Selasa, 09 September 2008

Cara Memberi Suara pada Pemilu Ingin Direvisi


Mencontreng Kertas Suara Dinilai Rawan Kesalahan
Selasa, 9 September 2008 | 00:28 WIB 

Jakarta, Kompas - Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD bakal meluas. Fraksi Kebangkitan Bangsa ingin merevisi mekanisme pemberian suara oleh pemilih. Surat suara tidak dicontreng, tetapi dicoblos.

”Dari hasil simulasi KPU (Komisi Pemilihan Umum), kami merasa amat penting untuk mempertimbangkan diubahnya teknis menggunakan hak memilih menjadi mencoblos,” ucap Saifullah Mashum, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Senin (8/9).

Pemberian suara dengan mencontreng dinilai rawan kesalahan, seperti surat suara bolong; contrengan melewati batas dan mengenai calon lain yang berada di atas atau di bawahnya; contrengan luntur; atau tintanya melebar. Mencontreng juga dirasakan dapat memudahkan pihak-pihak yang ingin merusak surat suara dan bisa berimplikasi menguntungkan partai politik tertentu.

Sejumlah anggota DPR mengusulkan untuk merevisi mekanisme penetapan calon anggota legislatif. Mereka menghendaki penetapan caleg bukan hanya didasarkan pada nomor urut, tetapi juga dapat didasarkan pada urutan perolehan suara terbanyak. Setiap partai politik diberi keleluasaan memilih. Namun, usul ini juga mendapat tentangan. Sebanyak 32 anggota DPR yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen menolak rencana revisi tersebut.

”Surat sudah dikirim ke Ketua DPR, pimpinan Badan Legislasi, bahkan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,” kata Eva Kusuma Sundari dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Senin siang, Kaukus Perempuan Parlemen menemui Badan Legislasi DPR.

Dikonsultasikan ke DPR

Sementara itu, KPU akan mengonsultasikan soal pemberian tanda yang sah pada kertas suara Pemilu 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 memang disebutkan, KPU tidak wajib berkonsultasi berkaitan dengan pemberian tanda, tetapi hal itu berkaitan dengan desain surat suara.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan, rapat pleno KPU membicarakan hal pemberian tanda pada surat suara yang sah. ”KPU menyatakan pemberian tanda yang sah adalah tanda contreng atau centang (V),” katanya. Namun, tanda lainnya, seperti bintang, garis bawah, atau tanda coret pada nomor, juga bisa dikatakan sebagai pemberian tanda yang sah.

”Kecuali untuk tanda coblos dan titik, dinyatakan tidak sah. Untuk usulan pemberian tanda ini akan kami konsultasikan ke DPR,” kata Hafiz.

Mengenai alat tulis yang dipakai untuk pemberian tanda pada surat suara, Hafiz mengatakan ada dua pilihan, yaitu spidol berwarna (stabilo) atau bolpoin. Bila ada kelebihan penandaan di kotak yang sudah disediakan di surat suara, kata Hafiz, akan dilihat ujung pangkal pemberian tanda.

Desain surat suara hampir sama dengan surat suara Pemilu 2004. Pemberian tanda ditorehkan pada nomor caleg atau di ujung kanan nama caleg.

Suara juga dinyatakan sah bila pemberian tanda ditorehkan pada tanda gambar parpol. Untuk pemberian tanda pada gambar parpol bisa dihitung sebagai suara untuk perolehan kursi. Sedangkan caleg terpilih ditentukan dengan nomor urut.

Menurut Direktur Eksekutif Cetro Hadar Navis Gumay, KPU keliru apabila menyatakan suara juga sah juga diberi tanda mencentang atau mencontreng tanda gambar parpol. ”Itu tidak sesuai dengan undang-undang dan sistem proporsional terbuka. Cara ini juga akan menyulitkan dalam penghitungan suara. Model surat suara pada Pemilu 2004 sudah tidak sesuai dengan UU No 10/2008,” ujarnya.

Selain itu, tanda pada surat suara juga tidak bisa beragam. ”KPU harus menentukan satu tanda untuk kepastian hukum dan komunikasi sosialisasi bisa lebih efisien memang perlu satu cara dalam menandai. Agar tidak banyak suara yang tidak sah, perlu disosialisasikan dengan benar dan masif,” tuturnya. (SIE)

 

Tidak ada komentar: