimpunan pun bertambah.

Ketika Kongres Pemuda pertama berlangsung di Jakarta pada 1926, yang antara lain dihadiri perwakilan Jong Java, Sujatin baru lulus Sekolah Guru. Bersama sejumlah kolega, dia mendirikan Poeteri Indonesia, perhimpunan khusus guru wanita. Dua tahun kemudian, dia hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan Hari Ibu).

Dalam kongres itu, Sujatin—yang mewakili Poeteri Indonesia—menjadi ketua pelaksana. Ada tiga poin penting yang dirumuskan, yakni membangkitkan rasa nasionalisme, menyatukan gerakan perkumpulan wanita, dan membentuk Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Dalam artikel singkat ”Apa Arti Sumpah Pemuda bagi Diriku” yang ditulisnya dalam buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Sujatin menuturkan, ide pertemuan telah mendapatkan persetujuan suami-istri Ki dan Nyi Hajar Dewantoro, Dr Soekiman, serta Nyonya Soekonto dari kelompok Wanito Tomo.

Semangat penyatuan organisasi pemuda serta gagasan politik satu Indonesia begitu memikat hati Sujatin. Meski tak hadir dalam Kongres Pemuda II yang digelar di Jakarta dua tahun kemudian—pada 1928—ia bagai tersihir butir-butir sumpah para pemuda, yang ia ketahui lewat surat-menyurat. Sujatin pun menggagas pertemuan perempuan dengan agenda menyatukan seluruh gerakan perempuan dan menyulutkan nasionalisme.

Untuk mengakali polisi yang gemar mengendus-endus pertemuan politik, Kongres Perempuan Indonesia mengedepankan isu nonpolitis, yaitu posisi perempuan dalam perkawinan, dan pendidikan. Sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, kongres itu menggunakan bahasa Indonesia. Setelah pembacaan keputusan, kongres ditutup dengan ”agenda utama” pengibaran Merah-Putih diiringi lagu Indonesia Raya.

Setahun berselang, Kongres Perempuan kembali berlangsung di Gedung Thamrin, Jakarta. Masih mengutamakan isu perempuan, tak bisa tidak—itu masa berkabung akibat penangkapan Soekarno—semangat merdeka membakar emosi sebagian besar peserta. Setiap sambutan dibalas dengan teriakan ”merdeka sekarang!” Hampir saja polisi membubarkan acara, tapi Sujatin buru-buru mengambil alih pimpinan dan menutup sidang.

Sujatin memang memilih berada di lini depan perjuangan hak-hak perempuan. Dalam bukunya, Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia (Yayasan Idayu, 1977), Sujatin menyatakan, sejak Kongres Perempuan Indonesia, organisasi-organisasi wanita banyak mencurahkan perhatian pada masalah perkawinan. Dia berperan dalam pembentukan P Vier A atau P4A, yaitu Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, pada 1930.

Dalam perjalanannya, Kongres tak bisa selamanya terhindar dari isu politik. Pada perhelatan di Jakarta, 1935, salah satu rekomendasinya sebagai berikut: ”Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan.” Pada 1941, rekomendasi politiknya lebih tegas lagi: menyetujui aksi Gabungan Politik Indonesia yang mengajukan ”Indonesia Berparlemen” demi memperjuangkan Indonesia merdeka.

Ketika Jepang berkuasa, Sujatin mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mengajar, di samping mengurus keluarga. Dari perkawinannya dengan Poediarso Kartowijono pada 1932, ia dianugerahi tiga anak lelaki dan tiga anak perempuan. Sesekali Sujatin—yang sempat belajar bahasa Jepang—diminta pemerintah menjadi penerjemah pejabat Jepang ketika mengunjungi berbagai daerah.

Tentang Poediarso, Sujatin selalu menyebutnya orang yang memiliki pengertian mendalam. Sebelum mereka menikah, Sujatin dua kali gagal melanjutkan pertunangannya. Penyebabnya adalah kesibukan mempersiapkan kongres perempuan. Saat kongres akan digelar, kekasihnya datang dan berusaha mencegah kepergian Sujatin ke kongres itu. ”Aku tak ada pilihan lain, aku tak bisa mengecewakan peserta kongres,” tuturnya dalam biografi yang ditulis Hanna.

Pilihan Sujatin meninggalkan tunangan—masing-masing calon sarjana hukum dari Jakarta dan calon sarjana teknik dari Bandung—membuat dia dijuluki sebagai tukang bikin patah hati lelaki. Lalu datang Poediarso. Ia bukan sarjana, juga tak punya pekerjaan pasti karena tak mau menerima gaji dari Belanda. Dia seorang murid kursus politik Soekarno di Bandung.

Hingga akhir hayatnya, pasangan ini dikenal hidup rukun. ”Saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah kesibukan organisasi, maka rumah tangga saya kekal,” ujar Sujatin kepada Farida Sendjaja dari Tempo, yang mewawancarainya pada Desember 1982. Dalam perbincangan tersebut, dia juga menuturkan soal pesta kawin emasnya pada September tahun itu. Sang suami, yang sejak muda bergerak di bidang perdagangan, adalah penyokongnya yang setia.

Setelah Indonesia merdeka, Sujatin terus aktif berorganisasi. Ia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan ditunjuk sebagai Ketua Badan Federasi Kongres Wanita Indonesia. Selain itu, ia menjabat Kepala Urusan Wanita pada Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ketika menjabat, ia dikenal sebagai ”orang pusat” yang paling rajin berkunjung ke daerah, bahkan jauh hingga ke hulu Barito di Kalimantan Selatan. Ia juga kerap melakukan perjalanan ke luar negeri.

Pada 1960, Sujatin melepaskan semua jabatannya. Tapi ia tetap menjadi penasihat Perwari dan tetap kritis. Ia pernah mengkritik Soekarno—yang pernah ia kagumi di masa muda karena pidatonya tentang persatuan—lantaran berpoligami. Ada desas-desus ia mundur dari jabatan di kementerian karena kritik-kritiknya. Tapi Sujatin membantah. Ia beralasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama suaminya.

Ibu enam anak ini wafat pada 1 Desember 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah 41 tahun lebih menderita diabetes. Biografinya terbit beberapa bulan sebelum dia berpulang. Pembelaannya kepada hak-hak kaum wanita membuat dia banyak dikenang. Juga penampilannya yang ”amat perempuan”: hingga akhir hidupnya, dia selalu mengenakan kain dan kebaya.

Tidak ada komentar: