Selasa, 09 September 2008

Menimbang Demokrasi


Miranda Risang Ayu
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Seorang peneliti masalah-masalah sosial dari Indonesia bertemu dengan peneliti dari Amerika Serikat dan Australia yang telah banyak melakukan studi tentang Indonesia. Peneliti Indonesia itu bertanya, bagaimana pandangan peneliti Amerika dan Australia itu terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Dengan senyum lebar, kedua peneliti asing itu mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia telah berkembang amat positif, hingga bisa dijadikan contoh negara lain. 

Indikasinya mudah. Dari tingkat peraturan dasar hingga peraturan pelaksana, Indonesia telah memiliki sistem hukum yang mendukung demokrasi politik, yakni sistem yang berusaha menegakkan hak-hak sipil dan politik, seperti hak berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran, dan memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Masyarakat bukan saja tidak takut lagi berafiliasi dengan partai yang dia sukai, tidak takut lagi untuk tidak memilih, tetapi bahkan seperti berlomba-lomba membuat partai baru. Presiden pun kini dipilih langsung. Calon pemimpin politik nonpartai, meskipun baru di tingkat provinsi, telah diakui juga keabsahannya. Indonesia bahkan sudah pernah punya presiden perempuan, sedangkan Amerika Serikat dan Australia belum.

Sayangnya, tidak ada peneliti dari Cina atau Ukraina di situ. Jika ada, jawabannya mungkin agak lain. Secara historis, Amerika Serikat dan Australia termasuk negara-negara yang semula percaya bahwa penegakan demokrasi, yang memang tidak bisa dilepaskan dari penegakan hak asasi manusia, harus diartikan sebagai garansi hak-hak sipil dan politik. Jadi, jika suatu negara telah dapat menjamin terlindunginya hak-hak itu, maka kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat negara itu akan meningkat pula dengan sendirinya. 

Sebaliknya, negara-negara seperti Cina atau Ukraina, dulu, lebih percaya bahwa esensi demokrasi adalah demokrasi ekonomi, dan karenanya, hak asasi manusia yang paling krusial untuk segera dipenuhi adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Logikanya, bagaimana mungkin rakyat bisa berpikir jernih jika tidak makan, berpakaian rombeng, dan tidak punya identitas yang sehat? Rakyat harus menjadi subjek dahulu dari pemenuhan kebutuhan jasmaninya sebelum mampu menjadi subjek dari kebutuhan eksistensi intelektualnya. 

Kini, perdebatan tentang mana hak-hak yang betul-betul bersifat asasi dan harus didahulukan, hak-hak sipil politik atau hak-hak ekonomi sosial budaya, sudah usang. Sejak 1993, wacana hak asasi manusia yang telah diterima dalam ranah hukum internasional hingga hukum nasional di banyak negara meyakini bahwa penghormatan kedua sistem hak asasi itu tidak bisa dipisahkan dan saling memengaruhi untuk mencapai demokrasi yang utuh.

Dinamika politik di negara-negara berkembang yang telah menjamin salah satu hak sipil dan politik dengan sistem multipartai, misalnya, cenderung lebih panas dan rentan kerusuhan dibandingkan dengan dinamika politik di negara-negara maju dengan sistem kepartaian yang sama. Ini karena di negara-negara maju, kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya, atau pemenuhan hak ekonomi sosial budayanya, telah relatif tinggi. Maka, masyarakat berpolitik lebih untuk memperbaiki alokasi sumber dana, daripada mencari sumber dana atau bahkan dana pribadi. 

Sebaliknya, tanpa jaminan hak sipil politik, hak ekonomi sosial budaya pun tidak akan mungkin terpenuhi. Contoh, jika hak kebebasan mengemukakan pendapat atau kebebasan media belum terjamin, tidak mungkin tingkah-laku koruptor pemakan uang rakyat, fenomena busung lapar di daerah terpencil, atau bunuh diri siswa yang tidak lulus ujian nasional, terpampang di koran dan televisi tanpa sensor, didiskusikan, lalu dicari pemecahannya.

Namun, jika logika keterkaitan hak sipil politik dengan hak ekonomi sosial budaya dipakai konsisten, maka seberapa pun tingginya perkembangan demokrasi politik di suatu negara, demokrasi itu belum betul-betul sesuai dengan maknanya tanpa diimbangi dengan demokrasi ekonomi, sosial, dan budaya. Demokrasi ekonomi, sosial, dan budaya sendiri dapat dicapai jika pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari seperti kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga identitas budaya yang sehat, sudah merata dinikmati oleh jumlah terbesar dari anggota masyarakat.  

Tanggung jawab negara
Mc Iver telah lama mengemukakan bahwa sejalan dengan berkembangnya kompleksitas masyarakat, negara tidak lagi hanya berwajah politis. Meskipun merupakan organisasi kekuasaan tertinggi, negara juga berwajah sosial, yakni ketika ia melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan publik, misalnya dalam wujud peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat dan pembebasan biaya pendidikan. Negara juga berwajah ekonomis, misalnya ketika ia berperan aktif memberdayakan ekonomi rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menyambung cara berpikir ini, mungkin saja negara juga memiliki wajah budaya, yakni ketika ia sigap dan aktif berperanan sebagai pengampu yang sah (legal guardian) dari kekayaan budaya nasional yang menentukan identitas dan harga diri bangsa. 

Siapakah negara? Ada yang mengidentikkan negara dengan pemerintah. Identifikasi ini sesungguhnya terlalu sempit, karena pemerintah hanya salah satu elemen pembentuk negara, selain masyarakat, wilayah, dan pengakuan negara lain. Tetapi, pemerintah biasanya memegang kekuasaan terbesar dalam pengelolaan sumber-sumber daya strategis suatu negara, sehingga tanggung jawab terbesar pun akan dinisbatkan kepada pemerintah. 

Uniknya, ketika pemerintah tidak mencampuri lagi penegakan hak-hak sipil politik, hak-hak itu justru berkembang. Sesuai Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah menjadi hukum nasional Indonesia, sifat hak-hak sipil politik memang begitu; tidak butuh campur tangan keterlaluan tetapi justru ruang yang lapang bagi masyarakat untuk aktif mematangkan kesadaran politiknya. Sebaliknya, ketika pemerintah mencoba lepas tangan dari pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, jumlah anggota masyarakat yang semakin tidak terpenuhi hak-haknya justru membengkak. Menurut Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang juga telah diratifikasi menjadi hukum nasional, penghormatan hak ekonomi, sosial dan budaya, sebaliknya, justru menghendaki peran aktif pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan objektif dan riil dari anggota masyarakat. Sampai di sini, keterampilan pemerintah untuk mengelola peran-peran pentingnya ini juga perlu dikritisi.

Demokrasi?
Tetapi, yang lebih penting lagi, dengan logika sederhana saja, bagaimana iklim demokrasi di Indonesia yang sebenarnya? Bagaimana pemenuhan keseluruhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya?

Hak-hak sipil dan politik tak henti-hentinya disempurnakan dan menuai pujian bahkan oleh para pengamat dari negara maju. Tetapi, masih banyak orang tua calon mahasiswa baru-baru ini harus menyediakan uang minimal Rp 60 juta hanya supaya anaknya yang sudah cukup pintar bisa kuliah di perguruan tinggi negeri idaman. Di sebuah apotik kelas menengah ke bawah, makin sering terlihat orang terhenyak ketika harus membayar obat seharga tidak kurang dari Rp 700 ribu per kantong. Belum lama ini juga, seorang putri Kesultanan Deli Serdang berurai air mata karena kesulitan dana untuk mempromosikan keluhuran seni budaya tradisi ke luar negeri, sementara itu, seorang penyanyi dangdut kagetan dengan mudah bergelimang uang dengan goyang dan gosip murahnya. Fenomena ini adalah hal-hal yang baru terjadi juga di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Pemenuhan hak ekonomi sosial budaya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, dan hak identitas budaya justru makin rawan. 

Ini ironi menyakitkan yang harus segera diselesaikan. Demokrasi di Indonesia masih timpang. Dan demokrasi yang tidak seimbang, hakekatnya demokrasi yang semu saja. 

Ikhtisar:
- Penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tak dapat dipisahkan.
- Pemeeintah adalah pemegang terbesar tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak warga.
- Pemenuhan hak-hak sipil menuai pujian, namun hak-hak ekonomi sosial budaya rawan, sehingga demokrasi berjalan semu.
(-)

Tidak ada komentar: