Rabu, 15 Oktober 2008

Legitimasi Wakil Rakyat

Publik mendukung judicial review yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar orang partai tidak boleh menjadi anggota DPD. Ini merupakan satu bentuk penolakan publik atas perluasan monopoli sumber rekrutmen politik oleh partai politik seperti dalam pencalonan DPR dan Presiden.

Sumber penolakan ini terutama karena rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai akibat dari kinerjanya selama ini yang dianggap buruk.

Publik umumnya tidak percaya bahwa partai politik mampu merepresntasikan, mengintermediasi, dan mengartikulasikan kepentingan pemilih mereka.

Rendahnya tingkat kepercayaan pada partai ini harus menjadi dasar untuk menolak inklusivitas anggota DPD terhadap partai politik agar ketidakpercayaan publik pada partai tersebut tidak meluas ke lembaga demokrasi lainnya, yang kemudian dapat menimbulkan krisis demokrasi kita secara lebih luas

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara konstitusional punya wewenang sangat kuat, yakni sebagai pembuat undang-undang, pengesahan anggaran, dan pengawasan.

Sebagai komponen utama di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR bahkan de facto dapat merubah UUD dan dapat mengusulkan bagi pemberhentian presiden bila dinilai memenuhi syarat-syaratnya walapun presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR atau MPR.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun sama-sama mendapat mandat dari rakyat lewat pemilihan umum demokratis, hampir dapat dikatakan tidak punya wewenang legislasi, budgeting, dan pengawasan tersebut untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah di pemerintahan pusat. Peran DPD secara konstitusional hampir tidak ada karena tidak bisa ikut memutuskan sebuah undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Perannya terbatas hanya untuk memberikan masukan kepada, bukan ikut memutuskan bersama, DPR.

Dalam demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang kita anut sekarang, sumber kekuasaan atau sumber mandat untuk berkuasa adalah rakyat lewat pemilihan umum atau referendum. Mandat DPR dan DPD sama-sama berasal dari rakyat. Tapi keduanya punya perbedaan yang sangat fundamental secara konstitusional: DPR berkuasa, DPD tidak berkuasa.
Ketimpangan itu sah secara konstitusional, tapi belum tentu sah secara demokratik atau menurut keinginan rakyat. Apakah betul rakyat mendukung ketentuan bahwa DPD tidak perlu punya wewenang untuk membuat keputusan tentang undang-undang yang berkaitan dengan daerah?
Ketimpangan kekuasaan yang begitu besar antara DPD dan DPR juga perlu dikritisi dari sisi demokrasi prosedural: Apakah cara memilih DPD atau memilih DPR yang lebih memenuhi keinginan rakyat? Bila terbukti cara memilih DPD yang lebih dibenarkan oleh rakyat, maka dasar demokrasi prosedural eksistensi DPR lemah dibanding DPD, tapi ia berkusa dan DPD tidak.

Di samping itu, dalam UU pemilihan umum yang baru, sumber rekrutmen DPD dikaburkan sedemikian sehingga semakin dekat dengan sumber rekrutmen bagi anggota DPR. Dalam UU yang baru calon anggota DPD dibolehkan berasal dari partai politik, dan dibolehkan dari warga yang tidak berdomisili di provinsi yang akan diwakilinya di DPD. Apakah perubahan ini mendapat legitimasi demokratik?
Dalam demokrasi, pertanyaan-pertanyaan di atas pada dasarnya harus dijawab oleh rakyat sendiri, lewat referendum.
Kalau bukan lewat referendum seperti pemilihan umum, survei opini publik nasional yang dilakukan secara ilmiah juga dapat menampilkan jawaban rakyat terhadap masalah-masalah tersebut.

Tidak ada komentar: