Kamis, 11 September 2008

Dicari, Pemimpin Visioner

Minggu, 17 Agustus 2008 - 12:06 wib

Keberanian seorang pemimpin yang berjuang menyejahterakan rakyatnya diperlihatkan sejumlah tokoh dunia. Sebuah referensi bagi Indonesia.

Konstitusi Negara Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mensyaratkan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menjadi tanggung jawab negara. Namun, setelah 63 tahun menjadi sebuah bangsa merdeka, kosakata kesejahteraan dan kemakmuran masih jauh panggang dari api.

Tingkat kemakmuran rakyat masih berada di titik nadir. Kondisi tersebut berakar pada masalah kesejahteraan ekonomi politik masyarakat sebagai mata air keadilan sejati mereka. Masalah ini pun bermuara pada kehadiran sosok seorang pemimpin yang berani mengambil kebijakan demi kepentingan rakyat dengan atribut nasionalisme yang tidak sempit.

Proyek nasionalisme Indonesia sudah dimulai sejak 100 tahun silam. Saat Boedi Oetomo mendeklarasikan sebagai kelompok bumiputera yang bervisi nasionalis. Selama rentang 37 tahun setelah Boedi Oetomo berdiri, wajah nasionalisme Indonesia melahirkan kemerdekaan (1945). Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, nasionalisme semakin terintegrasi.

Formulasi nasionalisme semakin menemukan wajah baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan baju pembangunan nasional. Pascareformasi, pemimpin negeri ini silih berganti. Tetapi, tingkat kesejahteraan rakyat masih belum terangkat secara masif. Kini, setelah 63 tahun merdeka, jelang kenduri demokrasi 2009, tidaklah berlebihan jika bangsa ini berharap bisa mendapatkan pemimpin yang kuat, berani, dan berprinsip untuk mengangkat kesejahteraan.

Apalagi, dalam lintasan sejarah, belum pernah nasionalisme atau semangat kebangsaan mendapat predikat dan konotasi yang lebih degrading daripada yang terjadi dalam dua dekade terakhir. Sejatinya, di belahan dunia lainnya banyak pelajaran yang bisa dilihat dari keberanian seorang pemimpin yang berjuang menyejahterakan rakyatnya.

Fidel Alejandro Castro Ruz atau lebih dikenal dengan Fidel Castro bisa menjadi sebuah referensi bagi calon pemimpin di Indonesia. Terlepas dari ideologinya, termasuk kebijakannya menyingkirkan lawan-lawan politiknya, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dari El Comandante-julukan Castro.

Ketika banyak pemimpin negara di berbagai belahan bumi tunduk dan takluk kepada Amerika Serikat, Castro tegas melawannya. Begitu juga ketika banyak negara bergantung nasibnya, baik secara ekonomi, politik, maupun militer kepada AS, Kuba pimpinan Castro yang diembargo selama lebih dari tiga dasawarsa tetap bertahan dan terus berkembang.

Setidaknya, Castro telah menjadi bagian sejarah dengan caranya sendiri yang unik, tegas, dan berani. Sikap itulah yang membuatnya mampu bertahan hampir separuh abad dari segala benturan politik yang dilancarkan AS.

Wajar jika ditanya soal kebijakannya terhadap Kuba, Presiden George W Bush hanya bisa menjawab bahwa dirinya adalah seorang presiden garis keras yang hanya menunggu kematian Castro. Sikap dan kebijakan Castro juga telah menginspirasi sejumlah pemimpin negara, terutama negara-negara Amerika Latin, seperti Hugo Chaves (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia), untuk tidak tunduk begitu saja terhadap imperialisme modern yang bernama kapitalisme.

Castro juga mengukirkan sepak terjangnya selama memimpin Kuba dalam buku yang ditulisnya, Reflections by the Commander in Chief: The Killing Machine (2007). Bentuk perlawanan Castro ditunjukkan dengan asumsi yang menyebutkan bahwa kemakmuran tidak selalu berbanding lurus dengan kapitalisme dan pasar bebas. Justru sebuah ideologi usang mampu menyejahterakan sebuah bangsa. Kuba memang bukan negeri kaya.

Hampir semua usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Meski begitu, angka penganggurannya hanya 1,9 persen, dengan tingkat kematian yang sangat rendah. Apa yang ditulis Castro bisa menjadi sebuah referensi bagi dunia lain yang berbeda dengan dunia keseharian kita.

Selama ini pandangan terhadap ideologi kiri seperti yang ditunjukkan sejumlah pemimpin negara Amerika Latin selalu diidentikkan dengan stigma antidemokrasi. Marta Harnecker, seorang ideolog dan pemikir kiri Amerika Latin, pernah mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dihadirkan dunia dan dalam upaya mendorong perjuangan untuk transformasi sosial yang substansial, perlu menghindari nostalgia.

Karena itu, harus berbasiskan pada kenyataan baru yang kita temui sehari-hari, kemudian secara kreatif membangun masa depan. Pada titik ini, ide-ide dan program "kiri", meski tetap dalam isi perjuangannya melawan sistem kapitalisme dengan segala proses eksploitasinya, mengalami perubahan dalam strategi perjuangan mereka berdasarkan konteks kekinian.

Secara gampangnya, "kiri" Amerika Latin bisa diterjemahkan sebagai pemikiran, politik, dan kebijakan yang hirau pada pembangunan sosial, distribusi kekayaan secara egaliter, kemandirian, dan demokrasi.

Menurut Nur Iman Subono, staf pengajar Jurusan Politik FISIP UI dan Peneliti Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Demos, ada beberapa ciri umum yang sifatnya "dikotomis" yang bisa dilihat dari strategi politik "kiri" yang dipromosikan beberapa negara Amerika Latin seperti Venezuela, Brasil, Cile, Ekuador, dan Bollivia.

Pertama, mereka memilih meninggalkan cara-cara perlawanan bersenjata antisistem yang selama ini mereka lakukan dan sebaliknya, mereka justru masuk ke arena politik formal melalui jalur elektoral. Kedua, berbeda dengan "kiri" masa lalu yang 100 persen anti-Barat, atau tepatnya anti-AS, saat ini mereka umumnya, meski tetap kritis, mau bekerja sama dengan AS.

Lihat saja Cile, yang dipimpin seorang sosialis garis keras Allende, memiliki hubungan bilateral ekonomi yang paling banyak dengan negara-negara Barat, khususnya AS. Demikian juga dengan Venezuela yang secara politik anti-Bush, tetapi secara ekonomi begitu fleksibel dalam bekerja sama dengan kalangan bisnis AS.

Ketiga, mereka pun tidak bersifat isolasionis dalam politik luar negeri maupun kerja sama ekonominya, baik di tingkat regional maupun internasional.Tapi, sementara itu mereka terus mengonsolidasikan kekuatan Amerika Latin-khususnya Venezuela, Kuba, dan Bolivia- terhadap hegemoni proyek neoliberalisme yang dimotori AS (misalnya pendirian ALBA atau axis of good).

Strategi ini yang kemudian mengutip Steve Ellner, dikenal sebagai Strategi "Kiri-Tengah" atau Strategi Defensif "Kiri", atau mengutip Marta Harnecker sebagai Front Anti-Neoliberal yang Meluas. (sindo//mbs)

Tidak ada komentar: