Kamis, 25 September 2008

Iklan Politik, Apa Salahnya?

Sabtu, 20 September 2008 - 15:13 wib

Sejak beberapa bulan terakhir kita banyak disuguhi iklan politik, terutama iklan bakal calon presiden Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Ada kesamaan pendekatan (appeal) di antara ketiganya. Mereka memilih "isu nasionalisme" sebagai strategi pesan iklannya.

Penampilan ketiganya yang boleh dikatakan teramat sering, terutama di televisi, mau tak mau membangkitkan pertanyaan. Di antaranya ada yang mengkritik dari faktor isi iklan: benarkah ketiganya begitu peduli pada nasib bangsa Indonesia?
Benarkah isi iklan itu mencerminkan jati diri mereka yang sebenarnya sebagai figur yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat? Kita menyaksikan ketiga calon itu menunjukkan kepedulian yang luar biasa pada kondisi sosial ekonomi masyarakat kita.
Ada pula yang mengkritiknya dari aspek pendanaan. Berapa besar uang yang mereka miliki mengingat iklan itu barang mewah, mulai dari pembuatannya sampai pemuatannya di media? Ambillah harga termurah, misalnya rata-rata satu juta rupiah untuk sekali tayang 30 detik di waktu non-prime time.
Berapa uang mesti dikeluarkan jika sebuah iklan tayang 2 x 24 jam x 30 hari x 6 stasiun TV? Berapa besar jika ditayangkan dalam waktu satu tahun? Dari mana uang sebanyak itu?

Belum lagi untuk perancangan dan pemasangan iklan di billboard, yang harganya bisa mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah sesuai lokasi. Tentu saja kita juga tak bisa memasang iklan secara gratis di koran, majalah, radio, media on-line, bahkan di blog milik seseorang.
Memang harus diakui bahwa iklan yang mereka sampaikan sudah berhasil. Salah satu indikator iklan yang berhasil adalah iklan yang menjadi buah bibir masyarakat. Semakin banyak yang membicarakan, semakin berhasil iklan tersebut. Faktanya iklan mereka banyak diperbincangkan tak kurang oleh para profesor dan para politisi, karuan pula praktisi media dan pemerhati komunikasi politik.
Etika Dasar Iklan
Kehadiran iklan-iklan itu seakan mengganggu kehidupan sosial kita ketimbang memberikan jalan keluar. Ini dikarenakan ada unsur manipulatif di dalamnya. Tidak semua fakta tentang diri sang calon ditampilkan.
Bahkan ada beberapa bagian yang terkesan bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Tapi apalah daya, itulah iklan. Prinsip dasarnya adalah menciptakan kebutuhan.

Pengiklan bermaksud mempersuasi khalayak agar mau membeli produk yang diiklankan. Untuk ini pendekatan pesan dan strategi media dilakukan. Hanya kata dan gambar serta unsur-unsur iklan lainnya yang memiliki stopping power yang digunakan dalam iklan. Iklan adalah kehendak pengiklan.

Artinya, seperti apa dia beriklan tergantung pada keinginan dalam menampilkan produknya di mata publik. Kita tak boleh lupa bahwa iklan ialah produk komunikasi yang dibayar oleh pengiklan. Tak ada yang gratis dalam iklan. Kalau harus membayar, mengapa tidak digunakan untuk kepentingan pribadi? Begitu kira-kira alasan sederhana setiap pengiklan.

Karena itu tak mengherankan jika para politikus kita yang beriklan menyatakan diri sebagai tokoh heroik bagi bangsanya, tak peduli latar belakang masa lalu dan masa kininya. Mereka membayangkan, sebagai calon presiden seharusnya tampil dengan sosok yang committed terhadap kebangsaan, kerakyatan, dan kenegaraan.

Apakah hal itu melanggar etika umum? Sejauh isi iklannya tidak merusak kesehatan moral masyarakat, tidak mengapa. Bagaimana hal dengan adanya unsur manipulasi karena bakal calon presiden itu tidak menampilkan diri secara utuh? Sebagai bagian dari promosi, iklan berpihak pada kepentingan penjualan, bukan pada pengungkapan fakta.

Sebaliknya dengan pemberitaan. Etika dasar pemberitaan adalah pengungkapan fakta apa adanya. Jika ada berita dibingkai untuk mengunggulkan calon presiden tertentu itu namanya telah melanggar etika pemberitaan. Menurut etika pemberitaan, tak boleh berita dijadikan iklan! Ini juga artinya jika ingin mengetahui rekam jejak dari para calon, carilah dalam pemberitaan, bukan dalam periklanan mereka.
Leader as Communicator
Kalaupun ada yang bisa disalahkan dari iklan-iklan para bakal calon presiden tersebut adalah berkenaan dengan mereka sebagai (calon) pemimpin yang berkomunikasi dengan (calon) yang dipimpinnya. Sebaiknya diketahui ada tiga hal mendasar berkaitan dengan pemimpin sebagai komunikator (Mai and Akerson, 2003).
Pertama, komitmen terhadap organisasi dan tujuannya. Seorang pemimpin harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasinya (negaranya). Dari aspek ini iklan-iklan politik yang ada belum sepenuhnya mengarah pada upaya pencapaian empat tujuan kita berorganisasi dalam bentuk negara seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.

Kedua, paham dan sadar atas prioritas tujuan organisasi. Tampak dari iklan-iklan yang ada mereka belum sepenuhnya menunjukkan prioritas apa yang hendak dicapai kelak jika menjadi pemimpin negara ini. Kita semua tahu bahwa negara dalam bahaya ancaman korupsi, angka kemiskinan yang masih tinggi, dan ketergantungan pada asing yang mendekati absolut. Kita merindukan pemimpin yang mampu menuntaskan ketiga penyakit yang telah lama menggerogoti negara kita itu.

Ketiga, bertekad dan mampu untuk menolong organisasi menjadi lebih baik. Hampir semua warga merasakan bahwa negara kita berada dalam keterpurukan multidemensional yang berkepanjangan. Banyaknya perilaku asosial baik yang dilakukan oleh aparat terutama korupsi maupun oleh masyarakat terutama ketidakpatuhan sosial, menyebabkan negara bak kendaraan yang kelebihan beban. Membuat negara kita bergerak amat lamban mengejar berbagai ketertinggalan.

Kita membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan keterpurukan itu. Sayangnya calon-calon pemimpin yang beriklan itu belum sepenuhnya menunjukkan kesiapannya melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosek Ilmu KOmunikasi FISIP UI
(//jri)

Tidak ada komentar: