Sabtu, 27 September 2008

Pembelahan Koalisi: Islam dan Nasionalis

Dr Ali Masykur Musa
Anggota DPR RI dari PKB dan Ketua Umum PP Keluarga Alumni Universitas Jember


Ibarat permainan puzzle. Percaturan politik nasional kini diramaikan oleh bongkar pasang upaya koalisi. Ia dilakukan demi menyongsong hadirnya momen peralihan kepemimpinan nasional (pilpres).

Seiring dengan regulasi pilpres yang masih dalam tahap pembahasan (RUU), komposisi pasangan capres pun telah berkali-kali diujicobakan. Parpol-parpol saling menjajaki satu sama lain. Pelbagai lembaga survei kian mewarnai prediksi popularitas pasangan capres-cawapres.

Di tengah semangat berkoalisi, berkembang wacana tentang idealitas pasangan calon. Ada yang mengemukakan kombinasi tua-muda, Islam-nasionalis, menyatukan poros nasionalis dan membangun poros Islam. Apa yang dapat diamati dari wacana ini? Yang pasti, suara masyarakat berharap adanya capres-cawapres yang dapat membawa angin pembaruan.

Varian koalisi<
Koalisi dalam bentuk apa pun dapat dilakukan sepanjang terjadi titik temu, baik karena ideologi maupun kepentingan. Fakta politik mutakhir kita menyebutkan kecenderungan koalisi hanya sebatas titik temu kepentingan untuk berbagi kekuasaan. Tetapi, apa pun motifnya, sepanjang ia melalui prosedur demokrasi, tak satu pun pihak yang berhak menghalangi.

Dr Rainer Adam dalam The Future Lies In The Middle: The Coalition Management Toolbox menyebut beberapa alternatif koalisi yang dapat dijadikan permisalan untuk konteks Indonesia. Pertama, koalisi kemenangan minimal, yaitu koalisi yang secara matematis memiliki peluang lebih kecil untuk menguasai parlemen. Koalisi ini dilakukan oleh parpol-parpol kecil yang bila berjalan sendiri hanya bagian kecil dari parlemen. Tetapi jika bersatu, ia akan dapat memperoleh suara mayoritas.

Kedua, koalisi besar yang dilakukan oleh parpol terbesar dan paling berpengaruh di parlemen. Parpol-parpol ini memiliki mayoritas besar dan hanya menghadapi sedikit oposisi di parlemen.

Ketiga, koalisi semua partai. Ini koalisi dari semua parpol yang memiliki wakil di parlemen. Koalisi yang unik ini umumnya muncul pada saat terjadi perang atau situasi darurat nasional. Pemerintahan Inggris Raya tahun 1915 adalah contohnya.

Keempat, koalisi multipartai yang terdiri dari dua atau tiga mitra koalisi. Biasanya terjadi di negara yang memiliki keragaman etnis, sosial, bahasa, atau budaya yang luas. Koalisi semacam ini lebih sering terlihat dalam sistem perwakilan proporsional ketimbang dalam sistem berdasarkan distrik.

Koalisi Islam
Selain varian koalisi berdasarkan dukungan, juga perlu dipikirkan adanya koalisi atas atas dasar ideologi. Misalnya, pembelahan koalisi agama dan koalisi nasionalis. Wacana mutakhir bersatunya poros Islam, poros nasionalis, atau perpaduan antara Islam-nasionalis mulai mengemuka. Penjajakan antara PDIP dan PKS contohnya.

Beberapa survei menunjukkan kecenderungan perilaku pemilih menjatuhkan pilihan pada parpol atas dasar agama semakin meningkat. Ini tentu mempunyai arti penting bagi parpol yang berbasis agama, misalnya Islam. Selama ini panggung kepemimpinan nasional masih memosisikan tokoh parpol Islam hanya sebagai variabel kedua. Belum muncul tokoh Islam populis yang menjadi alternatif utama pilihan rakyat.

Dengan peningkatan sense pemilih kepada parpol islam dibutuhkan pergeseran agenda dan paradigma agar semakin menarik perhatian. Mereka yang masih getol berkampanye tentang formalisasi syariah meski mungkin sebatas retorika politik harus digeser lebih ke tengah sejalan dengan pluralisme Indonesia. Setidaknya tiga argumentasi dapat dikemukakan.

Pertama, adanya kesamaan platform dan ideologi. Pakar koalisi mana pun tak akan menyangkal faktor utama efektivitas koalisi adalah kesamaan ideologi. Perbedaan pilihan gerakan justru masing-masing akan melahirkan kekayaan variasi strategi politik. Ideologi dan misi Islam dapat menjadi pemersatu perbedaan fatsun politik.

Kedua, titik temu misi dan kepentingan. Perbedaan gerakan hanyalah variabel sekunder dari orientasi utama berpolitik parpol Islam. Masing-masing harus diingatkan pada visi-misi yang lebih bersifat substansial mengikat emosionalitas Muslim. Di sini diharapkan tumbuh tanggung jawab politik untuk tidak sekadar meraih kekuasaan, melainkan bersama membenahi kondisi keterpurukan mayoritas umat Muslim.

Ketiga, keeratan kultural. Rata-rata parpol Islam secara kultural mempunyai cara kerja dan metode kampanye yang mirip dengan ormas Islam, apakah NU atau Muhammadiyah. Ini menjadi modal kultural yang sangat berharga demi lahirnya koalisi. Hanya saja dibutuhkan sebuah kreativitas baru dengan kombinasi marketing politik lebih modern, baik dalam konteks pemilu maupun kepemimpinan nasional.

Koalisi nasionalis
Kajian Geertz dan Anderson dapat dijadikan prototype pemilih di Indonesia. Karenanya selain adanya poros Islam, juga perlu dibangun poros nasionalis. Setidaknya ini didasarkan pada beberapa pertimbangan.

Pertama, pluralisme Indonesia. Fakta kebinekaan masyarakat niscaya dipelihara dan diberi ruang aspirasi secara politik. Saluran politik ini dilakukan untuk menjembatani keanekaragaman kelompok di atas fondasi nasionalisme. Namun, saluran politik di bawah platform nasionalis yang masih variatif dan tersekat oleh kepentingan kelompok mengakibatkan kran aspirasi akan terhambat.

Untuk itu, parpol-parpol nasionalis dapat berkoalisi atas dasar semangat dan orientasi gerakan yang sama. Pada titik ini terbuka peluang terjadinya koalisi besar dengan adanya dua parpol nasionalis yang kini mendominasi parlemen.

Kedua, ikatan sejarah. Dalam pelbagai babakan sejarah kebangsaan Indonesia selalu terjadi gerbong politik antara kelompok nasionalis dan agamis. Bagi kelompok nasionalis sudah saatnya mencoba menyatukan kembali serpihan historis yang pernah ada. Dengan menyentuh sentimen historis dalam konteks lebih holistik akan terjadi kesepahaman dan pemahaman bersama tentang cita-cita politik nasionalis.

Ketiga, keharmonisan sosial. Munculnya koalisi besar parpol-parpol nasionalis melahirkan harapan baru terjadinya keharmonisan sosial. Mengacu pada aspek visi dan kepentingan nasional, potensi mengislahkan pelbagai kontradiksi sosial terletak pada koalisi nasionalis. Selain minimnya sentimen agama juga lebih fleksibel memasuki pasar pemilih yang sedemikian plural.

Pada akhirnya pembelahan koalisi poros Islam versus poros nasionalis bukan berarti pembelahan bangsa. Hal ini semata-mata untuk menyajikan fakta perpolitikan nasional. Semua terpulang kepada rakyat apakah ikut kepada salah satu poros. Atau, jangan-jangan sesungguhnya masyarakat ingin memadukan keduanya.
Ikhtisar:
- Ada beberapa alternatif koalisi untuk perspektif Indonesia.
- Poros Islam dan Poros Nasionalis sangat mungkin kembali terjadi.

Tidak ada komentar: