Minggu, 07 September 2008

90 Tahun Nelson Mandela, Menjadikan Lawan Sebagai Kawan


Jeffrie Geovanie
Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar


''If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner". Nelson Mandela Nelson Rolihlahla Mandela lahir di Transkei, Afrika Selatan, 18 Juli 1918. Artinya, pada Jumat 18 Juli 2008 usianya genap 90 tahun. Sudah cukup renta, fisiknya mulai melemah dan rapuh, tapi tidak demikian dengan pengaruh gagasan dan langkah-langkah politiknya.

Setidaknya ada dua gagasan dan langkah besar Mandela yang berhasil memberikan inspirasi pada dunia, yaitu kegigihannya melawan politik rasis apartheid yang menistakan warga negara kulit hitam dan bagaimana cara dia memberlakukan lawan-lawan politiknya. Karena menentang kebijakan politik apartheid, Mandela dianggap sebagai musuh utama pemerintah.

Untuk membungkamnya, pemerintah menggunakan cara yang memang sudah lazim ditempuh rezim otoriter di mana pun, yakni dengan memperalat hukum. Pengadilan propenguasa tidak tanggung-tanggung, menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Mandela.Untungnya, Mandela bukan pejuang soliter. Di belakangnya ada ribuan atau bahkan jutaan pendukung yang terus berjuang mewujudkan cita-cita Mandela, yakni sebuah Republik Afrika Selatan yang demokratis. Keberhasilan para pejuang itulah yang kemudian mendorong Presiden FW de Klerk untuk membebaskan Mandela setelah sempat meringkuk selama 27 tahun.

Rekonsiliasi
Yang menarik, setelah bebas dari penjara dan memimpin African National Congress (ANC) yang kemudian mengantarkannya ke kursi kepresidenan, Mandela tidak lantas jumawa dan balas dendam terhadap kekuatan lama yang pernah menistakannya. Untuk menegakkan keadilan atas apa yang telah dilakukan rezim terdahulu, Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kepemimpinannya diserahkan pada seorang uskup yang berdiri di belakang Mandela, Desmond Tutu.

KKR menempuh langkah-langkah konstruktif, antara lain melakukan inventarisasi terhadap kesalahan-kesalahan masa lalu. Kemudian, mengidentifikasinya dalam tingkatan-tingkatan kejahatan ringan, sedang, dan berat. Untuk kejahatan-kejahatan ringan bisa langsung dimaafkan, sedangkan untuk yang sedang dan berat dilakukan proses hukum dengan vonis sesuai tingkat kesalahan masing-masing. Khusus untuk kesalahan yang berat, termasuk pelanggaran yang menyangkut hak-hak asasi manusia (HAM), setelah vonis dijatuhkan dilakukan pengampunan oleh presiden dengan memberikan grasi.

Tak sedikit yang menentang keputusan kontroversial. Tapi, Mandela punya alasan. Justru dengan begitu fungsi KKR, sesuai namanya, bukan untuk membalas dendam atau mencari-cari kesalahan. Menurut Mandela, kejahatan memang harus diungkap agar publik tahu dan tidak mudah melupakannya, tapi bukan berarti tak bisa dimaafkan. Mengapa dimaafkan? Karena rekonsiliasi tak mungkin bisa dibangun tanpa didahului proses memaafkan pihak-pihak yang sebelumnya dianggap bersalah.

Bahkan kata Mandela, ''If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner.'' Dengan kekuatan lama yang menjadi musuhnya, Mandela menjalin kerja sama dan menjadikan mereka sebagai mitra.Cara-cara Mandela memperlakukan musuh-musuhnya menarik perhatian komite nobel. Karena itulah dia beserta De Klerk dan Tutu mendapat kehormatan sebagai peraih Nobel Perdamaian.

Pelajaran
Apa yang pernah ditempuh Mandela, dengan menjadikan lawan sebagai kawan, selayaknya dijadikan pelajaran berharga bagi para elite politik di negeri ini. Lawan politik, entah datangnya dari masa lalu atau masa kini, pada dasarnya memiliki kontribusi yang sama dengan kawan, dalam berperan membangun bangsa. Sayangnya, kesadaran akan adanya fungsi konstruktif dari lawan politik ini belum sepenuhnya tumbuh dalam persepsi publik, terutama menyangkut hubungan antarelite politik di negeri ini. Hubungan kerja di antara mereka pun akhirnya dipenuhi rasa saling curiga, penuh prasangka dan permusuhan. Jangankan membangun rekonsiliasi dan kerja sama, untuk sekadar bertegur sapa pun masih sulit dilakukan dengan lawan politik.

Akibatnya, di negeri ini rekonsiliasi menjadi ide yang terus menjadi ide tanpa implementasi. Padahal, di tengah kondisi sosial ekonomi seperti sekarang, yang kita butuhkan adalah kerja sama dari seluruh komponen bangsa untuk bahu-membahu mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Saya kira sudah saatnya kita meniru Mandela!

Tidak ada komentar: