Sabtu, 27 September 2008

Demokrasi Bengkok


Sabtu, 27 September 2008 | 00:46 WIB

Sekadar menyegarkan ingatan, edisi terakhir rubrik ini menyarankan parpol—terutama Golkar dan PDI-P—menetapkan capres-cawapres internal. Capres Jusuf Kalla berduet dengan cawapres Agung Laksono dan Megawati Soekarnoputri dengan Pramono Anung.

Sistem ini meniru yang dilakukan Golkar yang mencalonkan wapres internal mendampingi Pak Harto. Semua wapres orang Golkar: Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Sutrisno, dan BJ Habibie.

Kabinet-kabinet Pembangunan didominasi politisi, teknokrat, dan pati aktif/purnawirawan yang terafiliasi dengan Golkar. Satu-dua tokoh non-Golkar dari PDI dan PPP kadang dijatahi pos kabinet yang kurang strategis.

Cara ini biasa dipraktikkan dalam sistem presidensial. Salah satu pertimbangan Pak Harto adalah membentuk pemerintahan yang kuat sekaligus mengoreksi kelemahan kabinet-kabinet Bung Karno.

Bung Karno menampung tiap aspirasi, politik aliran, golongan, maupun parpol. Ia adalah penemu koalisi ala Nasakom yang semu dan menginstitusionalkan lembaga utusan golongan di DPR—tradisi yang dilanjutkan Pak Harto.

Itu sebabnya kabinet parlementer/presidensial Bung Karno mudah jatuh-bangun. Koreksi Pak Harto mengenai sasaran karena hegemoni Kabinet Pembangunan melancarkan mesin pemerintah dalam pelaksanaan Repelita.

Para pemimpin di negeri ini, sekali lagi, perlu mempertimbangkan asas the winner takes all itu pasca-Pemilu/Pilpres 2009. Kadang kala ”cara berpikir di luar kotak” dibutuhkan untuk mengakhiri lingkaran setan politik.

Alangkah idealnya andai kemenangan Golkar di Pemilu 2009 disusul sukses duet Jusuf Kalla-Agung Laksono di Pilpres 2009. Kabinet yang didominasi Golkar akan bekerja tanpa gangguan.

Idem ditto dengan kemenangan PDI-P di Pemilu 2009 yang idealnya diikuti sukses Megawati-Pramono di Pilpres 2009. Toh kader-kader dua parpol besar itu siap menjalankan fungsi menteri yang notabene hanya jabatan politik.

Nah, entah apa ada hubungannya atau tidak dengan asas the winner takes all, muncul pernyataan berbagai tokoh—termasuk Jusuf Kalla dan Wiranto—tentang pentingnya koalisi. Maaf, rakyat bosan dan traumatis mendengar kata ”koalisi”.

Pertama, citra koalisi tercemar dan tujuan pembentukannya yang sesungguhnya mulia ternyata meleset. Lihat prestasi Kabinet Pelangi atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang pas-pasan.

Ambil sebuah contoh: dibutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk menggantikan tiga menteri KIB. Selain rugi waktu, biaya, dan tenaga, terjadi juga stagnasi yang menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Masih segar dalam ingatan ingar-bingar koalisi ala Poros Tengah. Tujuannya tak lebih dari upaya jegal-menjegal saja.

Koalisi gaya Orde Reformasi tak relevan lagi karena masalah ideologi sudah selesai. Keberagaman parpol telah disederhanakan dan telanjur membentuk politik aliran ”nasionalis-religius” (atau ”religius-nasionalistis”), titik!

Tak ada parpol yang berhak lagi menyebut diri mewakili satu politik aliran tertentu. Pada praktiknya, semua parpol bersifat inklusif bagi tiap warga tanpa memandang suku, agama, dan ras.

Gagasan koalisi, apakah pernikahan PDI-P dengan PKS atau ”hijau dengan merah” hanya upaya transaksional demi meningkatkan posisi tawar. Begitu koalisi terbentuk dan kekuasaan direbut, mereka lupa kepentingan rakyat.

Apalagi jika gagasan pembentukan koalisi datang dari, maaf, parpol ”nol koma”. Mereka cuma free riders yang ingin menikmati posisi eksekutif/legislatif yang berlimpah fasilitas.

Tak mengherankan jika ada saja politisi yang hobi gonta-ganti parpol menjelang penyelenggaraan pemilu/ pilpres. Tak sedikit yang berspekulasi membentuk parpol ”baru tapi lama” atau, sebaliknya, mendirikan parpol ”lama tapi baru”.

Koalisi yang ideal KK (Koalisi Kebangsaan) yang dua kali dimaklumatkan Golkar dan PDI-P. Gagasan pertama pembentukan KK muncul setelah SBY-JK memenangi Pilpres 2004, yang kedua di Medan tahun lalu.

Mengapa ideal? Sebab, kedua parpol yang menduduki peringkat pertama dan kedua Pemilu 2004 itu menguasai mayoritas DPR.

Jika mereka mempraktikkan asas posisi loyal di DPR, checks and balances terhadap pemerintahan SBY-JK berjalan efektif. Efektivitas ini menjamin terselenggaranya demokrasi yang sehat dan bermanfaat bagi bangsa.

Itu yang dipraktikkan negara demokratis, seperti AS (Amerika Serikat) dan Inggris. Di sini yang lebih sering terjadi justru upaya pembengkokan demokrasi.

Kabinetnya ”berkelamin ketiga” karena mencampuradukkan sistem presidensial dengan parlementer. DPD-nya bergaya federalistis, padahal bentuk negaranya yang mendewakan persatuan malah anti terhadap konsep federalisme.

Andai saja demokrasi makhluk yang bisa berbicara, ia akan bertanya, ”Kalian itu maunya apa?” Itu sebabnya sering muncul pertanyaan apakah bangsa ini sudah benar-benar siap berdemokrasi?

Sebab, praktik demokrasi di negeri ini sekadar menjadi jalan pintas. Kita mau cepat-cepat sampai di tujuan, nyatanya malah kesasar saat masuk jalan pintas yang bersemak belukar.

Sebuah prinsip hidup yang penting mengatakan ”kembalilah ke jalan yang benar”. Untuk itu, berhentilah bicara berbusa-busa soal koalisi karena ia sudah jadi barang basi.

Tidak ada komentar: