Rabu, 24 September 2008

Masih Ada Waktu Menggusur Nomor Urut (1)


Menimbang Pemilu 2009
(Bagian Pertama dari 10 Tulisan)


Hari pencoblosan, pencontrengan, pencentangan, atau apa pun namanya kelak, tinggal 198 hari lagi. Tapi, sistem pemilu yang merupakan software utama Pemilu 2009 belum juga tuntas. Sampai saat ini, nomor urut dan suara terbanyak belum berhenti bertarung. Revisi UU Pemilu akan menjadi salah satu arena besarnya.

UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang disahkan 31 Maret lalu telah menamai sistem pemilu yang akan diterapkan pada Pemilu 2009 sebagai sistem proporsional terbuka. Tapi, revisi masih bisa membuatnya menjadi proporsional terbuka dengan kata sifat 'murni', bukan 'terbatas'.

Saat ini, ada tiga sistem pemilu utama yang dikenal, yaitu sistem proporsional, sistem distrik, dan sistem campuran. Tapi, yang dipraktikkan saat ini, mencapai 300 sistem pemilu. Ke-300 sistem yang lazim diterapkan di berbagai negara demokrasi itu merupakan varian dari ketiga sistem utama tersebut.

''Sistem pemilu adalah cara suara diterjemahkan atau dikonversikan menjadi perolehan kursi parpol peserta pemilu dan/atau menjadi pemenang/calon terpilih,'' kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay, dalam diskusi internal Republika, pertengahan September.

Indonesia delapan kali menerapkan sistem proporsional tertutup, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Selama itu, ruang kompetisi ditutup. Rakyat hanya memilih tanda gambar partai, adapun suaranya disalurkan berdasarkan nomor urut, secara urut kacang. Oligarki partai merupakan salah satu ongkos sistem ini.

Pada Pemilu 2004, sistem proporsional tertutup diganti dengan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem baru ini, pemilih bukan hanya mencoblos tanda gambar, tapi juga nama calon anggota legislatif. Sistem itu berlanjut hingga Pemilu 2009, dengan sedikit kemajuan pada angka bilangan pembagi pemilih (BPP).

Pada Pemilu 2004, caleg di nomor urut berapa pun bisa masuk lembaga legislatif bila meraih suara 100 persen BPP. Bila tidak, penentuannya kembali dengan nomor urut. Pada Pemilu 2009, BPP-nya diturunkan menjadi 30 persen, sehingga akan cukup banyak calon peraih suara terbanyak yang bisa masuk ke lambaga perwakilan rakyat.

Pada Pemilu 2004 hanya dua orang yang bisa meraih BPP 100 persen yaitu Saleh Djasit dan Hidayat Nur Wahid. Alhasil, hanya 0,36 persen dari 550 anggota DPR yang masuk Senayan dengan suara terbanyak. Sebanyak 99,64 persen masuk Senayan dengan fasilitas nomor urut.

Tapi, setelah BPP menjadi 30 persen, peluang suara terbanyak terdongkrak cukup drastis. Cetro --yang melakukan simulasi menggunakan data hasil Pemilu 2004 mendapati-- jika BPP 30 persen diterapkan pada Pemilu 2004 lalu, akan ada 116 orang atau 21,1 persen wakil rakyat yang masuk Senayan dengan suara terbanyak.

Kompetisi yang lebih fair mulai dibuka. Sistem ini akan membuat calon di nomor urut satu belum tentu aman dan calon di nomor urut sepatu juga tidak hopeless. Sebab, yang menanamlah yang akan menuai. Jumlah rakyat yang kecewa --karena suaranya dialihkan kepada calon lain atas nama nomor urut-- pun bisa berkurang.

Soal angka 30 persen ini, mantan ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan itu merupakan kompromi maksimal. ''Semula ada yang menghendaki BPP tetap 100 persen, ada juga yang BPP 10 persen, ada yang full ditentukan dengan suara terbanyak,'' katanya.

Tapi, benarkah DPR hasil Pemilu 2009 benar-benar akan diisi legislator-legislator yang meraih suara terbanyak, minimal seperlimanya seperti hasil simulasi Cetro? Bisa jadi tak seindah itu. Pasalnya, ketentuan-ketentuan berikutnya di Pasal 214 UU Pemilu merelatifkannya dengan ketentuan serba nomor urut (serut).

Paling tidak ada empat ketentuan serut di Pasal 214 itu. Pertama, jika calon yang meraih BPP 30 persen lebih banyak dari jumlah kursi yang diraih partai, kursi jatuh ke nomor urut kecil.

Bila harga satu kursi atau BPP 100 persen di suatu daerah pemilihan 100 ribu suara, BPP 30 persen adalah 30 ribu suara. Katakanlah calon di nomor urut dua meraih 30 ribu suara, dan calon di nomor urut tiga 90 ribu suara. Meski suara calon nomor tiga mencapai tiga kali lipat suara calon nomor dua, yang menjadi calon terpilih adalah calon nomor dua.

Kedua, jika ada dua calon yang meraih suara di atas BPP 30 persen, dan jumlahnya persis sama, misalnya, sama-sama 31.222, maka penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.

Ketiga, jika jumlah calon yang meraih BPP 30 persen lebih sedikit dibanding jumlah kursi yang diraih partai itu, penentuan kursi yang belum terbagi kembali dilakukan dengan nomor urut.
Keempat, jika tidak ada yang mencapai 30 persen BPP, pemenangnya ditentukan dengan nomor urut.

Soal ketentuan serut ini, apalagi belum ada jaminan penuh bahwa peraih 100 persen BPP menjadi calon terpilih, Hadar mengomentari Pasal 214 itu dengan ungkapan, ''Drafting yang aneh.''

Masih tidak puas dengan adanya galah BPP 30 persen, apalagi norma dasar 'calon terpilih ditentukan berdasarkan 30 persen BPP' masih bisa diutak-atik, sejumlah partai tetap berniat menentukan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Yang paling ngotot adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD). Mereka mengakalinya dengan ketentuan internal.

Belakangan, Golkar ikut-ikutan menyatakan bahwa mereka akan menentukan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Perubahan itu langsung mengundang komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, sejak awal PD dan pemerintah ingin sistem proporsional terbuka murni, di mana peraih suara terbesarlah yang dimenangkan sebagai calon terpilih.

Meski telah berubah, Golkar belum seberani PAN yang mengatur mekanisme internal itu di AD/ART. Alhasil, bila sang calon yang tidak meraih suara terbanyak menolak mundur, partai masih punya gigi dengan me-recall-nya. Pasal 16 huruf d UU No 2/2008 tentang Partai Politik menyatakan pelanggaran AD/ART merupakan salah satu syarat recall.

Ferry Mursyidan mengatakan mekanisme internal itu sah-sah saja. Sebab, Pasal 218 UU Pemilu menyatakan penggantian calon terpilih dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri. Soal siapa penggantinya, kelak ditentukan oleh pimpinan partai.

Tapi, menyikapi rencana partai-partai menerapkan ketentuan internal, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshari, bereaksi dengan menyatakan KPU hanya akan menerapkan calon terpilih berdasarkan ketentuan UU. Pernyataan KPU itu sebenarnya normatif belaka, tapi ditangkap sebagai sinyal kurang menguntungkan. Apalagi, jika calon yang tak meraih suara terbanyak dan berada di nomor urut atas tak mau mundur, maka partai --kecuali PAN-- tak bisa berbuat apa-apa.

Bergulirlah kemudian usulan revisi Pasal 214 UU Pemilu yang diajukan oleh 60 anggota DPR dari lima fraksi (PDIP, PG, PD, PAN, dan PBR) kepada pimpinan DPR. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ganjar Pranowo, mengatakan Baleg sudah menerima surat dari pimpinan DPR untuk melakukan 'harmonisasi' usul revisi UU Pemilu.

Pemerintah pun sudah mengambil ancang-ancang. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, akan mengajukan memorandum kepada Presiden agar mendorong revisi terbatas UU Pemilu. Dalam memorandum tercantum klausul 'Penetapan caleg ditentukan berdasarkan suara terbanyak sesuai aspirasi baru yang muncul dari sebagian partai.'

''Jika calon terpilih tetap ditentukan berdasarkan nomor urut, bisa muncul konflik internal partai. Caleg bisa saling gugat,'' kata Denny.
Akankah penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak --yang sesuai dengan akal sehat-- lolos? Atau, usul revisi terbatas ini akan dikandaskan oleh mepetnya waktu pelaksanaan pemilu? Kita tunggu saja. run

Tidak ada komentar: