Rabu, 29 Oktober 2008

Dilema Pisowanan Ageng

Rabu, 29 Oktober 2008 | 00:30 WIB

Oleh B Hestu Cipto Handoyo

Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2008, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar perhelatan akbar, Pisowanan Ageng.

Peristiwa ini bisa dikatakan sebuah perhelatan demokrasi karena secara serempak masyarakat DIY bersama-sama sowan Sang Raja untuk mengutarakan keinginan dan aspirasinya, yakni meminta kesediaan Sang Raja untuk dicalonkan menjadi presiden RI tahun 2009.

Manifestasi demokrasi

Dalam sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat, Pisowanan Ageng merupakan sarana bagi rakyat Yogyakarta untuk menyampaikan keluh kesahnya. Dahulu Pisowanan Ageng merupakan wujud ”hak” pepe, di mana masyarakat berbondong-bondong datang ke Alun-alun Utara Yogyakarta dan berjemur diri di panas terik matahari. Tindakan pepe dilakukan hingga Sultan datang menemui mereka dan menanyakan apa dan mengapa mereka melakukan laku pepe.

Cara santun masyarakat Yogyakarta dalam menyampaikan keluh kesahnya ini menjadi ajang pertemuan dialogis antara Sang Raja dan rakyatnya. Hal ini menunjukkan, sejak lama konsep demokrasi sudah ditradisikan dalam kehidupan komunal masyarakat Yogyakarta di bawah kekuasaan rajanya meski corak pemerintahan bersifat feodalistik.

Pisowanan Ageng pada 28 Oktober 2008 dan melibatkan berbagai komponen masyarakat di DIY jelas merupakan manifestasi kehidupan demokrasi di lingkungan masyarakat. Manifestasi ini tidak lagi mengindahkan prosedur yang dikenal selama ini. Masyarakat tanpa dibatasi sekat- sekat aturan menyampaikan aspirasi kepada Sultan Hamengku Buwono X. Tanpa harus diwakili berbagai kekuatan sosial politik atau aliran dan golongan, masyarakat serantak menyampaikan aspirasi kepada Ngarsa Dalem HB X.

Melalui Pisowanan Ageng, demokrasi yang secara prosedural selalu dimanifestasikan dalam bentuk representative democracy (demokrasi perwakilan) oleh masyarakat Yogyakarta telah dinafikan. Dengan cara seperti ini, masyarakat Yogyakarta telah memberi pelajaran amat berharga tentang demokrasi yang berbasis kultural. Selain itu, Pisowanan Ageng juga menunjukkan, keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi prosedural secara tidak langsung menjadi tak berdaya dalam mencalonkan seseorang menjadi pemimpin republik ini.

Masyarakat Yogyakarta seolah tak peduli hiruk-pikuk pembahasan RUU Pemilihan Presiden yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan di antara fraksi (wakil parpol di DPR) tentang syarat pencalonan presiden yang berkisar antara 15 persen hingga 20 persen perolehan suara parpol di parlemen.

Dilema

Meski demikian, jika Pisowanan Ageng yang intinya menghendaki Ngarsa Dalem HB X bersedia dicalonkan menjadi presiden RI dikaitkan RUU Keistimewaan DIY, maka ini menimbulkan dilema tersendiri.

Pertama, menyangkut aspirasi masyarakat Yogyakarta tentang RUU Keistimewaan DIY menghendaki Kepala Daerah DIY melekat dalam diri Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Jika aspirasi masyarakat Yogyakarta ini disetujui DPR, Ngarsa Dalem HB X harus memilih, apakah tetap menjadi Gubernur Kepala DIY atau mengikuti kehendak masyarakat Yogyakarta dalam Pisowanan Ageng itu. Pilihan ini harus dilakukan Ngarsa Dalem karena secara normatif sistem pemerintahan yang demokratis tidak dikenal rangkap jabatan dalam diri seseorang dalam tampuk kepemimpinan negara. Tidaklah lazim jika seorang gubernur merangkap presiden.

Kedua, jika ternyata Ngarsa Dalem HB X memilih bersedia dicalonkan menjadi presiden RI dan dalam pemilihan ternyata beliau menang, konsep yang menghendaki kepala daerah Istimewa Yogyakarta melekat dalam diri Sultan menimbulkan konsekuensi yuridis di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus ada suksesi kepemimpinan. Dengan demikian, tradisi suksesi kepemimpinan di Kesultanan meninggalkan pakem tradisional yang telah ”membeku”. Pergantian Sultan terjadi jika Sultan tidak mampu melaksanakan tugasnya atau mangkat dan digantikan keturunannya.

Berdasar dilema yang melingkupi aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam Pisowanan Ageng itu, maka masyarakat Yogyakarta harus mengambil sikap tegas, khususnya terkait posisi Ngarsa Dalem HB X, apakah tetap dipertahankan sebagai Kepala Daerah di Yogyakarta atau ”diikutkan” percaturan Pemilihan Presiden 2009, dengan bermacam konsekuensinya.

Hal ini menunjukkan, dengan Pisowanan Ageng 28 Oktober 2008 sebenarnya masyarakat Yogyakarta dihadapkan ujian tentang ketegasan komitmennya yang selama ini terus dikumandangkan untuk berjuang mempertahankan Keistimewaan Yogyakarta dengan menitikberatkan pada kepemimpinan di DIY.

Pendek kata, dengan Pisowanan Ageng itu, diakui atau tidak, aspirasi masyarakat Yogyakarta terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta terasa ambigu. Di satu sisi menghendaki Ngarsa Dalem HB X ditetapkan sebagai Kepala Daerah, di sisi lain dicalonkan menjadi presiden RI. Jika terpilih, harus menentukan salah satu dari dua jabatan politik itu. Pilihan berat harus diambil Ngarsa Dalem HB X.

B Hestu Cipto Handoyo Dekan Fakultas Hukum UAJY; Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta

Tidak ada komentar: