Selasa, 09 September 2008

Perubahan di Tanganmu


Selasa, 9 September 2008 | 03:00 WIB 

SUKARDI RINAKIT

Akhir minggu lalu, saya di Yogyakarta. Bertemu dengan beberapa teman lama sambil minum teh poci di sudut sebuah warung. Tiba-tiba seorang teman berkata, ”Tanggal 5 September 1945, Yogyakarta memutuskan bergabung dengan Republik. Tapi sekarang kami merasa disia-siakan oleh pemerintah pusat.”

Seperti biasa, sekali ungkapan politik terucap di antara kami, obrolan menjadi sangat politis.

Dukungan Yogyakarta yang tanpa reserve pada republik waktu itu pun menjadi fokus bahasan. Tampaknya teman-teman kecewa pada perlakuan Jakarta mengenai status keistimewaan Yogyakarta yang tidak jelas sampai hari ini.

Melihat penulis lebih banyak diam malam itu, mereka tiba-tiba menodong dengan pertanyaan, ”Cak, apa yang harus kami lakukan?” Saya menjawab sederhana, bersayap, dan provokatif, ”Perubahan ada di tanganmu!”

Kehilangan teman

Kalimat yang sama, yaitu ”perubahan di tanganmu”, juga penulis suntikkan kepada teman-teman aktivis, akademisi, dan siapa pun yang berkomitmen pada perubahan ketika mereka minta pertimbangan untuk masuk ranah politik praktis.

Secara pribadi saya senang ketika Dita Indah Sari, Binny Buchori, Indra J Piliang, Andreas Eddy Susetyo, Agung Putri, misalnya, menjadi calon anggota legislatif.

Masuknya teman-teman tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia memang tidak berhenti. Gusti ora sare, Tuhan memang tidak tidur. Ketika blue energy tidak terbukti, ketika padi super toy menjadi super letoy, ketika banyak elite berebut citra dan tidak menyatu memperjuangkan kesejahteraan rakyat (nora manunggal sawiji ngundhi kamulyan jati), sebagian kaum muda Indonesia berani melangkah untuk merebut roda sejarah. Mereka mencoba mengambil bagian langsung dalam upaya penentuan kebijakan rakyat.

Masuknya para kognitariat (para pekerja otak yang terdiri dari para aktivis, akademisi, dan siapa pun yang mempunyai komitmen pada kelangsungan hidup bangsa) ke panggung politik sekaligus menjadi jembatan dari lemahnya kaderisasi dan perekrutan kepemimpinan.

Kuatnya budaya paternalistik dan oligarki di dalam partai politik yang menyebabkan kegagalan lahirnya politisi-politisi tangguh dan visioner bisa segera ditambal oleh bergabungnya para kognitariat tersebut.

Selain itu, fenomena tersebut juga akan memulihkan optimisme publik yang akhir-akhir ini cenderung merosot karena dihantam persoalan yang bertubi-tubi. Mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), keterbatasan pasokan dan naiknya harga gas, hingga masalah gula rafinasi.

Sementara itu, banyak tokoh yang diharapkan menjadi sandaran dari kegalauan rakyat tersebut justru terjebak pada perang iklan di media. Padahal, rakyat perlu disapa dan disentuh secara langsung, bukan sekadar dengan iklan.

Tapi yang sedih dari masuknya para kognitariat tersebut ke politik praktis adalah saya menjadi kehilangan banyak teman diskusi. Mereka mulai sibuk mempersiapkan diri untuk bertempur guna memenangkan hati rakyat.

Mereka sedang melakukan internalisasi spirit bahwa perubahan ada di tangan mereka. Pendeknya, mereka ingin meyakini bahwa ini adalah sebuah gerakan (movement), bukan sekadar kampanye (campaign).

Mencegah konflik

Sisi positif lain dari masuknya para kognitariat tersebut ke ranah politik adalah ikut tertariknya jaringan sosial yang selama ini membelit di sekitar mereka sehingga tidak tertutup kemungkinan jumlah golput akan mengecil pada pemilu nanti.

Ini disebabkan para individu otonom, yang biasanya diam di rumah saat pencoblosan, pada Pemilu 2009 nanti akan turun gunung untuk ikut memberikan suara. Mereka secara sukarela juga bisa menggerakkan jejaring sosial yang mereka miliki.

Selain itu, masuknya kognitariat ke dalam politik praktis juga akan mencegah praktik politik pokrol bambu (perdebatan tanpa argumen). Maksudnya, mereka akan mendorong praktik politik yang rasional.

Ini akan mencegah terjadinya konflik horizontal yang dipicu oleh konflik antarpartai karena masalah-masalah sepele, seperti perebutan tempat untuk memasang bendera partai, spanduk, dan tempat kampanye.

Para kognitariat tersebut bisa menjadi perekat sehingga penyelenggaraan pemilu tidak disandera oleh kerusuhan demi kerusuhan. Pendeknya, mereka bisa mencegah kekhawatiran bersama saat ini, yaitu negara menjadi berkeping-keping karena masyarakat saling bertengkar sendiri (negara bedah pecah kajuwing-juwing, gede cilik pada sulaya).

Oleh sebab itu, buat teman-teman di Yogyakarta yang merasa disia-siakan pemerintah pusat, para kognitariat yang risau dengan nasib bangsa, dan seluruh rakyat dari Merauke sampai Sabang yang mungkin semakin pesimistis, saya ingin mengingatkan bahwa sejatinya ”perubahan di tanganmu”.

Anda ingin berubah? Saya juga!

 

Tidak ada komentar: