Selasa, 09 September 2008

Negeri Golput


Dr Ali Masykur Musa
Anggota DPR RI dari FPKB

Percaya atau tidak, golongan putih (golput) selalu menang dalam setiap pilkada. Mari berhitung untuk dibandingkan dengan pemilih terdaftar. Di Jawa Barat, golput berkisar 35,7 persen, mengungguli pasangan terpilih Heriawan-Dede Yusuf (26,0 persen). Di Jawa Tengah, 40 persen angka golput mengungguli pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih (23,53 persen). Di Jatim, perolehan suara masing-masing kandidat, jauh di bawah angka golput yang berkisar 40 persen. Lebih mencengangkan lagi hasil pilkada Kaltim yang menunjukkan 50 persen angka golput. Golput dalam pilkada di provinsi lain menunjukkan tren yang tak jauh berbeda.

Jadi, golput adalah pemenangnya. Tidakkah golput secara substansi adalah pemilih? Mereka memilih untuk tidak memilih. Sehingga, memilih calon atau memilih golput harus dibaca sebagai ''sama-sama memilih''. Nah, pertanyaannya apa makna persentase golput? Bukankah bukti dari proses menuju kemapanan demokrasi adalah keterlibatan aktif semua komponen masyarakat dan minimnya angka golput?

Melihat fakta politik golput, tidak heran jika elite parpol mulai berbenah diri dengan maksud agar tingkat partisipasi rakyat dalam pileg dan pilpres tinggi. Andaikan saja dalam kedua pemilu tersebut angka golput tetap tinggi menandakan berdentangnya lonceng kematian demokrasi.
 
Kejenuhan dan kritik
Secara teknis, pelaksanaan pilkada di tanah air dapat dinilai sukses, karena berjalan lancar, aman, luber, dan jurdil. Tingginya angka golput harus diakui telah menjadi warna lain apakah semakin mempercantik demokrasi atau sebaliknya menjadi catatan buram sejarah demokrasi. Pastinya, golput mengindikasikan praktik pemilu dan pilkada perlu dikoreksi. Di balik golput, setidaknya terdapat dua kecenderungan yang dapat dikemukakan:

Pertama, bentuk penolakan politik (political denied). Pemilu sebagai proses politik mencari pemimpin baru berkualitas sesuai pilihan rakyat menjadi terdelegitimasi oleh aksi mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Itu artinya, siapapun calon pemimpin pilihan rakyat, belumlah menampakkan keinginan mayoritas warga. Warga seolah jenuh dan bosan dengan pelbagai angin surga yang keluar dari retorika para kandidat. Perilaku tersebut biasa dibasisi oleh literasi tentang fakta lain di dalam proses politik tanah air. Para politisi dan elite hanya berperilaku ''seolah-olah''. Mereka seolah-olah akrab dan dekat dengan rakyat hanya ketika akan dipilih. Seolah-olah tegas, berwibawa, dan jujur hanya pada saat berebut kekuasaan. Dan, rakyat semakin mengerti dramatika tersebut. Pada umumnya, perilaku golput karena faktor ini disebut golput pasif. Enggan ke TPS karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha memengaruhi orang lain. 

Kedua, bentuk pembangkangan sipil (civil disobedient). Kategori ini satu level di atas kategori sebelumnya, dan mungkin saja terlalu kasar. Namun ditilik dari sejarahnya, golput di Tanah Air sudah dimulai semenjak tahun 1971 yang dikomandani Arif Budiman dkk. Pascareformasi, golput juga sengaja disebarkan oleh beberapa kalangan perkotaan, seperti Fajroel Rahman dkk. Mereka aktif berkampanye agar rakyat memilih golput. Seruan itu dilakukan tak hanya sebagai simbol penolakan politik, namun dapat dikategorikan sebagai sebuah pembangkangan (disobedient). Pembangkang dalam hal ini tidak selalu bermakna konotatif meski bahasanya agak disfemistis. Saya lebih melihat pembangkangan golput sebagai bentuk oposisi pasif atas perubahan yang tak kunjung bermuara.

Motif golput pada kategori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik. Reproduksi wacana golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal itu karena perilaku memutuskan ''tidak memilih'' didasarkan pada penilaian-penilaian (affective and evaluation oriented) terhadap para elite politik. Ia menjadi semacam warning para elite dan pemimpin untuk menjamin hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, dan hak lainnya bagi seluruh masyarakat tanpa adanya hak istimewa (privilege). 

Faktor kepemimpinan
Baik pasif maupun aktif, aksi golput dapat dipahami sebagai kulminasi kekecewaan luar biasa pada tata kelola pemerintahan maupun sistem politik dan sistem hukum yang tak kunjung mampu mengimplementasi cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sebaliknya, tata pemerintahan, sistem hukum dan politik semakin menampakkan wajah pongah yang elitis. 

Masyarakat tentunya berharap pemilu menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin transformasional di kekuasaan eksekutif dan legislatif yang setia pada hukum, jujur, dan terbuka. Bukan sekadar retorika atau bahkan sebaliknya mengakali anggaran negara (state budget) untuk mengembalikan mahalnya modal meraih kekuasaan. Rakyat rindu pemimpin yang mengarahkan sistem anggaran negara kepada kepentingan warganya secara konkret dalam bentuk kebijakan yang mempercepat kesejahteraan.

Kesejahteraan jangan hanya menjadi pemanis bibir penguasa. Karena selama ini ia diwiridkan demi sebuah citra dan ekspektasi politik semata. Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan hilang, malah kian merajalela. Di sinilah selanjutnya muncul ketidakpercayaan publik (public distrust) atas serangkaian regulasi, kebijakan publik, dan roda pemerintahan. 

Kekecewaan rakyat harus diobati dan orientasi pilkada dan pemilu harus digeser. Bukan semata-mata the struggle for power, melainkan tanggung jawab dan pengabdian masyarakat menuju kesejahteraan. Karenanya, ia harus mampu memberikan makna pendidikan politik yang berujud tingginya partsipasi. Inilah tugas para elite politik. Kalah-menang dalam demokrasi mesti dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Berbesar hati dan bersabar harus diutamakan. 

Kita semua berharap masyarakat benar-benar mendapatkan calon pemimpin yang baik. Sudah waktunya para calon legislatif dan calon presiden selalu hadir pada setiap kegiatan rakyat. Waktu panjang kampanye harus digunakan sebaik mungkin oleh pimpinan partai dan caleg. Memulihkan kembali kepercayaan rakyat kepada elite dan lembaga formal politik adalah pekerjaan rumah yang berat. Hanya dengan cara itu negeri ini terhindar dari tipikal negeri golput. Semoga!
(-)

Tidak ada komentar: