Selasa, 16 September 2008

Ideologisasi Versus Idolisasi

Ideologisasi Versus Idolisasi
Selasa, 16 September 2008 | 01:59 WIB/kompas

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Idolisasi berkembang, sementara ideologisasi tersendat. Inilah satu gejala penting yang terlihat di balik pengajuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 yang riuh rendahnya belum hilang. Alih-alih tekun menjalani ideologisasi, nyaris semua partai lebih senang mengambil jalan pintas idolisasi.

Ideologisasi adalah menanam dan memperkuat identitas partai dalam tiga pengertian sekaligus. Pertama, identitas partai yang pada mulanya masih rapuh diperkuat dengan mematangkan orientasi politik dan platform kebijakan mereka. Kedua, pemahaman identitas partai (ideologi, orientasi politik, atau platform) yang pada mulanya hanya menjadi gejala di kalangan elite partai diluaskan sebagai gejala pada anggota, pendukung, dan simpatisan. Ketiga, partai menegaskan pemosisian (positioning), diferensiasi (pembeda pokok yang dimilikinya vis a vis partai lain), dan branding (penegasan merek atau simbolisasi diri).

Ideologisasi partai diwujudkan, antara lain, melalui pembakuan mekanisme perekrutan politik serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan. Dalam kaitan dengan pengajuan caleg, ideologisasi ditandai dengan mengemukanya nama politisi partai yang membina diri dari bawah bersama partai serta membentuk kualifikasinya di tengah calon konstituen mereka.

Ideologisasi partai adalah kerja panjang dan melelahkan. Dibutuhkan ketekunan partai dan politisi dalam memupuk dan menyuburkan modal politik mereka dari waktu ke waktu. Ideologisasi diwujudkan dengan membangun hubungan pertukaran berjangka panjang dan bukan sekadar transaksi yang berjangka pendek dengan calon pemilih.

Idolisasi adalah jalan pintas. Alih-alih merekrut politik serta melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dengan tekun, partai justru secara instan mencari figur publik, khususnya kalangan pesohor yang sudah populer. Suara digalang tak melalui proses pembentukan hubungan pertukaran, tetapi melalui ikatan keterpesonaan dan kultus pemilih terhadap idola mereka. Dari balik gejala idolisasi inilah pesohor mendapatkan jalan lapang menuju daftar caleg.

Idolisasi tak butuh kerja politik yang menguras energi dan pikiran. Ia adalah sebuah proses instan yang berorientasi pada hasil cepat dan kasatmata. Dalam idolisasi, popularitas mengatasi kompetensi. Dukungan dan pilihan digalang bukan dengan membangun pertukaran rasional-kalkukatif dengan pemilih.

Berkembangnya idolisasi sekaligus menggarisbawahi bahwa umumnya partai politik tak menguat dan mendewasa setelah tumbuh selama satu dekade. Partai tumbuh hampir tanpa pembeda. Nyaris tanpa karakter. Nyaris semua partai pun sama adanya.

Wajarlah bilamana politisi meloncat-loncat dengan mudah dari satu partai ke partai lainnya. Berpindah partai menjadi gejala biasa selayaknya orang pindah kendaraan umum.

Kecenderungan idolisasi memang nyaris merata pada semua partai. Tetapi, gejala ini terjadi paling masif dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir. Celakanya, gejala idolisasi tak hanya kita saksikan dari balik pengajuan caleg Pemilu 2009. Gejala ini dengan mudah ditemui dalam beragam bentuk.

Pejabat publik di mana-mana sekarang ini mempunyai kecenderungan baru untuk memampang wajah mereka dalam poster, spanduk, dan baliho promosi kebijakan atau anjuran kebajikan (menjaga tertib lalu lintas dan membuang sampah di tempatnya). Menteri berlomba menaruh wajah mereka besar-besar dalam iklan layanan masyarakat, baik dalam media cetak, media elektronik, terutama televisi, maupun media luar ruang yang terpampang di pinggir-pinggir jalan serta di tengah fasilitas publik lainnya.

Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, sekadar misal, berlomba menyebut rekor kunjungan ke daerah tertinggal. Pada saat yang sama, dia lupa menjelaskan secara benderang program apa saja yang sudah, sedang, dan akan dijalankannya untuk mengentaskan rakyat tertinggal di berbagai pelosok Tanah Air.

Alih-alih berusaha membuktikan diri sebagai pejabat publik yang pandai menjaga mandat, bertanggung jawab, dan mewakili publik, mereka berlomba- lomba menjadi orang-orang populer. Mereka dengan sigap berusaha semacam idola.

Idolisasi adalah refleksi kegagalan membangun dan mematangkan partai dan sistem kepartaian secara layak. Dalam batas-batas tertentu, idolisasi mewakili terbangunnya—meminjam istilah dari mantan Presiden Republik Ceko Vaclav Havel— ”estetika kedangkalan”. Ia mewakili sebuah persoalan serius dalam demokratisasi kita.

Berkembangnya gejala idolisasi itu mengingatkan kita bahwa ”demokrasi bisa menua tanpa menjadi dewasa”. Selayaknya kita menghindari kemungkinan ini. Inilah salah satu bahan introspeksi penting setelah kita menjalani satu dasawarsa demokratisasi.

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: