Minggu, 07 September 2008

Mendorong Keterwakilan Perempuan dalam Politik


UPAYA affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali diuji pada Pemilu 2009. Beberapa peraturan perundang-undangan pun telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. 

Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. 

Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. 

Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%. 

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). 

Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen, itu tidak serta-merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pun, pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota itu. 

Dalam Pasal 57 dan Pasal 58 UU Pemilu Legislatif, misalnya, tentang verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, tindak lanjut jika kuota keterwakilan perempuan terpenuhi hanya disebutkan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota akan memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki daftar calon tersebut dan memberikan alasan tertulis. 

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. 

Argumen tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, argumen tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat. 



Merit system 

Sayangnya, liberalisasi politik yang terjadi sejak era reformasi tidak otomatis diikuti kesiapan lembaga pendidikan dan rekrutmen politik, terutama parpol, untuk secara serius dan berkelanjutan untuk membuka kesempatan partisipasi perempuan dalam politik, terutama menempatkan perempuan dalam posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang andal dengan kesempatan yang setara dengan caleg laki-laki. 

Selain itu, perempuan ditantang untuk mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis, misalnya dalam pencalonan dan penentuan nomor urut, terlepas dari pertimbangan dan keputusan akan suara terbanyak dalam pemilu mendatang. Belum lagi, budaya politik parpol yang masih cenderung sentralistis dan patriarkat yang membuat caleg perempuan tidak ditempatkan di nomor jadi dan dinominasikan hanya sebagai formalitas tanpa kematangan mekanisme pendidikan dan rekrutmen politik yang memadai demi memenuhi kuota 30% yang diamanatkan undang-undang. 

Upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik, terutama pemenuhan kuota 30% yang dimandatkan undang-undang dan akan lebih baik jika lebih dari porsi tersebut dalam persaingan terbuka yang berdasarkan merit system membutuhkan lebih dari kesiapan kelembagaan parpol dan perubahan pola pikir dan budaya politik jajarannya (terutama elite parpol), penerapan langkah strategis untuk menempatkan perempuan dalam nomor jadi maupun dengan zipper principle (seperti yang diterapkan Partai Sosial Demokratik di Swedia) yang tentunya diimbangi kapasitas dan dukungan basis massanya, serta meningkatkan pelatihan dan pendidikan politik bagi pemilih maupun caleg perempuan, baik dari kader maupun simpatisan untuk membiasakan perempuan dalam ritme politik. 

Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik harus terus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki. 

Yang tidak kalah penting adalah penerapan hukum yang konsisten dengan sanksi yang tegas bilamana parpol tidak dapat memenuhi keterwakilan kuota perempuan dalam politik, baik di parpol itu sendiri maupun di lembaga perwakilan rakyat. Hal itu pun juga diterapkan Prancis lewat parity law (1999) dengan penalti keuangan, maupun Argentina dengan ley de cupos (1991) dengan penalti penolakan keikutsertaan parpol dalam pemilu. 

Akhirnya, selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political good will dari parpol dan segenap jajaran elitenya. Pesan lain yang perlu digariskan, berapa pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan dengan parpol. Tantangan yang berat, tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. 

(Media Indonesia)


Oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Analis Politik The Indonesian Institute


Tidak ada komentar: