Sabtu, 27 September 2008

Politik Jenang dan Jeneng

Surwandono
Dosen Fisipol UMY, Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM

Adalah seorang Mbah Maridjan yang memperkenalkan istilah unik jenang dan jeneng ketika menanggapi hasrat Sri Sultan HB X untuk menjadi salah seorang kandidat dalam pilpres 2009. Tampaknya nalar Mbah Maridjan ini menarik untuk didesiminasikan kepada calon-calon elite yang sekarang sedang mengalami halusinasi dan berimajinasi untuk menjadi elite.

Banyak bakal calon elite sepertinya tidak memiliki sense yang tepat tentang konsep jenang dan jeneng secara baik sehingga lahirlah beragam tradisi anarkisme politik dan kebuntuan kesejahteraan. Memang unik, kata jenang dan jeneng yang membedakan hanya satu vokal, yakni pengubahan vokal a menjadi e. Namun, jika dikaji dengan sangat mendalam terdapat perbedaan makna yang signifikan.

Dalam pandangan Mbah Maridjan, konsep politik jenang dan jeneng sulit dikompromikan satu sama lain. Penentuan pilihan terhadap salah satunya akan
berimplikasi negatif pada konsep lainnya. Misalkan, seseorang jika memilih politik jenang, orang tersebut harus merelakan dirinya untuk dikritik sedemikian rupa, alias politik jenengnya akan mengalami kemerosotan dari level yang paling kecil sampai paling akut.

Sebagai kompensasinya, seseorang yang memilih politik jenang akan mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Misalnya dalam ungkapan Jawa, dapat takhta, wanita, turangga, dan raja koyo lainnya (kekuasaan, wanita, kuda (tunggangan), ataupun harta kekayaan lainnya.

Jika seseorang memilih politik jenang, keniscayaan untuk jauh dari pola kehidupan kekuasaan duniawi yang menyenangkan, tetapi mampu mereguk kenikmatan kemanusiaan dengan harumnya nama diri, dihormati, dicintai oleh masyarakat. Semisal dalam ungkapan lakon wayang tecermin dalam karakter Semar, orang tua dari para punokawan Pandawa.

Sebenarnya Semar merupakan seorang elite politik Kahyangan, tetapi dia lebih memilih politik jeneng sebagai punokawan (abdi) bagi tumbuh dan berkembangnya generasi terbaik bangsa, Pandawa. Dalam pandangan Semar, Pandawa harus dirawat dan dibekali dengan nilai-nilai adiluhung agar tatkala Pandawa mendapatkan kekuasaan bisa menjalankan amanah kekuasaan dengan baik.

Pandawa adalah antitesis kekuasaan dari Kurawa yang sering kali mempertunjukkan kekuasaan sebagai fenomena adigang, adigung, adiguna (kekuasan yang dipenuhi dengan nafsu kesombongan dan keserakahan) yang penuh dengan tradisi jenang. Dalam kurun waktu sebulan terakhir, telah digelar pilkada di seantero negeri, dari Jawa Barat, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Jika merunut dari pola pikir Mbah Maridjan, politik demokrasi melalui pilkada, pemilu, dan pilpres adalah cerminan politik jenang ataupun kekuasaan.

Debat jenang dan jeneng
Debat klasik antara jenang dan jeneng sebenarnya sudah terjadi sangat masif dalam dua kitab klasik, Machiavelli dengan Sang Pangeran (I'll Prince) dan Al-Mawardi dengan Hukum-Hukum Pemerintahan (al-Ahkam al Sultaniyyah). Kedua buku ini lahir sebagai respons terhadap pertanyaan penguasa tentang bagaimana mengelola kekuasaan yang paling baik.

Dalam pandangan Machiavelli, penguasa yang baik yang ditakuti oleh rakyatnya. Jika negara lebih kuat terhadap rakyat maka tertib sosial-politik akan tercipta sehingga dengan jalan inilah akselerasi kekuasaan bisa digulirkan dengan baik. Maka dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa harus mencitrakan diri sebagai srigala bagi penduduknya.

Jelas dengan logika Machiavelli bahwa jeneng atau citra diri bukanlah sesuatu yang harus dijaga. Kekuasaan memang untuk kekuasaan, kekuasaan bukan untuk citra diri.

Sangatlah berbeda dengan pandangan al-Mawardi bahwa sebaik-baik penguasa adalah pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, pemimpin yang hangat dan artikulatif terhadap kebutuhan publik. Untuk mengendalikan perilaku rakyat, penguasa tidaklah harus lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat, kekuatan citra diri atau jeneng lebih substantif dibandingkan jenang.

Penguasa harus mampu menundukkan kekuatan rakyat dengan kekuatan persuasif dibandingkan dengan kekuatan represif. Rakyat diatur dengan penciptaan kelembagaan yang akuntabel dibandingkan dengan pendekatan tiranik.

Kompromi
Dalam pandangan penulis, politik jenang dan jeneng tidaklah harus didikotomikan sebagai sesuatu yang sifatnya hitam putih, bahwa politik jenang pasti berkait dengan keburukan dan politik jeneng pasti berkonotasi terhadap kebaikan. Ada sebuah sinyal yang menarik dalam hadis Rasulullah: ''Ada seseorang yang kelihatannya ahli surga sesungguhnya ia adalah ahli neraka, tetapi ada seseorang yang kelihatannya ahli neraka, tetapi sesungguhnya adalah ahli surga.''

Yang paling penting dilakukan adalah istiqamah dan konsistensi dalam menjalankan amanah kekuasaan. Kalau seorang pemimpin terlampau berhati-hati mengambil kebijakan demi mempertahankan citra diri, yang berakibat kepada lumpuhnya sistem masyarakat, pilihan mendahulukan politik jeneng adalah pilihan yang salah.

Tidak menutup kemungkinan pilihan politik jenang yang terkadang tidak populis, terkesan diri sendiri dan merugikan masyarakat sebenarnya obat mujarab bagi sehatnya sistem masyarakat. Menumpahkan darah dalam hukum Islam adalah salah dan haram, tetapi dalam kondisi tertentu menumpahkan darah adalah sesuatu yang niscaya bagi masa depan kehidupan seseorang.

Seorang pemimpin harus mengenal gon papan, menempatkan sesuatu sesuai dengan situasi dan kondisi yang memungkinkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang membuat sejahtera orang yang dipimpin dan juga menyejahterakan dirinya. Pemimpin yang buruk yang hanya mampu menyejahterakan dirinya dan tidak mampu menyejahterakan yang dipimpin.

Tidak ada komentar: