Selasa, 30 September 2008

ANALISIS POLITIK


Memberi, Bukan Menerima


Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB

SUKARDI RINAKIT

Hormat saya pada Mira Lesmana, Riri Riza, Andrea Hirata, dan siapa pun yang terlibat dalam film Laskar Pelangi. Secara gamblang mereka menorehkan realitas keseharian kita. Terbelah dalam kelas sosial, terbelenggu oleh peraturan formal, terpinggirkan dan terasing. Kondisi patologis itu terpantul bening dalam ranah pendidikan.

Tapi Tuhan memang tidak tidur (Gusti ora sare). Di tengah tekanan hidup yang kadang tidak kenal kompromi tersebut, lahir ketulusan, semangat, dan mimpi. Pendeknya, lahir sifat kenabian dari individu-individu otonom yang dalam bahasa Kahlil Gibran disebut sebagai kaum pemberi, bukan penerima. Mereka ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi.

Seperti itulah sejatinya politik harus dijalankan. Tapi, acap kali ia direduksi menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Akibatnya, bukan kesejahteraan rakyat yang dipanggul, tetapi ambisi pribadi untuk menguasai dan menikmati kebun mawar kekuasaan.

Yogyakarta kelabu

Kalau ketiga Bung Besar (Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir) masih hidup, saya yakin mereka akan marah dengan sebagian generasi sekarang yang dalam mengambil keputusan cenderung mengabaikan sejarah. Bung Karno pasti akan berteriak, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah)!”

Demikian juga dengan kasus keistimewaan Yogyakarta. Jika kita hanya bertumpu pada UUD 1945 hasil amandemen (apalagi sampai saat ini masih ada kekuatan yang tak mengakui hasil amandemen itu), sulit untuk tidak mengatakan, kita mengabaikan fakta sejarah. Sikap ini bisa menambah kekisruhan di bumi Mataram.

Beberapa tokoh senior, termasuk Jusuf Ronodipuro (alm), berkali-kali bercerita kepada penulis bahwa Yogyakarta waktu itu sejatinya adalah wilayah berdaulat penuh. Ia sejajar dengan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan Soekarno-Hatta.

Tapi, karena Sultan Hamengku Buwono IX begitu asketis, darah hidupnya adalah memberi dan bukan menerima, ia memutuskan untuk ”menikah” dengan Republik Indonesia.

Ijab kabul terjadi antara Keraton Yogyakarta dan Republik Indonesia. Maklumat 5 September 1945 mengikat keduanya.

Ketika suatu siang kami bertemu di LP3S, di halaman lembaga penelitian itu, Jusuf Ronodipuro kembali bertutur. Pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), Jakarta masuk ke dalam wilayah Pasundan. Pasukan Siliwangi yang sangat nasionalis geram dengan fakta itu. Mereka akhirnya memutuskan hijrah ke Yogya (sebagai ibu kota Republik Indonesia).

Pendeknya, kata Ronodipuro, Yogya selalu memberi, bukan menerima. Ia adalah utusan yang ditugaskan mengambil kekayaan keraton demi membiayai Republik.

Pusat keliru

Dalam konstruksi seperti itu, penanganan pemerintah pusat terhadap Yogyakarta adalah keliru. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekan Yogyakarta dengan cara mengkritik Sultan. Dikatakan, jika Sultan juga gubernur, lalu nanti maju capres atau cawapres, itu hanya ada dalam ketoprak. Pernyataan seperti ini menyakiti rakyat Yogya.

Situasi diperburuk oleh komentar Bung Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa praktik monarki absolut di Yogyakarta harus diakhiri dan diganti dengan monarki konstitusional. Ini problematik.

Siapa pun yang belajar ilmu politik pasti tahu bahwa tidak ada model kekuasaan seperti itu di Yogya. Ketika menikahkan anaknya saja, kadonya diperiksa oleh KPK, bagaimana bisa dikatakan monarki absolut. Ini belum lagi kalau eksistensi DPRD dan bekerjanya sistem pemerintahan ikut diperhitungkan.

Cara penanganan yang demikian, termasuk menggantung RUUK DIY selama ini, kontras dengan cara penanganan daerah konflik lain, utamanya Papua dan Aceh. Yang memberontak diperlakukan sangat lembut, sebaliknya, yang berperilaku baik diperlakukan kasar.

Oleh sebab itu, bisa dipahami jika rakyat Yogya akhirnya merasa dizalimi pemerintah pusat. Ini bisa diidentifikasi dari semakin naiknya eskalasi kelompok-kelompok masyarakat yang meminta Pisowanan Ageng (rakyat menghadap Sultan) segera mungkin. Mereka ingin menyatukan hati, menentukan sikap.

Karena semangat untuk menerima (bukan memberi) menyempitkan sudut pandang, kecenderungan kita untuk melupakan sejarah menjadi sangat dominan. Jika pemerintah pusat tak hati-hati menangani Yogyakarta, keputusan politik yang diambil bisa-bisa merupakan ajakan cerai (talak).

Kalau itu yang terjadi, Maklumat 5 September 1945 tak berlaku lagi. Artinya, dalam bahasa pokrol bambu, Yogya menjadi janda atau duda. Bebas.

Jika itu terjadi, saya hanya bisa menangis kepada Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Jika ada Sultan Hamengku Buwono IX di situ, mungkin beliau akan berkata, ”Sabarlah, Gusti ora sare.”

Tidak ada komentar: