Selasa, 02 September 2008

Menyikapi Kebangkitan China


Syamsul Hadi

China sukses sebagai tuan rumah sekaligus juara umum Olimpiade 2008. Ini melengkapi kisah ”kebangkitan China” di bidang ekonomi, politik, dan militer.

Setelah seabad lebih ”tenggelam” dalam sejarah kelam kolonialisme dan sistem komunisme tertutup, kebangkitan kembali China di kancah internasional menjadi fakta tak terbantahkan. Bagaimana masyarakat internasional merespons kebangkitan China dan bagaimana dampak kebangkitan itu bagi Indonesia?

Hasil survei Haris Poll menunjukkan, mayoritas responden di Eropa mempersepsikan China sebagai ”ancaman terbesar” bagi stabilitas global. Di Amerika Serikat, 31 persen responden memandang China sebagai ancaman terbesar dunia, melebihi Iran dan Korea Utara yang sempat ”dicap” Presiden Bush sebagai bagian Axis of Evil (Financial Times, 16/4). Bahkan, sepuluh hari menjelang pembukaan Olimpiade Beijing, Amnesti Internasional mengumumkan, situasi HAM di China makin memburuk dalam tahun-tahun terakhir.

Beberapa alasan mendasari persepsi tentang ”ancaman China”. Pertama, sistem politik China yang tak demokratis menyulitkan kontrol rakyat terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer. Kedua, China dituduh menggunakan kapasitas militer untuk membungkam gerakan demokrasi dan HAM di dalam negeri. Ketiga, China dituduh membantu diam-diam negara-negara ”pelanggar HAM”, seperti Myanmar dan Sudan, untuk kepentingan akses energi dan sumber alam. Keempat, bantuan ekonomi tak bersyarat China untuk negara-negara berkembang, yang didasari prinsip non-intervention, dinilai telah ”memotong” kampanye internasional untuk penegakan demokrasi dan good governance.

Internasionalisasi China

Menariknya, persepsi negatif tentang China tidak selalu berimplikasi di level kebijakan. Hampir semua negara besar, termasuk AS dan Uni Eropa, menolak anjuran memboikot Olimpiade Beijing. Pada awal masa jabatannya Presiden George Walker Bush menyatakan, hubungan AS-China harus diubah dari pendekatan strategic partnership ala Clinton kepada pola strategic competition yang konfrontatif. Memang, Bush tetap berupaya mengurangi pengaruh regional China dengan memperkuat hubungan keamanan dengan India dan Jepang. Namun, perang melawan terorisme global yang menguras energi memaksa Bush bersikap lebih akomodatif terhadap China. Bush bahkan mengancam akan menarik dukungan AS atas Taiwan bila negeri itu mengumumkan kemerdekaannya dari China.

Dengan strategi peaceful rise yang dicanangkan Hu Jintao, para pemimpin China berupaya meyakinkan, ”kebangkitan China” akan memperkokoh stabilitas dan perdamaian dunia. Ini dibuktikan sejak tahun 2000 China aktif dalam misi perdamaian internasional di Timor Timur, Etiopia-Eritrea, Afganistan, Kosovo, dan Lebanon.

Di bidang ekonomi, masuknya China ke WTO (2001) serta kepemimpinan China (dan India) dalam KTM WTO di Geneva (2008) mempertegas profil internasional China. Di Afrika, internasionalisasi China ditandai dengan penyelenggaraan Forum on China-Africa Cooperation (2006), di mana China memberi komitmen bantuan ”tanpa syarat” sebesar 5 miliar dollar AS kepada para kepala negara Afrika.

Di ASEAN, citra positif China mulai mengemuka semasa Krisis Asia setelah China konsisten tidak mendevaluasi mata uangnya dan membantu empat miliar dollar AS melalui IMF dan jalur bilateral. Survei Kementerian Luar Negeri Jepang di enam negara ASEAN (2008) menghasilkan kesimpulan, pengaruh China di Asia Tenggara telah melampaui Jepang.

Di bidang keamanan, China meninggalkan pendekatan koersif dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan dengan menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (2002), yang diikuti penandatanganan ASEAN’s Treaty of Amity and Cooperation (2003). Di Asia Timur Laut, China aktif membujuk pemerintahan Pyong Yang agar bersikap kooperatif dalam isu nuklir melalui Six Party Talks. Persaingan panas China-Jepang 2001-2006, akhirnya ”dimenangi” China, dengan melunaknya sikap pemimpin Jepang pasca-Koizumi.

Posisi Indonesia

Di bidang politik dan keamanan, Indonesia dipaksa menempuh strategi constructive engagement dalam hubungan dengan China mengingat strategi konfrontatif dipastikan akan memukul Indonesia. Ini tecermin dari penandatanganan Strategic Partnership Agreement Indonesia-China (2005), yang diimplementasikan dalam berbagai kerja sama, termasuk capacity building di bidang militer. Dalam konteks ini Dubes Indonesia untuk China, Sudrajat, menyatakan, hubungan Indonesia-China kini sedang memasuki masa honeymoon (The Jakarta Post, 14/4).

Kebangkitan China terasa lebih problematis bagi Indonesia di bidang ekonomi. Di satu sisi pemerintah optimistis, volume perdagangan antarkedua negara yang ditargetkan mencapai 30 miliar dollar AS akan mudah dicapai pada tahun 2010 mengingat angka 25 miliar dollar AS telah dilampaui tahun 2007. Namun, di sisi lain, tidak seperti Jepang, China lebih mendasarkan ekonominya pada perdagangan daripada investasi keluar negeri. Data BKPM menunjukkan, periode Januari-September 2007 China menduduki peringkat ke-15 dalam daftar negara investor di Indonesia dengan nilai investasi sebesar 19,8 miliar dollar AS. Kecuali di bidang energi, Indonesia tak dapat berharap banyak pada peningkatan investasi China.

Sejalan prediksi Bank Dunia (2004), China menjadi pesaing utama Indonesia dalam ekspor nonmigas karena kesamaan produk unggulan, seperti tekstil, mainan anak-anak, dan sepatu olahraga. Menyempitnya ruang ekspor dan banjir impor produk murah asal China membuat banyak perusahaan di Tanah Air bangkrut.

Kebangkitan ekonomi China adalah wake up call bagi Indonesia untuk memikirkan ulang strategi pembangunan yang ditempuh selama ini. Seriuskah kita memupuk daya saing produk nasional?

Syamsul Hadi Pengajar di Departemen Hubungan Internasional; Kepala Cluster of Global Awareness FISIP UI

Tidak ada komentar: