Minggu, 07 September 2008

Parpol atau Rumah Produksi?

Amich Alhumami
Peneliti Sosial Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

Politik Indonesia benar-benar sulit dinalar karena sering kali bergerak menyimpang dari logika normal. Meskipun kita menerapkan sistem demokrasi modern, tak ada pakem yang jelas dalam praktik perpolitikan, tingkah laku politisi pun tanpa pola yang konsisten.

Parpol yang menjadi pilar utama sistem demokrasi gagal menjalankan fungsi paling elementer untuk mendukung implementasi sebuah sistem politik, yang qua concept sudah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Di antara banyak fungsi utama parpol yang gagal ditunaikan adalah mengirim wakil rakyat yang berkualitas menjadi anggota DPR untuk menjalankan tugas legislasi dan pembuatan kebijakan publik.

Kita paham bagaimana mutu anggota DPR 2004-2009 yang secara umum terbilang rendah dan berkinerja amat buruk. Banyak pula yang berperilaku tercela sehingga yang sering menjadi pemberitaan media hanyalah serangkaian skandal. Tak pelak aneka skandal itu bukan saja mencoreng muka anggota DPR dan menodai parlemen sebagai institusi publik, tetapi juga membuat malu kita semua sebagai warga bangsa.

Saksikan, DPR secara masif telah memproduksi dua hal. Jika bukan skandal korupsi, pastilah skandal asmara terlarang.

Menjelang Pemilu 2009 parpol saling berlomba merekrut para artis menjadi calon anggota legislatif yang bertujuan mendulang suara sebesar-besarnya dengan meminjam popularitas mereka. Kualifikasi tak menjadi soal karena kompetensi, kapabilitas, dan kualitas legislator tidak dianggap penting lagi oleh parpol.

Artis hanya dijadikan magnet untuk memikat pemilih dan mengakumulasi suara dalam kontestasi pemilu. Mereka berfungsi sebagai vote-getter semata.

Tidak heran banyak artis tenar menghiasi daftar usulan caleg hampir semua parpol. Parpol kini bertaburan bintang sinetron dan penghibur sehingga telah berubah laksana rumah produksi tempat para artis menjalani karier profesional di dunia hiburan.

Parpol bermetamorfosis menjadi dunia selebriti yang memungkinkan bagi politisi dan artis saling bertukar posisi dan profesi. Dengan rekrutmen massal para artis menjadi caleg, parpol telah bergeser kian menjauh dari idealisasi fungsi dan peran sebagai institusi politik sebagaimana termaktub dalam aneka Handbook of Political Theory.

Kini parpol berubah wajah menyerupai industri hiburan. Pusat industri hiburan telah berpindah alamat dari rumah-rumah produksi ke kantor-kantor DPP partai politik. Maka, ungkapan populer yang tepat untuk parpol sekarang, the world of politics is now similar to the world of celebrities.

Gejala mengkhawatirkan
Perkembangan politik mutakhir ini menggambarkan setidaknya tiga gejala yang mengkhawatirkan. Pertama, sikap pragmatisme ketika parpol berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan menempuh cara termudah.

Salah satu fungsi utama parpol sebagai mesin politik dalam proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan pemilih agar bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke parpol bersangkutan atas dasar visi, agenda, dan program yang cocok dengan aspirasi mereka. Namun, parpol gagal menjalankan fungsi elementer ini sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para artis yang menjadi idola masyarakat.

Gejala ini lazim disebut political idolatry melalui pemajangan artis-artis tenar untuk menggalang dukungan masyarakat yang mengidolakan mereka. Jalan pragmatisme demikian sama sekali tak akan menolong parpol untuk dapat memperpanjang napas hidup dalam jangka waktu lama.

Kedua, kegagalan proses kaderisasi di lingkungan parpol yang membawa dampak negatif ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti memotong mata rantai proses kaderisasi internal parpol. Hal ini akan menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan menekuni kerja-kerja kepartaian di tingkat akar rumput.

Jika kader-kader parpol terhalang melakukan mobilitas vertikal (baca: menjadi caleg), maka akan melemahkan kerja-kerja kepartaian karena mereka merasa tak mendapat penghargaan semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu proses pelapukan internal, mengingat kader-kader parpol yang jauh lebih menghayati ideologi dan memahami cita-cita perjuangan parpol justru tersisih atau dikalahkan oleh para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, parpol tak bisa lagi dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional karena tak mampu melakukan proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur.

Ketiga, gejala ini juga mencerminkan pemahaman yang dangkal di kalangan elite politik dan pimpinan parpol mengenai makna dan hakikat politik, idealisasi praktik politik, tujuan, dan orientasi berpolitik. Parlemen sebagai institusi politik sebaiknya dihuni oleh orang-orang berkualifikasi yang tecermin pada kualitas, kapabilitas, dan kompetensi.

Parlemen terkait-erat dengan dimensi paling fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan dan praktik kenegaraan, yakni pembuatan kebijakan publik dan legislasi. Jika orang-orang yang direkrut menjadi anggota parlemen tidak memenuhi kualifikasi, tak punya pemahaman yang baik mengenai isu-isu strategis dan permasalahan utama dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, maka sulit diharapkan DPR dapat melahirkan produk kebijakan publik bermutu dan mampu menjawab aneka ragam persoalan dalam kehidupan masyarakat.

Lebih dari itu, dengan pendekatan rekrutmen caleg yang mengutamakan popularitas artis, sulit diharapkan dapat melahirkan anggota parlemen yang memiliki komitmen kuat dalam perjuangan kepartaian. Ada kekhawatiran, parlemen akan berubah menjadi atraksi panggung di mana para artis bertindak sebagai demagog atau sekadar aktor tanpa memahami peran dan fungsi lembaga parlemen.

Melemahkan
Proses rekrutmen caleg yang sangat cair dan lentur ini juga dapat melemahkan ikatan kekelompokan, loyalitas, dan kesetiaan pada partai sehingga memudahkan perpindahan atau secara peyoratif disebut lompat pagar dari satu partai ke partai lain sebagaimana yang sedang berlangsung sekarang ini.

Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi anggota DPR hanya bertujuan meraih kekuasaan politik sebab jabatan publik itu akan meningkatkan gengsi sosial dan martabat individual serta jalan mudah untuk memobilisasi sumber daya finansial dan mengumpulkan kekayaan material. Menjadi anggota parlemen bukan lagi berorientasi pada pemenuhan tanggung jawab mulia dalam proses kehidupan politik kenegaraan yang mempunyai konsekuensi etik dan moral karena menyangkut representasi rakyat yang mempunyai hak-hak sipil dan politik serta kepentingan publik yang harus diperjuangkan melalui kelembagaan politik formal.

Bila elite politik, pengurus, dan pimpinan parpol mengabaikan sejumlah gejala di atas, masyarakat tak perlu berharap banyak pada parpol dan parlemen untuk dapat menjalankan fungsi agregasi dan peran artikulasi kepentingan publik. Ini karena mereka menganggap politik tidak lebih dari sekadar showbiz dengan mencampur-adukkan antara praktik berpolitik dan aktivitas bisnis hiburan.

Padahal, dunia politik sama sekali berbeda dengan dunia hiburan tempat para selebriti menekuni profesi sebagai artis. Dilihat dari sudut pandang falsafah politik, fenomena ini merisaukan karena praktik politik kenegaraan yang sangat serius dan menyangkut masa depan bangsa disamakan dengan cara mengelola industri hiburan yang hanya berdimensi teknikal dan semata-mata untuk memenuhi selera konsumen.

Fenomena ini sekaligus merefleksikan tercerabutnya basis ideologi politik para pengurus parpol, tergerusnya makna hakiki politik kepartaian, serta hilangnya orientasi dan cita-cita parpol dalam konteks kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Fenomena ini jelas suatu kemunduran sehingga tak heran masyarakat bersikap apatis terhadap parpol, seperti terlihat dalam pilihan sikap golput pada setiap kali pemilu, yang jumlahnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sungguh, sulit membangun dan memupuk optimisme masyarakat bila praktik perpolitikan digerakkan oleh motif memacu kesemarakan dan ingar-bingar industri hiburan.

Ikhtisar:
- Parpol berubah wajah menyerupai industri hiburan.
- Terjadi pendangkalan pemahaman di kalangan elite politik dan pimpinan parpol.

Tidak ada komentar: