Kamis, 11 September 2008

Ketika Kandang Banteng Mulai Terasa Sempit

Selasa, 9 September 2008 - 10:52 wib

Fitra Iskandar - Okezone


JAKARTA - Juru bicara DPD PDIP DKI Dhia Prekasha Yoedha akhir-akhir ini meradang. Bagaimana tidak nomor urut calegnya di DPRD DKI (Dapil Jaktim) yang sudah digenggamnya terus melorot. Sebelumnya dia mengantongi nomor urut dua, kemudian diturunkan menjadi nomor empat dan kemudian delapan.

Nomor caleg yang terus melorot itu ditenggarai berkaitan dengan sikapnya belakangan ini di PDIP soal kasus dana BI yang menyeret anggota Fraksi PDIP Agus Condro.

Pasalnya, Yoedha mendesak agar PDIP melakukan pembenahan internal, untuk menyikapi kasus itu, sebab sejumlah nama lain di PDIP pun disinyalir terlibat. Seruan itu ia sebarkan melalui SMS ke sejumlah orang di PDIP.

Tindakan itu ternyata membuat sebagian petinggi PDIP seperti terinjak jempolnya. "Saya dimarahi big bos," kata Yudha tanpa merinci. Setelah peristiwa itu nomor urut calegnya pun melorot.

Namun, menurut Yoedha, pemerosotan nomor calegnya bukan semata-mata disebabkan sikapnya terkait kasus Agus Condro. Tapi sikap partai yang kini terkesan lebih mengakomodasi orang-orang luar yang baru bergabung di PDIP.

"Nomor caleg saya melorot bukan cuma karena soal SMS. Itu kombinasi, ada yang bayar ratusan juta ditampung jadi caleg," tuding dia.

Atmosfir PDIP menjelang pemilu 2009 dianggap kurang menguntungkan bagi sejumlah kader PDIP. Salah satu sebab, partai seolah-olah kurang mengakomodir kader-kader lama.

Persoalan itu juga yang membuat Iwan Sumule angkat kaki dari kandang Banteng Moncong Putih itu dan memilih bergabung dengan Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan). Sebagai Ketua Banteng Muda Indonesia (BMI) DKI, Iwan merasa tidak lagi dihargai.

"Banyak sekali kader muda yang dulu aktif, kenyataannya Partai seperti tidak memberikan reward. Di sisi lain ada orang-orang tidak punya sejarah tiba-tiba datang dan diberikan kemudahan," tukas Iwan.

"PDIP saat ini sudah tidak lagi menjadi lokomotif perubahan. Masak anak istri, besan, tidak tahu juntrungan jadi caleg dengan nomor jadi," tambah dia.

Iwan juga mengkritik kebijakan PDIP yang mengusung sistem suara terbanyak dengan mematok 15 % dari BPP. Menurut dia hal itu hanya strategi kampanye., yang dalam kenyataannya tidak dapat direalisasikan.

"UU No 10 2008 Tentang Pemilu sudah sangat jelas belum diamandemen. Jika tidak mencapai 30 % dari perolehan BPP, maka calon terpilih ditentukan berdasar nomor urut. Masa aturan internal (partai) mengalahkan UU, itu mengada-ada," tandas Iwan.

Di Pakar Pangan, Iwan maju sebagai caleg DPRD dengan nomor urut dua. Namun ketika hal itu dikonfirmasi, secara diplomatis mantan aktivis Forkot itu tidak bersedia menjawab. "Nomor caleg tidak penting, saya bergabung dengan Pakar Pangan karena visi misi kebangsaannya lebih baik," terangnya.

Apakah kekecewaannya itu terkait proses pencalegan, Iwan menepisnya. " Saya di BMI, tidak mencalonkan," papar Iwan.

Iwan pun membuka kegelisahannya soal bekas organisasinya itu. BMI disebut Iwan tidak memiliki kejelasan status dalam partai, berbeda dengan Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Organisasi sayap kepemudaan partai Beringin itu memiliki hak bersuara dalam proses pengambilan keputusan yang akan diambil dalam kongres atau mukercab.

"Tapi BMI itu sayap-sayapan, tidak diikutsertakan (dalam proses pengambilan keputusan di partai) seperti dalam kongres, mukercab," ungkap Iwan.

Cerita anggota DPR PDIP Ramson Siagian, lain lagi. Anggota Komisi XI DPR yang maju dari dapil Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan ini mundur dari pencalegan, setelah usahanya untuk kembali duduk di kursi Dewan yang terhormat, dihadang Taufik Kiemas. Alasannya kata Ramson, Taufik menjegalnya lantaran dia adalah eks aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Ramson pun urung mengajukan diri langsung menggelar jumpa pers beberapa waktu lalu untuk menyatakan mundur dari pencalegan.

"Rekan-rekan saya di tempat asal pemilihan mendukung saya untuk kembali maju. Namun Taufik Kiemas tidak mau, ya lebih baik saya mundur," kata Ketua GMNI 1979-1981 ini.

Dia menyesalkan intervensi yang sangat besar oleh Taufik Kiemas dalam persoalan penetapan caleg itu. Seorang sumber di sebuah partai besar, menyindir, sikap Taufik itu sebagai cara untuk membabat orang-orang yang dianggap tidak loyal terhadap Mega.

Meski kecewa, Ramson tidak berniat meninggalkan kandang Banteng Moncong Putih itu. Ambisinya di PDIP justru makin besar. Dia berniat untuk maju sebagai ketua umum PDIP di kongres 2015. "Bukan di 2010 ya, tapi di 2015. Perkiraan saya, di 2015 Taufik Kiemas sudah tidak lagi di PDIP," tegas Ramson.

Ramson mengaku dia tidak ingin pindah partai, meski tidak mendapat kedudukan di legislatif. Sementara itu, Yoedha pun sama. Meski dipahiti, dia masih sayang untuk meninggalkan PDIP, dan bergabung dengan partai lain, seperti yang dilakukan Iwan.

"Isi hati gue Banteng Merah. Gue sudah berdarah-darah di PDIP masa sekarang mau gue tinggalin," tandas Yoedha.

Kekecewaan kader PDIP soal penetapan caleg, juga merebak di sejumlah daerah. Persoalannya, DPP dianggap sewenang-wenang mengutak-atik nomor urut caleg.Akibatnya kader-kader yang tak terima, melakukan pengerusakan kantor-kantor PDIP seperti di Sukoharjo dan Bogor.

Sekretaris Fraksi PDIP Ganjar Pranowo, menanggapi dingin adanya kekecewaan sejumlah kader partai. Menurut dia persoalan itu kini dialami tidak hanya di PDIP, namun juga partai lain.

"Setiap orang memiliki pendapat masing-masing mengenai hal itu dan sensitifitasnya tinggi. Itu terjadi di semua partai, jadi wajar-wajar saja," jawab Ganjar.

Dia juga mengatakan, dalam pencalegan, PDIP menerapkan sistem suara terbanyak (sistem kombinasi yang digunakan PDIP) sehingga setiap kader bisa bersaing, sehingga seharusnya tidak ada alasan bagi kader PDIP yang kecewa karena nomor urutnya kurang bagus. "Jadi nggak ada alasan untuk kecewa," tegasnya.(fit) (mbs)

Berita Terkait 'liputan khusus'

Tidak ada komentar: