Senin, 08 September 2008

Revisi Terbatas UU Pemilu Rugikan Perempuan

Senin, 8 September 2008 | 01:18 WIB Kompas

Ninuk Mardiana Pambudy

Usulan 60 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari lima fraksi untuk perubahan terbatas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD akan merugikan perempuan.

Revisi diharapkan memasukkan pasal tambahan untuk mengakomodasi sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Calon yang tak memenuhi 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan berdasarkan nomor urut.

Kelima fraksi di DPR pengusung usulan revisi adalah F-Partai Amanat Nasional, F-Partai Golkar, F-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, F-Partai Bintang Reformasi, dan F-Bintang Pelopor Demokrasi.

Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Eva Kusuma Sundari dan dari Fraksi PKB yang juga Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Nursyahbani Katjasungkana, serta pengajar Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia Ani Soetjipto menilai upaya anggota Dewan dari lima fraksi itu merugikan perempuan.

Ketiganya berpendapat, usulan revisi itu tidak kompatibel dengan pasal-pasal lain di dalam UU Pemilu, yaitu tentang sistem proporsional terbuka terbatas dan nomor urut serta Pasal 53 dan Pasal 55 tentang afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah disepakati bulat dalam penyusunan UU Pemilu 2008.

Ani Soetjipto menilai, usulan itu memperlihatkan pimpinan parpol tidak paham semangat tindakan khusus sementara (afirmasi) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan.

”Mereka hanya beretorika dan memakai isu afirmasi untuk jualan, tetapi tidak menerapkan hal itu di dalam pelaksanaan di internal partai,” kata Ani.

Sedangkan Eva berpendapat, motivasi parpol-parpol tersebut hanyalah untuk memperbesar kekuasaan parpol dalam mencampuri hasil pemilu.

”Mereka tidak peduli pada tugas memberi pendidikan politik kepada rakyat berupa kejujuran, konsistensi, dan penghormatan terhadap hasil kemufakatan dalam musyawarah,” kata Eva.

Pekan lalu, 21 anggota DPR yang bergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen untuk Hak Asasi Manusia (HAM), antara lain Eva K Sundari dan Ribka Tjiptaning (F-PDIP), Nursanita Nasution (F-PKS), dan Nursyahbani Katjasungkana (F-PKB), membuat pernyataan yang menyesalkan usulan tersebut.

Mereka meminta agar usulan tersebut ditarik kembali dan melaksanakan pasal-pasal UU Pemilu tentang afirmasi keterwakilan perempuan secara konsisten.

Ancaman keterwakilan perempuan

Usulan tersebut mengancam keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Penelitian di berbagai negara memperlihatkan, jumlah minimal 30 persen perempuan di lembaga legislatif dapat memengaruhi pengambilan keputusan yang memerhatikan kepentingan perempuan. Selama ini, jumlah perempuan di legislatif selalu di bawah 20 persen.

Usulan revisi terbatas itu juga bertentangan dengan semangat Pasal 214 yang mengatur ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas dengan bilangan pembagi pemilih 30 persen.

”Usulan itu menegasikan semangat afirmasi keterwakilan perempuan 30 persen dan pencantuman perempuan dalam urutan zipper di mana dari tiap tiga calon ada satu perempuan,” tutur Ani.

Hal senada diungkapkan Eva Sundari yang menyayangkan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pimpinan Partai Demokrat dan Wapres Jusuf Kalla yang pimpinan Partai Golkar karena menginstruksikan untuk mengimplementasikan suara terbanyak sehingga partai mereka mengusulkan revisi.

”Padahal, baru Sabtu dua minggu lalu Ny Ani Yudhoyono dan Ny Mufida Jusuf Kalla memperingati Seabad Kebangkitan Perempuan Indonesia. Bu Ani menyampaikan pesan agar perempuan Indonesia bangkit, termasuk dalam bidang politik, dan memanfaatkan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan,” kata Eva.

Demokrasi

Memang, demikian Nursyahbani, ada pertanyaan tentang demokrasi yang harusnya memberi tempat kepada caleg yang mendapat suara terbanyak.

”Tetapi, jangan lupa. Demokrasi harus menyertakan semua kelompok masyarakat. Selama ini perempuan tertinggal jauh dalam dunia politik,” papar Nursyahbani.

Sistem saat ini juga tidak ramah pada perempuan. Perempuan sebetulnya banyak yang bekerja di tingkat komunitas sehingga bila diadakan pemilihan langsung mereka akan mendapat banyak suara.

Masalahnya, persyaratan untuk menjadi anggota legislatif adalah berpendidikan minimal SMA, sementara banyak dari perempuan tersebut tak lulus SMP. Orang buta huruf di Indonesia pun 70 persennya perempuan.

”Peraturan pendidikan minimal SMA sebetulnya melanggar hak untuk berpartisipasi dalam politik,” kata Nursyahbani.

Usulan revisi itu, menurut Nursyahbani, diajukan Ketua DPR dari F-Partai Golkar ke Badan Legislatif (Baleg) DPR dalam sidang pertama Baleg. Nursyahbani yang bertugas memimpin sidang mengingatkan, revisi tersebut tidak ada di dalam daftar Program Legislasi Nasional 2009 dan tidak ada hal mendesak yang mengharuskan pembahasan revisi segera dilakukan.

”Ketentuan Pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang menyebutkan, pembentukan undang-undang tergantung urgensinya. Yang termasuk mendesak, antara lain, bencana nasional dan bahaya nasional. Dua hal itu tidak cocok dengan usulan revisi. Untuk saat ini diputuskan akan dilakukan harmonisasi oleh staf ahli Baleg,” kata Nursyahbani.

 

 

Tidak ada komentar: