Sabtu, 06 September 2008

Pemimpin Kelas Salon


Mohamad Sobary


Keseimbangan alam dijaga oleh kekuatan serba dua, yang berpasang-pasangan, saling melengkapi, tetapi sering juga berlawanan: rendah-tinggi, hina- mulia, kotor-bersih, bengkok-lurus, pamrih-tulus, palsu-sejati.

Semua ukuran normatif itu memberi arah, ”kiblat” hidup. Tatanan pribadi maupun kolektif, di berbagai bidang lebih kurang juga ”berkiblat” ke situ.

Mengubah wajah

Di bidang politik, urusannya agak berbeda. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi membuat perbedaan itu menjadi lebih mencolok. Orang bisa bicara lebih meyakinkan tentang politik pencitraan: sebuah politik salon kecantikan yang mengurus make up, bedak dan gincu, untuk merebut posisi kepemimpinan.

Di sini kita terjebak ke dalam anggapan dan kesadaran palsu bahwa ”ilmu kulit” (polesan bedak dan gincu) itu ”penting”. Namun, jangan salah, para tokoh itu sengaja memalsukan kesadaran umum dan membiarkan kepalsuan berkembang demi keuntungan politik mereka.

Maka, suatu citra ”dibuat”. Ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi bisa ”membuat” seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam ”pilkada” atau ”pemilu” si unggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan. Tokoh yang tak tahu apa-apa tentang dunia anak seolah begitu protektif terhadap anak-anak dan tokoh yang berwatak sektarian, fanatik, dan memuja kekerasan, bisa ”dicitrakan” sebagai orang toleran, inklusif, dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan.

Pendek kata, selain operasi plastik di dunia kedokteran yang bisa mengubah wajah manusia, ilmu komunikasi juga mampu memanipulasi jiwa dan perilaku manusia sesuai kehendak pemesan. Di sana-sini lalu tampil watak hipokrit yang difasilitasi media yang kelihatannya melek tetapi tertidur.

Kepalsuan demi kepalsuan perilaku para tokoh mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari yang terpolusi iklan yang mengumbar kata-kata normatif, klise, dan bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, tetapi tak memberi inspirasi apa-apa.

Kita sedang memasuki peradaban dungu, yang memuja apa saja yang palsu. Kedunguan massal itu membuat kita lupa akan pentingnya sejarah. Kita tak lagi kritis membaca jejak mereka. Kita juga tak lagi merasa perlu bertanya bagaimana sebenarnya sejarah hidup orang-orang itu dan modal apa yang membuat mereka berani begitu jemawa?

Kini, mengapa seluruh bangsa bagai tersihir pesona kepalsuan dan memuja mereka yang pada masa lalu belum punya catatan apa pun dan tak pernah melakukan amal apa pun? Seolah mereka sama mulianya bagi kita. Padahal, rekam jejak masa lalu mereka begitu kelam dan menjadi musuh nurani bangsa karena secara sistematik pernah merusak sendi kehidupan yang dengan susah payah dibangun bersama? Selembar daun apakah yang kini sedang menutup nalar kritis seluruh bangsa sehingga kita begitu nerimo dinistakan seperti ini?

Citra buatan

Dalam hidup modern, yang gugup, tergesa-gesa, dan serba instan, seluruh kesadaran kita terbelenggu oleh ”citra” buatan itu. Lalu kita pun—selain lupa menengok sejarah mereka—tak sempat pula bertanya adakah tokoh ini cocok, atau bertentangan, dengan citra yang dibuatnya. Dan, sekali lagi, dalam pilkada dan pemilu yang dikotori politik uang, kita pun memilihnya sebagai pemimpin.

Haruskah kita memercayai kesimpulan yang tampak logis bahwa kini perkembangan kesadaran politik bangsa kita baru sampai tahap mengagumi foto, kata-kata, dan tampilan ”rapi jali” buatan salon yang memiliki selera kecantikan, tetapi sama sekali—dan dengan sendirinya—tak memiliki otentisitas pemikiran tentang pemimpin dan kepemimpinan?

Tidak. Nalar politik bangsa kita tak senaif itu. Di kalangan masyarakat pedesaan pun, orang tahu apa arti kepalsuan seperti itu. Di antara warga kota yang kurang terdidik dan hidup di lapis bawah secara sosial maupun ekonomi pun paham akan kesejatian pemimpin yang kira-kira dapat diandalkan untuk membuat hidup seluruh bangsa lebih baik.

Pendeknya kita tahu, politik ”pencitraan” itu barang palsu, sepalsu permainan panggung drama modern dan lenong, atau ketoprak. Tampilan ”rapi jali” bedak dan gincu itu bukan identitas sejati mereka.

Namun, tahukah kita, saat memilih tokoh macam itu dalam pilkada atau pemilu akan berakibat parah bagi kehidupan kita sendiri? Tahukah kita, dalam suatu ”momen pendek”—beberapa detik saat mencoblos dan menentukan pilihan—sebenarnya kita mempertaruhkan nasib bangsa?

Saya belum meneliti ke arah itu. Maka, saya beralih pada perilaku orang-orang yang menekuni ilmu pencitraan. Mereka menjadi konsultan, penasihat, atau tim sukses para calon, yang minta ”didandani” dan bisa mendadak kaya raya.

Persekongkolan antara mereka dan para tokoh yang bersedia berjualan wajah dan jiwa palsu itulah yang melahirkan salon-salon kecantikan yang lihai memoles citra pemimpin bangsa. Inilah era getir sejarah kita. Rakyat 200 juta dipimpin oleh ”pemimpin palsu” yang dipoles di salon-salon kecantikan yang tak mempunyai tanggung jawab politik maupun moral.

Inilah tragedi kita abad ini. Kita tertipu ilmu dan teknologi, yang berusaha memenuhi tuntutan integritas, hanya dengan polesan bedak dan gincu di salon kecantikan yang tak mungkin tahu malu.

Mohamad Sobary Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform

Tidak ada komentar: