Selasa, 30 September 2008

RUU Pilpres Tak Bisa "Dagang Sapi"


Alot, Syarat Pengajuan Capres

Senin, 29 September 2008 | 00:30 WIB

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa didasari ”dagang sapi”. Jika itu yang terjadi, rumusan ketentuan dalam undang-undang pun akan terlihat mengada-ada sehingga hanya punya dimensi kepentingan jangka pendek.

Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mohammad Fajrul Falaakh, di Jakarta, Sabtu (27/9), menyebutkan, pembahasan RUU Pemilu senantiasa lekat dengan nuansa ”dagang sapi”. Ketentuan dirumuskan oleh partai politik dengan hanya berpijak pada kepentingan masing-masing pihak dengan klausul yang bisa saling ”dipertukarkan”.

Akibatnya, muncullah ketentuan-ketentuan yang ”lucu”, yang jika tidak dimuat dalam undang-undang pun sebetulnya tidak masalah. ”Seperti soal sanksi pidana jika calon mundur itulah,” ucap Fajrul.

Fajrul menunjuk pada ketentuan pidana RUU Pemilu Presiden yang telah diselesaikan Tim Perumus pekan lalu. Setiap calon presiden atau wakil presiden dan juga pimpinan parpol atau gabungan parpol yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah tahap penetapan calon sampai dengan pemungutan suara putaran pertama diancam pidana 24-60 bulan dan denda Rp 25 miliar-Rp 50 miliar.

Sementara calon yang dengan sengaja mundur setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan putaran kedua diancam pidana penjara 36-72 bulan dan denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman serupa juga diberlakukan kepada pimpinan parpol atau gabungan partai politik.

Menurut Fajrul, ketentuan itu tidak ada artinya. Sangat kecil kemungkinan ada parpol atau calon yang sengaja menarik diri dari pencalonan pada pemilu presiden. ”Daya tarik di pemilu presiden terlalu besar, beda dengan pilkada,” kata Fajrul.

”Siasat” parpol

Pembahasan RUU Pemilu Presiden untuk sementara berhenti seiring dengan liburan Idul Fitri. Masih terdapat dua materi yang mesti diselesaikan dalam forum lobi antara pimpinan parpol dengan pemerintah, yaitu soal syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengajukan pasangan calon; dan ketentuan mengenai jabatan di parpol bagi calon presiden dan wakil presiden terpilih.

”Siasat” lain yang layak ditunggu dalam pembahasan nanti adalah cara pengambilan keputusan atas dua materi tersisa itu.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Sjarif Hasan, misalnya, mengusulkan agar keduanya diputuskan dalam satu paket pilihan.

Sebaliknya, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin menolak sistem paket karena kedua materi tersebut merupakan hal terpisah. Taktik pembahasan tersebut tak bisa dipisahkan dari upaya mengegolkan rumusan masing-masing.

Jika merujuk pada lobi pekan lalu, praktis hanya Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memiliki pandangan yang senada, yaitu syarat pencalonan yang ”berat” dan calon presiden-wakil presiden terpilih tidak harus mundur dari jabatan sebagai pimpinan parpol.

Jika dua materi krusial dipaketkan, terkesan ada upaya untuk ”mengeroyok” kedua fraksi tersebut.

Sebanyak delapan dari 10 fraksi DPR sebenarnya telah sepakat bahwa calon terpilih mesti mundur dari jabatan di parpol.

Sebagian dari delapan fraksi tersebut, seperti Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional, mengusulkan agar pasangan calon presiden atau wakil presiden dapat dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang punya 15 persen kursi atau 20 persen suara hasil pemilu anggota DPR, sebagaimana klausul dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 mengenai Pemilu Presiden yang sebenarnya belum pernah diterapkan. (dik)

Tidak ada komentar: