Senin, 06 Oktober 2008

Demokrater Model China

A. Dahana

PERTANYAAN seperti kalimat judul tulisan inilah yang sering dilontarkan dan sekaligus menjadi teka-teki kalau kita bicara tentang Cina pascareformasi Deng Xiaoping.

Bagi para pengamat Cina, dengan menonjolnya faktor ekonomi, ideologi telah tersingkir jauh ke belakang. Malahan, David M Lampton, ahli Cina dari University of California di Berkeley menyebut Cina sekarang sebagai 'Cina pasca-Komunisme.'

Kalau kita lontarkan pertanyaan itu kepada para pemimpin Cina, jawabannya tentulah gelengan kepala. Sebab, seperti yang dikatakan oleh mendiang Deng, reformasi justru untuk memperkuat posisi Partai Komunis Cina (PKC) sebagai pemegang kekuasaan tunggal di negeri itu. Tak sedikitpun terbersit di kepala mereka untuk mempraktekkan demokrasi a la Barat.

Para pemimpin Cina mungkin belajar dari pengalaman Rusia pasca-Gorbachev, negara-negara Eropa Timur lainnya, dan mungkin Indonesia, mengenai betapa kacau dan hiruk pikuknya transisi ke demokrasi. Buat Cina yang ada tak lain dari demokrasi ekonomi, bukan demokrasi politik.

Karena itulah dewasa ini semua warga Cina boleh berbuat apapun, asalkan tidak mengganggu ketertiban dan tidak mempertanyakan kesahihan kekuasaan PKC.

Gordon C Chang, penulis buku The Coming Collapse of China (2002), mengatakan agar rakyat sibuk dengan pengejaran materi, partai 'menyuap' warga negara dengan insentif ekonomi sebesar-besarnya. Oleh karena itu pulalah, kata penulis itu lagi, pada suatu saat Cina akan kolaps lantaran sistem politiknya yang tak demokratis, ditambah dengan berbagai kelemahan lain.

Ramalan itu ternyata meleset.

Namun, karena katanya pada suatu titik tertentu demokrasi ekonomi pasti akan berdampingan dengan demokrasi politik, ramalan tentang akan adanya demokrasi politik di Cina banyak bermunculan.

Henry Rowen mengatakan, ada korelasi yang sangat tinggi antara GDP perkapita dan lieralisasi politik. Karena itu ia memperkirakan Cina akan mempraktekkan demokrasi secara penuh pada 2015 pada saat GDP perkapita mencapai US$7 ribu-US$8 ribu. Pendapatnya, didasarkan pada pengalaman di negara lain termasuk Amerika.

Namun, ada yang sedikit ragu dengan pendapat Rowen itu. Yang menganut pendapat ini tidak berpegang pada angka. Mereka hanya melihat bahwa perkembangan ekonomi yang tinggi akan menciptakan kelompok yang populer dalam ilmu sosial sebagai 'kelas menengah'.

Mereka itulah, sebagai kelompok masyarakat baru yang memetik keuntungan dari pembangunan ekonomi, khususnya dengan memperoleh pendidikan yang baik. Itu ditambah dengan adaya arus baru kesadaran sosial, serta munculnya masyarakat yang lebih plural dan lebih kompleks.

Semuanya itu membuat pemerintah mendapat kesukaran mengatur sesuai dengan kehendaknya. Dan pada gilirannya akan membuat fondasi pemerintah otoriter goyah. Di situlah sistem demokrasi akan muncul.

Atas pertimbangan itu banyak ahli yang mengatakan - bahkan secara diam-diam juga di kalangan para ahli ilmu sosial dan politik di Cina - demokrasi akan berjaya di Cina lebih awal dari yang diperkirakan Rowan, yaitu kalau GDP perkapita mencapai US$7 ribu-US$8 ribu.

Kalau kita melihat sejarah masa kini, jalan yang ditempuh Cina itu pada dasarnya sama dengan yang ditempuh Korea Selatan dan Taiwan - dua dari negara-negara yang disebut Chalmers Johnson sebagai democratizing dragons.

Pada mulanya ada penguasa otoriter seperti Park Chung-Hee di Korea dan Chiang Kai-shek dan puteranya Chiang Ching-kuo yang sama sekali tak memberikan kebebasan politik, tapi fokus pada pembangunan ekonomi.

Ketika kemakmuran telah tercapai, kelas menengah muncul dan masyarakat semakin kompleks, maka demokrasi pun muncul — tentunya dengan perjuangan dan pertentangan cukup liat.

Untuk kasus Cina, pertanyaannya apakah proses pembangunan ekonomi yang begitu mencengangkan itu hanya akan sampai titik itu saja atau berlanjut ke demokratisasi?

Sejarah akan menjadi saksi.

Penulis adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia [L1]

Tidak ada komentar: