tag:blogger.com,1999:blog-25564851029876240262024-02-08T22:07:31.706+07:00Politik 2Unknownnoreply@blogger.comBlogger221125tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-67332877301648324222009-08-14T20:13:00.000+07:002009-08-14T20:14:25.586+07:00Delapan Windu Merdeka<div class="font36 c_black"><br /></div> <!-- end judul + lead --> <!-- end headline --> <!-- isi berita --> <p>Rabu, 12 Agustus 2009 | 05:05 WIB</p> <span id="article_body"> <p><strong>Sjamsoe’oed Sadjad</strong></p><p>Delapan windu artinya delapan kali delapan tahun atau enam puluh empat tahun. Jika seorang pejabat PNS golongan empat berusia sebanyak itu, memang sudah masuk lanjut usia, saatnya menyiapkan pensiun.</p><p>Namun, bagi umur suatu bangsa merdeka, bermartabat, delapan windu mungkin ibarat orang yang baru seumur anak SMP akan masuk SMA. Bagi kehidupan pribadi seseorang, delapan windu merdeka sejak tahun 1945 rasanya sudah cukup lama. Katakan dari umur-umur siswa SMP sampai cucunya sudah sarjana.</p><p>Dari hidup menyanyikan ”Wilhelmus”, kemudian sebentar ”Kimigayo”, lalu ”Indonesia Raya” selama delapan windu, rasanya hidup selamat seseorang sebagai anak suatu bangsa merdeka memang patut harus disyukuri. Demikian kalau kehidupannya bisa diisi dengan amal perbuatan dan perilaku yang baik dan benar.</p><p>Pertanyaannya kini, puaskah hidup dalam kemerdekaan selama delapan windu itu?</p><p><crosshead></crosshead><strong>Kacamata desa</strong></p><p>Andaikan kita bisa memilih berbagai kacamata untuk melihat beragam keadaan, mungkin kesan dan jawabnya pun bisa beragam. Kita pilih saja kacamata yang bisa memperlihatkan pedesaan bagi mata pemakainya.</p><p>Merdeka delapan windu ternyata belum apa-apa. Kerja keras petani dan seluruh keluarganya bermusim-musim, stigmanya masih tetap sebagai gurem, miskin, atau buruh tani yang tidak memiliki lahan dan melarat.</p><p>Pertanian pun hanya sebatas kerja fisik di lahan, atau di tengah laut, yang menghasilkan produk mentahan gabah, sayuran, atau ikan yang dijual ke pasar. Lebih jelek lagi jika hasilnya sudah menjadi milik orang kaya karena harus membayar utangnya.</p><p>Dalam delapan windu merdeka, masih belum bisa leluasa menyekolahkan anaknya berkelanjutan, belum bisa terpuaskan mendapatkan pelayanan pengobatan, dan sandang serta papan pun hanya sekadar mencukupi kebutuhan dasar hidup.</p><p>Kondisi fisik desa juga tidak memadai, entah itu berupa infrastruktur maupun bangunan fasilitas publik. Katakanlah ini gambaran desa dan pertaniannya delapan windu pertama. Bagaimana keadaan delapan windu kedua kelak? Kita coba melihat dengan kacamata baru yang melegakan.</p><p><crosshead></crosshead><strong>Industri unit desa</strong></p><p>Tidak dijumpai lagi keadaan yang berbeda antara desa dan kota. Artinya, kebutuhan kehidupan dasar manusia desa dan kota terpenuhi sama-sama memuaskan. Pendidikan kepada masyarakat desa telah membawakan perubahan mental dan pandangan yang berbeda sama sekali dari delapan windu sebelumnya.</p><p>Mental industrial mereka bisa mewujudkan usaha taninya menjadi bermartabat yang tidak lagi diukur dari berapa lahan pertanian yang dimiliki. Usaha tani industrial menjadikan seluruh warga bisa bekerja maksimal dan menghasilkan nilai tambah yang mumpuni dalam kehidupannya.</p><p>Daya beli mereka menjadi sangat tinggi dan mereka bisa menabung serta memiliki saham dalam usaha tani industrial atau dalam industri unit desanya. Pendek kata mereka menjadi makmur, sejahtera, adil dan merata. Jika mereka menengok sejarah delapan windu ke belakang, bagaimana mereka mulai dengan berbagai perubahan.</p><p>Pertama, menyadari pertanian adalah berproses industrial. Hasil mereka baru dihubungkan dengan pasar sesudah menjadi produk industrial sehingga bisa meraih nilai tambah. Mereka bekerja di industri unit desa dalam desa industri yang merupakan satu sistem sebagai pelaksana operasional dalam masing-masing subsistem dari yang primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Semua bergerak maksimal pada tiap subsistem dan meraih nilai tambah dari seluruh sistem secara proporsional dan adil.</p><p>Kedua, mereka dididik bagaimana membangun modal untuk usaha taninya yang membesar dan bermartabat. Mereka bisa menjadi besar karena modal usahanya juga bisa bertambah besar. Semua itu terjadi karena memiliki Bank Pertanian yang mendorong mereka bisa menabung dan menjadi nasabah serta bisa mendapat pinjaman modal sesuai rencana usahanya. Mereka mempunyai saham dalam bank itu sehingga bisa dikatakan mereka memiliki banknya sendiri.</p><p>Ketiga, mereka memang dididik oleh ahli-ahli pendamping yang bisa menjadikan warga desa mampu berkreasi dalam bentuk-bentuk industri kreatif. Bahkan, akhirnya mereka bisa mengekspor produk kulinernya, produk kerajinan tangannya, produk bahan baku pangan dengan gizi seimbang, serta produk ternak dan ikannya. Semua dari usaha tani berupa industri unit desa. Tenaga ahli pendamping itu bukan seorang PNS, tetapi yang dipersiapkan oleh perguruan tinggi menjadi wirausaha di desa, berintegrasi dengan warga desa dan kelompok tani menjadi businessman di industri unit desa.</p><p>Begitu indahnya kondisi delapan windu mendatang kita merdeka. Mari kita bangun dengan etos kerja luar biasa agar modal kita delapan windu merdeka bisa membawa kemajuan dan benar-benar terwujud agropolitan yang ideal.</p><p><byline></byline><em>Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus IPB</em></p></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-30245666030944814972008-12-01T05:21:00.001+07:002008-12-01T05:21:58.246+07:00Pemimpin Muda'<div style="text-align: justify;"> <br /> </div><p style="text-align: justify;">Resonansi<br /><strong>Oleh</strong> Zaim Uchrowi<br /><br />Pekan silam nama saya disebut sebagai salah satu dari '100 Pemimpin Muda' Indonesia menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama Aa Gym, Arifin Ilham, dan Erick Thohir juga masuk dalam daftar pemimpin muda lintas partai dan golongan itu. Tentu saya bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan itu. Tapi, pada saat yang sama, saya juga bertanya-tanya pada diri sendiri: Apa makna penghargaan ini?<br /><br />Dengan usia 48 tahun, saya bukan lagi muda walaupun sering ingin tetap dianggap muda. Suasana gedung Sabuga-Bandung malam itu membantu menjawab pertanyaan tersebut. Suasana itu sangat khas Bandung. Satu-satunya kota di muka bumi ini yang mampu menyatukan aroma agamis dengan budaya pop. Konser band dan syahdu ayat Alquran rapi berjalinan. Gelora dakwah dengan entakan irama <em>rap-reggae-rock</em> berpilin-pilin satu sama lain. Sebuah keadaan yang meyakinkan saya bahwa sebenarnya tidaklah penting siapa yang masuk dalam daftar '100 Pemimpin Muda' itu. Tidaklah penting nama saya atau nama siapa pun ada dalam daftar itu. Apalagi banyak nama lain yang layak untuk dipilih sebagai 'pemimpin muda' yang tersebar di seluruh negeri ini.<br /><br />Yang terpenting dari acara itu tampaknya justru spirit yang melatarinya. Yakni, spirit untuk tidak begitu saja puas pada hal yang sudah ada. Spirit untuk memandang segala hal dengan cara pandang yang baru. Kemenangan Obama mungkin ikut menginspirasi penguatan spirit itu. Kemenangan Obama bukan sekadar kemenangan kubu Partai Demokrat di Amerika Serikat. Kemenangan itu, kata seorang kawan, merupakan kemenangan harapan universal masyarakat global yang memandang bahwa sistem yang tengah berlaku saat ini tidak lagi memadai buat mengatur dunia.<br /><br />Gegap gempita acara yang menghangatkan udara dingin Parahyangan itu mungkin akan membuat bingung banyak pihak. Membuat bingung para puritanis Islam. Membuat bingung pengamat Barat yang ingin melihat Islam dari sudut pandangnya sendiri. Di tengah pekik 'Allahu Akbar' serta 'Merdeka', di antara antusiasme para santri mengikuti 'Panggung Pemuda' itu, saya justru larut dalam perbincangan dengan diri sendiri. Bangsa ini, kata hati saya, memang tak lagi dapat dikelola dengan cara pandang lama. Bangsa ini memerlukan cara pandang yang sama sekali baru di semua aspek kehidupan. <br /><br />Carut-marut ekonomi saat ini menegaskan bahwa Indonesia memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru. Seperti di awal 1990-an, langkah perekonomian kita yang dipuji masyarakat Internasional terbukti rapuh dan rentan terhadap guncangan ekonomi dunia. Kita bahkan lebih rentan dibanding banyak negara lain yang kebijakan ekonominya 'kalah canggih' dibanding kita. Tanpa cara pandang baru mengelola ekonomi ke depan, Indonesia menjadi seperti keledai: akan selalu terantuk batu yang sama di dalam perekonomian.<br /><br />Di kancah politik demikian pula. Politik kita telah mampu memenuhi harapan asasi manusia untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat. Namun, politik yang ada masih jauh untuk dapat efektif memakmurkan masyarakat seperti yang dicita-citakan melalui kemerdekaan. Tanpa cara pandang baru, politik akan terus berputar-putar sekadar sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi para pelakunya, namun tak akan banyak memberi manfaat bagi masyarakat luas.<br /><br />Masalah kependudukan dan lingkungan juga memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru, jumlah penduduk berkualitas rendah akan semakin meledak. Air bersih, udara segar, dan kehijauan alam akan rusak. Bencana juga akan semakin bertubi-tubi. Pemahaman keagamaan pun memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru pemahaman keagamaan hanya akan menjadi beban, bukan berkah, bagi terbangunnya peradaban.<br /><br />Acara peneguhan 'Pemimpin Muda' di Bandung itu memperkuat keyakinan saya. Bangsa ini memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru dalam setiap hal. Keyakinan itu yang perlu kita tumbuhkan di setiap tarikan napas, di setiap detak denyut nadi, agar bangsa dan negara ini benar-benar menjadi bangsa dan negara bermartabat serta berjaya.</p><div style="text-align: justify;"> (-) </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-69498368927201946802008-12-01T04:57:00.000+07:002008-12-01T04:58:24.025+07:00Fasisme dan Kebencian kepada Demokrasi<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>ROBERTUS ROBET</strong></p><p>Pada tanggal 30 Januari 1933, melalui sebuah artikel di Daulat Ra’jat, Hatta dengan gemilang menjelaskan latar belakang fasisme. Menurut dia, fasisme muncul terutama di negeri yang kacau dan hebat persaingan politik serta di negeri yang kaum borjuisnya memandang beban demokrasi terlalu berat. Dengan itu, Hatta mau menegaskan bahwa fasisme dimulai dengan kebencian; kebencian terhadap demokrasi!</p><p>Pandangan Hatta ini diperkuat oleh Robert Paxton pada tahun 2004. Ketika itu Paxton mengatakan bahwa berbeda dengan berbagai isme-isme lainnya, seperti sosialisme, liberalisme, dan konservativisme, yang memiliki pendasaran filosofis yang sistemik dan koheren, fasisme muncul pertama-tama sebagai respons terhadap demokrasi, individualisme liberal, gerakan kiri, dan konstitusionalisme sekaligus (Paxton, The Anatomy of Fascism, 2004, hal 19).</p><p>Argumen fasis ini, menurut Michael Mann, didasarkan pada klaim transendensi yakni klaim bahwa negara statis fasis adalah satu-satunya entitas yang berkemampuan melampaui konflik- konflik dalam masyarakat (Mann, Fascist, 2004, hal 14). Dari sini daya tarik fasisme dipusatkan pada kekaguman terhadap identitas negara dan sang pemimpin yang dianggap berdiri mengatasi kelas.</p><p>Dalam konteks gerakan demokrasi di Indonesia, fasisme memiliki dua makna: eksplisit dan implisit. Makna eksplisit fasisme persis sebagaimana yang digunakan Hatta, Mann, dan Paxton, ia merujuk pada pengertian fasisme sebagai pengalaman dan gejala historis yang secara spesifik mengacu pada kemunculan rezim-rezim fasis terutama di Jerman, Italia, dan Jepang di era krisis besar tahun 1930-an. Sementara makna implisit fasisme merujuk pada segala bentuk modus penyelenggaraan kekuasaan yang dibasiskan pada militerisme dalam artian yang luas dan transhistoris.</p><p>Di dalam buku yang sedang kita bahas ini, Wilson, si penulis, tampaknya hendak menggunakan makna eksplisit dari fasisme (yang historis dan lampau) untuk menggagalkan fasisme dalam artian implisitnya. Bagaimana itu dimulai?</p><p>Untuk itu, buku ini disusun dalam enam bab. Bab pendahuluan yang ringkas menjelaskan setting awal kemenangan Nazi di Jerman tahun 1933 bersamaan dengan era depresi besar yang melanda dunia. Dengan ini, sebagaimana Mann, ia menerima suatu tesis umum bahwa munculnya fasisme dipicu oleh krisis sosial, ekonomi, dan politik serta perang antarnegara-negara kapitalis. Bab kedua menjelaskan latar belakang ekonomi politik Hindia Belanda, terutama pertumbuhan kapitalisme di Hindia Belanda dan benih-benih nasionalisme di era pergerakan.</p><p>Ulasan mengenai dialektika fasisme dengan pergerakan nasional dimulai pada bab ketiga. Di bab ini, ia menjelaskan bagaimana pergerakan kemerdekaan Indonesia mulai berelasi dengan ideologi-ideologi besar dunia. Di sini para pejuang dan intelektual didikan Eropa, terutama Hatta-Syahrir, memainkan peran penting dalam memberikan pandangan-pandangan awal mengenai peta ideologi dan dalam mentransfer kritik ideologis terhadap fasisme.</p><p>Dari sini, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai respons politis dari kalangan Hindia Belanda yang terbelah antara yang menerima fasisme dan menolak fasisme. Ulasan menjadi sangat menarik karena mengungkap fakta-fakta otentik mengenai watak politik sejumlah elemen pergerakan Indonesia.</p><p>Pada mulanya, mereka yang menerima fasisme terutama berasal dari kalangan Indo-Belanda. Dilihat dari watak politiknya, di Hindia Belanda sendiri terdapat dua jenis organisasi Indo-Belanda, yakni yang propergerakan nasional Indonesia, seperti Indische Partij (IP), Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV); dan yang kedua adalah yang mendukung pemerintah kolonial, seperti Vederlandsche Club VC dan Indo- Europeesch Verbond (IEV).</p><p>Kedua organisasi yang terakhir, VC dan IEV, terjerumus ke dalam ide fasisme sebagai akibat dorongan untuk cepat-cepat ke luar dari krisis yang menggerus privilege dan kenyamanan mereka selama ini. Bentuk paling ekstrem dari organ Indo-Belanda pro-fasis muncul di Solo pada Juni 1933, yakni dengan terbentuknya Anti-Inlander Club yang beranggotakan beberapa keluarga Indo.</p><p>Di pihak lain, warga Jerman di Hindia Belanda pada November 1933 mengumpulkan sekitar seribu tanda tangan ”menjatakan setianja pada Rijkanselir Adolf Hitler”. Seluruh dinamik dan semarak menyambut fasisme ini kemudian juga melebar ke kehidupan sehari-hari, pemuda-pemuda Indo-Belanda membentuk barisan-barisan dengan arak-arakan sambil keranjingan meneriakkan slogan heil Hitler.</p><p>Akhirnya dari aspirasi sebagian kaum Indo ini, pada tahun 1933 terbentuk tiga partai fasis di Hindia Belanda, yakni Nederlandsch Indische Fascisten Organisatie (NIFO), Fascisten Unie (FU), dan yang terakhir adalah pendirian cabang dari Nationaal Socialistische Beweging pada tahun 1934.</p><p>Yang lebih menarik kemudian, buku ini mengungkap, di lingkungan bumiputra juga muncul aspirasi fasis yang secara resmi muncul melalui pendirian Partai Fascist Indonesia pada tahun 1933. Apabila organisasi-organisasi fasis Indo didirikan sebagai bentuk aspirasi terhadap kemunculan Hitler dan harapan mengatasi kebangkrutan ekonomi, Partai Fascist Indonesia (PFI) didirikan oleh Dr Notonindito dengan cita-cita yang aneh, yakni malah hendak kembali arah feodalisme dengan mengusung mimpi-nostalgis kebesaran kerajaan-kerajaan nusantara di masa lampau atau romantisisme-reaksioner.</p><p>Akibatnya muncul reaksi keras dari kalangan pergerakan terhadap PFI. Surat kabar Manjala, organ PNI, misalnya, menegaskan bahwa perjuangan rakyat adalah untuk mengubah masa kini, bukannya malah muncur ke belakang (hal 126).</p><p>Pada akhirnya, ulasan mengenai pertumbuhan fasisme di Hindia Belanda ditutup dengan penelusuran sikap kaum pergerakan ketika Jepang masuk. Posisi kaum pergerakan mengenai fasisme juga terbelah; Pendidikan Nasional Indonesia di bawah Hatta-Syahrir, Partindo, dan Gerindo melihat fasisme sebagai bahaya bagi gerakan demokrasi di Hindia Belanda, sedangkan Parindra (Partai Indonesia Raya) melihat fasisme Jepang sebagai pembebas bagi Hindia Belanda (hal 2).</p><p>Dari modus penyajiannya yang deskriptif, sedari awal sudah terasa bahwa buku ini tidak bermaksud menyediakan deskripsi teoretis yang panjang lebar mengenai apa itu fasisme karena tampaknya ia mengandaikan suatu penerimaan yang terberi (given) dari pembaca mengenai aura ”durjana” yang otomatis tebersit begitu kata fasis disebutkan. Yang menjadi misi utamanya, tampaknya adalah memberikan deskripsi kritis bagaimana fasisme direspons oleh kalangan pergerakan nasional dan betapa kesadaran demokratis zaman itu—sebagai lawan fasisme—dipertahankan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan kegigihan.</p><p>Dengan itu, sangat terasa bahwa kaum pergerakan rupanya tidak hanya sekadar mengejar cita-cita kemerdekaan, lebih jauh dari itu mereka juga hendak sekaligus menjaga cita-cita tersebut hingga selamat dari ujian ideologisnya sehingga kebangsaan Indonesia tidak terjerumus ke dalam malapetaka kemanusiaan karena tergelincir menerima fasisme.</p><p>Dengan motif itu, buku Wilson ini menemukan relevansinya dengan keadaan Indonesia kontemporer. Dalam konteks Indonesia masa kini, buah sejarah dari kegigihan kaum pergerakan itu boleh dikata sedang mendapatkan tantangan terberatnya. Indonesia baru saja mengalami demokrasi, tetapi kebencian terhadap demokrasi kini tak kurang maraknya dengan situasi yang pernah digambarkan Hatta dulu.</p><p>Sebagaimana klaim fasis, kebencian terhadap demokrasi sekarang juga disertai dengan klaim transenden mengenai masyarakat final, murni dan utuh yang dipimpin oleh suatu doktrin agama. Klaim semacam ini bukan hanya bisa berpotensi menghancurkan demokrasi dan negara bangsa, lebih jauh lagi ia juga bisa mendatangkan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.</p><p>Hatta pernah mengatakan bahwa fasisme adalah obat yang lebih berbahaya dari penyakit yang hendak disembuhkannya. Bagi kita perumpaan Hatta ini masih bisa berguna hingga sekarang; kita mesti mewaspadai kritik-kritik terhadap demokrasi dan klaim yang menyimpan kebencian terhadap demokrasi. Demokrasi memang sistem penuh borok, tetapi setiap sistem yang dibangun dengan kehendak mematikan demokrasi sudah pasti lebih busuk dari demokrasi yang paling bobrok sekalipun.</p><p><em> (Robertus Robet, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi)</em></p></div></div><div style="text-align: justify;" id="cetakkolomkanan"><div id="ctkltengah03"><br /><!--ttpberitapopuler --> <!--<div style="margin-top:20px"></div> --> </div> </div><div style="text-align: justify;"> <!--bwH--> <!--footer --> <script type="text/javascript" src="http://www.kompas.com/script/jumpfooter.js"></script> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-52981596943491820772008-11-28T17:43:00.001+07:002008-11-28T17:43:54.247+07:00Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009<div style="text-align: justify;"> </div><h5 style="text-align: justify;" class="author">Oleh Burhanuddin Muhtadi</h5><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="article_content"> <div class="summary"><p>Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis. </p></div> <p>Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis. </p> <p> Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri. </p> <p> Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih <i>viable</i> pada tingkat <i>grassroot.</i> Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi. </p> <p> Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit. </p> <p>Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta. </p> <p>Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. </p> <p> Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan <i>exit polls</i> yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat <i>zero-sum game</i>. </p> <p> Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (<i>undecided voters</i>) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%. </p> <p> Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat. </p> <p> Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah. </p> <p> Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti! </p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-86220049965972553692008-11-28T17:39:00.000+07:002008-11-28T17:40:46.567+07:00“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”<h5 style="text-align: justify;" class="author"><br /></h5><h5 style="text-align: justify;" class="author"><br /></h5><h5 style="text-align: justify;" class="author">Oleh Saidiman</h5><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="article_content"> <div class="summary"><p>Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.” </p></div> <p><i>Reportase Diskusi Bulanan JIL<br />“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”<br />Teater Utan Kayu, 30 Oktober 2008</i> </p> <p> Fenomena partai-partai Islam memicu perbincangan menarik belakangan ini menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan dominan pada pemilihan umum 2009. Seiring dengan beberapa kemenangan yang terekspose oleh media itu, beberapa lembaga survei merilis temuan terakhir yang menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terus mengalami peningkatan suara: dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 (masih bernama PK) menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 dan survei-survei itu menunjukkan bahwa PKS saat ini bisa mencapai 9-11 persen suara. DPP PKS bahkan menargetkan 20 persen suara pada Pemilu 2009. </p> <p>Wacana yang berkembang dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), 30 Oktober 2008, tampak mengusung kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kebanyakan media mengenai bangkitnya kekuatan partai politik Islam. Dua narasumber, Dodi Ambardi (Lembaga Survei Indonesia) dan Burhanuddin Muhtadi (Charta Politika), sepakat untuk hati-hati melihat fenomena “kebangkitan” ini. Sementara Zulkiflimansyah (Partai Keadilan Sejahtera) lebih banyak berbicara dari sudut pandang politisi partai islamis. </p> <p>Di pihak yang lain, ada sejumlah kalangan, terutama politisi, yang menilai bahwa dikotomi antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sudah kehilangan relevansi. Ini terkait dengan tidak jelasnya materi kampanye masing-masing partai. Partai yang dikenal nasionalis dengan mudah mengumbar jargon-jargon Islam, sementara partai yang dikenal berideologi islamis malah mengusung semangat nasionalisme. Dalam sebuah talkshow televisi yang diadakan oleh harian Republika, Yusuf Kalla menegaskan “Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis.” Taufik Kiemas, Muhaimin Iskandar, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, dan Republika sendiri mengeluarkan pendapat yang senada dengan Yusuf Kalla. </p> <p> <b>Politik Aliran</b> </p> <p>Kesimpulan para tokoh di atas dibantah oleh Dodi Ambardi dan Burhanuddin. Dodi mengemukakan beberapa fakta. Pada level perdebatan institusional di lembaga legislatif, beberapa kasus yang paling sensitif menunjukkan pembelahan ideologis itu masih relevan. Perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Sisdiknas, Pornografi, dan Piagam Jakarja menunjukkan pembelahan ini berjalan secara konsisten. Agenda-agenda Islam yang termuat dalam sejumlah Rancangan Undang-undang itu ditolak secara konsisten oleh partai-partai nasionalis (PDIP, PDS, Golkar, dan seterusnya). Sementara partai-partai islamis hampir selalu menjadi pendukung terdepan agenda-agenda ideologis tersebut. </p> <p>Pada level pemilih, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa sebetulnya masyarakat bawah mampu membedakan garis batas ideologi dalam partai-partai politik. Survei LSI, 8-20 September 2008, menunjukkan kecenderungan pemilih mengidentifikasi PKS, PKB, PPP, PAN, PNUI dan PBB sebagai partai yang islamis. Sementara Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra adalah partai nasionalis atau pancasilais.<br /> <br />Fenomena ini memperlihatkan bahwa para pemilih sesungguhnya menolak klaim para petinggi partainya sendiri. Ada kesenjangan antara opini publik yang berkembang di kalangan elit partai dan realitas politik yang ada. </p> <p> Burhanuddin memberi data yang lebih spesifik mengenai realitas politik PKS. Belakangan ini PKS begitu sibuk membangun citra nasionalis bagi partainya. Pada sejumlah materi kampanye terlihat bahwa PKS mencoba meraih simpati pemilih nasionalis dengan mengusung ide-ide mengenai toleransi dan nasionalisme. Tokoh-tokoh nasionalis semacam Soekarno bahkan tampil dalam materi-materi kampanye tersebut. Para elit PKS juga sibuk melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah citra PKS yang Islamis menjadi nasionalis. Tetapi menurut data kuantitatif yang dikemukakan oleh Burhanuddin, mayoritas aksi kader-kader PKS dalam bentuk demonstrasi selalu berhubungan dengan agenda-agenda islamis. Pemilih PKS juga adalah pemilih yang paling kuat mendukung agenda-agenda islamis, seperti pemberlakuan hukum potong tangan, menolak presiden perempuan, dan seterusnya. Apa yang dikemukakan oleh para elit PKS ternyata tidak memiliki korelasi dengan aspirasi dasar pemilih PKS itu sendiri. </p> <p>Menanggapi isu ini, Zulkiflimansyah memberi semacam klarifikasi. Dia berpendapat bahwa PKS adalah partai yang terbuka, menerima siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Yang paling penting dari kiprah PKS sekarang ini adalah sebagai wadah bagi ummat Islam untuk melakukan reformasi diri dalam hal penyaluran aspirasi politik. “Berikan waktu kepada ummat Islam untuk melakukan reformasi diri,” ungkap Zulkifli. Bagi dia, apa yang sekarang dijalani oleh PKS adalah semacam upaya untuk menjadikan Islam sebagai instrumen perubahan sosial. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) di Turki. Mereka adalah generasi Islam yang tercerahkan. Mereka akan membuat politik Islam menjadi lebih rasional dan terbuka. </p> <p> <b>Partai Politik Islam</b><br /> <br />Pada level elektabilitas, PKS memang menunjukkan tren menanjak. Tetapi, menurut Dodi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa partai politik Islam secara umum memang sedang mendapat momentum untuk terus menanjak. Realitas politik menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tetap pada pendirian untuk memilih partai-partai nasionalis. Survei nasional LSI, April 2008, menunjukan bahwa 60 persen pemilih tetap memilih partai non-Islam, sementara hanya 16,6 persen yang memilih partai Islam, 24,4 persen sisanya belum menentukan pilihan. Angka ini cukup stabil sejak 2005. </p> <p> Jika kemudian PKS tampak mendulang suara semakin besar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari partai mana suara PKS itu datang. Dalam pelbagai survei ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya suara PKS saat itu pula suara partai-partai seideologi juga mengalami penurunan. Dua partai yang paling menderita atas peningkatan suara PKS ini adalah PAN dan PBB. Itu artinya, PKS telah masuk ke dalam praktik “ta’kula lahma akhihi” (memakan teman sendiri). </p> <p> Pola ini disadari betul oleh para elit PKS. Itulah yang membuat mereka tampak bersiteguh untuk tampil lebih nasionalis. Menurut Dodi, kekuatan PKS yang islamis sesungguhnya tidak sebanyak yang dibayangkan. 7,3 persen pada Pemilu 2004 tidak bisa serta merta berisi pemilih-pemilih Islam. Materi kampanye yang diusung oleh PKS saat itu justru adalah tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sementara pada 1999, di mana PKS hanya memperoleh suara 1,4 persen suara, PK begitu kental dengan agenda-agenda politik Islam. Yang membuat PKS mendulang suara berkali lipat justru adalah kampanye di luar agenda islamis. </p> <p>Tetapi, menurut Burhanuddin, PKS tetap harus berhati-hati mengambil isu-isu nasionalis dalam materi kampanyenya. Realitas pemilih PKS yang sangat kental dengan nuansa islamis akan membatasi ruang gerak PKS itu sendiri. Tantangan utama PKS dalam melebarkan sayap audiens politik kepada pemilih nasionalis akan mendapat tantangan dari kalangan internal sendiri. Sangat mungkin PKS akan ditinggalkan oleh pemilih ideologisnya jika ia terus bermain-main dengan isu-isu nasionalis, sesuatu yang tidak mendapat tempat di hati para pemilih PKS itu sendiri.<br /> <br />Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.” </p> </div><div style="text-align: justify;"> <small> 10/11/2008 | | <a href="http://islamlib.com/id/artikel/partai-politik-islam-memakan-teman-sendiri/" title="">#</a> </small> </div><div style="text-align: justify;" id="comment"> <h2 id="comment_heading"><a href="http://islamlib.com/id/komentar/partai-politik-islam-memakan-teman-sendiri/"><span>Komentar</span></a></h2> <div class="comment-form center"> <h3 class="comment_subheading"><span>Komentar Masuk (16)</span></h3> <p><em>(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)</em></p> </div> <div class="comment"> <p>politik termasuk ibadah karena islam itu kaffah keseluruhan, tapi bukan berarti boleh membawa ‘bendera ke tempat ibadah’, karena yang melakukan ibadah di tempat tersebut menganut macem-macem bendera....jadi jagalahhati ...jangan kau.... </p> <div class="posted">Posted by ifan on 11/26 at 01:58 PM</div> </div><!-- .comment --> <div class="comment"> <p>Untuk Ghulam hafiedz<br />“harapan itu masih ada” </p> <div class="posted">Posted by kartika on 11/25 at 11:52 AM</div> </div><!-- .comment --> <div class="comment"> <p>Semua jangan sok Islami deech,pake terjun di politik dengan nama Islam lagi.MUNAFIK..!!!Kalo cari duit,cari duit aja ga usah pake kedok politik apalagi Agama.Masih mending anjing atau monyet,walau derajatnya dianggap rendah oleh manusia tapi mereka ga neko-neko.Mereka menjalani hidup sesuai dengan kodratNya,lain kayak elo-elo pada...disebut manusia,kelakuan melebihi monyet,..disebut moyet,..Serakahnya tujuh Fi’raun. </p> <div class="posted">Posted by <a href="http://sancang.com/">Syaepuddin</a> on 11/20 at 06:23 PM</div> </div><!-- .comment --> <div class="comment"> <p>Assalammualaekum </p> <p>mnurut Gw Mngkn partai nasionalis atau islamis smuanya deceitful appears falsely through escaping lies and falsities.! I find it is a highly logical and Thanking to My dear GOD.. kalo emang mau ngajak ke sorga ga perlu lewat partai., klo emang para petinggi ato simpatisan smua parpol mao ngaku2 sog nasionalis mendhing ga perlu lewat partai..! mendhing bikin debat ampek termehek2 mbahas kita udah merdeka spenuhnya apa ga.?.. apa perlu smua ini diakhiri dengan perang saudara.? </p> <p> dasar smua generasi; biar yg udah tua ato yg muda smuanya pada geblek… Endonesia skrng ga perlu mikro politik ato tetkbengek laennya.. mendhing ngurusin mikro ekonomi dulu truz dibumbui makro politik.. basis - struktur - suprasrtuktur nya ditata dulu.. dari dulu udah jelas nasionalis ya makan ga makan asal kumpul.! dan islam ngajak orang mukmin ke surga.! skrang smuanya malah jadi munafiq termasuk diri gw jg, gara2 klamaan proses politik yg ga jelas ghene..!! </p> <p> WALLAHU A’LAM </p></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-86474095457961698502008-11-28T17:30:00.001+07:002008-11-28T17:30:36.341+07:00Simalakama Koalisi Presidensial<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>Saldi Isra</strong></p><p>Sejak Pemilihan Umum 1999, Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan menjadi sistem kepartaian majemuk. Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial. Salah satu upaya purifikasi tersebut, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung.</p><p>Gambaran praktik sistem presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilu 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama pascaperubahan UUD 1945 itu menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Sementara itu, pemilihan presiden langsung hanya menghasilkan minority president, yaitu presiden dengan dukungan relatif kecil di DPR. Dengan terbatasnya dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.</p><p>Meski berhasil membangun koalisi dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan, dalam banyak kejadian partai politik pendukung koalisi sering ”mempersulit” agenda pemerintah. Secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi Yudhoyono.</p><p>Melihat desain UU Pemilihan Presiden yang baru dan kecenderungan sejumlah partai politik peserta pemilu, langkah apakah yang dapat dilakukan untuk membangun koalisi menghadapi pemilu presiden mendatang?</p><p><strong>Koalisi presidensial</strong></p><p>Sistem kepartaian majemuk dalam pemerintahan presidensial merupakan salah satu perdebatan klasik dalam kajian ilmu politik dan hukum tata negara. Perdebatan itu lebih banyak berkisar pada kesulitan dan masalah bangunan koalisi dengan sistem kepartaian majemuk. Seperti dikemukakan Scott Mainwaring (1993), pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif.</p><p>Untuk mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden. Membandingkannya dengan koalisi dalam sistem parlementer, Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi multipartai dalam sistem presidensial.</p><p>Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri dan perdana menteri. Karena itu, mereka bertanggung jawab mendukung pemerintah. Dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya dan partai politik punya komitmen yang rendah mendukung presiden.</p><p>Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tak sepenuh hati mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.</p><p>Meski demikian, upaya membangun koalisi tetap saja menjadi langkah darurat minority president. David Altman (2000) dalam The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, mengemukakan bahwa coalitions are not institutionally necessary dalam sistem presidensial. Argumentasi Altman, sistem presidensial not conducive to political cooperation.</p><p><strong>Memperkuat presidensial</strong></p><p>Meski koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.</p><p>Dengan desain legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2009 harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tak menjadi simalakama bagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Jika hanya dilandaskan pada perhitungan memenuhi target memenangi pemilu, koalisi akan pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan.</p><p>Demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon; diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan begitu, tanggung jawab partai politik pendukung koalisi lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.</p><p>Terkait dengan itu, tak salah mengambil pelajaran pengisian dan pergantian anggota kabinet masa pemerintahan Yudhoyono. Misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering ”mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meski kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.</p><p>Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, misalnya, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet.</p><p>Bagaimanapun, dengan desain yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan. Jika tidak, presiden akan tetap terpenjara oleh koalisi yang ia bangun sendiri.</p><p>Sekiranya itu yang terjadi, perlahan tetapi pasti, simalakama sistem presidensial akan melumpuhkan presiden dan pemerintahannya.</p><p>Saldi Isra <em>Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang</em></p></div> </div><div style="text-align: justify;"> <!--s:insert_counter--> <!--ttpend artikel --> <!--START KOLOM PRINT--> <!--s:insert_counter--> </div><div style="text-align: justify;" class="artikelkiriman"> </div><div style="text-align: justify;"> <!-- s:rate--> </div><div style="text-align: justify;" class="toolartikelkiri"> <a target="_blank" title="Tambahkan ke Digg" href="http://digg.com/submit?phase=2&url=http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00390549/simalakama.koalisi.presidensial"><img src="http://www.kompas.com/data//images/icon_digg.gif" border="0" /></a> <a target="_blank" title="Tambahkan ke Del.icio.us" href="https://secure.del.icio.us/login?url=cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00390549/simalakama.koalisi.presidensial&title=Simalakama%20Koalisi%20Presidensial"><img src="http://www.kompas.com/data//images/icon_delicious.gif" border="0" /></a> <a target="_blank" title="Tambahkan ke Reddit" href="http://www.reddit.com/submit?url=http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00390549/simalakama.koalisi.presidensial&title=Simalakama%20Koalisi%20Presidensial"><img src="http://www.kompas.com/data//images/icon_reddit.gif" border="0" /></a> <a target="_blank" title="Tambahkan ke Stumble" href="http://www.stumbleupon.com/submit?url=http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00390549/simalakama.koalisi.presidensial&title=Simalakama%20Koalisi%20Presidensial"><img src="http://www.kompas.com/data//images/icon_stumble.gif" border="0" /></a> </div><div style="text-align: justify;"> <span id="ratespan"> <!-- <img src="http://www.kompas.com/data//images/star.gif" /><img src="http://www.kompas.com/data//images/star.gif" /><img src="http://www.kompas.com/data//images/star.gif" /><img src="http://www.kompas.com/data//images/star.gif" /><img src="http://www.kompas.com/data//images/starabu.gif" /><b>Nilai 4</b> --> <select name="selRate"> <option value="" selected="selected">- Beri Rating Artikel -</option> <option value="">----------</option> <option value="5">Sangat Baik</option> <option value="4">Baik</option> <option value="3">Cukup</option> <option value="2">Kurang</option> <option value="1">Sangat Kurang</option> </select></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-51958968193119196392008-11-28T17:29:00.001+07:002008-11-28T17:29:35.087+07:00Presidensial Bukan Etika Politik!<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>Donny Gahral Adian</strong></p><p>Pengokohan sistem presidensial memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Multipartai yang demikian kuat akan membawa kita pada musim semideadlock. Di sini artikel saya ”Kediktatoran Konstitusional” (17/11) dan artikel Denny Indrayana ”Mengokohkan Sistem Presidensial” (26/11) berbagi idealisme yang sama.</p><p>Namun, satu hal yang membedakan saya dari jalan pikiran Denny. Denny menghubungkan sistem presidensial dengan etika politik. Saya tidak melihat ada sangkut paut antara presidensial dan etika politik. Pendeknya, tidak ada muatan moral setinta pun dalam artikel saya terdahulu.</p><p>Kata kediktatoran dalam frase kediktatoran konstitusional bukan karakter kepemimpinan. Kediktatoran adalah karakter konstitusi yang meleluasakan keputusan eksekutif presiden. Singkat kata, kediktatoran konstitusional berbicara tentang karakter konstitusi, bukan pribadi.</p><p>Apabila etika dimengerti sebagai kewajaran, maka keputusan presiden dapat menerabas batas-batas kewajaran. Keputusan bukan sesuatu yang harus dikebawahkan pada dekrit-dekrit moral. Carl Schmitt menegaskan posisi itu. Demikian pula Nietszcshe. Keputusan disebut keputusan justru karena tak terpenjara dalam dekrit moral tertentu. Keputusan menciptakan, bukan melayani moral.</p><p>Denny mengidolakan sistem presidensial yang berlaku di Amerika. Berdasarkan argumen di atas, saya justru memandang tinggi sistem presidensial di Peru. Sistem presidensial Peru membawa napas kediktatoran konstitusional sampai ke tarikan terakhirnya. Dalam sistem itu, konstitusi meleluasakan presiden untuk membatalkan keputusan atau bahkan membubarkan kongres (Denny Indrayana).</p><p>Sistem presidensial Peru memberi ruang bagi ”yang tak wajar” dalam keputusan eksekutif. Apabila sistem Peru berlaku di Indonesia, seorang Gus Dur dapat dengan mudah mencabut Tap MPRS Nomor XXV. Seorang SBY dapat memeriksa UU yang anti-NKRI dan membatalkannya. Di republik ini kenegarawanan beradu dengan kepentingan. Konstitusi yang baik harus memungkinkan kemenangan kenegarawanan.</p><p><strong>Politik anomali</strong></p><p>Jadi, jelas kiranya desain konstitusi demi kokohnya presidensial tidak untuk menciptakan pemimpin bermoral. Desain konstitusi ditujukan untuk memungkinkan jatuhnya keputusan-keputusan ”tak wajar” yang bisa jadi bertentangan dengan opini umum tentang apa yang baik. Perilaku politik tidak dijaga oleh desain konstitusi. Konstitusi justru memberi ruang bagi keputusan politik anomali.</p><p>Tidak ada sangkut paut antara karakter kediktatoran konstitusi dan etika politik seorang presiden. Sungguh naif menyamakan kekokohan sistem presidensial dengan kebesaran hati seorang calon presiden yang kalah. Kekokohan sistem presidensial berhubungan dengan prasyarat dukungan politik terhadap calon presiden, penyederhanaan sistem multipartai, penambahan hak prerogatif presiden, sampai dengan penjaminan hak veto.</p><p>Karakter kediktatoran konstitusi pun tidak bersangkutan dengan tingkat pendidikan calon presiden. Seorang doktor yang menjadi presiden tidak dapat dipastikan lebih tegas dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan seorang lulusan SMU. Gus Dur bukan doktor. Namun, ketika republik ini di bawah komandonya, beliau banyak menjatuhkan keputusan tegas, tak wajar, dan tak populer.</p><p>Presiden ke depan diharapkan dapat mengambil keputusan-keputusan cepat, tegas, tak wajar, dan tak populer. Apalagi, kita sedang menghadapi krisis ekonomi yang sarat ketidakpastian. Kita tidak memerlukan sosok yang lama berdiskusi. Kita memerlukan sosok yang segera memutuskan dan menghitung cepat collateral damage dari keputusannya. Untuk itulah kediktatoran konstitusional diperlukan. Bukan untuk mencetak diktator, melainkan memungkinkan pengambilan keputusan yang tak terkendala konstitusi.</p><p>Kediktatoran konstitusional menuntut perbaikan karakter konstitusi. Tidak lebih. Moralitas politik adalah urusan individu, bukan konstitusi. Saya sepakat dengan Denny bahwa kita memerlukan legal engineering untuk mengokohkan sistem presidensial. Namun, kita tidak memerlukan moral engineering. Semoga tulisan ini dapat meluruskan apa yang lengkung sekaligus melengkungkan apa yang lurus (baca: wajar) dalam politik kita. Let free spirit flies alone!</p><p>Donny Gahral Adian <em>Dosen Filsafat Universitas Indonesia</em></p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-35705660071482532772008-11-28T17:25:00.001+07:002008-11-28T17:25:53.640+07:00Masih Mungkinkah Kita Bangkit?<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN</strong></p><p>Tahun 2008 hampir berakhir, tetapi banyak masalah bangsa justru kian serius. Mungkinkah kita bangkit?</p><p>Pertanyaan ini amat penting karena dalam banyak hal kita mewujudkan berbagai tindakan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak berlandaskan pemahaman filosofis tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tingkat lokal nasional hingga global. Kita kurang peduli proses alami yang sedang bekerja. Masih mungkinkah negara-bangsa kita bangkit pada abad yang menuntut kecepatan dan berpostur ramping?</p><p>Bangsa ini masih terjerat kemiskinan, kesenjangan sosial- ekonomi, rentannya hubungan antaretnik dan agama, meningkatnya primordialisme kedaerahan, maraknya perbedaan berdasar partai politik, dan lainnya. Itu semua adalah cermin betapa bangsa kita masih terkotak-kotak dalam ruang-ruang sempit.</p><p><strong>Efisiensi negara-bangsa</strong></p><p>Kini semua negara di dunia dituntut untuk menyelaraskan diri dengan perubahan dunia yang kian cepat. Banyak teoretis menengarai merosotnya ideologi idealisme digantikan liberalisme, materialisme, dan pragmatisme, di mana tindakan lebih penting daripada ucapan dan interaksi lebih penting daripada pikiran.</p><p>Isu-isu dunia, seperti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, dan harkat kaum minoritas, ikut mendorong negara-bangsa ke dalam arus global yang baru. Eksistensi negara-bangsa bergantung pada kehendak global, bukan hanya kehendak bangsa sendiri. Tampaknya dunia lebih menyukai bangsa yang berpostur ramping tetapi demokratis daripada bangsa besar tetapi otoritarian. Logikanya, mengelola dan memakmurkan bangsa yang kecil lebih mungkin daripada negara besar yang sarat masalah internal. Bangsa yang ramping lebih gesit bergerak dalam perubahan yang kian cepat.</p><p>Peta politik-ekonomi dunia berubah. Sebagai penentu politik- ekonomi dunia, kedudukan negara bergeser ke tangan berbagai korporasi raksasa. Sedangkan negara hanya sebagai fasilitator, keadaan yang tidak terbayangkan pada abad lalu. Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtue and the Creation of Prosperity, 1996) menengarai, salah satu ciri ekonomi dunia pada abad ke-20 adalah beralihnya kekuasaan ekonomi ke tangan jaringan korporasi besar secara lintas bangsa, sedangkan negara hanya menjadi ”tukang stempel” atau pemadam kebakaran, suatu kondisi yang kini mulai nyata.</p><p>Agar survive, efisiensi negara- bangsa tampaknya menjadi kebutuhan abad ini. Negara-bangsa yang besar sering ambivalen karena di satu pihak harus memelihara kesatuan unsur-unsur yang beragam di wilayah amat luas, dan pada saat sama harus menghadapi tuntutan dunia agar bergerak cepat dan efisien. Artinya, negara-bangsa harus ramping agar gesit dalam percaturan global.</p><p><strong>Pertaruhan pada masa depan</strong></p><p>Secara historis, negara-bangsa, seperti Indonesia, diintegrasikan dua pengikat. Pertama, kekuasaan yang mengendalikan beragam unsur penyusun bangsa di wilayah yang sangat luas. Kedua, ideologi berintikan kesadaran, nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa.</p><p>Kekuasaan pemerintah kadang diterjemahkan menjadi penggunaan militer untuk menyelesaikan konflik internal. Namun, penggunaan militer untuk menjaga kesatuan bangsa kini kurang relevan karena berhadapan dengan isu-isu besar tuntutan global. Padahal, penggunaan kekuasaan otoriter tampaknya diperlukan guna memelihara integrasi bangsa. Kita perlu belajar dari teori evolusi masyarakat tentang keruntuhan negara. Robert Tainter (The Collapse of Complex Societies, 1991) mengemukakan, kekuasaan demokratis bekerja lebih efektif pada bangsa berskala kecil karena memerlukan komunikasi intensif dan paling dimungkinkan pada bangsa yang kecil populasinya. Memang ada contoh- contoh negara-bangsa demokratis, seperti AS, tetapi faktor-faktor, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan sulitnya komunikasi, bukan kendala dominan bangsa AS.</p><p>Masa depan keutuhan negara- bangsa kita amat bergantung pada kepedulian kita sendiri, yang kini justru melemah. Kita harus menjadikan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai—menghapus sekat, kotak sempit, dan menjadikannya interaktif dan dialog– agar negara-bangsa tetap terpelihara. The last but not least, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi-sosial tampaknya masih menjadi solusi utama dalam menghadapi perubahan dunia yang kian materialistis.</p><p>ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN <em>Dosen Departemen Antropologi FISIP UI</em></p></div> </div><div style="text-align: justify;"> <!--s:insert_counter--> <!--ttpend artikel --> <!--START KOLOM PRINT--> <!--s:insert_counter--> </div><div style="text-align: justify;" class="artikelkiriman"> </div><div style="text-align: justify;"> <!-- s:rate--> </div><div style="text-align: justify;" class="toolartikelkiri"> <a target="_blank" title="Tambahkan ke Digg" href="http://digg.com/submit?phase=2&url=http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/28/0104467/masih.mungkinkah.kita.bangkit"><br /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-69474244884716592872008-11-28T17:24:00.001+07:002008-11-28T17:24:40.165+07:00Presidensial Cita Rasa Parlementer<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>Syamsuddin Haris</strong></p><p>Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?</p><p>Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri.</p><p><strong>Perangkap konflik</strong></p><p>Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya ”presiden minoritas”—presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.</p><p>Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan ”gangguan DPR” meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?</p><p><strong>DPR ”heavy”</strong></p><p>Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.</p><p>Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR” (DPR heavy).</p><p>Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partai-partai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu.</p><p><strong>Ada beberapa solusi lain.</strong></p><p>Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi.</p><p>Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR.</p><p>Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari.</p><p>Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.</p><p><strong>Cita rasa parlementer</strong></p><p>Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung ”sarat DPR”, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik?</p><p>Jika tidak, desain presidensial dengan ”cita rasa” parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabil—karena tersedia mekanisme konsultasi—tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif.</p><p>Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang.</p><p>Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.</p><p>Syamsuddin Haris <em>Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI</em></p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-38143380676155480022008-11-28T17:23:00.001+07:002008-11-28T17:23:46.397+07:00Iklan Pemilu<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p><strong>Ikrar Nusa Bhakti</strong></p><p>Saat menjadi narasumber Rapat Kerja Kontras di Cipanas, Jumat (21/11/2008), Robertus Robet—dosen UNJ dan Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi—mengatakan, ”Iklan politik di televisi lebih banyak bohong daripada melakukan pendidikan politik pada rakyat. Seperti iklan obat, mana mungkin orang sembuh sakitnya sepuluh menit setelah minum obat.”</p><p>Sehari kemudian (22/11/2008) saat mempertahankan disertasi doktor bidang filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, seorang penguji bertanya, ”Jika Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, datang ke Indonesia melihat praktik kapitalisme kontemporer di negeri ini, kira-kira apa komentarnya?” Robet menjawab, ”Dia akan heran melihat sinetron-sinetron Indonesia yang banyak bercerita soal surga dan neraka. Rupanya orang Indonesia lebih mudah melihat masa depan yang belum menentu—surga dan neraka—daripada menyelesaikan masalah di depan mata, misalnya kasus lumpur Lapindo.”</p><p>Zizek lahir dan besar di Yugoslavia, negara komunis yang demokratis di era Tito. Zizek suka film Hollywood, menganalisisnya dari filsafat antropologi. Atas jawaban yang tangkas, serius, tetapi santai itu, Robet—alumnus Sosiologi FISIP UI 1996 dan University of Birmingham 2002—lulus dengan predikat cum laude.</p><p><strong>Iklan politik</strong></p><p>Sayang, kepada Robert tidak ada yang menanyakan komentar Zizek jika melihat iklan kampanye pemilu di televisi atau di media cetak Indonesia. Kampanye pemilu selama sembilan bulan menarik dianalisis. Ada yang sudah start sebelum kampanye resmi diumumkan, tetapi tidak didiskualifikasi. Ada yang start langsung berlari sprint, lalu terengah-engah berhenti di tengah jalan karena kehabisan dana.</p><p>Ada pula yang berhenti total dan menarik diri dari ”lomba maraton” karena kekurangan suporter. Padahal, kalimat yang didengungkan amat bertuah, If there is a will, there is a way. Iklan ini terlalu elitis. Sang pembicara mungkin lupa, banyak orang Indonesia tak paham bahasa Inggris. Ada pula iklan Garuda perkasa yang terbang di angkasa, yang bicara soal petani atau pedagang kecil di pasar tradisional. Napas dan energinya begitu kuat.</p><p>Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono sering memakan setengah halaman depan Kompas dengan iklan ”keberhasilan” pemerintahannya. Mengingat posisinya di pemerintahan, ada pula iklan politik terselubung di televisi dan radio yang menggebu- gebu tentang ”PNPM Mandiri” dari nelayan, penganggur yang berhasil di Ambon, posyandu, tukang jahit, sampai taman kanak-kanak. Namun, tak ada yang mengkritisi berapa besar dana yang terserap dan dirasakan rakyat melalui program itu dibandingkan pengeluaran untuk iklan politiknya. Juga tak ada yang mengomentari, apakah acara kuliah subuh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga di TVRI sesuai tugas pokok dan fungsinya.</p><p>Dalam dua pekan terakhir, ada empat iklan politik baru yang muncul, dari Amien Rais yang siap menjadi ”pemain cadangan”, dari PDI-P yang menonjolkan ”100 Hari Pertama” pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Iklan Partai Golkar dengan penonjolan Karya untuk bangsa, dan iklan PKS yang membangun optimisme dengan becermin pada karya pahlawan dan guru bangsa masa lalu, yang menuai kritik. Spanduk PKS juga berujar, ”Pahlawan adalah Buruh atau Pahlawan adalah Pemuda, yang Berjuang untuk Kemajuan dan Kemandirian Bangsa.” Iklan politik PKS brilian dan berani, termasuk political marketing gaya baru, meski dikritik banyak pihak.</p><p><strong>Miskin visi masa depan</strong></p><p>Berbagai iklan politik dan pemilu itu miskin visi masa depan. Iklan-iklan itu hanya menjual kemiskinan, mimpi, dan program jangka pendek, tanpa substansi isi keprihatinan bangsa dan bagaimana cara mencapai cita-cita masa depan bangsa. Ini berbeda, misalnya, kampanye Bill Clinton dengan kata bertuah, It’s Economic, Stupid yang membeberkan visi memperbaiki nasib anak AS 100 tahun ke depan atau kampanye Barack Obama dengan slogan Yes, We Can yang mewujudkan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.</p><p>Tak ada partai politik atau calon presiden yang berani mengatakan, kita akan menghadapi situasi sulit 3-5 tahun ke depan akibat krisis global. Ekonomi Indonesia belum pulih akibat krisis 10 tahun lalu dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan, dan kita sudah harus menghadapi krisis ekonomi lebih dahsyat.</p><p>Terpikirkah oleh elite politik bangsa, pendekatan ekonomi apa yang harus diambil Indonesia guna mengatasi krisis. Jika ia seorang neoliberal yang pro-pasar dan pro-kapitalisme, langkah apa yang akan diambil? Beranikah Megawati Soekarnoputri menelurkan gagasan nasionalistis bertumpu pada marhaenisme di tengah serbuan komprador kapitalis barat? Jika ia anti-IMF dan pro-kemandirian bangsa di tengah kapitalisme dan globalisasi, seperti Rizal Ramli, langkah apa yang akan diambil? Beranikah Rizal Ramli berkolaborasi dengan Revrisond Baswir dan Sri Edi Swasono mengambil langkah berbeda dengan arus kapitalisme global? Bagaimana mereka mengajak rakyat bahu-membahu memperbaiki nasib bangsa yang terus menjadi ”bangsa kuli”? Ideologi apa pun yang dianut, liberalisme, sosialisme, atau konservatisme (agama dan atau budaya) harus mampu menjawab tantangan bagaimana kita keluar dari krisis ini.</p><p>Para pemilih kian jeli dengan politik transaksional dalam arti positif, yaitu siapa yang memiliki visi dan program jangka panjang mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa, dia atau partainya yang dipilih. Kampanye politik bukan sekadar menebar mimpi untuk menuai kekecewaan, tetapi menebar program realistis yang dapat dilakukan lima tahun ke depan agar bangsa ini keluar dari krisis.</p><p>Ikrar Nusa Bhakti <em>Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI</em></p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-59343246341983391622008-11-28T17:18:00.001+07:002008-11-28T17:18:55.547+07:00Pewakil<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p>Ada lelucon basi masih lestari: wakil presiden kepingin jadi presiden, wakil direktur rindu jadi direktur, tapi wakil rakyat ogah jadi rakyat, jegal kanan kiri lobi depan belakang sembah atas tinju bawah demi wakil rakyat sampai kiamat.</p><p>Humor ini khas Nusantara, tak bisa pas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada permainan dua konsep di sini: wakil dalam arti vice atau deputy untuk presiden atau direktur yang menandakan posisi kelas dua, dan wakil dalam arti representative yang kedudukannya variatif terhadap yang diwakili.</p><p>Wakil direktur tak pernah lebih tinggi daripada direktur. Sedangkan posisi orang yang mewakili bisa macam-macam. Seorang penjaga keamanan mewakili sang direktur (posisi lebih rendah) menerima protes demonstran di pagar, atau sang direktur berpidato mewakili para direktur lain (sederajat) dalam pembukaan seminar, atau sang direktur mewakili semua staf dan buruhnya (lebih tinggi) mengucapkan Selamat Tahun Baru sambil mengingatkan bahwa pada masa prihatin ini bersyukurlah tidak dipecat, jadi jangan mengharapkan bonus.</p><p>Bisa runyam bila pemakaiannya berkaitan dengan organisasi besar seperti PBB. Ada jabatan United Nations Under-Secretary General yang pantas saja disebut Wakil Sekretaris Jenderal PBB. Namun, ada pula posisi resmi Representative of the UN Secretary General yang menangani urusan khusus. Nah, ini pun Wakil Sekjen PBB. Bagaimana membedakannya? Menggantikan yang terakhir ini dengan ”Orang yang Mewakili Sekjen PBB” pastilah terasa janggal. Lagi pula, si Representative ini pun bisa punya Deputy!</p><p>Pemecahannya mungkin bisa dicari dari suatu ciri yang sangat menarik dalam pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia. Wakil dalam arti deputy tak pernah dipakai sebagai kata kerja. Kata to deputize baik dalam arti ’bertindak sebagai deputy’ maupun ’mengangkat seorang deputy’ tak dikenal.</p><p>Mewakili selalu berarti to represent. Kemungkinan besar orang yang berkata ”Saya mewakili ibu direktur” bukanlah wakil direktur, yang bisa dibayangkan akan berkata tegas mantap ”Saya wakil direktur”, dengan penekanan pada direktur agar pendengarnya sadar si pembicara akan jadi apa tahun depan setelah pemegang saham memecat direktur sekarang yang gagal menaikkan grafik keuntungan di zaman bisnis lesu ini.</p><p>Ciri ini membuka peluang memperkenalkan bentukan baru: pewakil, dalam arti orang yang mewakili, representative. Ini sejalan dengan kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Ada kata mewakili, mewakilkan, dan perwakilan, dengan sendirinya patut ada pewakil.</p><p>Dengan demikian kerancuan akan berkurang. Wakil direktur dan wakil presiden akan tetap ada. Kalau ambisi wakil direktur sudah terasa panas membara, sang direktur pun bisa menunjuk pewakil-pewakil yang bertindak dengan wewenangnya untuk urusan-urusan penting.</p><p>Sebagai pewakil rakyat, semoga anggota DPR pun akan mengedepankan bukan ambisi posisi, melainkan sigap dan bertanggung jawab dengan wawasan kerakyatan. Maka, tak perlulah dicari pengganti lelucon basi yang sudah mati.</p><p>Samsudin Berlian <em>Pemerhati Kata dan Maknanya</em></p><div id="judulartikelcetak">Pewakil</div> <div class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Jumat, 28 November 2008 | 01:18 WIB</span> <div id="article_body"><p>Ada lelucon basi masih lestari: wakil presiden kepingin jadi presiden, wakil direktur rindu jadi direktur, tapi wakil rakyat ogah jadi rakyat, jegal kanan kiri lobi depan belakang sembah atas tinju bawah demi wakil rakyat sampai kiamat.</p><p>Humor ini khas Nusantara, tak bisa pas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada permainan dua konsep di sini: wakil dalam arti vice atau deputy untuk presiden atau direktur yang menandakan posisi kelas dua, dan wakil dalam arti representative yang kedudukannya variatif terhadap yang diwakili.</p><p>Wakil direktur tak pernah lebih tinggi daripada direktur. Sedangkan posisi orang yang mewakili bisa macam-macam. Seorang penjaga keamanan mewakili sang direktur (posisi lebih rendah) menerima protes demonstran di pagar, atau sang direktur berpidato mewakili para direktur lain (sederajat) dalam pembukaan seminar, atau sang direktur mewakili semua staf dan buruhnya (lebih tinggi) mengucapkan Selamat Tahun Baru sambil mengingatkan bahwa pada masa prihatin ini bersyukurlah tidak dipecat, jadi jangan mengharapkan bonus.</p><p>Bisa runyam bila pemakaiannya berkaitan dengan organisasi besar seperti PBB. Ada jabatan United Nations Under-Secretary General yang pantas saja disebut Wakil Sekretaris Jenderal PBB. Namun, ada pula posisi resmi Representative of the UN Secretary General yang menangani urusan khusus. Nah, ini pun Wakil Sekjen PBB. Bagaimana membedakannya? Menggantikan yang terakhir ini dengan ”Orang yang Mewakili Sekjen PBB” pastilah terasa janggal. Lagi pula, si Representative ini pun bisa punya Deputy!</p><p>Pemecahannya mungkin bisa dicari dari suatu ciri yang sangat menarik dalam pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia. Wakil dalam arti deputy tak pernah dipakai sebagai kata kerja. Kata to deputize baik dalam arti ’bertindak sebagai deputy’ maupun ’mengangkat seorang deputy’ tak dikenal.</p><p>Mewakili selalu berarti to represent. Kemungkinan besar orang yang berkata ”Saya mewakili ibu direktur” bukanlah wakil direktur, yang bisa dibayangkan akan berkata tegas mantap ”Saya wakil direktur”, dengan penekanan pada direktur agar pendengarnya sadar si pembicara akan jadi apa tahun depan setelah pemegang saham memecat direktur sekarang yang gagal menaikkan grafik keuntungan di zaman bisnis lesu ini.</p><p>Ciri ini membuka peluang memperkenalkan bentukan baru: pewakil, dalam arti orang yang mewakili, representative. Ini sejalan dengan kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Ada kata mewakili, mewakilkan, dan perwakilan, dengan sendirinya patut ada pewakil.</p><p>Dengan demikian kerancuan akan berkurang. Wakil direktur dan wakil presiden akan tetap ada. Kalau ambisi wakil direktur sudah terasa panas membara, sang direktur pun bisa menunjuk pewakil-pewakil yang bertindak dengan wewenangnya untuk urusan-urusan penting.</p><p>Sebagai pewakil rakyat, semoga anggota DPR pun akan mengedepankan bukan ambisi posisi, melainkan sigap dan bertanggung jawab dengan wawasan kerakyatan. Maka, tak perlulah dicari pengganti lelucon basi yang sudah mati.</p><p>Samsudin Berlian <em>Pemerhati Kata dan Maknanya</em></p></div> </div></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-17225104572061041572008-11-26T20:37:00.000+07:002008-11-26T20:38:37.088+07:00Adam Malik-CIA dalam Buku Tim Weiner<div style="height: 5px; text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> Oleh Endang Suryadinata *<br /><br />Mendiang Adam Malik, sosok Batak bermarga Batubara, konon merupakan agen CIA (Central Intelligence Agency), sebagaimana diungkapkan Tim Weiner dalam bukunya <i>Legacy of Ashes, the History of CIA</i> (Membongkar Kegagalan CIA)?<br /><br />Sebagaimana diketahui, Weiner yang juga wartawan koran <i>The New York Times</i> tersebut menulis tentang peran agen itu berdasar wawancaranya dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, pada 2005. Kepada Weiner, McAvoy mengklaim bertemu Adam Malik pada 1964 dan merekrutnya sebagai agen CIA. Bahkan, guna mendukung peran Adam Malik sebagai agen, CIA menyerahkan uang tunai 10.000 dolar AS untuk membiayai pembasmian Gestapu (hal 332 edisi Indonesia).<br /><br />Sebagian besar publik kita langsung menolak tulisan Weiner. ''Saya tidak percaya Pak Adam Malik menjadi apa yang ditulis itu (agen CIA). Sebab, garis politik Pak Adam Malik tidak sesuai dengan pandangan politik Amerika,'' katanya. ''Beliau pendiri Partai Murba, lebih condong ke pemikiran sosialis. Mana mungkin orang Amerika percaya orang sosialis bisa jadi agennya? Selain itu, mana mungkin orang Murba jadi agen CIA,'' timpalnya.<br /><br />Meski demikian, Wapres Jusuf Kalla mengakui ada kemungkinan Adam Malik tidak sadar telah direkrut sebagai kontak CIA (<i>Jawa Pos</i>, 25 November 2008).<br /><br />Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, atas terbitnya buku itu, keluarga Adam Malik dan pemerintah harus bersikap, antara lain, dengan mengeluarkan bantahan. Dia beralasan, Adam Malik adalah tokoh yang harus dijaga nama baiknya. Apalagi, saat ini akan dibangun bandar udara di Sumatera Utara bernama Adam Malik. Penarikan buku dari peredaran, kata Asvi, juga bisa menjadi alternatif untuk menghentikan tuduhan kepada Adam Malik.<br /><br /> <b>Tak Perlu Ditarik</b><br /><br /><i>Toh</i>, menurut saya, buku itu tidak perlu ditarik. Bukankah selama ini juga sudah beredar rumor dalam lingkup terbatas tentang Adam Malik sebagai agen CIA. Jadi, Weiner perlu diapresiasi karena mengkat rumor itu dalam sebuah buku berdasar laporan perwira CIA, Clyde McAvoy.<br /><br />Lagi pula, apakah keterlibatan sebagai agen CIA harus selalu dimaknai secara negatif? Bergantung perspektif atau sudut pandang saja. Penulis jadi ingat rumor di Belanda pada awal 1990-an yang gencar menyebut mendiang Paus Yohannes Paulus II kabarnya juga menjalin kerja sama erat Vatikan-CIA sejak 1980-an untuk meruntuhkan komunisme di Eropa Timur. Tidak heran jika ada yang menyebut Paus pun direkrut jadi agen CIA.<br /><br />Lalu, TV Nederland III dalam suatu programnya memaparkan tentang kerja sama erat CIA-Vatikan di bawah Paus Yohannes Paulus II. Program itu diperkuat berbagai dokumentasi guna menguak keterlibatan Vatikan-CIA-Lech Walensa yang memimpin gerakan buruh Solidaritas untuk menggulingkan pemerintahan sosialis Polandia di bawah Yaruzelsky.<br /><br />Atas perannya tersebut, Paus Yohannes Paulus II hingga kini justru dianggap sebagai pahlawan penumbang komunisme di Eropa Timur. Adam Malik juga bisa dilihat sebagai salah seorang pahlawan penumbang PKI.<br /><br />Karena itu, seandainya Adam Malik sungguh jadi agen CIA dalam konteks untuk membendung semakin kuatnya pengaruh PKI pada dasawarsa 1960-an, di mata penulis, citra dia tidak akan ternoda. Warga kita yang hidup pada era 1960-an bisa memberi kesaksian betapa kuatnya pengaruh komunis ketika itu seolah dominasi tersebut tidak bisa dipatahkan.<br /><br /> <b>Sanggahan dan Klarifikasi</b><br /><br />Tentu saja kita bisa menyangkal keterlibatan Adam Malik sebagai agen CIA. Tapi, jangan lupa, Tim Weiner selama 20 tahun telah bekerja secara profesional menelaah dunia intelijen, khususnya CIA.<br /><br />Memang, keterlibatan CIA dalam kudeta terhadap Bung Karno dan PKI pada 1965 selalu disangkal beberapa kalangan. Namun, berbagai sumber asing, seperti Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson, menyebut CIA justru sebagai dalang utama peristiwa 1965. Untuk itu, CIA bekerja sama dengan sebuah klik di dalam AD untuk memprovokasi PKI.<br /><br />Apalagi, George M.T. Kahin juga mengungkap keterlibatan CIA dalam berbagai pemberontakan di tanah air seperti kasus PRRI dan Permesta. Jadi, tidak mustahil CIA juga berperan dalam percobaan kudeta 1965.<br /><br />Jangan lupa pula, sebagai negara adikuasa, AS lewat CIA-nya selalu ingin terlibat dan campur tangan dalam berbagai urusan negara lain. Uniknya, buku Weiner kali ini secara implisit justru seperti mengesankan bahwa CIA, dinas rahasia AS) dan pemerintah AS tidak terlibat secara langsung dalam perencanaan kudeta 1965 di Indonesia.<br /><br />Jadi, ada ''<i>contradictio in terminis</i>''. Di satu sisi, Adam Malik dinyatakan sebagai agen CIA, di sisi lain CIA tidak terlibat langsung dalam Peristiwa 1965.<br /><br />Karena itu, sanggahan atau klarifikasi secara ilmiah atas tulisan Weiner harus dibuat sesegera mungkin oleh para sejarawan kita. Kita boleh menolak temuan Weiner, tapi penolakannya tidak boleh sekadar emosional. Di sinilah ada tugas mulia sejarah.<br /><br />Mendiang sejarawan Kuntowijoyo mengingatkan, tugas sejarah bukan seperti hakim yang menentukan hitam putihnya seorang tokoh sejarah. Kalau ada sebuah laporan sejarah yang salah, pelurusannya hanya bisa lewat penulisan dengan bukti-bukti terbaru. Bukan dengan menarik buku atau membakar buku itu.<br /><br />Agaknya, kita harus mengakui, bangsa ini belum mampu menilai secara jujur peran sejarah, termasuk sejarah para tokohnya seperti Adam Malik secara holistik dan objektif. Orang masih lebih suka berada pada posisi memihak yang satu seraya menolak yang lain.<br /><br /><b>* Endang Suryadinata</b>, peminat sejarah, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam<br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-63740230911239870422008-11-25T20:07:00.000+07:002008-11-25T20:08:40.741+07:00Politik Tanpa Moral Lahirkan "Serigala"<div style="text-align: justify; font-weight: bold;" id="judulartikelcetak"><br /></div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;"> </div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;" class="subjudulidxcetak">Syafii: Politik di Indonesia<br /> Kekurangan Pelaku Berjiwa Besar</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Minggu, 23 November 2008 | 08:37 WIB</span> <div id="article_body"><p>Yogyakarta, Kompas - Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Ahmad Syafii Maarif mengemukakan, praktik politik tanpa dilandasi moral dan integritas pelakunya hanya akan melahirkan ”serigala-serigala” yang akan saling memakan. Tanpa moral dan integritas pelakunya, politik takkan menjadi sarana mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.</p><p>”Praktik politik pada kenyataannya adalah homo homini lupus. Kalau dilepas sama sekali tanpa moral sebagai inti ajaran setiap agama, dunia politik hanya akan dipenuhi ’serigala-serigala’,” ujar Syafii dalam seminar nasional ”Peranan Politik Katolik 1940-1980: Menjadi 100 Persen Indonesia dan 100 Persen Katolik” di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, Sabtu (22/11).</p><p>Lebih lanjut, Syafii mengemukakan, dengan adanya tuntutan moral dan pelaku politik, tidak berarti agama lantas mentah- mentah masuk dalam praktik politik. Penyalahgunaan agama dalam praktik politik sebagai ekstrem sebaliknya membawa akibat yang sama buruknya. Moral dalam politik ibarat rem dalam kendaraan.</p><p>Selain moralitas, Syafii melihat praktik politik di Indonesia dalam sejarah panjangnya selalu kekurangan pelaku-pelaku yang berjiwa besar dan berlapang dada. Karena ini, hubungan antarpemimpin selalu memburuk, seperti terlihat antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-Habibie, dan terakhir Yudhoyono-Megawati. ”Bayangkan, sampai kini mereka tidak saling berteguran,” ujarnya.</p><p>Pembicara lain pada seminar dalam rangka memperingati ulang tahun Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) itu adalah anggota Fraksi PDI-P di DPR Aria Bima, dosen pascasarjana USD Budi Subanar SJ, dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto.</p><p>Aria mengemukakan, dalam politik, selain moral, dibutuhkan juga integritas dari para pelakunya. Integritas itu akan membuat politisi mampu menghindari penyimpangan, seperti saling makan dalam kasus aliran dana Bank Indonesia yang melibatkan banyak anggota DPR.</p><p>Namun, tuntutan moral dan integritas yang tinggi itu, menurut Aria, tidak cukup dijawab oleh semua partai politik dan pelakunya. Aria melihat, persiapan atau prakondisi sekitar 21.000 orang yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif seluruh Indonesia tidak memadai.</p><p>”Minimnya intergitas ditambah belum berubahnya iklim Orde Baru dalam lembaga legislatif di tengah tuntutan transparansi membuat banyak politisi seperti terjebak. Kasus aliran dana BI dan Astro menunjukkan hal itu,” ujar Aria.</p><p>Untuk itu, selain mensyaratkan moralitas dan integritas politisi, Aria mensyaratkan perubahan mekanisme kerja di lembaga legislatif sesuai tuntutan reformasi yang mengharuskan transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, Aria mengharapkan publik bisa memantau secara luas proses politik dan penganggaran di DPR.</p><p>Sebagai peneliti, dosen, dan juga rohaniwan Katolik, Subanar menyoroti mundurnya sejumlah upaya Gereja Katolik dalam politik kebudayaan di zaman yang serba terbuka seperti saat ini. Kemunduran juga terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri. Upaya inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia yang sudah maju melampaui sekadar upaya adaptasi dan penerjemahan ajaran terserat mundur. (INU)</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-46830537979542488102008-11-25T20:03:00.000+07:002008-11-25T20:04:00.433+07:00Perlu Keteladanan Pemimpin Politik<div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <div id="article_body"><p>Jakarta, Kompas - Para pelaku politik mesti mampu becermin dan mencerna kritik Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Ahmad Syafii Maarif tentang peran perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan.</p><p>”Dunia politik harus secara sadar dan sistematis diusahakan menjadi sarana perjuangan, bukan sekadar rebutan kekuasaan atau bahkan untuk saling memakan. Para tokoh politik harus bersedia menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku secara matang dan dewasa,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Minggu (23/11).</p><p>Menurut Anas, keteladanan para tokoh politik diperlukan terkait dengan kompetisi politik. Siap kalah dan siap menang bukan semata-mata menjadi slogan deklarasi, tetapi juga harus ditepati dengan setia. ”Kalau para tokoh politik mampu dewasa, proses pendidikan dan pendewasaan politik di tingkat massa akan berjalan baik. Namun, kalau kekanak-kanakan, jangan harap akan lahir pematangan budaya demokrasi,” ujarnya.</p><p>Soal keteladanan, tokoh dan elite politik memang tidak mudah. Perjalanan bangsa selama ini dan banyaknya kompetisi politik di Indonesia akhir-akhir ini dalam pemilihan umum menunjukkan ketidakmudahan itu. Syafii menyebut tidak saling bertegursapanya Soekarno-Soeharto, Soeharto-Habibie, dan Yudhoyono-Megawati sebagai contohnya. Jiwa besar dan sikap berlapang dada masih sangat jarang ditemui dalam perilaku politik para elite dan tokoh politik.</p><p>Tanggapan sedikit berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung. Menurut dia, komunikasi verbal dalam arti tegur-sapa seperti diharapkan Syafii mungkin tidak tampak di permukaan.</p><p>Namun, sejatinya, untuk hal-hal terkait dengan kepentingan bangsa, tanpa tegur-sapa atau komunikasi verbal, para pemimpin di Indonesia bisa satu pendapat dan suara. ”Itu terjadi juga antara Presiden Yudhoyono dan Ibu Megawati,” ujarnya.</p><p>Pramono mengakui, komunikasi verbal dalam bentuk saling tegur-sapa, seperti dikritikkan Syafii, memang masih menjadi persoalan di antara elite dan tokoh politik di Indonesia. Namun, lewat pengalamannya, Pramono sangat yakin dan percaya, ketika dihadapkan pada kepentingan bangsa yang sifatnya lebih besar, para elite dan tokoh politik bisa bersama-sama meski partai dan posisi politiknya berbeda. (INU)</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-56179378266985047012008-11-25T20:01:00.000+07:002008-11-25T20:02:58.968+07:00Perjuangkan Moral, Jangan Jadi Kiai Politik<div style="text-align: justify;" id="judulartikelcetak"><br /><br /><br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"> <!--zoom image--> <script language="javascript"> function Big(me) { me.width *= 1.700; me.height *= 1.700; } function Small(me) { me.width /= 1.700; me.height /= 1.700; } </script> <div id="boximartikelcetak1"> <table style="text-align: left; margin-left: 0px; margin-right: 0px;" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" width="300" height="200"> <tbody><tr> <td> <img src="http://www.kompas.com/data//photo/2008/11/24/3098457p.jpg" onmouseover="Big(this);" onmouseout="Small(this);" width="300" height="223" /> </td> </tr> <tr align="left"> <td> <span class="txfotocetak"> <span style="font-size:78%;">Kompas/Totok Wijayanto / <a href="http://www.kompasimages.com/" target="_blank">Kompas Images</a><br />Seorang bocah terlelap saat mengikuti perayaan hari lahir ke-2 Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) di Lapangan Tenis Senayan, Jakarta, Minggu (23/11). Pada acara itu juga dilakukan pembaitan calon anggota legislatif dari PKNU oleh KH Mas Muhammad Subadar dan KH Ubaidillah Faqih. </span> </span> </td> </tr> </tbody></table><div style="text-align: left;"> </div></div><div style="text-align: left;"> <span style="font-size:78%;"><span class="tglct">Senin, 24 November 2008 | 03:00 WIB<br /><br /><br /></span></span></div> <div id="article_body"><p>Jakarta, Kompas - Para calon anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama diingatkan untuk mengikuti garis politik kiai, bukan menjadi kiai politik. Dengan cara ini, para caleg PKNU harus memperjuangkan moralitas yang diusung para kiai dalam menata bangsa, bukan larut dalam permainan kotor sebagian politisi.</p><p>Demikian diungkapkan Ketua Dewan Syura PKNU KH Abdurrohman Chudlori dalam acara Baiat Nasional Caleg dan Peringatan Hari Lahir II PKNU di Jakarta, Minggu (23/11). Sebagai representasi kiai, caleg PKNU tidak boleh hanya menjadi karyawan politik yang hanya memperjuangkan kepentingan diri sendiri.</p><p>Selain para pengurus PKNU, dalam acara tersebut juga hadir dua calon presiden, yaitu Akbar Tandjung dan Rizal Ramli, serta Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa.</p><p>Rais Dewan Mustasyar PKNU KH Maruf Amin menambahkan, PKNU harus menjadi gerakan politik kiai untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Upaya itu tidak cukup dilakukan hanya melalui pendidikan maupun dakwah karena hasilnya tidak akan optimal jika tanpa disertai gerakan politik.</p><p>Selama masa Orde Baru, peran ulama sangat dibatasi. Ulama terkungkung dalam pesantren tanpa mampu memperjuangkan aspirasi politiknya. Partai Islam lain yang juga beraliran ahlussunnah wal jamaah dinilai tak mampu memperjuangkan aspirasi ulama dengan baik karena justru melahirkan politik sekuler.</p><p>”PKNU ingin mendorong terbentuknya masyarakat agamis yang dinamis serta harmonis dengan umat agama lain,” katanya.</p><p>Ketua Umum PKNU Choirul Anam menegaskan, pembentukan PKNU bukan karena sakit hati terhadap Partai Kebangkitan Bangsa. Pembentukan partai yang sebagian pengurusnya merupakan mantan kader PKB itu didasari oleh besarnya peran partai di Indonesia. Hampir seluruh pimpinan lembaga negara diseleksi melalui partai di berbagai tingkatan. Untuk itu, diperlukan partai yang mampu mengawal seluruh proses berbangsa tersebut dengan nilai-nilai ulama.</p><p><strong>Baiat nasional</strong></p><p>Sekitar 4.200 caleg PKNU dari berbagai tingkatan juga disumpah (baiat) untuk sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan tidak melakukan korupsi serta melakukan tindak tercela lainnya.</p><p>Pengambilan sumpah dipimpin oleh Pimpinan Pesantren Raudlatul Ulum Pasuruan KH Mas Muhammad Subadar dan Pengasuh Pesantren Langitan Tuban KH Ubaidillah Faqih.</p><p>”Jika anggota legislatif dari PKNU terlibat korupsi, partai akan mengambil tindakan lebih cepat dari yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Anam. (MZW)</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-4973895755010643602008-11-25T19:32:00.000+07:002008-11-25T19:33:18.656+07:00Reformasi<div style="text-align: justify;" class="subjudulidxcetak"><div style="font-weight: bold;" class="subjudulidxcetak"><br /></div> <div style="font-weight: bold;" id="judulartikelcetak">Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi</div> <div class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB</span> <div id="article_body"><p>Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.</p><p>”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).</p><p>Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.</p><p>Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.</p><p>”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)</p></div> </div></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" id="judulartikelcetak">Ketika Politik Gagal, Bisa Berharap Ada Emansipasi</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Selasa, 25 November 2008 | 01:07 WIB</span> <div id="article_body"><p>Jakarta, Kompas - Era reformasi membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih baik ketimbang era sebelumnya. Terlepas banyak yang menyayangkan demokrasi hanya prosedural, reformasi telah memberikan kebebasan pada masyarakat Indonesia untuk sedikit banyak mencicipi demokrasi. Persoalannya, jika prosedural ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat bisa kehilangan pegangan untuk melanjutkan transformasi masyarakat. Di sinilah harapannya ada pada emansipasi.</p><p>”Dalam masa ini, hampir segenap aspirasi perubahan politik dan transformasi masyarakat coba dipapatkan dalam tubuh institusi resmi kepolitikan. Akibatnya, semua bentuk kepolitikan mengalami formalisasi,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, dalam sidang disertasi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (22/11).</p><p>Sidang terbuka yang dipimpin Prof Franz Magnis-Suseno itu memberikan predikat cum laude kepada Robert yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya tidak sampai dua tahun. Robert merupakan doktor kedua dari STF Driyarkara yang mendapat predikat cum laude. Tim penguji adalah Prof Alois Agus Nugroho, Dr Karlina Supelli, dan Prof Alex Lanur. Adapun promotor Prof M Sastrapratedja, ko-promotor Dr B Herry Priyono dan Prof J Sudarminta.</p><p>Menurut Robert, pada titik ketika masyarakat kehilangan pegangan itulah bisa muncul emansipasi yang menyumbang pada pendasaran baru bagi politik. Pertanyaannya, apakah emansipasi itu mungkin.</p><p>”Kalau dilihat dari epistemologi, emansipasi itu problemnya bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tetapi bagaimana mendefinisikan dan memenetrasikan segala matriks kemungkinan dan ketidakmungkinan itu dengan militansi,” ujarnya. (MAM)</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-84738661510203355772008-11-16T09:24:00.000+07:002008-11-16T09:25:15.111+07:00Belajar Mengaku Kalah<div style="text-align: justify;" id="judulartikelcetak"><span class="tglct"><br /></span> <p align="center"><strong>Salahuddin Wahid</strong></p><p>Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah dibandingkan pidato kemenangan Obama.</p><p>Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”</p><p><strong>Al Gore ”versus” Bush</strong></p><p>Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.</p><p>Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.</p><p>Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.</p><p>Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.</p><p>Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”</p><p>Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.</p><p><strong>Jesse Owens dan Hitler</strong></p><p>Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.</p><p>Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.</p><p>Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.</p><p><strong>Kondisi Indonesia</strong></p><p>Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.</p><p>Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.</p><p>Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.</p><p><strong>Menanamkan kesadaran</strong></p><p>Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.</p><p>Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.</p><p>Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.</p><p>Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.</p><p><em><strong>Salahuddin Wahid</strong> Pengasuh Pesantren Tebuireng</em></p></div><div style="text-align: justify;"> <span class="tglct">Sabtu, 15 November 2008 | 00:30 WIB</span> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Salahuddin Wahid</strong></p><p style="text-align: justify;">Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah dibandingkan pidato kemenangan Obama.</p><p style="text-align: justify;">Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”</p><p style="text-align: justify;"><strong>Al Gore ”versus” Bush</strong></p><p style="text-align: justify;">Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.</p><p style="text-align: justify;">Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.</p><p style="text-align: justify;">Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.</p><p style="text-align: justify;">Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.</p><p style="text-align: justify;">Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”</p><p style="text-align: justify;">Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.</p><p style="text-align: justify;"><strong>Jesse Owens dan Hitler</strong></p><p style="text-align: justify;">Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.</p><p style="text-align: justify;">Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.</p><p style="text-align: justify;">Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.</p><p style="text-align: justify;"><strong>Kondisi Indonesia</strong></p><p style="text-align: justify;">Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.</p><p style="text-align: justify;">Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.</p><p style="text-align: justify;">Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.</p><p style="text-align: justify;"><strong>Menanamkan kesadaran</strong></p><p style="text-align: justify;">Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.</p><p style="text-align: justify;">Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.</p><p style="text-align: justify;">Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.</p><p style="text-align: justify;">Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.</p><p style="text-align: justify;"><em><strong>Salahuddin Wahid</strong> Pengasuh Pesantren Tebuireng</em></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-42070740778545836492008-11-15T06:59:00.001+07:002008-11-15T06:59:59.368+07:00Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri<div style="text-align: justify;"> </div><h5 style="text-align: justify;" class="author">Oleh Saidiman</h5><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="article_content"> <div class="summary"><p>Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.” </p></div> <p><i>Reportase Diskusi Bulanan JIL<br />“Kanibalisasi Partai-partai Politik Islam”<br />Teater Utan Kayu, 30 Oktober 2008</i> </p> <p> Fenomena partai-partai Islam memicu perbincangan menarik belakangan ini menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan dominan pada pemilihan umum 2009. Seiring dengan beberapa kemenangan yang terekspose oleh media itu, beberapa lembaga survei merilis temuan terakhir yang menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terus mengalami peningkatan suara: dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 (masih bernama PK) menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 dan survei-survei itu menunjukkan bahwa PKS saat ini bisa mencapai 9-11 persen suara. DPP PKS bahkan menargetkan 20 persen suara pada Pemilu 2009. </p> <p>Wacana yang berkembang dalam diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), 30 Oktober 2008, tampak mengusung kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kebanyakan media mengenai bangkitnya kekuatan partai politik Islam. Dua narasumber, Dodi Ambardi (Lembaga Survei Indonesia) dan Burhanuddin Muhtadi (Charta Politika), sepakat untuk hati-hati melihat fenomena “kebangkitan” ini. Sementara Zulkiflimansyah (Partai Keadilan Sejahtera) lebih banyak berbicara dari sudut pandang politisi partai islamis. </p> <p>Di pihak yang lain, ada sejumlah kalangan, terutama politisi, yang menilai bahwa dikotomi antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sudah kehilangan relevansi. Ini terkait dengan tidak jelasnya materi kampanye masing-masing partai. Partai yang dikenal nasionalis dengan mudah mengumbar jargon-jargon Islam, sementara partai yang dikenal berideologi islamis malah mengusung semangat nasionalisme. Dalam sebuah talkshow televisi yang diadakan oleh harian Republika, Yusuf Kalla menegaskan “Tidak ada lagi pertentangan antara Islam dan nasionalis.” Taufik Kiemas, Muhaimin Iskandar, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, Wiranto, dan Republika sendiri mengeluarkan pendapat yang senada dengan Yusuf Kalla. </p> <p> <b>Politik Aliran</b> </p> <p>Kesimpulan para tokoh di atas dibantah oleh Dodi Ambardi dan Burhanuddin. Dodi mengemukakan beberapa fakta. Pada level perdebatan institusional di lembaga legislatif, beberapa kasus yang paling sensitif menunjukkan pembelahan ideologis itu masih relevan. Perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Sisdiknas, Pornografi, dan Piagam Jakarja menunjukkan pembelahan ini berjalan secara konsisten. Agenda-agenda Islam yang termuat dalam sejumlah Rancangan Undang-undang itu ditolak secara konsisten oleh partai-partai nasionalis (PDIP, PDS, Golkar, dan seterusnya). Sementara partai-partai islamis hampir selalu menjadi pendukung terdepan agenda-agenda ideologis tersebut. </p> <p>Pada level pemilih, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa sebetulnya masyarakat bawah mampu membedakan garis batas ideologi dalam partai-partai politik. Survei LSI, 8-20 September 2008, menunjukkan kecenderungan pemilih mengidentifikasi PKS, PKB, PPP, PAN, PNUI dan PBB sebagai partai yang islamis. Sementara Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra adalah partai nasionalis atau pancasilais.<br /> <br />Fenomena ini memperlihatkan bahwa para pemilih sesungguhnya menolak klaim para petinggi partainya sendiri. Ada kesenjangan antara opini publik yang berkembang di kalangan elit partai dan realitas politik yang ada. </p> <p> Burhanuddin memberi data yang lebih spesifik mengenai realitas politik PKS. Belakangan ini PKS begitu sibuk membangun citra nasionalis bagi partainya. Pada sejumlah materi kampanye terlihat bahwa PKS mencoba meraih simpati pemilih nasionalis dengan mengusung ide-ide mengenai toleransi dan nasionalisme. Tokoh-tokoh nasionalis semacam Soekarno bahkan tampil dalam materi-materi kampanye tersebut. Para elit PKS juga sibuk melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah citra PKS yang Islamis menjadi nasionalis. Tetapi menurut data kuantitatif yang dikemukakan oleh Burhanuddin, mayoritas aksi kader-kader PKS dalam bentuk demonstrasi selalu berhubungan dengan agenda-agenda islamis. Pemilih PKS juga adalah pemilih yang paling kuat mendukung agenda-agenda islamis, seperti pemberlakuan hukum potong tangan, menolak presiden perempuan, dan seterusnya. Apa yang dikemukakan oleh para elit PKS ternyata tidak memiliki korelasi dengan aspirasi dasar pemilih PKS itu sendiri. </p> <p>Menanggapi isu ini, Zulkiflimansyah memberi semacam klarifikasi. Dia berpendapat bahwa PKS adalah partai yang terbuka, menerima siapa saja dan dari latar belakang apa saja. Yang paling penting dari kiprah PKS sekarang ini adalah sebagai wadah bagi ummat Islam untuk melakukan reformasi diri dalam hal penyaluran aspirasi politik. “Berikan waktu kepada ummat Islam untuk melakukan reformasi diri,” ungkap Zulkifli. Bagi dia, apa yang sekarang dijalani oleh PKS adalah semacam upaya untuk menjadikan Islam sebagai instrumen perubahan sosial. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) di Turki. Mereka adalah generasi Islam yang tercerahkan. Mereka akan membuat politik Islam menjadi lebih rasional dan terbuka. </p> <p> <b>Partai Politik Islam</b><br /> <br />Pada level elektabilitas, PKS memang menunjukkan tren menanjak. Tetapi, menurut Dodi, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa partai politik Islam secara umum memang sedang mendapat momentum untuk terus menanjak. Realitas politik menunjukkan bahwa mayoritas pemilih tetap pada pendirian untuk memilih partai-partai nasionalis. Survei nasional LSI, April 2008, menunjukan bahwa 60 persen pemilih tetap memilih partai non-Islam, sementara hanya 16,6 persen yang memilih partai Islam, 24,4 persen sisanya belum menentukan pilihan. Angka ini cukup stabil sejak 2005. </p> <p> Jika kemudian PKS tampak mendulang suara semakin besar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari partai mana suara PKS itu datang. Dalam pelbagai survei ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya suara PKS saat itu pula suara partai-partai seideologi juga mengalami penurunan. Dua partai yang paling menderita atas peningkatan suara PKS ini adalah PAN dan PBB. Itu artinya, PKS telah masuk ke dalam praktik “ta’kula lahma akhihi” (memakan teman sendiri). </p> <p> Pola ini disadari betul oleh para elit PKS. Itulah yang membuat mereka tampak bersiteguh untuk tampil lebih nasionalis. Menurut Dodi, kekuatan PKS yang islamis sesungguhnya tidak sebanyak yang dibayangkan. 7,3 persen pada Pemilu 2004 tidak bisa serta merta berisi pemilih-pemilih Islam. Materi kampanye yang diusung oleh PKS saat itu justru adalah tentang pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sementara pada 1999, di mana PKS hanya memperoleh suara 1,4 persen suara, PK begitu kental dengan agenda-agenda politik Islam. Yang membuat PKS mendulang suara berkali lipat justru adalah kampanye di luar agenda islamis. </p> <p>Tetapi, menurut Burhanuddin, PKS tetap harus berhati-hati mengambil isu-isu nasionalis dalam materi kampanyenya. Realitas pemilih PKS yang sangat kental dengan nuansa islamis akan membatasi ruang gerak PKS itu sendiri. Tantangan utama PKS dalam melebarkan sayap audiens politik kepada pemilih nasionalis akan mendapat tantangan dari kalangan internal sendiri. Sangat mungkin PKS akan ditinggalkan oleh pemilih ideologisnya jika ia terus bermain-main dengan isu-isu nasionalis, sesuatu yang tidak mendapat tempat di hati para pemilih PKS itu sendiri.<br /> <br />Lebih jauh Burhanuddin menjelaskan bahwa realitas politik yang menunjukkan semakin banyaknya partai yang gangdrung menggunakan jargon-jargon islami sebetulnya adalah bukti bahwa partai-partai nasionalis justru sedang berusaha melebarkan sayap menggerogoti basis pemilih partai-partai Islam. Alih-alih partai Islam yang mampu mengalihkan dukungan partai nasionalis, suara di basis-basis massa mereka sendiri yang semakin terancam oleh para elit partai nasionalis yang semakin “islamis.” </p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-51530746545059811372008-11-12T16:29:00.001+07:002008-11-12T16:29:51.267+07:00REFORMASI BIROKRASI<div style="text-align: justify; font-weight: bold;" class="subjudulidxcetak"><br /></div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;"> </div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;" id="judulartikelcetak">Terganjal Metodologi yang Tak Jelas</div><div style="text-align: justify;"> <span class="tglct">Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB</span> </div><p style="text-align: justify;">Jakarta, Kompas - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Amien Sunaryadi, yang juga penerima Bung Hatta Anticorruption Award, menyatakan, reformasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintah sejak tahun 1993 hingga sekarang tidak jelas metodologinya. Ia meminta pemerintah memahami dan belajar dari sejarah pemberdayaan aparatur negara yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an.</p><p style="text-align: justify;">Hal tersebut dikemukakan Amien dalam seminar ”Mewujudkan Birokrasi Antikorupsi” di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (11/11). Hadir dalam acara tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.</p><p style="text-align: justify;">Busyro Muqoddas menambahkan, korupsi birokrasi sangat dipengaruhi oleh kultur profesi. Ia banyak mengemukakan tentang reformasi peradilan yang, menurut dia, perlu dipikirkan kembali. Pasalnya, peradilan di Indonesia masih menempati posisi sebagai peradilan terkorup di Asia. Survei dilakukan di 12 negara</p><p style="text-align: justify;">Menurut Amien, Indonesia sudah melaksanakan reformasi birokrasi sejak lama. Berbagai metode dilakukan, seperti pembuatan undang-undang dan penggantian pejabat.</p><p style="text-align: justify;">”Saya ingin pemerintah mempelajari sejarah. Kita sudah punya Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa pegawai negeri harus digaji layak. Namun, itu tidak pernah terpenuhi. Kalau salah satu poin dalam undang-undang tidak terpenuhi hingga kini, mengapa harus mengubah undang-undang? Kalau tidak memahami sejarah dan metodologi, reformasi birokrasi bisa keliru,” ujarnya.</p><p style="text-align: justify;">Ia menambahkan, reformasi birokrasi bukanlah sekadar pemberian tambahan penghasilan. Reformasi harus diartikan sebagai peningkatan nilai tambah atau added value sehingga performa kerja pegawai meningkat.</p><p style="text-align: justify;"><strong>Tergantung pimpinan</strong></p><p style="text-align: justify;">Mahfud MD berpendapat, pelaksanaan reformasi birokrasi sangat bergantung pada pimpinan lembaga. Menurut dia, birokrasi terkadang dapat dibeli melalui pimpinan.</p><p style="text-align: justify;">Mahfud menceritakan pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Baru dua bulan menjabat, ia pernah didatangi seseorang yang meminta proyek kepadanya. Orang tersebut menjanjikan fee 2 persen untuk partainya.</p><p style="text-align: justify;">Menjawab tawaran orang itu, Mahfud mengatakan, ia saat ini tidak mengurus parpol. (ana)</p><p style="text-align: justify;"> </p>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-52130774768231377892008-11-12T16:28:00.001+07:002008-11-12T16:28:45.011+07:00Partai Politik<div style="text-align: justify;" class="subjudulidxcetak"><br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;" id="judulartikelcetak">Multipartai Hambat Kepemimpinan</div><div style="text-align: justify;"> <span class="tglct">Rabu, 12 November 2008 | 00:35 WIB</span> </div><p style="text-align: justify;">Makassar, Kompas - Terlalu banyaknya jumlah partai politik di Indonesia menghambat terciptanya kepemimpinan nasional yang efektif. Parpol juga dinilai terjebak lagi dalam demokrasi prosedural sehingga produk politik yang dihasilkan tidak pernah menyentuh masalah substansial bangsa ini.</p><p style="text-align: justify;">Hal itu disampaikan guru besar ilmu politik Ichlasul Amal dan Nazaruddin Syamsuddin MA dalam diskusi tentang masalah kepemimpinan nasional pasca-Orde Baru pada Seminar Nasional XXIII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Makassar, Selasa (11/11). Kedua pembicara menyatakan, efektivitas kepemimpinan nasional ditentukan model parlemen yang diterapkan.</p><p style="text-align: justify;">Ichlasul mengakui, terlalu kuatnya parlemen di Indonesia cenderung melabilkan situasi politik. Hal itu membahayakan supremasi sipil. Multipartai yang besar menyebabkan sulitnya mencapai konsensus nasional yang dibutuhkan untuk mengefektifkan kepemimpinan nasional.</p><p style="text-align: justify;">”Jika kita merindukan kepemimpinan nasional yang kuat dan berintegritas, orang selalu beranggapan pemimpin seperti itu hanya muncul dari kalangan militer. Jangan-jangan kita merindukan kepemimpinan sebagaimana yang ditampilkan Soeharto. Apakah seperti itu yang diinginkan?” kata Ichlasul.</p><p style="text-align: justify;">Ichlasul mengakui, karut-marut sistem presidensial semiparlementer di Indonesia diperparah tidak rasionalnya pemilih.</p><p style="text-align: justify;">Nazaruddin menyatakan, DPR menghancurkan sistem seleksi alamiah parpol dengan mengacaukan mekanisme electoral threshold atau ambang batas perolehan suara. ”Padahal, dengan menerapkan electoral threshold, saya yakin pada 2014 jumlah partai hanya berkisar tiga. Namun, partai di parlemen memakai pendekatan kepentingan dalam membuat aturan,” katanya.</p><p style="text-align: justify;">Padahal, kata Nazaruddin, sistem multipartai yang terlalu besar akan memacetkan sistem presidensial. ”Kenyataan hari ini, investasi politik untuk memilih pemimpin nasional begitu besar. Sistem presidensial akan mogok jika harus menghadapi multipartai yang terlalu besar,” katanya.</p><p style="text-align: justify;">Dalam seminar itu, Redaktur Senior Kompas Ninok Leksono, yang menjadi pembicara, menyatakan, pemimpin nasional yang kuat tidak bisa bermodalkan keinginan semata. ”Orang tak bisa menyatakan diri sebagai pemimpin nasional, hanya karena ia merasa bisa menjadi pemimpin. Pemimpin datang silih berganti, namun bangsa ini tidak kunjung maju,” katanya. (row)</p><p style="text-align: justify;"> </p><p style="text-align: justify;"> </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-18703835618497344472008-11-02T06:26:00.000+07:002008-11-02T06:27:14.589+07:00Media Massa<div style="text-align: justify;" class="subjudulidxcetak"><br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;" id="judulartikelcetak"><span style="font-size:130%;">Kalla: Jangan Menyulut Kebencian</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Sabtu, 1 November 2008 | 00:26 WIB</span> <div id="article_body"><p>Jakarta, Kompas - Media massa diimbau tidak menyulut kebencian dan kekerasan dalam pemberitaan. Media juga harus bisa menjaga moral bangsa dan obyektif dalam pemberitaan.</p><p>Peringatan itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika membuka Seminar Refleksi Sembilan Tahun Kebebasan Pers yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, Kamis (30/10).</p><p>”Begitu ada berita pembakaran kantor polisi, gedung KPU di sejumlah daerah, bisa dipastikan di daerah lain juga akan terjadi karena mereka mencontoh. Beritanya sendiri tidak ada yang salah, tetapi mau dibawa ke mana bangsa ini? Efek pemberitaan semacam ini bisa menimbulkan kebencian pada pemerintah dan mengungkapkan kelemahan pemerintah,” ujar Kalla yang kemudian juga mempertanyakan apakah bangsa ini akan terus menciptakan kekerasan.</p><p>Padahal, lanjutnya, jika pemerintah lemah dan keadaan Indonesia dikesankan tidak aman, investasi dan dunia usaha menjadi ragu masuk ke Indonesia. Hal itu menyebabkan perekonomian sulit berkembang. ”Kalau perekonomian tidak berkembang, orang tidak pasang iklan. Sementara media itu juga hidup dari iklan dunia usaha,” ujarnya.</p><p>Itu sebabnya, menurut Kalla, media perlu membangun optimisme bangsa ini. Caranya, antara lain, dengan tidak mempertontonkan cara yang tidak benar dalam menyelesaikan masalah.</p><p>Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal mengatakan, lunturnya kemerdekaan pers lebih disebabkan sikap kalangan pers, bukan karena intervensi pemerintah seperti pada masa lalu. Banyaknya jumlah pengaduan ke Dewan Pers, di satu sisi menunjukkan kesadaran masyarakat tentang fungsi Dewan Pers, tetapi di sisi lain mencerminkan belum dewasanya pers. (MAM)</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-14690256730410107492008-11-02T06:24:00.000+07:002008-11-02T06:25:18.324+07:00POLITIKA<div style="text-align: justify;" class="subjudulidxcetak"><br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify; font-weight: bold;" id="judulartikelcetak"><span style="font-size:130%;">Itulah Indonesia!</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="txtartikelcetak"> <span class="tglct">Sabtu, 1 November 2008 | 02:20 WIB</span> <div id="article_body"><p>Oleh <strong>BUDIARTO SHAMBAZY</strong></p><p>Koran dwimingguan Sun News di Santa Fe (New Mexico) edisi 28 Oktober memuat judul ”Obama Wins!” di halaman depan. Tak ada teks, cuma judul itu plus foto Barack Obama dengan giginya yang kayak Chiclets itu sehalaman.</p><p>Kok nekat? ”Tiap orang ingin jadi yang pertama mengumumkan pemenang pilpres. Kami mencatat rekor itu,” kata pengumuman koran bertiras 10.000 eksemplar itu.</p><p>Lain lagi ulah lima koran di Ohio, Florida, dan Nevada. Mereka menjual koran dengan sisipan 1,25 juta keping DVD durasi 95 menit berisi kampanye negatif terhadap Obama.</p><p>DVD ”Hype: The Obama Effect” menayangkan wawancara dengan tokoh konservatif, seperti wartawan Robert Novak, mantan capres Mike Huckabee, dan bekas konsultan Bill Clinton, Dick Morris. Biaya pembuatannya sejuta dollar AS.</p><p>Tiras koran di Amerika Serikat turun 4-6 persen akibat pengaruh media internet. Kelompok Time yang terdiri dari 24 majalah memecat 600 karyawan, harian Christian Science Monitor stop terbit dan konsentrasi ke online.</p><p>Untuk meningkatkan tiras, Sun News dan lima koran itu memanfaatkan pilpres secara sensasional. Sistem pers libertarian tak menabukan dukungan—juga penolakan—terhadap Obama atau John McCain.</p><p>Sampai pekan lalu tercatat hampir 200 media mendukung Obama, lebih dari 40 mendukung McCain. Ingat, hampir 100 persen media tak berafiliasi ke Demokrat atau Republik.</p><p>Biasanya yang pro-Demokrat pers liberal, orientasi politik orisinal warisan Eropa yang terkandung dalam konstitusi 1776. Pers konservatif pro-Republik berbeda 180 derajat karena karakternya puritan.</p><p>Pers tak wajib mempraktikkan tabula rasa karena keberpihakan politik perlu. Namun, keberpihakan itu bukan kayak penggemar sepak bola fanatik yang maunya menang melulu dan kalau kalah bikin rusuh.</p><p>Justru pers AS menerapkan prinsip ”bebas dan bertanggung jawab”. Contohnya, pembelaan terhadap Obama yang jadi korban kampanye negatif norak dan bertalu-talu.</p><p>Prinsip ”bebas” dimaknai dengan keleluasaan pers membongkar latar belakang, prestasi, kegagalan, pemahaman, dan rencana setiap capres. Semuanya bermuara pada satu hal: karakter.</p><p>Nah, mengukur karakter bukan pekerjaan sukar karena ”rekaman” tiap capres tercatat rapi. Jika Obama atau McCain punya karakter sebagai tukang ngibul, gampang melacaknya.</p><p>Anda datang ke polisi mencari data kejahatan yang pernah mereka lakukan. Itu sebabnya, Clinton sebelum menjadi capres mengaku pernah mengisap ganja dan Obama menikmati kokain.</p><p>Berbeda dengan George W Bush yang menyembunyikan tabiat doyan mabuk yang akhirnya ketahuan menjadi skandal. Tak heran ia dicap pembual, termasuk mengarang cerita senjata pemusnah massal di Irak.</p><p>Itu sebabnya mayoritas media tak mendukung Bush pada Pilpres 2004. Mereka ”bertanggung jawab” dengan menyarankan publik jangan memilih Bush lagi.</p><p>Bahwa Bush menang lagi, itu soal lain. Pers hanya berusaha memengaruhi—bukan mendikte—opini publik yang dalam dunia bisnis dikenal dengan selera pasar.</p><p>Mustahil mengubah selera pasar. Ambil contoh selera pasar otomotif di sini yang gemar bertanya, ”Bensinnya satu berapa?” atau, ”Resale value-nya tinggi enggak?”</p><p>Padahal, rasio pemakaian BBM per kilometer tiap mobil beda-beda tipis. Uniknya, mobil belum dipakai, tetapi sang pasar sudah mikir mau menjualnya.</p><p>Pasar senang dimanja aneka aksesori yang kurang penting macam cup holder atau face lift. Harga mahal enggak apa-apa asalkan gaya.</p><p>Pasar kurang peduli dengan prinsip value for money, pengembangan mesin, atau keamanan. Mobil berkualitas yang harganya lebih murah belum tentu disukai pasar.</p><p>Begitu juga dengan politik capres yang marak belakangan ini. Entah mengapa, selera pasar makin sukar diprediksi karena berbagai faktor.</p><p>Persaingan capres di mana pun selalu dalam bilangan pekan dan bulan. Obama saja masih mungkin terpeleset andai salah ucap 1-2 kalimat pada hari-hari sebelum 4 November.</p><p>Faktor yang amat memengaruhi selera pasar capres di sini perilaku pemilih. Menjawab teka-teki ini mudah: dengarkan hit akhir 1960-an, ”Berikan Daku Harapan” yang dilantunkan Tuti Subardjo.</p><p>”Berikan daku harapan/Ku jadikan kenangan”. Tak ada manfaatnya capres menawarkan harapan karena pasar, apa pun alasannya, memperlakukan capres jadi bahan nostalgia doang.</p><p>Iba melihat presiden sejak tahun 1998 karena selalu mengecewakan pasar walau kerja mati- matian. Soalnya pasar hanya percaya sebuah teori: presiden sebelumnya lebih baik daripada yang sekarang.</p><p>Buktinya, Bung Karno yang berjasa besar dihujat habis, Pak Harto dipuja-puja. Reformasi menjungkalkan Pak Harto, the king is dead and long live the king!</p><p>Datang era Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan SBY-JK. Eh, ternyata hidup lebih enak di zaman Pak Harto!</p><p>Nah, yang ”mati konyol” kami wartawan. Mau berpihak kebenaran dicurigai ”main mata”, mau berbicara apa adanya ada yang ”tak terima”, mau mengkritik digalaki ”apa maksudnya?”</p><p>Lebih mati konyol lagi pers dikungkung UU yang mengancam pencabutan SIUPP jika dianggap tak adil memberitakan kampanye. Lha, apa yang mau dicabut kalau SIUPP enggak berlaku lagi?</p><p>Fenomena gaib ini di AS diledek, ”Only in America....” Di sini, mengutip lirik sebuah lagu perjuangan, ”Itulah Indonesia!”</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-12691353490184825892008-10-31T07:19:00.000+07:002008-10-31T07:20:31.562+07:00Bersumpah untuk Bahasa<div style="text-align: justify;" class="block-content"><span style="font-weight: bold;"><br /></span> <div class="news-content"><p><span style="color:#ff9900;"><b>Ignas Kleden</b></span> </p><li><i>Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi </i> <p>ADA dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Yang satu adalah Pancasila sebagai dasar filsafat negara RI dan yang kedua bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita tahu, Pancasila beberapa kali menghadapi cobaan, baik melalui jalan legal dalam perdebatan di Konstituante maupun melalui jalan ilegal dalam pemberontakan-pemberontakan daerah. Dalam Konstituante, muncul keinginan untuk memberi dasar negara yang lain berupa Islam dan sosial-ekonomi sebagai alternatif terhadap Pancasila. Dalam pemberontakan daerah, kekuatan Pancasila yang mempersatukan terancam oleh gerakan bersenjata yang bersifat separatis. </p><p>Pemikiran tentang kebudayaan yang sesuai dengan Indonesia yang merdeka telah menimbulkan polemik yang keras antara Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya, berupa rangkaian perdebatan yang kemudian dihimpun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan. Sebaliknya, tidak ada polemik yang berlarut-larut tentang bahasa apa gerangan yang akan dipakai sebagai bahasa nasional. Semenjak para pemuda mengikrarkan sumpah mereka pada 28 Oktober 1928, masalah bahasa nasional dan bahasa persatuan dianggap selesai. Tidak terlihat usaha memaksakan bahasa-bahasa besar, seperti bahasa Jawa atau bahasa Sunda, untuk dipergunakan di seluruh negeri, meskipun, menurut sastrawan dan peneliti sastra Ajip Rosidi, bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa Indonesia ”bukanlah bahasa yang paling banyak pemakainya (kalah paling tidak oleh bahasa Jawa dan Sunda) dan bukan pula paling kaya kesusastraannya”. </p><p>Sebelum diangkat menjadi bahasa persatuan, bahasa Melayu telah dipakai selama berabad-abad sebagai sarana komunikasi di antara penduduk kepulauan di Nusantara. Karena itulah, pada 1933 Sutan Takdir Alisjahbana menulis dalam Poedjangga Baroe bahwa bahasa Melayu bukan semata-mata kepunyaan orang Melayu. Dalam kenyataannya ”penduduk sekalian kepulauan ini menjalankan pengaruhnya masing-masing atasnya, membentuk dan memakainya menurut keperluan dan pekerti masing-masing”. </p><p>Melalui proses itu, bahasa Melayu Riau kemudian berkembang menjadi sebuah lingua franca. Kita tahu kekhasan lingua franca ialah bahwa ia hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi tapi tidak berperan lagi sebagai representasi identitas. Orang-orang yang sekarang fasih berbahasa Inggris tidak harus datang dari London atau Bristol, San Francisco, atau Philadelphia. Bahasa Inggris di dunia sekarang, bahasa Latin di zaman dulu, bahasa Spanyol di Amerika Selatan, dan bahasa Melayu di Nusantara memungkinkan komunikasi di antara berbagai kelompok budaya, tapi tidak lagi menjadi penunjuk atau ”tanda” bagi kelompok budaya yang memakainya. </p><p>Rupa-rupanya inilah latar belakang penting mengapa tanpa banyak kesulitan, bahasa Melayu diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia, karena tidak ada klaim identitas dalam pemakaian bahasa itu, dan karena itu tidak ada juga konflik antaridentitas. Halnya mungkin akan sangat berlainan kalau bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis diterima sebagai bahasa persatuan. Dapat diperkirakan, akan muncul keberatan atau bahkan penolakan dari kelompok etnis lainnya, karena dianggap penerimaan salah satu bahasa besar tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik identitas yang dapat merugikan atau mengancam identitas lainnya. </p><p>Mungkin tidak banyak contoh dalam sejarah dunia bahwa persoalan bahasa nasional yang biasanya pelik dan sensitif diselesaikan hanya oleh satu ikrar para pemuda. Sumpah Pemuda yang dikenang dengan penuh hormat pada hari-hari ini telah berperan sebagai remote preparation untuk Proklamasi 17 tahun kemudian. Sebab, sebelum diumumkannya Proklamasi sebagai deklarasi kemerdekaan, telah lahir Sumpah Pemuda sebagai deklarasi persatuan seluruh bangsa. Kemampuan-mempersatukan dari bahasa Melayu dimungkinkan karena berbagai kelompok budaya di seluruh kepulauan Nusantara relatif mengenal bahasa ini dan tidak perlu mempelajarinya sebagai bahasa yang sama sekali baru. Tiap kelompok budaya bahkan turut menciptakan bahasa ini sesuai dengan keperluan dan watak mereka. Kata ”pergi” dalam bahasa Melayu mendapat variasi dalam dialek masing-masing daerah menjadi ”pigi” atau ”pi”. Demikian pun kata ”kita” kemudian berubah dalam dialek-dialek daerah menjadi ”kite”, ”kitaorang”, ”ketorang”, ”ketong”, atau ”torang”. Meskipun demikian, orang dapat dengan cepat memahami berbagai bentuk variasi itu dibandingkan dengan mempelajari suatu bahasa yang sama sekali baru, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis. </p><p>Mengherankan bahwa tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenal sebagai penganjur kebudayaan Barat, tidak mengusulkan bahasa Belanda atau bahasa Inggris sebagai bahasa persatuan Indonesia, tapi menjadi pendukung fanatik bahasa Indonesia dan mengabdikan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk membina dan mengembangkan bahasa ini. Dialah penentang tangguh strategi Dr G.J. Nieuwenhuis, yang sejak pertengahan 1920-an merencanakan perluasan penggunaan bahasa Belanda oleh sebanyak mungkin penduduk pribumi agar suatu saat bahasa itu menjadi cukup kuat untuk menjadi bahasa persatuan di Hindia Belanda. Bagaimana niat baik Politik Etis masih ditunggangi oleh akal-akalan kolonial dapat disimak dari kesimpulan pemikiran Nieuwenhuis. Katanya: ”Pekerjaan bahasa Belanda di Hindia ialah menolong membangun masa depan bagi bangsa Hindia dan menolong mempertahankan masa lampau bagi bangsa Belanda”. Impian itu hilang bagaikan diterbangkan angin setelah diumumkannya Sumpah Pemuda yang menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia. </p><p>Menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan tentulah membawa akibat-akibat dan meminta persyaratan tersendiri, apalagi setelah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa persatuan, ia perlu mempunyai norma-norma yang dapat jadi pegangan setiap pengguna bahasa agar memenuhi persyaratan comprehensibility, yaitu dipahaminya bahasa tersebut karena digunakan menurut aturan-aturan kebahasaan yang dianut bersama. Sebagai bahasa negara, dibutuhkan adanya unsur keresmian dalam bahasa itu, yang membuatnya pantas diucapkan atau didengar dalam upacara atau pertemuan-pertemuan kenegaraan yang resmi. Maka pembakuan bahasa harus dilakukan untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. </p><p>Dalam perkembangan kemudian terlihat bahwa bahasa persatuan menghendaki syarat-syarat yang mempersamakan kedudukan semua pemakai bahasa ini karena tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan kelas sosial, keturunan, umur atau status, dan jabatan. Sifatnya sebagai bahasa persatuan mengharuskannya menjadi egalitarian, sebagaimana yang digunakan dalam masa revolusi kemerdekaan atau pada tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka. Sebaliknya, sebagai bahasa negara, khususnya selama Orde Baru, bahasa Indonesia mengalami proses feodalisasi dan birokratisasi yang amat kencang, yang menonjolkan perbedaan status penutur dan status lawan bicara. Ada ketegangan antara bahasa persatuan yang egalitarian dan bahasa negara yang cenderung feodal. </p><p>Mengelola ketegangan di antara dua kecenderungan ini seyogianya menjadi pekerjaan rumah untuk Pusat Bahasa sebagai lembaga yang, dengan biaya negara, menjalankan tugas membina dan mengembangkan bahasa Indonesia. Pada 1999 Ajip Rosidi pernah mengajukan kritik bahwa Pusat Bahasa tidak berbuat sesuatu pun selama masa Orde Baru untuk mengendalikan dan mengurangi tendensi feodalisasi bahasa Indonesia ini. Dengan lain perkataan, pemihakan kepada bahasa negara lebih kuat daripada pemihakan kepada bahasa persatuan. </p><p>Perbedaan lainnya ialah bahwa dalam bahasa persatuan orang lebih cenderung menyatakan pikiran dan perasaannya karena kebutuhan berkomunikasi. Sebaliknya, dalam bahasa negara ada kecenderungan untuk menyembunyikan pikiran dan perasaan karena takut kepada kekuasaan negara. Dalam buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana mendefinisikan bahasa sebagai ”ucapan pikiran dan perasaan manusia dengan teratur dengan memakai alat suara”. Jelas bahwa definisi tersebut telah disusun dalam semangat bahasa persatuan dan bukan dalam formalisme bahasa negara. </p><p>Apakah pada saat ini Pusat Bahasa dan para ahli bahasa dapat melakukan pembakuan bahasa Indonesia dengan mengintegrasikan kembali semangat bahasa persatuan ke dalam pembakuan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan apakah kita masih ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” atau barangkali diam-diam telah melupakan sumpah yang bersejarah itu.</p></li></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-43250055034668129422008-10-31T07:18:00.001+07:002008-10-31T07:18:58.565+07:00Terinspirasi Kartini<div style="text-align: justify;" class="block-content"><span style="font-weight: bold;"><br /></span> <div class="news-abstract">Memperjuangkan hak-hak perempuan sejak belia, Sujatin Kartowijono tergerak oleh buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia dan tetap aktif hingga masa senja hidupnya.</div> <div class="news-content"><p>USIANYA 15 tahun ketika bergabung dengan Jong Java—organisasi kebangsaan pemuda Jawa—pada 1922. Saat itu Sujatin baru masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs alias MULO, sekolah menengah pertama di zaman Belanda. ”Lima belas tahun, aku mulai aktif di kegiatan luar sekolah, meniru Ayah yang gemar berorganisasi,” katanya. Petikan kisah itu ditulis kembali oleh Hanna Rambe dalam biografi Sujatin Kartowijono: Mencari Makna Hidup. </p><p>Pilihan berorganisasi dia lakukan dengan sadar, dan praktis mewarnai seluruh kehidupannya. Dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dia aktif membela hak-hak perempuan sepanjang hidupnya. Ditunjuk memimpin majalah terbitan Jong Java, remaja putri itu, yang menggunakan nama pena Bunga Gerbera, menuliskan pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib bangsa yang dijajah. </p><p>Pendidikan adalah dunia Sujatin selepas MULO dan Sekolah Guru. Ensiklopedia Indonesia menulis, wanita muda yang teguh hati itu memilih mengajar di sekolah swasta karena bertekad tidak mau bekerja pada Gubernemen (pemerintah Belanda). Ayahnya, Joyohadirono, adalah sosok yang berperan besar pada Sujatin. </p><p>Hubungan keduanya terbilang istimewa, terutama bila menilik riwayat kelahiran Sujatin. Karena amat mengharapkan anak laki-laki, Pak Joyo hanya menatap si orok dengan dingin ketika bayi merah itu dilahirkan di Desa Kalimenur, Wates, Yogyakarta, pada 7 Mei 1907. Dari anak yang tak diharapkan, Sujatin tumbuh menjadi anak yang cekatan dan pandai serta menjadi putri kesayangan Joyo. </p><p>Sujatin kecil satu-satunya dari belasan anak Joyo yang mendapat ranjang khusus di kamar ayahnya. Joyo adalah Kepala Stasiun Kereta Sumpiuh. Dia mempercayai putrinya untuk menuliskan sejumlah saran perbaikan kepada Pusat Jawatan Kereta Api. </p><p>Berkat posisi ayahnya, Sujatin bisa menikmati pendidikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School (HIS). Setelah melek huruf, Tin—panggilannya—benar-benar ”gila” bacaan. Kerap kali dia memanjat pohon setinggi mungkin, lalu membaca, atau mendekam di kolong ranjang dengan lampu minyak. </p><p>Buku kegemaran dia antara lain karya-karya dongeng Hans Christian Andersen. Juga kisah petualangan Karl May yang masyhur. Tapi bacaan yang betul-betul merenggut perhatian Sujatin adalah kumpulan surat Kartini, Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini memang mengubah hidup Sujatin. ”Aneh, aku seolah melihat potret diri sendiri,” katanya. </p><p>Jalan pertama mengubah nasib perempuan menurut Sujatin adalah melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Lewat Jong Java, Sujatin menebar ”virus” persatuan. Ini bukan perkara mudah di masa itu. Umumnya orang masih buta huruf dan rendah diri terhadap penjajah. Mereka yang mengenyam pendidikan dan sedikit dihargai oleh penjajah khawatir terpental dari posisi nyaman. </p><p>Di luar jam mengajar, Sujatin rajin mengunjungi sekolah-sekolah lain untuk menularkan keyakinannya. Dia mengajak para siswa bergabung ke dalam perhimpunan. Untuk itu, dia harus berhadapan dengan direktur sekolah, yang notabene orang Belanda. Sujatin berhasil menuai simpati dan anggota perhimpunan pun bertambah. </p><p>Ketika Kongres Pemuda pertama berlangsung di Jakarta pada 1926, yang antara lain dihadiri perwakilan Jong Java, Sujatin baru lulus Sekolah Guru. Bersama sejumlah kolega, dia mendirikan Poeteri Indonesia, perhimpunan khusus guru wanita. Dua tahun kemudian, dia hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 (peristiwa yang kemudian dijadikan Hari Ibu). </p><p>Dalam kongres itu, Sujatin—yang mewakili Poeteri Indonesia—menjadi ketua pelaksana. Ada tiga poin penting yang dirumuskan, yakni membangkitkan rasa nasionalisme, menyatukan gerakan perkumpulan wanita, dan membentuk Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Dalam artikel singkat ”Apa Arti Sumpah Pemuda bagi Diriku” yang ditulisnya dalam buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda, Sujatin menuturkan, ide pertemuan telah mendapatkan persetujuan suami-istri Ki dan Nyi Hajar Dewantoro, Dr Soekiman, serta Nyonya Soekonto dari kelompok Wanito Tomo. </p><p>Semangat penyatuan organisasi pemuda serta gagasan politik satu Indonesia begitu memikat hati Sujatin. Meski tak hadir dalam Kongres Pemuda II yang digelar di Jakarta dua tahun kemudian—pada 1928—ia bagai tersihir butir-butir sumpah para pemuda, yang ia ketahui lewat surat-menyurat. Sujatin pun menggagas pertemuan perempuan dengan agenda menyatukan seluruh gerakan perempuan dan menyulutkan nasionalisme. </p><p>Untuk mengakali polisi yang gemar mengendus-endus pertemuan politik, Kongres Perempuan Indonesia mengedepankan isu nonpolitis, yaitu posisi perempuan dalam perkawinan, dan pendidikan. Sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, kongres itu menggunakan bahasa Indonesia. Setelah pembacaan keputusan, kongres ditutup dengan ”agenda utama” pengibaran Merah-Putih diiringi lagu Indonesia Raya. </p><p>Setahun berselang, Kongres Perempuan kembali berlangsung di Gedung Thamrin, Jakarta. Masih mengutamakan isu perempuan, tak bisa tidak—itu masa berkabung akibat penangkapan Soekarno—semangat merdeka membakar emosi sebagian besar peserta. Setiap sambutan dibalas dengan teriakan ”merdeka sekarang!” Hampir saja polisi membubarkan acara, tapi Sujatin buru-buru mengambil alih pimpinan dan menutup sidang. </p><p>Sujatin memang memilih berada di lini depan perjuangan hak-hak perempuan. Dalam bukunya, Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia (Yayasan Idayu, 1977), Sujatin menyatakan, sejak Kongres Perempuan Indonesia, organisasi-organisasi wanita banyak mencurahkan perhatian pada masalah perkawinan. Dia berperan dalam pembentukan P Vier A atau P4A, yaitu Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, pada 1930. </p><p>Dalam perjalanannya, Kongres tak bisa selamanya terhindar dari isu politik. Pada perhelatan di Jakarta, 1935, salah satu rekomendasinya sebagai berikut: ”Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan.” Pada 1941, rekomendasi politiknya lebih tegas lagi: menyetujui aksi Gabungan Politik Indonesia yang mengajukan ”Indonesia Berparlemen” demi memperjuangkan Indonesia merdeka. </p><p>Ketika Jepang berkuasa, Sujatin mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mengajar, di samping mengurus keluarga. Dari perkawinannya dengan Poediarso Kartowijono pada 1932, ia dianugerahi tiga anak lelaki dan tiga anak perempuan. Sesekali Sujatin—yang sempat belajar bahasa Jepang—diminta pemerintah menjadi penerjemah pejabat Jepang ketika mengunjungi berbagai daerah. </p><p>Tentang Poediarso, Sujatin selalu menyebutnya orang yang memiliki pengertian mendalam. Sebelum mereka menikah, Sujatin dua kali gagal melanjutkan pertunangannya. Penyebabnya adalah kesibukan mempersiapkan kongres perempuan. Saat kongres akan digelar, kekasihnya datang dan berusaha mencegah kepergian Sujatin ke kongres itu. ”Aku tak ada pilihan lain, aku tak bisa mengecewakan peserta kongres,” tuturnya dalam biografi yang ditulis Hanna. </p><p>Pilihan Sujatin meninggalkan tunangan—masing-masing calon sarjana hukum dari Jakarta dan calon sarjana teknik dari Bandung—membuat dia dijuluki sebagai tukang bikin patah hati lelaki. Lalu datang Poediarso. Ia bukan sarjana, juga tak punya pekerjaan pasti karena tak mau menerima gaji dari Belanda. Dia seorang murid kursus politik Soekarno di Bandung. </p><p>Hingga akhir hayatnya, pasangan ini dikenal hidup rukun. ”Saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah kesibukan organisasi, maka rumah tangga saya kekal,” ujar Sujatin kepada Farida Sendjaja dari Tempo, yang mewawancarainya pada Desember 1982. Dalam perbincangan tersebut, dia juga menuturkan soal pesta kawin emasnya pada September tahun itu. Sang suami, yang sejak muda bergerak di bidang perdagangan, adalah penyokongnya yang setia. </p><p>Setelah Indonesia merdeka, Sujatin terus aktif berorganisasi. Ia turut mendirikan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dan ditunjuk sebagai Ketua Badan Federasi Kongres Wanita Indonesia. Selain itu, ia menjabat Kepala Urusan Wanita pada Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. </p><p>Ketika menjabat, ia dikenal sebagai ”orang pusat” yang paling rajin berkunjung ke daerah, bahkan jauh hingga ke hulu Barito di Kalimantan Selatan. Ia juga kerap melakukan perjalanan ke luar negeri. </p><p>Pada 1960, Sujatin melepaskan semua jabatannya. Tapi ia tetap menjadi penasihat Perwari dan tetap kritis. Ia pernah mengkritik Soekarno—yang pernah ia kagumi di masa muda karena pidatonya tentang persatuan—lantaran berpoligami. Ada desas-desus ia mundur dari jabatan di kementerian karena kritik-kritiknya. Tapi Sujatin membantah. Ia beralasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama suaminya. </p><p>Ibu enam anak ini wafat pada 1 Desember 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah 41 tahun lebih menderita diabetes. Biografinya terbit beberapa bulan sebelum dia berpulang. Pembelaannya kepada hak-hak kaum wanita membuat dia banyak dikenang. Juga penampilannya yang ”amat perempuan”: hingga akhir hidupnya, dia selalu mengenakan kain dan kebaya.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2556485102987624026.post-35227382958172616872008-10-31T07:16:00.000+07:002008-10-31T07:17:22.551+07:00Sundari, Kacamata Merah Muda<div style="text-align: justify;" class="block-content"><span style="font-weight: bold;"><br /></span> <div class="news-abstract">Putri bangsawan yang menjadi pusat perhatian di Kongres Perempuan. Orator ulung, tak banyak dikenal.</div> <div class="news-content"><p>AHAD, 22 Desember 1928. Hujan lebat digiring angin ribut mengguyur bumi sejak subuh. Tapi cuaca keruh itu tak mengganggu keriuhan pendapa Joyodipuran seharian. </p><p>Seribu lebih perempuan berkumpul di rumah milik bangsawan Raden Tumenggung Joyodipuro itu—sekarang di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Ada hajatan besar di sana: Kongres Perempuan Indonesia, pertama kali digelar kota yang waktu itu masih bernama Mataram. </p><p>Di antara yang hadir adalah Raden Ayu Siti Sundari , 23 tahun. Parasnya ayu. Pengajar di Kweek School, sekolah guru, di Surakarta itu tampil penuh semangat. Pidatonya berjudul ”Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”. </p><p>Sundari adalah satu dari 15 pembicara di kongres itu. Para pembicara datang dari beragam organisasi, seperti Wanita Oetomo, Aisjiah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, dan Wanita Taman Siswa. Pidato Sundari, yang mewakili Poetri Indonesia dari Bandung, menjadi penanda penting bagi komitmen penggunaan bahasa Indonesia yang waktu itu masih bayi. </p><p>Sundari mengawali pidato dengan anggun, bernada penjelasan dan permintaan maaf. ”Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak.” Hadirin terkesima. </p><p>Sang putri melanjutkan. ”Akan tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota Djacarta beberapa boelan jang laloe, tentoe masih mengingat hasilnja, jaitoe hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjundjung bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami, sebagai poetri Indonesia jang lahir di Poelau Djawa jang indah ini, berani memakai bahasa Indonesia di moeka rakjat ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja?” </p><p>Hadirin terpesona. Seperti Soekarno, Sundari dikenal sebagai orator ulung pada zaman pergerakan kemerdekaan. Namun ada pula yang melontarkan kritik. Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, misalnya, berkomentar: ”Bahasa yang digunakan terlalu muluk-muluk dan idealistis untuk kebanyakan hadirin.” </p><p>Nyonya Toemenggoeng menyampaikan ini dalam ”Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”—laporan yang dibuat untuk pemerintah Belanda. </p><p>Bahasa Indonesia saat itu belum dikenal luas. Kaum priayi lebih suka berbahasa daerah, misalnya Jawa dan Sunda, kelas tinggi. Kaum intelektual lebih memilih cas-cis-cus bahasa Walanda. Mungkin itu sebabnya Nyonya Toemenggung menyebut pilihan kata yang digunakan Sundari ”muluk-muluk”. </p><p>Sundari tergolong pendatang baru untuk urusan bahasa Indonesia. Dalam Kongres Pemuda II, Oktober 1928, di Kramat Raya, Jakarta, ia masih berbahasa Belanda. Baru dalam Kongres Perempuan di Ndalem Joyodipuran itu ia tampil berbahasa Indonesia. </p><p>”Hanya dalam jangka dua bulan, sebuah perubahan dahsyat terjadi,” tulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, dalam jurnal Asian Studies Review, September 2000. </p><p>Sundari dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 25 Agustus 1905. Tak hanya melepaskan bahasa tanah kelahirannya, ia juga melepaskan bahasa intelektualnya, bahasa Belanda. </p><p>Demi persiapan pidato yang mengesankan tadi, Foulcher mencatat, Sundari dibantu seorang penerjemah. Tak jarang dia terbata-bata ketika mengucapkan kosakata bahasa Indonesia. </p><p>Usaha keras Sundari layak dipuji, begitu tulis Foulcher, yang juga pengamat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Inilah simbol bangkitnya nasionalisme dan komitmen terhadap visi Negara Indonesia mandiri yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda. </p><p>Kongres Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 itu membekas dalam ingatan Sundari. Bukan saja lantaran tunangannya, Muhammad Yamin—kelak menteri dalam pemerintahan Soekarno—motor penting dalam peristiwa itu. Tapi karena, ”Untuk pertama kalinya di situ dinyanyikan lagu Indonesia Raya,” katanya kepada Kompas, 21 Oktober 1967. Apalagi, menurut Sundari, W.R. Soepratman, pencipta lagu itu, memberikan sendiri catatan asli notasi lagu Indonesia Raya kepada Sundari. </p><p>Sundari mengenal Yamin ketika bekerja sebagai guru Kweek School di Surakarta, Jawa Tengah. Pemuda Yamin waktu itu masih duduk di kelas I Algemeene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, di Yogyakarta. Tiga bulan setelah perkenalan, mereka bertunangan. </p><p>Hubungan mereka awalnya ditentang keluarga Sundari, bangsawan asal Kadingalu, dekat Demak. jawa tengah. Mereka keberatan putrinya menikah dengan Yamin. Yamin berasal dari ”seberang”, dan masih duduk di sekolah menengah. Sundari yang sudah bergaji selayaknya kawin dengan dokter atau pegawai kantoran. Toh, sejoli ini tak ambil pusing. </p><p>Setelah tamat AMS, Yamin hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum). Sundari memilih bermukim di Bandung, mengajar di sekolah Ardjuna, dan memberikan pelajaran mengetik di Lembang. </p><p>Di sela kegiatannya itu dia aktif di organisasi Istri Pendidik, juga dalam Jong Java. Sang tunangan, Yamin, aktif di organisasi Jong Sumatra Bonds. </p><p>Setelah Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi pemuda sektoral melebur menjadi Indonesia Muda. Sundari dan Yamin pun bergabung. Sundari menjadi anggota Keputrian Indonesia Muda. Di sini dia kerap berpidato tentang perlunya memberantas poligami. </p><p>”Poligami, perkawinan anak-anak, kawin paksa, talak dan pisah yang tiada berjangka, sulit untuk dipertahankan pada zaman sekarang kalau kita mau menggambarkan perkawinan sebagai sesuatu yang berharga,” kata Sundari ketika itu. </p><p>Sikap keras Sundari atas poligami sering membuat berang organisasi Islam. ”Dia pernah dimaki-maki Sarekat Islam karena dianggap menentang ajaran agama Islam,” kata Anhar Gonggong, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. </p><p>Sundari pernah beradu mulut dengan Sitti Moendjijah dari organisasi Aisjiah, salah seorang pembicara dalam kongres perempuan pertama. Kata Moendijah, ”Bukan sama sekali hendak menyetujui poligami.… Kaum perempuan dengan sukarela menerima keadaan ini.” </p><p>Adegan itu direkam oleh majalah Istri edisi perdana pada 1929, dan dikutip oleh Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama. Mendengar pernyataan Moendjijah, Sundari seketika bangkit dari tempat duduknya. Dengan berang dia menuduh Moendjijah pembela standar ganda. </p><p>Moendjijah tak terima. Dia membela diri bahwa sebagai perempuan dia hanya memahami apa yang lazim diperbolehkan. Sundari, kata Moendjijah, ”Terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda.” Adu mulut berakhir setelah Nyonya Gunawan, utusan Roekoen Wanito dari Jakarta, menengahi. </p><p>Pada 1934, Sundari hijrah ke Turen, Malang, Jawa Timur, dan menjadi guru di sana. Kepindahan ini tak lepas dari aksi Yamin. Setelah menamatkan sekolah hukum dan meraih gelar meester in rechtan, Yamin pergi ke Surabaya. </p><p>Sialnya, di sana dia ditangkap pemerintah Belanda gara-gara pidato yang dianggap menghasut rakyat. Demi sang tunangan, Sundari mencari tahu lokasi penahanan Yamin. Beruntung, Yamin tak ditahan lama. Pada tahun itu juga keduanya memutuskan menikah. </p><p>Kembali ke Jakarta, pengantin baru ini menyewa kamar di Orange Boelevard 56, sekarang Jalan Diponegoro. Ketika diwawancarai Kompas, tiga dasawarsa kemudian, Sundari mengaku bahagia mempunyai suami idealis. ”Tidak pernah korupsi, apalagi beristri lebih dari satu.” </p><p>Dunia dengan ”kacamata merah muda” itu terwujud. Sundari mendampingi suami yang luar biasa ini. Sarapan dan kopi tak pernah absen disiapkannya, bahkan sebelum Yamin bangun pagi. ”Hubungan mereka indah sekali,” kata Kusumo, 72 tahun, anak angkat Sundari, kepada Tempo. </p><p>Sebagai aktivis perempuan yang cemerlang, Sundari tak cuma bergelut dengan urusan rumah tangga. Dia pernah menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) bersama Emma Puradiredja, Sri Umiyati, dan Nyonya Soenarjo Mangunpuspito. </p><p>Sayang, dibanding Yamin, yang perjalanan politiknya terekam lebih lengkap, nama Sundari kurang dikenal. Sedikit sekali artikel yang mengupas kiprahnya sampai ajal menjemputnya pada 12 April 1973. </p><p>Gusti Raden Ayu Retno Satuti, 64 tahun, yang ditemui Tempo di rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, menyatakan dia pun tak begitu mengenal ibu mertuanya itu. ”Keluarga pun sekarang sudah meninggal semua,” kata Retno, putri keraton Mangkunegaran, Solo, yang tak lain adalah janda Rahadian Yamin. Pelopor dunia fashion Indonesia dan anak tunggal pasangan Yamin-Sundari ini tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 1979.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0